11 0 156 KB
MAKALAH SEJARAH DUALISME KEPEMIMPINAN ERA ORDE BARU
DISUSUN OLEH : NURHASANAH No. 25
XII – IPS 3 SMA NEGERI 3 BANGKALAN TAHUN PELAJARAN 2015-2016
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah
yang berjudul “Dualisme Kepemimpinan Era Orde
Baru”. Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik. Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan
masukan-masukan
yang
bersifat
membangun
untuk
kesempurnaan makalah ini.
Bangkalan, 28 November 2015
Penyusun
ii
DAFTAR ISI Halaman Judul.......................................................................................................i Kata Pengantar.......................................................................................................ii Daftar Isi................................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.....................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah...............................................................................1 1.3 Tujuan..................................................................................................1 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Dualisme Kepemimpinan....................................................................2 2.2 Restrukturisasi Kabinet dan Anggota DPRGR/MPRS oleh Soeharto..............................................................................................4 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan..........................................................................................8 3.2 Saran....................................................................................................8 Daftar Pustaka.......................................................................................................9 Lampiran................................................................................................................10
iii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kurun waktu 1966-1967 terjadi dualisme dalam kepemimpinan nasional. Di satu pihak Presiden Soekarno yang masih aktif, dan di pihak lain adanya tokoh Jenderal Soeharto yang memimpin pemerintahan. Hal ini dikarenakan munculnya suatu dokumen yang hingga saat ini masih kontroversial keberadaannya juga keasliannya. Dengan mengambil kata kiasan semar, dewa badut yang paling tangguh dalam wayang jawa, dokumen ini disebut Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Sehubungan kondisi dualisme kepemimpinan ini sangat penting, karena merupakan suatu transisi kekuasaan, maka makalah ini akan menjelaskan mengenai awal terjadinya dulisme ini. Berawal dari pembentukan kopkamtib sebagai langkah awal Soeharto menuju ke panggung keeksistensiannya dan diakhiri dengan kebijakan-kebijakan awal ketika Soeharto dissahkan sebagai Presiden. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana kerja dualisme kepemimpinan? Bagaimana Restrukturisasi Kabinet dan Anggota DPRGR/MPRS oleh Soeharto? 1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui dualisme kepemimpinan pada masa orde baru Mengetahui Restrukturisasi Kabinet dan Anggota DPRGR/MPRS oleh Soeharto
1
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Dualisme Kepemimpinan Dualisme kepemimpinan Soekarno-Soeharto pada tahun 19661967identik dengan adanya dua pemimpin dengan kewenangan yang sama sebagaikepala pemerintahan yaitu Soekarno yang menjabat sebagai Presiden danSoeharto yang menjadi pengemban Surat Perintah 11 Maret. Meningkatnyawewenang Pengemban SP 11 Maret inilah yang menjadi fokus utama kajiandalam pembahasan Dualisme kepemimpinan 19661967 hingga berakhirnya. Situasi politik Indonesia antaratahun 1957-1966 yang memberikan gambaran mengenai dominasi AngkatanDarat dalam pemerintahan. Dominasi tersebut berpengaruh pada konflik denganPKI karena AD merasa bahwa PKI dapat mengancam politiknya. PresidenSoekarno
juga
merasa
bahwa
dominasi
AD
dapat
mengancam kekuasaannya,sehingga Presiden mendukung PKI dalam berkonflik dengan AD. Pada akhirnya,munculnya Soeharto sebagai kekuatan baru dalam AD menjadi tokoh yangmampu menumpas G 30 S dan menghancurkan PKI yang merupakan pendukungpolitik Soekarno. Dualisme
Kepemimpinan
Soekarno-Soeharto
diawali
dengan
perbedaanpenafsiran mengenai Surat Perintah 11 Maret 1966 diantara keduanya. Soehartomenganggap bahwa SP 11 Maret merupakan penyerahan kekuasaan, sedangkanSoekarno merasa bahwa SP 11 Maret hanyalah perintah pengamanan belaka.Tindakan Soeharto sebagai Pengemban SP 11 Maret seperti pembubaran PKIsecara de facto merupakan suatu dualisme kepemimpinan. Hal ini dikarenakan sesuai dengan Penetapan Presiden No. 7 tahun 1959 bahwa sebenarnya Presidenyang berwenang membubarkan partai, sedangkan isi dari SP 11 Maret sebenarnyahanyalah merupakan perintah Presiden dan tidak menunjukkan peningkatanwewenang Soeharto.
2
Wewenang Soeharto sebagai Pengemban SP 11 Maretselanjutnya meningkat
setelah
MPRS
yang
didominasi
AD
bersidang
danmenghasilkan Ketetapan yang menimbulkan dualisme kepemimpinan secara dejure. Ketetapan MPRS diantaranya dalam hal pembentukan Kabinet Ampera yaituPresiden bersama-sama Pengemban SP 11 Maret diberi wewenang membentuk kabinet. Kenyataannya, kabinetselanjutnya
Soeharto memimpin
pemerintahan.Tindakan
yang
merupakan
kabinet
Soeharto
dan
pada
ketua
menguasai
akhir
masa
presidium jalannya dualisme
kepemimpinan yaitu berhasilmempersatukan politik AD dalam Doktrin Tri Ubaya Cakti dan konsep OrdeBarunya. Tindakan Soeharto selanjutnya yaitu dengan mengadili para pendukungterdekat Soekarno mengenai keterlibatannya dalam peristiwa G 30 S/PKI. Dalampengadilan tersebut, Soekarno secara tidak langsung didiskreditkan mendukung G30 S/PKI yang menyebabkan semakin berkurangnya pendukung dirinya. Soekarno kemudian merasa terdesak dan menyerah pada keadaan yang terjadi, iamenyerahkan kekuasaan eksekutif pada Soeharto. Akhirnya MPRS mengeluarkanKetetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1966 dalam Sidang Istimewa yangmencabut kekuasaan eksekutif dari Presiden Soekarno. Berakhirlah Dualisme Kepemimpinan yang terjadi dengan diangkatnya Soeharto menjadi Pejabat Presiden. 2.2 Restrukturisasi Kabinet dan Anggota DPRGR/MPRS oleh Soeharto Pada akhir Maret 1966 kabinet baru terbentuk yang dipimpin oleh tiga serangkai Soeharto, Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang memegang bidang ekonomi, dan Adam Malik sebagai Menteri Luar Negeri , terdapat masalah yang harus diawasi dengan hati-hati, yaitu dalam hal memperoleh persetujuan dari presiden Soekarno, yang masih diperlukan karena ia sebagai presiden, sedangkan Soeharto ingin menghindari sengketa. Maka tiga serangkai itu menyerahkan daftar nama anggota kabinet kepada Dewi (Istri ketiga Soekarno) dan mendesaknya agar Soekarno menandatangani.
3
Pasca berakhirnya tahun 1965 operasi militer penumpasan terhadap G-30-S dapat dikatakan sudah berakhir. akan tetapi, penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut belum terlihat adanya tanda-tanda akan dilaksanakan oleh Presiden Soekarno sesuai dengan janjinya. Dengan demikian krisis politik semakin mendalam. Bukan hanya itu, Pemerintah tidak terbukti mampu memulihkan turunnya ekspor komoditas pertanian dengan semacam kapitalisme industry nasional. Sebab utama ialah kegagalan dalam membangun modal yang diperlukan bagi investasi dalam produksi industry serta penyediaan infrastruktur. Bersamaan dengan pengeluaran pemerintah untuk mendanai BUMN, terbatasnya kapasitas pemungutan pajak, pemerintah dipaksa menghadapinya dengan kebijakan inflasi guna membiayai proyek-proyek pengemmbangan serta kebutuhan di bidang militer. Pada tanggal 21 Februari, Presiden melakukan reshuffle cabinet yang disebut sebagai Dwikora yang disempurnakan, ternyata sangat mengecewakan harapan rakyat. Hal ini dikarenakan disingkirkannya tokoh-tokoh yang menentang G-30-S, seperti A. H. Nasution, sedangkan Soekarno mengangkat sejumlah orang yang diindikasikan terlibat dalam G-30-S, seperti Surachman dan Oei Tjoe Tat yang mengakibatkan saat pelantikan cabinet baru 24 Februari 1966 para demonstran melakukan aksi serentak yang mengakibatkan salah satu demonstran yang terlibat bentrokan didepan Istana tertembak. insiden berdarah itu menyebabkan krisis kepemimpinan nasional. Setelah penandatangan Surat perintah sebelas Maret 1966 yang ditandatangani oleh presiden Soekarno melahirkan langkah-langkah yang diambil setelah adanya supersemar; 1. Membubarkan PKI dan ormasnya pada 12 Maret 1966. 2. Mengamankan menteri-menteri dalam Kabinet Dwikora yang terlibat dalam G30-S yaitu, (1) Soebandrio, (2) Dr. Chaerul Shaleh, (3) Ir. Setiadi Reksoprojo, (4) Sumarjo, (5) Oei Tju Tat,SH, (6) Ir.Surachman, (7) Yusuf Muda Dalam, (8) Armunanto, (9) Sutomo Marto Pradata, (10) A.Sastra Winata, SH., (11)
4
Mayjen Achmadi, (12) Drs. Mochammad Achadi, (13) Letkol. Syafei, (14) J.K. Tumakaka, (15) Mayjen Dr. Soemarno. 3. Pengemban Supersemar, pada 18 Maret 1966 menunjuk beberapa menteri ad interim guna mengisi pos-pos menteri yang kosong. Langkah yang dilakukan Soeharto adalah mengadakan pembersihan ditubuh Kabinet Dwikora yang disempurnakan, yaitu dengan mengadakan sidang DPR-GR yang dihadiri oleh ratusan mahasiswa yang membacakan nota politiknya. Pada 17 Mei 1966 DPR-GR berhasil menyusun kepengurusan DPR-GR dan berhasil membersihkan anggotanya dengan memecat 65 anggota yang mewakili Partai Komunis Indonesia. Sejak tanggal 22 Oktober 1965 sebenamya status keanggotaan DPRGR yang mendukung G-30-S dibekukan. Kabinet Dwikora mengalami beberapa kali perombakan untuk menghilangkan pengaruh menteri yang diduga terlibat G-30-S. Namun tuntutan terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan politik terus berlangsung, seperti aksi mahasiswa di gedung DPR-GR tanggal 2 Mei 1966. Sebagai reaksi tekanan berbagai pihak,
Presiden Soekamo
secara sukarela
menyampaikan
pidato
pertanggungjawaban pada 22 Juni 1966, pada saat pelantikan pimpinan MPRS. Namun pidato pertanggungjawaban yang berjudul "Nawaksara" itu tidak diterima MPRS.[10] Sejak pertengahan tahun 1966, perkembangan politik nasional semakin kompleks. Makalah ini diciptakan oleh Jhon Miduk Sitorus. Melalui Tap MPRS No. XIII/MPRS/1966, Letjen Soeharto ditugasi untuk membentuk Kabinet Ampera. Akibatnya dualisme kepemimpianan nasional mulai terjadi. Kabinet Ampera dibentuk melalui Keppres No. 163 tanggal 25 Juli 1966 yang ditandatangani Presiden Soekamo.[11] Selanjutnya MPRS mengadakan sidang. Pada 25 Juli 1966 Presiden Soekarno melaksanakan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera dan membubarkan Kabinet Dwikora. Kabinet Dwikora dibangan dalam tiga unsur yaitu (1) Pimpinan kabinet: Presiden Soekamo; (2) Lima orang Menteri Utama yang merupakan suatu presedium;
5
(3) Anggota kabinet terdiri dari 24 menteri. Tugas pokok kabinet Ampera disebut "Dwi Dharma" yaitu : (1) mewujudkan stabilitas politik (2) menciptakan stabilitas ekonomi. Kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966, jabatan presiden tetap Soekarno. Namun, Letnan Jenderal Soeharto diangkat sebagai perdana menteri yang memiliki kekuasaan eksekutif dalam Kabinet
Ampera
yang
disempumakan.
Melalui Sidang Istimewa pada 7-12 Maret 1967 , Majlis Permusyawaratan Rakyat
Sementara
berhasil
merumuskan
ketetapan
Nomor
:
XXXIII/MPRS/1967 yang berisi hal-hal sebagai berikut: (1) Mencabut kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden Soekarno; (2) Menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno dengan segala kekuasaannya sesuai UUD 1945; (3) Mengangkat pengemban Tap Nomor IX/MPRS/1966 tentang supersemar itu sebagai pejabat presiden hingga terpilihnya presiden menurut hasil pemilihan umum. Pada akhir Sidang Istimewa MPRS, 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik dan diambil sumpah oleh Ketua MPRS Jenderal TNI Abdul Haris Nasution. (4) Masyarakat luas yang terdiri dari berbagai unsur seperti kalangan partai politik, organisasi massa, perorangan, pemuda, mahasiswa, pelajar, kaum wanita secara kompak membentuk kesatuan aksi dalam bentuk Front Pancasila untuk menghancurkan para pendukung G-30-S yang diduga melakukan pemberontakan terhadap negara dengan menuntut agar ada penyelesaian politik terhadap mereka yang terlibat dalam gerakan pemberontakan tersebut. Kesatuan aksi ini kemudian terkenal dengan sebutan angkatan 66 antara lain Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan lain-lain.
6
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Soekarno kemudian merasa terdesak dan menyerah pada keadaan yang terjadi, ia
menyerahkan kekuasaan eksekutif pada Soeharto. Akhirnya
MPRS mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1966 dalam Sidang Istimewa yang
mencabut kekuasaan eksekutif dari Presiden
Soekarno. Berakhirlah Dualisme
Kepemimpinan yang terjadi dengan
diangkatnya Soeharto menjadi Pejabat
Presiden. Untuk penelitian
selanjutnya, peneliti menyarankan agar sumber-sumber primer dapat digali kembali sehingga diharapkan dapat menemukan sesuatu yang baru mengenai Dualisme Kepemimpinan 1966-1967. 3.2 Saran Dalam memimpin Indonesia harus terjadi balance atau keseimbangan tidak boleh saling berebut kekuasaan agar Indonesia menjadi negara yang makmur.
7
DAFTAR PUSTAKA
Handayani, Siti. 2015. “Dualisme Kepemimpinan Soekarno Soeharto” (online) (http://www.kompasiana.com/siti_handayani/dualisme-kepemim pinan-soekarno-soeharto_552a9c42f17e61c626d623d6,
diakses
27
November 2015)
Jhon Midok Sitorus. 2014. “Makalah Dualisme Kepemimpinan” (online) (http://jhonmiduk8.blogspot.co.id/2014/06/makalah-dualisme-kepe mimpinan.html, diakses 27 November 2015
8
LAMPIRAN
9