Makalah Etika Bisnis Dan Profesi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH ETHICS DAN CORPORATE GOVERNANCE



KELOMPOK 10 ANDRI RASINDONA



C 301 17 031



MATIAS PASAU



C 301 17 125



SANDINUARI



C 301 17 161



BRIGIAN C. LAGASI



C 301 17 306



KEVIN TRI TAMA



C 301 17 346



PROGRAM S1 AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS TADULAKO 2019



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1.2 Rumusan masalah 1.3 Tujuan BAB II PEMBASAN 2.1 Defini Governance 2.2 Struktur utama Corporate Governance 2.3 Budaya Etis 2.4 Corporate Code of conduct BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 3.2 Daftar Pustaka



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Setiap organisasi memiliki sebuah kode etik dimana setiap individu baik pemimpin dan karyawan yang berada dalam organisasi tersebut harus patuh dan mengikuti kode etik tersebut. Adanya kode etik tersebut dapat menjadi tolak ukur setiap individu untuk berperilaku sesuai dengan peraturan. Kode etik juga dapat menjadi tindakan pencegahan terhadap penyimpangan-penyimpangan



yang akan terjadi pada



organisasi. Banyaknya penyimpangan-penyimpangan dalam hal ini seperti kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang dilakukan oleh pihak-pihak yang ada dalam organisasi menandakan bahwa adanya kode etik yang telah dilanggar. Hal ini tentu saja dapat membawa pengaruh yang buruk bagi sebuah organisasi. Adanya pelanggaran etika dapat membuat para pihak-pihak yang berkepentingan tidak mempercayai organisasi. Selain itu, pelanggaran etika juga dapat merubah pandangan masyarakat terhadap organisasi tersebut. Oleh karena permasalahan di atas, maka penulis bermaksud untuk menulis makalah dengan judul Ethical Governance (Etika Pemerintahan).



1.2 RUMUSAN MASALAH 1. Apa yang dimaksud dari Governance? 2. Apa yang dimaksud dari Struktur Corporate Governance? 3. Apa yang dimaksud dari Budaya Etis? 4. Apa yang dimaksud dari Code of Conduct?



1.3 TUJUAN 1



Untuk menjelaskan pengertian Governance



2



Untuk menjelaskan Struktur Corporate Governance



3



Untuk menjelaskan Budaya Etis



4



Untuk menjelaskan Code of Conduct



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Teori Governance Istilah governance dalam nomenclature ilmu politik berasal dari bahasa Prancis gouvernance sekitar abad 14. Pada saat itu istilah ini lebih banyak merujuk pada pejabat-pejabat kerajaan yang menyelenggarakan tata kelola pemerintahan dibanding bermakna proses untuk memerintah atau lebih populer disebut STEERING . Perdebatan sejenis juga terjadi dalam wacana bahasa Jerman sekitar tahun 1970-an, untuk menunjuk pada persoalan efektivitas atau kegagalan fungsi kontrol politik yang oleh Kooiman disebut sebagai governing- atau dalam bahasa Jerman Steuerung (steering). Perdebatan kosa ini makin populer diawal tahun 80-an, istilah Steuerung dipergunakan dalam perdebatan sosiologi makro yang merupakan terjemahan dari kontrol sosial. Akhirnya dalam wacana politik Jerman istilah ini dipopulerkan dalam perbincangan politik, Steuerung, dipergunakan untuk menunjukan kemampuan atoritas politik dalam menghela lingkungan sosialnya , misal sejauh mana politik mempunyai kepekaan untuk memerintah (governing) . Terakhir kosa ini juga diidentikkan sinonim dari kata governence. Perdebatan terhadap terminologi ini terus berkembang, dan diperluas wacananya oleh Kaufmann (1985) yang memberikan limitasi governance sebagai " successful coordination of behavior" . Hingga kini perdebatan terhadap terminologi ini tetap terbuka lebar, apalagi interpretasi terhadapnya seringkali dilakukan secara longgar. Muhadjir Darwin (2000) misalnya, menjelaskan kesulitan untuk menemukan padanan makna yang memadai, acapkali penggunaan istilah ini dibiarkan apa adanya, karena sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Bondan Winarno pernah menawarkan sinomim istilah ini dengan penyelenggaraan. Muhadjir Darwin juga menegaskan bahwa notion ini tidak semata-mata menjelaskan fungsi pemerintah untuk menjalankan fungsi governing, tetapi juga aktor-aktor lain diluar negara dan pemerintah. Pemerintah adalah salah



satu institusi saja yang menjalankan peran ini. Bahkan dapat terjadi peran pemerintah dalam fungsi governing ini digantikan dan dipinggirkan oleh aktor-aktor lain, akibat bekerjanya elemen-elemen diluar pemerintah . Hal ini sejalan dengan pemaknaan yang dilakukan oleh Pierre dan Peters (2000) yang menyatakan governance sebagai thinking about governance means thinking about how to steer the economy and society and how to reach collective goals; Sementara itu dalam konteks reposisi administrasi publik Frederickson memberikan interpretasi governance dalam empat terminologi : 1. Governance, menggambarkan bersatunya sejumlah organisasi atau institusi baik itu dari pemerintah atau swasta yang dipertautkan (linked together) secara bersama untuk mengurusi kegiatan-kegiatan publik. Mereka dapat bekerja secara bersamasama dalam sebuah jejaring antar negara. Karenanya terminologi pertama ini, governance menunjuk networking dari sejumlah himpunan-himpunan entitas yang secara mandiri mempunyai kekuasaan otonom. Atau dalam ungkapan Frederickson adalah perubahan citra sentralisasi organisasi menuju citra organisasi yang delegatif dan terdesentralisir. Mereka bertemu untuk malakukan perembugan, merekonsiliasi kepentingan sehingga dapat dicapai tujuan secara kolektif atau bersama-sama. Kata kunci terminologi pertama ini adalah networking, desentralisasi. 2. Governance sebagai tempat berhimpunnya berbagai pluralitas pelaku - bahkan disebut sebagai hiper pluralitas - untuk membangun sebuah konser antar pihakpihak yang berkaitan secara langsung atau tidak (stake holders) dapat berupa; partai politik, badan-badan legislatif dan divisinya, kelompok kepentingan, untuk menyusun pilihan-pilihan kebijakan seraya mengimplementasikan. Hal penting dalam konteks ini adalah mulai hilangnya fungsi control antar organisasi menjadi, menyebarnya berbagai pusat kekuasaan pada berbagai pluralitas pelaku, dan makin berdayanya pusat-pusat pengambilan keputusan yang makin madiri.



Sebagaimana dijelaskan Muhadjir Governance dalam konteks kebijakan adalah kebijakan publik tidak harus berarti kebijakan pemerintah, tetapi kebijakan oleh siapapun (pemerintah,semi pemerintah, perusahaan swasta, LSM, komunitas keluarga) atau jaringan yang melibatkan seluruhnya tersebut untuk mengatasi masalah publik yang mereka rasakan. Kalaupun kebijakan publik diartikan sebagai apa yang dilakukan pemerintah , kebijakan tersebut harus diletakkan sebagai bagian dari network kebijakan yang melibatkan berbagai komponen masyarakat tersebut. Dengan demikian terminologi kedua ini menekankan, governance dalamm konteks pluralism aktor dalam proses perumusan kebijakan dan implementasi kebijakan. Beberapa pertanyaan kunci yang penting : seberapa jauh kebijakan yang dilakukan pemerintah merespon tuntutan masyarakat, seberapa jauh masyarakat dilibatkan dalam proses tersebut, seberapa jauh masyarakat dilibatkan dalam proses implementasi, seberapa besar inisiatif dan kreativitas masyarakat tersalurkan, seberapa jauh masyarakat dapat mengakses informasi menyangkut pelaksanaan kebijakan tersebut, seberapa jauh hasil kebijakan tersebut memuaskan dan dapat dipertanggung jawabkan. Kata kunci dalam terminologi kedua ini adalah pluralitas aktor, kekuasaan yang makin menyebar, perumusan dan implementasi kebijakan bersama. 3. Governance berpautan dengan kecenderungan kekinian dalam literatur-literatur manajemen publik utamanya spesialisasi dalam rumpun kebijakan publik, dimana relasi multi organisasional antar aktor-aktor kunci terlibat dalam implementasi kebijakan. Kerjasama para aktor yang lebih berwatak politik, kebersamaan untuk memungut resiko, lebih kreatif dan berdaya, tidak mencerminkan watak yang kaku utamanya menyangkut : organisasi, hirarki, tata aturan. Dalam makna lebih luas governance merupakan jaringan (network) kinerja diantara organisasi-organisasi lintas vertikal dan horisontal untuk mencapai tujuan-tujuan publik. Kata kuncinya jaringan aktor lintas organisasi secara vertikal dan horisontal.



4. Terminologi Governance dalam konteks administrasi publik kental dengan sistem nilai-nilai kepublikan. Governance menyiratkan sesuatu hal yang sangat penting. Governance menyiratkan sesuatu keabsahan. Governance menyiratkan sesuatu yang lebih bermartabat, sesuatu yang positif untuk mencapai tujuan publik. Sementara terminologi pemerintah (government) dan birokrasi direndahkan, disepelekan mencerminkan sesuatu yang lamban kurang kreatif. Governance dipandang sebagai sesuatu yang akseptabel, lebih absah, lebih kreatif, lebih responsif dan bahkan lebih baik segalanya. Dari keempat terminologi tersebut dapat ditarik pokok pikiran bahwa governance dalam konteks administrasi publik adalah merupakan proses perumusan dan implementasi untuk mencapai tujuan-tujuan publik yang dilakukan oleh aktor : pluralitas organisasi, dengan sifat hubungan yang lebih luwes dalam tataran vertikal dan horisontal, disemangati oleh nilai-nilai kepublikan antara lain keabsahan, responsif, kreatif. Dilakukan dalam semangat kesetaraan dan networking yang kuat untuk mencapai tujuan publik yang akuntabel. Berdasarkan pemikiran ini governance adalah merupakan sebuah ekspansi notion dari makna administrasi publik yang semula hanya diartikan sebagai hubungan struktural antara aktor-aktor yang ada dalam mainstream negara. Secara tegas Milward dan O’Toole memberikan interpretasi governance dalam dua aras penting : Pertama, governance sebagai studi tentang konteks struktural dari organisasi atau institusi pada berbagai level (multi layered structural contex). Kedua, governance adalah studi tentang network yang menekankan pada peran beragam actor sosial dalam sebuah jejaring negosiasi, implementasi, dan pembagian hasil. Merupakan konser sosial melibatkan pelaku-pelaku untuk mengakselerasikan kepentingan publik secara lebih adil dan menebarnya peran lebih merata sesuai dengan realitas pluralitas kepentingan dan aktor yang ada. Sementara itu dari perspektif strukturalis sebagaimana argumentasi Lynn, Heinrich dan Hill yang dikutip oleh Frederickson elemen penting notion governance



meliputi aras teori kelembagaan (institutionalism) dan teori jaringan (network theory) . Pertama, governance berkaitan dengan suatu level kelembagaan (institutional level). Matra ini meliputi sistem nilai, peraturan-peraturan formal atau informal dengan tingkat pelembagaan yang mantap : bagaimana hirarki ditata, sejauh mana batas-batasnya disepakati, bagaimana prosedurnya, apa nilai-nilai kolektif yang dianut rejim. Yang termasuk dalam konsepsi ini antara lain : hukum administrasi, dan bentuk peraturan legal lainnya, teori-teori yang berkaitan dengan bekerjanya birokrasi dalam skala luas, teori politik ekonomi, teori kontrol politik terhadap birokrasi. Pada gatra ini terdapat sejumlah teori yang sangat penting : teori kelembagaan (institutional theory), teori perburuan rente (rent seeking), teori kontrol dari birokrasi, dan dan teori tujuan dan filosofi pemerintah. Pada bagian ini teori governance difokuskan pada tataran-tataran sistem nilai (value). Kedua, pada level organisasi dan managerial governance akan berpautan dengan biro-biro hirarki, departemen, komisi dan agen-agen pemerintah atau juga organisasi-organisasi yang menjalin hubungan kerja dengan pemerintah . Pada tataran ini agenda-agenda : kebebasan dan mandirian administratif, takaran-takaran unjuk kerja dalam proses pelayanan publik, menjadi isu yang penting. Teori-teori yang signifikan untuk menjelaskan fenomena ini antara lain : principal- agent theory, transaction cos analysis theory, collective action theory, network theory. Intinya, pada terminologi kedua ini governance diproyeksikan pada peran mengakselerasikan kepentingan-kepentingan publik (public interest) dalam suatu network antar institusi.. Ketiga, pada level teknis, bagaimana nilai-nilai dan kepentingan publik sebagaimana telah dikemukakan pada pendekatan pertama dan kedua harus dioperasionalisasikan profesionalisme,



dalam



standar



tindakan-



kompetensi



tindakan teknis,



riil.



Isu-isu



akuntabilitas,



dan



tentang kinerja



(performance) sangat penting dalam konteks ini. Teori-teori yang relevan untuk tema ini antara lain : ukuran-ukuran efesiensi, teknis manajemen budaya



organisasi, kepemimpinan, mekanisme akuntabilitas, dan ukuran. Dengan demikian pada level ini governance lebih banyak berurusan dengan implementasi kebijakan publik pada level operasional (public policy at the street level). Interpretasi teori governance menurut terminologi diatas merupakan reduksi dari dua pendekatan utama, yaitu teori institusionalisme (institusionalism) dan teori jaringan (network). Governance adalah merupakan pumpunan dari berbagai organisasi-organanisasi publik dimana negara hanya menjadi salah satu elemennya disamping elemen yang lain yang menjalin sebuah networking secara kolektif. Disamping itu karena governance memumpun sejumlah pluralitas organisasi maka kehadiranya juga dibangun oleh berbagai sistem nilai dan norma yang dibawa pada tataran supra organisasi, inter organisasi dan antar organisasi. Dalam konteks ini maka governanace sesungguhnya sarat dengan ikatan-ikatan sistem nilai yang tersedia dalam deposit system sosialnya. Administrasi publik dalam konteks ini tidak netral dengan berbagai realitas yang berkembang di ekologinya. Sistem nilai dapat saja berupa nilai-nilai formal yang dikonstruksi oleh pranata-pranata hirarkis dan rasional tapi juga dapat dipengaruhi oleh berbagai varian system nilai yang oleh Francis Fukuyama (1999) order sosial demikian juga dibangun secara spontan dan arasional oleh publik . Justru nilai-nilai spontan arasional yang merupakan salah satu elemen kapital sosial inilah yang menyebabkan, modernisasi dan demokratisasi negara-negara modern di dunia dapat lebih cepat dibanding yang lain. Kini kita telah memasuki sebuah periode kesadaran baru, bahwa ciri utama interaksi peradaban masyarakat modern tidak hanya ditentukan oleh order yang bersifat publik, formal, dan bercorak legal tetapi lebih dari itu juga ditentukan oleh peran-peran yang sifatnya dapat dinegosiasikan (negotiable), bersifat labil, konturkontur yang bersifat sangat privat, yang disebut sebagai nilai-nilai informal .



2.2 Struktur Utama Corporate Governance Inti dari GCG pada dasarnya adalah komitmen, aturan main dan praktik penyelenggaraan bisnis secara sehat dan beretika oleh RUPS, Dewan Komisaris dan Direksi untuk memaksimalkan nilai Pemegang Saham. Penyelenggara bisnis pada suatu perusahaan adalah struktur yang memiliki kewenangan dalam menentukan arah tujuan dan mengendalikan jalannya perusahaan. Struktur-struktur tersebut adalah : 1. RUPS selaku perwujudan dari pemegang saham 2. Dewan Komisaris selaku pihak yang diberi kuasa oleh RUPS untuk mengawasi pelaksanaan Pengelola perusahaan 3. Direksi selaku pengelola perusahaan. Para pemilik badan usaha yang membagi modalnya serta membatasi kewajibannya dalam saham-saham suatu perseroan terbatas disebut sebagai para Pemegang Saham. Agar dapat menjalankan haknya sebagai pemilik perusahaan, para Pemegang Saham tersebut membentuk atau mengadakan suatu wadah yang disebut Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Struktur Utama selanjutnya yang menjalankan fungsi penting sebagai pengelola perusahaan adalah Direksi yang salah seorang diantaranya diangkat sebagai Direktur Utama. Sesuai dengan pola two tiered board yang dianut Indonesia, Direksi merupakan suatu struktur eksekutif perusahaan sehari-hari yang terpisah secara tegas dengan struktur yang mengawasinya yaitu Dewan Komisaris. Menurut Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada BUMN Pasal 1 butir 4, ketiga pihak yang memainkan peranan penting dalam perusahaan disebut sebagai struktur persero. Struktur utama pada Perusahaan Perseroan (Persero) adalah RUPS, Dewan Komisaris dan Direksi. Sedangkan struktur utama pada Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Jawatan (Perjan) adalah



Pemilik Modal (Menteri), Dewan Pengawas dan Direksi. Dalam penerapan GCG, struktur persero, perum atau perjan disebut sebagai struktur utama GCG. Dalam pelaksanaan tugasnya, struktur utama tersebut dapat dibantu oleh struktur lainnya atau disebut dengan struktur pendukung GCG yang memberikan dukungan kepada Dewan Komisaris, yaitu komite Dewan Komisaris seperti Komite Audit, Komite Remunerasi, Komite Strategi, dan Komite emantau Manajemen Risiko.



A. Definisi Good Corporate Governance (GCG) Sebagai sebuah konsep, GCG ternyata tak memiliki definisi tunggal. Komite Cadburry, misalnya, pada tahun 1992 – melalui apa yang dikenal dengan sebutan Cadburry Report – mengeluarkan definisi tersendiri tentang GCG. Menurut Komite Cadburry, GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholders khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan pengaturan kewenangan Direktur, manajer, pemegang saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu. Sejumlah negara juga mempunyai definisi tersendiri tentang GCG. Beberapa Negara mendefinisikannya dengan pengertian yang agak mirip walaupun ada sedikit perbedaan istilah. Kelompok negara maju (OECD), umpamanya mendefinisikan GCG sebagai cara-cara manajemen perusahaan bertanggung jawab pada shareholder-nya. Para pengambil keputusan di perusahaan haruslah dapat dipertanggung jawabkan, dan keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah bagi shareholders lainnya. Karena itu fokus utama di sini terkait dengan proses pengambilan



keputusan



dari



perusahaan



yang



mengandung



nilai-



nilai transparency, responsibility, accountability, dan tentu saja fairness. Sementara itu, ADB (Asian Development Bank) menjelaskan bahwa GCG mengandung empat nilai utama yaitu:



Accountability, Transparency, Predictability dan Participation.



Pengertian



lain



datang dari Finance Committee on Corporate Governance Malaysia. Menurut lembaga tersebut GCG merupakan suatu proses serta struktur yang digunakan untuk mengarahkan sekaligus mengelola bisnis dan urusan perusahaan ke arah peningkatan pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas perusahaan. Adapun tujuan akhirnya adalah menaikkan nilai saham dalam jangka panjang tetapi tetap memperhatikan berbagai kepentingan para stakeholder lainnya. Lantas bagaimana dengan definisi GCG di Indonesia? Di tanah air, secara harfiah, governance kerap diterjemahkan



sebagai



“pengaturan.”



Adapun



dalam



konteks



GCG, governance sering juga disebut “tata pamong”, atau penadbiran – yang terakhir ini, bagi orang awam masih terdengar janggal di telinga. Maklum, istilah itu berasal dari Melayu. Namun tampaknya secara umum di kalangan pebisnis, istilah GCG diartikan tata kelola perusahaan, meskipun masih rancu dengan terminologi manajemen. Masih diperlukan kajian untuk mencari istilah yang tepat dalam bahasan Indonesia yang benar. Dari



definisi



di



atas



dapat



disimpulkan



bahwa Good



Corporate



Governance merupakan: 1. Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan komisaris,Direksi, Pemegang Saham dan Para Stakeholder lainnya. 2. Suatu sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan. 3. Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya.



B. Prinsip-prinsip dalam struktur Good Corporate Governance (GCG) Dalam Undang-undang No 40 Tahun 2007 prinsip-prinsip Good Corporate Governance harus mencerminkan pada hal-hal sebagai berikut : 1. Transparency (Keterbukaan Informasi) Yaitu keterbukaan yang diwajibkan oleh Undang-undang seperti misalnya mengumukan pendirin PT dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia ataupun Surat Kabar. Serta keterbukaan yang dilakukan oleh perusahaan menyangkut masalah keterbukaan informasi ataupun dalam hal penerapan management keterbukaan, informasi kepemilikan Perseroan yang akurat, jelas dan tepat waktu baik kepada share holders maupun stakeholder. Dalam mewujudkan transparansi ini sendiri, perusahaan harus menyediakan informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan tersebut. Setiap perusahaan, diharapkan pula dapat mempublikasikan informasi keuangan serta informasi lainnya yang material dan berdampak signifikan pada kinerja perusahaan secara akurat dan tepat waktu. Selain itu, para investor harus dapat mengakses informasi penting perusahaan secara mudah pada saat diperlukan. Ada banyak manfaat yang bisa dipetik dari penerapan prinsip ini. Salah satunya, stakeholder dapat mengetahui risiko yang mungkin terjadi dalam melakukan transaksi dengan perusahaan. Kemudian, karena adanya informasi kinerja perusahaan yang diungkap secara akurat, tepat waktu, jelas, konsisten, dan dapat diperbandingkan, maka dimungkinkan terjadinya efisiensi pasar. Selanjutnya, jika prinsip transparansi dilaksanakan dengan baik dan tepat, akan dimungkinkan terhindarnya benturan kepentingan (conflict of interest) berbagai pihak dalam manajemen. 2. Accountability (Dapat Dipertanggungjawabkan)



3. Responsibility (Pertanggungjawaban) Adanya keterbukaan informasi dalam bidang financial dalam hal ini ada dua pengendalian yang dilakukan oleh direksi dan komisaris. Direksi menjalankan operasional perusahaan, sedangkan komisaris melakukan pengawasan terhadap jalannya perusahaan oleh Direksi, termasuk pengawasan keuangan. Sehingga sudah sepatutnya dalam suatu perseroan, Komisaris Independent mutlak diperlukan kehadirannya. Sehingga adanya jaminan tersedianya mekanisme, peran dan tanggung jawab jajaran manajemen yang professional atas semua keputusan dan kebijakan yang diambil sehubungan dengan aktivitas operasional perseroan. Pertanggungjawaban



perusahaan



adalah



kesesuaian



(patuh)



di



dalam



pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan yang berlaku di sini termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan industrial, perlindungan lingkungan hidup, kesehatan/ keselamatan kerja, standar penggajian, dan persaingan yang sehat. Beberapa contoh mengenai hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Kebijakan



sebuah



perusahaan



makanan



untuk



mendapat



sertifikat



“HALAL”. Ini merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat. Lewat sertifikat ini, dari sisi konsumen, mereka akan merasa yakin bahwa makanan yang dikonsumsinya itu halal dan tidak merasa dibohongi perusahaan. Dari sisi Pemerintah, perusahaan telah mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku (Peraturan Perlindungan Konsumen). Dari sisi perusahaan, kebijakan tersebut akan menjamin loyalitas konsumen sehingga kelangsungan usaha, pertumbuhan, dan kemampuan mencetak laba lebih terjamin, yang pada akhirnya memberi manfaat maksimal bagi pemegang saham. b. Kebijakan perusahaan mengelola limbah sebelum dibuang ke tempat umum. Ini juga merupakan pertanggungjawaban kepada publik. Dari sisi



masyarakat, kebijakan ini menjamin mereka untuk hidup layak tanpa merasa terancam kesehatannya tercemar. Demikian pula dari sisi Pemerintah, perusahaan memenuhi peraturan perundang- undangan lingkungan hidup. Sebaliknya dari sisi perusahaan, kebijakan tersebut merupakan bentuk jaminan kelangsungan usaha karena akan mendapat dukungan pengamanan dari masyarakat sekitar lingkungan. 4. Fairness (Kewajaran) Secara sederhana kewajaran (fairness) bisa didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku. Fairness juga mencakup adanya kejelasan hak-hak pemodal, sistem hukum dan penegakan peraturan untuk melindungi hak-hak investor – khususnya pemegang saham minoritas – dari berbagai bentuk kecurangan. Bentuk kecurangan ini bisa berupa insider



trading (transaksi



yang



melibatkan



informasi



orang



dalam), fraud (penipuan), dilusi saham (nilai perusahaan berkurang), KKN, atau keputusan-keputusan yang dapat merugikan seperti pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan, penerbitan saham baru, merger, akuisisi, atau pengambil-alihan perusahaan lain. Fairness diharapkan membuat seluruh aset perusahaan dikelola secara baik dan prudent (hati- hati) sehingga muncul perlindungan kepentingan pemegang saham



secara fair (jujur



dan



adil). Fairness juga



diharapkan



memberi



perlindungan kepada perusahaan terhadap praktek korporasi yang merugikan seperti disebutkan di atas. Pendek kata, fairness menjadi jiwa untuk memonitor dan menjamin perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan. Namun seperti halnya sebuah prinsip, fairness memerlukan syarat agar bisa diberlakukan secara efektif. Syarat itu berupa peraturan dan perundangundangan yang jelas, tegas, konsisten dan dapat ditegakkan secara baik serta efektif. Hal ini dinilai penting karena akan menjadi penjamin adanya



perlindungan atas hak-hak pemegang saham manapun, tanpa ada pengecualian. Peraturan perundang-undangan ini harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menghindari penyalahgunaan lembaga peradilan (litigation abuse). Di antara (litigation abuse) ini adalah penyalahgunaan ketidak efisienan lembaga peradilan dalam mengambil keputusan sehingga pihak yang tidak beritikad baik mengulur-ngulur waktu kewajiban yang harus dibayarkannya atau bahkan dapat terbebas dari kewajiban yang harus dibayarkannya. Prinsip GCG yang paling relevan dengan pengembangan sistem dan mekanisme internal perusahaan adalah accountability. Berdasarkan prinsip ini, pertamatama masing-masing komponen perusahaan, seperti komisaris, direksi, internal auditor dituntut untuk mengerti hak, kewajiban, wewenang dan tanggung jawabnya. Hal tersebut penting sehingga masing-masing komponen mampu melaksanakan tugas secara professional. Dengan demikian masing-masing pihak baik Direksi maupun Komisaris perlu mengamankan investasi dan aset perusahaan. Dalam hal ini Direksi harus memiliki sistem dan pengawasan internal, yang meliputi bidang keuangan, operasional, risk



management dan



kepatuhan



(compliance).



Sedangkan



Komisaris menjaga agar tidak terjadi mismanagement dan penyalahgunaan wewenang oleh Direksi dan para pejabat eksekutif perusahaan.



D. Tujuan Penerapan struktur Corporate Governance Penerapan sistim GCG diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) melalui beberapa tujuan berikut: 1. Meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan kesinambungan suatu organisasi yang memberikan kontribusi kepada terciptanya kesejahteraan pemegang saham, pegawai dan stakeholders lainnya dan merupakan solusi yang elegan dalam menghadapi tantangan organisasi kedepan 2. Meningkatkan legitimasi organisasi yang dikelola dengan terbuka, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan



3. Mengakui dan melindungi hak dan kewajiban para share holders dan stakeholders. Dalam menerapkan nilai-nilai Tata Kelola Perusahaan, Perseroan menggunakan pendekatan berupa keyakinan yang kuat akan manfaat dari penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik. Berdasarkan keyakinan yang kuat, maka akan tumbuh semangat yang tinggi untuk menerapkannya sesuai standar internasional. Guna memastikan bahwa Tata Kelola Perusahaan diterapkan secara konsisten di seluruh lini dan unit organisasi, Perseroan menyusun berbagai acuan sebagai pedoman bagi seluruh karyawan. Selain acuan yang disusun sendiri, Perseroan juga mengadopsi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal penerapan prinsip GCG harus disadari bahwa penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik hanya akan efektif dengan adanya asas kepatuhan dalam kegiatan bisnis sehari-hari, terlebih dahulu diterapkan oleh jajaran manajemen dan kemudian diikuti oleh segenap karyawan. Melalui penerapan yang konsisten, tegas dan berkesinambungan dari seluruh pelaku bisnis. Dengan pemberlakukan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas akankah implementasi GCG di Indonesia akan terwujud ? Hal ini tergantung pada penerapan dan kesadaran dari perseroan tersebut akan pentingnya prinsip GCG dalam dunia usaha.



E. Manfaat dan Faktor Penerapan struktur GCG Seberapa jauh perusahaan memperhatikan prinsip-prinsip dasar GCG telah semakin menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan investasi. Terutama sekali hubungan antara praktik corporate governance dengan karakter investasi internasional saat ini. Karakter investasi ini ditandai dengan terbukanya peluang bagi perusahaan mengakses dana melalui ‘pool of investors’ di seluruh dunia. Suatu perusahaan dan atau negara yang ingin menuai manfaat dari pasar modal global, dan jika kita ingin menarik modal jangka panjang yang, maka penerapan GCG secara konsisten dan efektif akan mendukung ke arah itu. Bahkan



jikapun perusahaan tidak bergantung pada sumber daya dan modal asing, penerapan prinsip dan praktik GCG akan dapat meningkatkan keyakinan investor domestik terhadap perusahaan. Di samping hal-hal tersebut di atas, GCG juga dapat: 1. Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung pemegang saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen. Biaya-biaya ini dapat berupa kerugian yang diderita perusahaan sebagai akibat penyalahgunaan wewenang (wrong-doing), ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul untuk mencegah terjadinya hal tersebut. 2. Mengurangi biaya modal (cost of capital), yaitu sebagai dampak dari pengelolaan perusahaan yang baik tadi menyebabkan tingkat bunga atas dana atau sumber daya yang dipinjam oleh perusahaan semakin kecil seiring dengan turunnya tingkat resiko perusahaan. 3. Meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus dapat meningkatkan citra perusahaan tersebut kepada publik luas dalam jangka panjang. 4. Menciptakan dukungan para stakeholder (para pihak yang berkepentingan) dalam lingkungan perusahaan tersebut terhadap keberadaan dan berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan, karena umumnya mereka mendapat jaminan bahwa mereka juga mendapat manfaat maksimal dari segala tindakan dan operasi perusahaan dalam menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan.



2.3 Perilaku dan Budaya Etis dalam Organisasi Apa yang menyusun perilaku etis yang aik belum pernah terdefinisikan dengan jelas. Namun, secara umum perilaku etis merupakan suatu reaksi dari sikap individu yang didalamnya harus menentukantindakan yang benar dan yang salah. Penilaian mengenai yang benar dan yang salah didasarkan padaseperangkat keyakinan individu ataupun kelompok dalam suatu organisasi.



Tindakan manusia (human action) merupakan subyek utama pertimbangan etis. Perilaku atau aktivitasyang dilakukan oleh individu secara sadar dan sengaja memiliki tanggung jawab atas aktivitas yangdipilih. Perilaku dapat menimbulkan isu etika ketika perilaku tersebut bermanfaat atau merugikan pihaklain. Contoh: Pakai dasi



warna



merah?



Mencontek



pekerjaan



orang lain?



Berselingkuh?



Dan



sebagainya,merupakan suatu tindakan yang memerlukan pertimbangan etis dengan didasakan pada keyakinantentang manfaat dan kerugian yang akan diperolehnya. Dalam suatu organisasi, seorang pemimpinharus menciptakan iklim yang diwarnai dengan perilaku-perilaku etis tersebut dan dikembangkanmenjadi suatu budaya dalam organisasinya. Perilaku etis dalam suatu organisasi akan tercermin padatiga hal, yaitu: 1) adanya keadilan (fairness); 2) asas kemanfaatan (profitability); dan 3) tidak melanggarhak orang lain (rights). Masalah budaya organisasi (Organization Culture) akhir-akhir ini telah menjadi suatu tinjauan yang sangat menarik terlebih dalam kondisi kerja yang tidak menentu. Budaya organisasi kembali digali guna menggali kekuatan-kekuatan diri yang telah dimiliki namun cenderung diabaikan. Pada saat lingkungan eksternal dianggap kurang



mampu



mengatasi



masalah



yang



timbul,



maka



orang



kembali



menengokkekuatan yang ada meskipun hal itu diyakini pula tidak dapat menyelesaikan masalah secara keseluruhan. Namun dengan menggali budaya yang ada, maka diharapkan dapat menggali kekuatan yang dimiliki. Budaya dalam suatu organisasi pada hakekatnya mengarah pada perilaku-perilaku yang dianggap tepat,mengikat dan memotivasi setiap individu yang ada di dalamnya dan mengerahkan pada upaya mencari penyelesaian dalam situasi yang ambigu (Turner, 1994). Pengertian ini memberi dasar pemikiran bahwa setiap individu yang terlibat di dalamnya akan bersama-sama berusaha menciptakan kondisi kerja yang ideal agar tercipta suasana yang mendukung bagi upaya pencapaian tujuan yang diharapkan.Ada begitu banyak definisi mengenai budaya yang pada hakekatnya tidak jauh berbeda antara satu ahlidengan ahli lainnya. Budaya oleh Robbins (2003) diartikan sebagai sistem atau pola-pola nilai, simbol,ritual, mitos dan praktek-praktek



yang terus berlanjut; mengarahkan orang untuk berperilaku dan dalamupaya memecahkan masalah. Lebih lanjut Deal dan Kennedy (1982) mengatakan bahwa budaya pada hakekatnya merupakan pola yang terintegrasi dari perilaku manusia yang mencakup pikiran, ucapan, tindakan, dan bergantung pada kapasitas manusia untuk belajar dan mentarns misikannya bagi keberhasilan generasi yang ada. Dari pengertian ini dapat ditangkap bahwa budaya organisasi tidak bisa begitu saja ditangkap dan dilihat oleh orang luar, namun dapat dipahami dan dirasakan melalui perilaku-perilaku anggotanya serta nilai-nilai yang mereka anut. Deal dan Kennedy menambahkan bahwa nilai pada hakekatnya merupakan inti dari suatu budaya. Nilai memberikan suatu sence of common direction bagi semua anggotanya dan petunjuk bagi perilaku sehari-harinya. Semakin kuat nilai-nilai itu diinternalisasi maka semakin kuat pula budaya etis tersebut mempengaruhi kehidupan mereka. Terkadang budaya itu sedemikian kuat dan kohesif, sehingga setiaporang tahu tujuan organisasi dan mereka mau bekerja untuk mencapainya.Budaya pada hakekatnya merupakan pondasi bagi suatu organisasi. Jika pondasi yang dibuat tidak cukup kokoh, maka betapapun bagusnya suatu bangunan, ia tidak akan cukup kokoh untuk menopangnya. Ada sejumlah tahapan bila suatu perusahaan ingin membentuk budaya yang etis. Pertama-tama perusahaanharus melihat ke depan mengenai apa visinya, kemudian sistem nilai apa yang dimiliki, selanjutnya bagaimana nilai-nilai itu diterapkan dalam organisasi itu sendiri, dan akhirnya melihat bagaimana sumber dayanya. Dalam hal ini Susanto (1997) memiliki pendapat bahwa budaya



organisasi dapatdihidupkan



pertama-tama



melalui



seleksi,



yaitu



memperoleh anggota yang setidak-tidaknya memiliki nilai-nilai yang sama dengan budaya organisasi yang ada; manajemen atas, dalam hal ini manajemen atas mempunyai peran yang sangat besar dalam menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui tindakan-tindakannya; sosialisasi, budaya yang ada hendaknya terus-menerus disosialisasi baik anggota baru maupun anggota lama, prosesnya dapat berupa orientasi dan pelatihan melalui cerita-cerita tentang pendiri, ritual-rital yang ada, simbol-simbol dan sebagainya.



2.4 Pengertian Code of Conduct Pengertian Code of Conduct (Pedoman Perilaku) adalah merupakan kode atau aturan atau tata tertib didalam perusahaan. Pengertian Code of Conduct adalah pedoman internal perusahaan yang berisikan sistem Nilai, Etika Bisnis, Komitmen serta penegakan terhadap peraturan-peraturan perusahaan bagi individu dalam menjalankan bisnis dan aktivitas lainnya serta berinteraksi dengan stakeholders. Pengelolaan perusahaan tidak dapat dilepaskan dari aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, baik aturan hukum maupun aturan moral atau etika. Pembentukan citra yang baik terkait erat dengan perilaku perusahaan dalam berinteraksi atau berhubungan dengan para stakeholder. Perilaku perusahaan secara nyata tercermin pada perilaku pelaku bisnisnya. Dalam mengatur perilaku inilah, perusahaan perlu menyatakan secara tertulis nilai-nilai etika yang menjadi kebijakan dan standar perilaku yang diharapkan atau bahkan diwajibkan bagi setiap pelaku bisnisnya. Pernyataan dan pengkomunukasian nilai-nilai tersebut dituangkan dalam code of conduct. Dengan dilaksanakannya komitmen diharapkan akan menciptakan nilai tambah tidak saja bagi perusahaan, tetapi juga bagi pelaku bisnis sehingga kepentingan pelaku bisnis dapat diselaraskan dengan tujuan perusahaan. Untuk mendukung terciptanya tujuan perusahaan maka pelaku bisnis akan mengimplementasikan komitmen tersebut dalam pengelolaan perusahaan sehari- hari, yaitu : Pelaku bisnis akan bekerja secara profesional Professional dalam hal ini, artinya pelaku bisnis harus dapat memahami, menghayati dan melaksanakan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab masing-masing dengan memanfaatkan keahlian maupun potensi diri pribadi untuk mencapai tujuan perusahaan secara efektif, efesien, dan optimal. Pelaku bisnis bekerja kreatif dan inovatif Pelaku bisnis juga bertekad untuk bekerja secara kreatif dan inovatif dalam menjalankan tugas masing-masing. Kreatifitas dan inovasi dapat dimiliki seseorang



dengan cara belajar sendiri dari buku, dan pengalaman sendiri atas praktek bisnis yang sehat serta belajar dari pengetahuan/pengalaman orang lain. Pelaku bisnis mendukung penerapan Good Corporate Governance Penerapan Good Corporate Governance (GCG) akan mendorong perusahaan untuk menghasilkan kinerja yang unggul dan nilai tambah ekonomi pemegang saham dan para stakeholder, termasuk pelaku bisinis. Penerapan prinsip-prinsip GCG bukan hanya di Kantor Direksi tetapi meliputi seluruh jajaran perusahaan baik pada Bagian, Kantor Group Unit Usaha. Prinsipprinsip GCG akan tercermin dalam imolementasi Code of Conduct (Pedoman Perilaku). Karena penerapan GCG akan berdampak kepada peningkatan nilai termasuk bagi pelaku bisnis, maka seluruh pelaku bisnis perusahaan sepakat dan bertekad mendukung GCG.



IMPEMENTASI CORPORATE CODE OF CONDUCT Implementasi Good Corporate Governance (GCG) pada perusahaan merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat ditawar lagi. Setelah perjalanan panjang implementasi GCG mulai dari pelaksanaan assessment sampai dengan pembuatan kebijakan korporat, maka tiba saatnya bagi perusahaan untuk mencapai tahap selanjutnya dalam pembuatan Code of Conduct (CoC). Bagi perusahaan yang berkomitmen untuk mengimplementasikan GCG dalam setiap lingkup operasionalnya, CoC menjadi poin krusial. Selain membantu menunjukkan komitmen perusahaan untuk mengimplementasikan GCG, CoC juga membantu percepatan implementasi internal karena memberikan kontrol yang semakin ketat dari pihak eksternal terhadap perusahaan. Pihak eksternal diibaratkan memiliki yardstick untuk menilai pencapaian implementasi good corporate governance serta membantu pihak eksternal dalam memberikan valuasi yang lebih baik kepada perusahaan. Hal ini nantinya akan sejalan dengan cita-cita perusahaan untuk mencapai “well governed company”. CoC yang berisikan nilai-nilai yang dianut , visi, misi, tujuan,



dan strategi perusahaan nantinya akan menjadi living document yang harus terus menerus dikembangkan dalam tahapan pelaksanaannya. Dengan adanya CoC diharapkan seluruh insan perusahaan dan pegawai pada khususnya Senantiasa berlaku jujur dan sadar akan tanggung jawabnya dalam mengemban tugasnya masing-masing sehingga perusahaan dapat terhindar dari praktek-praktek yang dapat diartikan sebagaipelanggaran hukum dan penyimpangan dari norma-norma yang dituntut oleh dan berlaku dimasyarakat.



BAB III PENUTUP KESIMPULAN Etika pemerintahan adalah seperangkat nilai moral dan ajaran tentang berperilaku baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia. Dalam Ethical Governance (Etika Pemerintahan) terdapat juga masalah kesusilaan dan kesopanan ini dalam aparat, aparatur, struktur dan lembaganya. Etika pemerintahan tidak terlepas dari filsafat pemerintahan. Perusahaan-perusahaan memiliki budaya etis dimana berisi nilai-nilai etika dan moral dan dijadikan acuan dalam berperilaku dalam perusahaan tersebut. Budaya etis diterapkan melalui 3 metode yaitu penetapan credo perusahaan, penetapan program etika, dan penetapan kode etik perusahaan. Struktur etika dalam perusahaan dikembangkan melalui penerapan GCG (Good Corporate Governance). GCG ada karena banyaknya kasus-kasus seperti Enron, Warrens, yang membutuhkan prinsip-prinsip etika khususnya dalam pengelolaan bisnis. Adapun prinsip-prinsip GCG adalah transparansi, akuntabel, kemandirian, dapat dipertanggungjawabkan, dan kewajaran. Pengelolaan perusahaan tidak dapat dilepaskan dari aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, baik aturan hukum maupun aturan moral atau



etika. Code of Conduct merupakan pedoman bagi seluruh pelaku bisnis dalam bersikap dan berperilaku untuk melaksanakan tugas sehari-hari dalam berinteraksi dengan rekan sekerja, mitra usaha dan pihak-pihak lainnya yang berkepentingan Kode perilaku korporasi dievaluasi dengan diawali oleh evaluasi tahap awal (Diagnostic Assessment) dan penyusunan pedoman-pedoman. Pedoman Good Corporate Governance disusun dengan bimbingan dari Tim BPKP dan telah diresmikan pada tanggal 30 Mei 2005.



DAFTAR PUSTAKA https://mohammadfadlyassagaf.wordpress.com/2016/12/04/ethical-governance/ https://diaryintan.wordpress.com/2010/11/15/good-corporate-governance-gcg-2/ http://datakata.wordpress.com/2014/11/12/ethical-governance/ http//wahyudanu93.blogspot.co.id/2014/10/nama-wahyu-danu-s.html http://www.academia.edu/9195264/Perilaku_dan_Budaya_Etis_dalam https://www.psychologymania.com/2013/05/pengertian-code-of-conduct.html