Makalah Filsafat Ilmu Aksiologi Mumud [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH FILSAFAT ILMU Aksiologi : Nilai Kegunaan Ilmu Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu



Dosen Pengajar : IWAN PERMANA, S.Sy., ME.Sy.



Disusun Oleh : MUMUD SALIMUDIN - 18.05.0178



PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSIS BANDUNG 2020



KATA PENGANTAR



Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah SWT. kita memuji, meminta pertolongan, meminta ampunan dan bertaubat kepada-Nya. Kita berlindung kepada Allah SWT. dari kejahatan diri dan keburukan perbuatan kita. Siapapun yang diberi petunjuk oleh Allah SWT., maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan siapa yang disesatkan-Nya maka tidak ada yang bisa memberi petunjuk kepadanya. Kami bersaksi bahwa tiada Ilah yang hak untuk disembah selain Allah SWT. dan tiada sekutu baginya. Dan Kami bersaksi bahwa Muhammad SAW. adalah hamba dan Rasul-Nya. Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah firman Allah SWT. dan sebaikbaik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad SAW. Seburuk-buruk perkara adalah yang ditambah-tambah dan setiap yang ditambah-tambah adalah bid’ah. Setiap yang bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan masuk neraka (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah). Kami sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Filsafat Ilmu – Aksiologi : Nilai Kegunaan Ilmu” tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Filsafat Ilmu yang diasuh oleh Bapak Iwan Permana, S.Sy., ME.Sy. Selain itu, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini dengan baik. Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari berbagai pihak demi penyempurnaan makalah ini. Harapan kami semoga makalah ini dapat i



bermanfaat bagi para pembaca, terutama menambah wawasan mengenai filsafat ilmu pada umumnya dan Aksiologi atau nilai kegunaan ilmu pada khususnya. Demikian, semoga Allah SWT. memberikan kita kekuatan dan keikhlasan untuk berjuang demi kemajuan umat di segala bidang kehidupan. Aamiin.



Bandung, April 2020 MUMUD SALIMUDIN



ii



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ............................................................................... i DAFTAR ISI ........................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1 A. Latar Belakang ................................................................................. 1 B.



Rumusan Masalah............................................................................ 2



C. Tujuan Penulisan ............................................................................. 2 BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 3 A. Makna Aksiologi .............................................................................. 3 B.



Konsep Nilai Dalam Aksiologi ......................................................... 5



C. Landasan Aksiologi .......................................................................... 8 D. Komponen Aksiologi...................................................................... 13 E.



Kegunaan Aksiologi ....................................................................... 18



BAB III PENUTUP .................................................................................. 24 A. Kesimpulan .................................................................................... 24 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 25



iii



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Pembeda manusia dengan makhluk lainnya adalah bahwa manusia memiliki



akal.



Dengan



akal



itu



kemudian



manusia



memiliki



kecenderungan untuk berpikir. Dan kekshasan manusia berada pada adanya hasrat untuk berpikir, begitu setidaknya kata Aristoteles. Berpikir tentang kenyataan semesta, sosial dan kealaman, yang kompleks untuk dapat terlepas dari belenggu kebodohan. Itu pula yang membangun eksistensi manusia sebagai khalifah Allah di bumi. Cagito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Berpikir inilah yang merupakan poin inti dari filsafat. Filsafat dapat didefinisikan sebagai refleksi rasional, kritis dan radikal mengenai hal-hal mendasar dalam kehidupan. Refleksi rasional merupakan perenungan ilmiah yang bersandar pada rasio atau akal dan penalaran. Filsafat merupakan seni bertanya, mempertanyakan apapun tanpa tabu, mempertanyakan tentang apa yang ada maupun yang mungkin ada, sehingga filsafat kerap juga disebut berpikir spekulatif.pertanyaan yang diajukan filsafat memiliki ciri khas yang mendalam. Kedalaman pertanyaan inilah yang menjadi distingsi antara filsafat dengan ilmu pengetahuan.



1



Ilmu merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis, dengan jelas merumuskan dan menentukan apa yang hendak dikaji, bagaimana cara memperolehnya dan bagaimana pula nilai kegunaannya. Tiga elemen ini merupakan hal yang mendasari bangunan ilmu pengetahuan. Apa yang hendak dikaji disebut dengan istilah ontologi, bagaimana cara memperolehnya disebut dengan epistemologi dan bagaimana nilai gunanya disebut aksiologi. Oleh karenanya, pengetahuan ilmiah bertujuan untuk menemukan kerangka konseptual berbagai aspek yang dapat mempermudah manusia menyelesaikan masalah kehidupan.



B. Rumusan Masalah 1. Apa Makna Aksiologi? 2. Bagaimana Konsep Nilai Dalam Aksiologi? 3. Apa Landasan Aksiologi? 4. Apa Komponen Aksiologi? 5. Apa Kegunaan Aksiologi?



C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui makna aksiologi. 2. Untuk mengetahui konsep nilai dalam aksiologi. 3. Untuk mengetahui landasan aksiologi. 4. Untuk mengetahui komponen aksiologi. 5. Untuk mengetahui kegunaan aksiologi.



2



BAB II PEMBAHASAN



A. Makna Aksiologi Menurut Kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah (1) kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, (2) kajian tentang nilai khususnya etika. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai. Sedangkan menurut Wikipedia, Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu; axios yang berarti nilai dan logos yang berarti ilmu. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat, nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial dan agama. Sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan.



3



Beberapa definisi tentang aksiologi menurut para ahli : 1. Menurut Suriasumantri, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. 2. Menurut Wibisono, aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu. 3. Scheleer mengontraskan aksiologi dengan praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang tindakan tetapi lebih sering dikontraskan dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara moral. 4. Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek. 5. Kattsoff mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika. Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif



4



dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik material. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua non yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu. Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai.



B. Konsep Nilai Dalam Aksiologi Dalam pembahasan aksiologi, nilai menjadi fokus utama. Nilai dipahami sebagai pandangan, cita-cita, adat, kebiasaan, dan lain-lain yang menimbulkan tanggapan emosional pada seseorang atau masyarakat tertentu. Dalam filsafat, nilai akan berkaitan dengan logika, etika, estetika. Logika akan menjawab tentang persoalan nilai kebenaran sehingga dengan logika akan diperoleh sebuah keruntutan. Etika akan berbicara mengenai nilai kebenaran, yaitu antara yang pantas dan tidak pantas, antara yang baik dan tidak baik. Adapun estetika akan mengupas tentang nilai keindahan atau kejelekan. Estetika biasanya erat berkaitan dengan karya seni. Sebuah nilai bisa juga bersifat subjektif dan objektif akan sangat bergantung pada perasaan dan intelektualitas yang hasilnya akan mengarah pada perasaan suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Nilai akan subjektif bila subjek sangat berperan dalam segala hal.



5



Sementara nilai objektif, jika ia tidak bergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Seorang ilmuwan diharapkan tidak mempunyai kecenderungan memiliki nilai subjektif, tetapi lebih pada nilai ‘objektif’ sebab nilai ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sosial. Nilai ini tidak semata-mata bergantung pada pendapat individu, tetapi lebih pada objektivitas fakta. Peradaban manusia berkembang sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi. Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri peradaban manusia berhutang budi pada sains dan teknologi. Berkat sains dan teknologi pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah. Perkembangan ini baik di bidang kesehatan, transportasi, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi telah mempermudah kehidupan manusia. Sejak awal ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Selain itu, ilmu juga sering dikaitkan dengan faktor kemanusiaan, di mana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun sebaliknya manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan teknologi. Menghadapi kenyataan ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai mempertanyakan hal yang bersifat seharusnya, untuk apa sebenarnya ilmu itu harus digunakan? Di mana batasnya? Ke arah mana ilmu akan berkembang? Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Perkembangan dan kemajuan ilmu



6



pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, terbebas dari kutuk yang membawa malapetaka dan kesengsaraan? Memang mempelajari teknologi seperti bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan umat manusia, tetapi dipihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia pada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka. Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini, para ilmuwan terbagi kedalam golongan pendapat yaitu golongan pertama yang menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologi. Sebaliknya, golongan kedua bahwa netralisasi terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisis keilmuwan sedangkan dalam penggunaanya ilmu berlandaskan pada moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang telah dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuwan.



7



Ilmu telah berkembang pesat dan makin eksetoris sehingga ilmuwan telah



mengetahui



apa



yang



mungkin



terjadi



apabila



adanya



penyalahgunaan. Ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial. Berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Dengan ilmu seseorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun S. Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. Lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan bergantung pada pemilik dalam menggunakannya.



C. Landasan Aksiologi Dalam aksiologis dibicarakan tentang kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia dan juga nilai-nilai yang harus dilembagakan pada setiap dominannya. Aksiologi pada dasarnya bersifat ide dan karena itu ia abstrak dan tidak dapat disentuh oleh panca indra. Yang dapat ditangkap dari aspek aksiologis adalah materi atau tingkah laku yang mengandung nilai. Karena itu nilai bukan soal benar atau salah karena ia



8



tidak dapat diuji. Ukurannya sangat subjektif dan objek, kajiannya adalah soal apakah suatu nilai dekehendaki atau tidak. Berbeda dengan fakta yang juga abstrak namun dapat diuji dan argumentasi rasional dapat memaksa orang untuk menerima kebenarannya. Pengukuran benar dan salah dari suatu fakta dapat dilakukan secara objektif dan empiris. Landasan aksiologis ilmu berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat manusia. Persoalan utama yang mengedepan di sini adalah: “Apa manfaat (untuk apa) ilmu bagi manusia?”. Dalam konteks ini, dapat ditambahkan pertanyaan: “Sejauh mana pengetahuan ilmiah dapat digunakan?”. Dalam hal ini, persoalannya bukan lagi kebenaran, melainkan kebaikan. Secara epistemologis, persoalan ini berada di luar batas pengetahuan sains. Menurut Bertens, pertanyaan ini menyangkut etika: “Apakah yang bisa dilakukan berkat perkembangan ilmu pengetahuan, pada kenyataannya boleh dipraktikkan juga?”. Pertanyaan aksiologis ini bukan merupakan pertanyaan yang dijawab oleh ilmu itu sendiri, melainkan harus dijawab oleh manusia di balik ilmu itu. Jawabannya adalah bahwa pengetahuan ilmiah harus dibatasi penggunaannya, yakni sejauh ditentukan oleh kesadaran moral manusia. Namun, jadi, sejauh mana hak kebebasan untuk meneliti? Hal ini merupakan permasalahan yang pelik. Pedoman untuk menguji nilai dipengaruhi oleh psikologi maupun teori logika. Para hedonis menemukan pedoman mengenai jumlah atau besarnya kenikmatan yang dirasakan seseorang atau masyarakat sebagai barometer dari sistem nilai. Kaum Idealis menjadikan sistem objektif



9



mengenai norma-norma rasional atau yang paling ideal sebagai kriteria. Dari berbagai corak aliran ini maka hubungan antara nilai dan fakta dapat diselidiki melalui tiga hal. Pertama, aliran naturalis potsitivisme yang menyatakan tidak ada kaitan antara pengalaman manusia dengan sistem nilai. Kedua, objektifisme logis yang menyatakan bahwa nilai merupakan esensi logis dan substantif yang tidak ada kaitannya dengan status atau tindakan eksistensi dalam realitas. Ketiga, aliran objektif metafisis yang menyatakan nilai adalah norma ideal yang mengandung unsur integral objektif dan aktif dari kenyataan metafisik. Dengan demikian dalam filsafat aksiologis pembicaraan utama terkait erat dengan kaitan ilmu dan moral. Hal ini telah lama menjadi bahan pembahasan para pemikir antara lain Merton, Popper, Russel, dan pemikira lainnya. Pertanyaan umum yang sering muncul berkenaan dengan hal tersebut adalah : apakah itu bebas dari sistem nilai ? Ataukah sebaliknya, apakah itu terikat pada sistem nilai?. Ternyata pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban yang sama dari para ilmuwan. Ada dua kelompok ilmuwan yang masing-masing punya pendirian terhadap masalah tersebut. Kelompok pertama menghendai ilmu harus bersifat netral terhadap sistem nilai. Menurut mereka tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan ilmiah. Ilmu ini selanjutnya



dipergunakan



untuk



apa,



terserah



pada



yang



menggunakannya, ilmuwan tidak ikut campur. Kelompok kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada



10



metafisik



keilmuwan,



sedangkan



dalam



penggunaannya,



bahkan



pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuwan harus berlandaskan azas-azas moral. Hubungan antara ilmu dengan moral oleh Jujun S. dikaji secara hatihati dengan mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Pandangan Jujun S mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut: 1. Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan moral maka pembahasan masalah ini harus didekati dari segisegi yang lebih terperinci yaitu segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi. 2. Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor sejarah, baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu dalam lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan. 3. Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek penelaahannya (objek ontologis/objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah moral yang berazaskan tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, dan tidak mencampuri masalah kehidupan. 4. Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metoda keilmuwan yang berporoskan proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah moral yang berazaskan menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan kekuatan argumentasi an sich.



11



5. Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan keseimbangan/kelestarian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal universal. Ternyata keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya moral tidak cukup bila hanya dibahas dari tinjauan aksiologi semata. Tinjauan ontologis dan epistemologi diperlukan juga karena azas moral juga mewarnai perilaku ilmuwan dalam pemilihan objek telaah ilmu maupun dalam menemukan kebenaran ilmiah. Dari awal perkembangan ilmu selalu dikaitkan dengan masalah moral. Copernicus (1473-1543) yang menyatakan bumi berputar mengelilingi matahari, yang kemudian diperkuat oleh Galileo (1564- 1642) yang menyatakan bumi bukan merupakan pusat tata surya yang akhirnya harus berakhir di pengadilan inkuisisi. Kondisi ini selama 2 abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Moral reasioning adalah proses dengan mana tingkah laku manusia, institusi atau kebijakan dinilai apakah sesuai atau menyalahi standar moral. Kriterianya: Logis, bukti nyata yang digunakan untuk mendukung penilaian haruslah tepat, konsisten dengan lainnya. Moralitas sebagai persoalan penting dalam aksiologi sering juga dipahami sebagai etika. Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular)



12



yang berarti a system of moral principles or rules of behavior. atau suatu sistem, prinsip moral, aturan atau cara berperilaku. Akan tetapi, terkadang ethics (dengan tambahan huruf s) dapat berarti singular. Jika ini yang dimaksud maka ethics berarti the branch of philosophy that deals with moral principles, suatu cabang filsafat yang memberikan batasan prinsip-prinsip moral. Jika ethics dengan maksud plural (jamak) berarti moral principles that govern or influence a person’s behavior. prinsip-prinsip moral yang dipengaruhi oleh perilaku pribadi. Dalam bahasa Yunani Kuno, etika berarti ethos, yang apabila dalam bentuk tunggal mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, adat, akhlak, watak perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka “etika” berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh Aristoteles (384-322 SM.) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika secara lebih detail merupakan ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas.



D. Komponen Aksiologi 1. Etika Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Di dalam etika, nilai



13



kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan sebagai sang pencipta. Dalam perkembangan sejarah etika, ada 4 teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan pragmatisme. Hedonisme adalah suatu pandangan yang menganggap bahwa sesuatu yang baik jika mengandung kenikmatan bagi manusia. Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Adapun tujuan dari eudemonisme itu sendiri adalah kebahagiaan. Selanjutnya, utilitarisme yang



berpendapat



bahwa



tujuan



hukum



adalah



memajukan



kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintahperintah Ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya, pragmatisme adalah suatu pemikiran yang menganggap bahwa sesuatu yang baik adalah yang berguna secara praktis dalam kehidupan. Ukuran kebenaran suatu teori adalah kegunaan praktis teori itu, bukan dilihat secara teoretis. Etika berada dalam setiap faktor kehidupan manusia, meski tidak selalu dinyatakan secara tertulis, dalam berkomunikasi pun ada etikanya. Namun, mengkaji masalah etika komunikasi termasuk kajian yang masih teramat luas. Hal ini disebabkan karena komunikasi terdiri bebagai konteks komunikasi yang menjadi bagiannya, misalnya, komunikasi antar personal, komunikasi antar budaya, periklanan,



14



humas, jurnalistik, pers, dan sebagainya. Masing-masing mempunyai etika masing-masing yang satu dengan lainnya tidak akan sama karena objek kajiannya berbeda. Andersen mengatakan bahwa etika adalah sebuah situasi yang mempelajari nilai dan landasan bagi penerapannya. Hal ini pantas atau tidak pantas, baik atau buruk. Sebuah etika tidak akan lagi mempersoalkan kondisi manusia tetapi sudah pada bagaimana seharusnya manusia bertidak namun kemudian kita tidak dapat mengatakan bahwa sebuah etika akan menyelesaikan persoalan praktis. Sebuah etika tidak mengatakan pada seseorang apa yang harus dilakukannya pada situasi tertentu. Teori etika akan membantu menusia untuk memutuskan apa yang harus ia lakukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa fungsi praktis etika adalah memberikan pertimbangan dalam perilaku. Tidak akan dapat dikatakan bahwa etika adalah sesuatu yang benar dan tidak benar, tetapi etika lebih memandang pada pertimbangan yang relevan untuk suatu alasan berkaitan dengan tindakan yang akan diambil oleh seseorang. Bukan berarti bila seseorang berperilaku tidak pantas itu adalah salah dan berperilaku pantas itu benar, tetapi sejauh mana alasan dari berperilaku tersebut. Sebagai contoh, dalam ilmu komunikasi, perkataan etis dan tidak etis sering sekali kita jumpai dalam peristiwa sehari-hari. Pengungkapan ini akan sangat dekat dengan makna pantas atau tidak pantas sehingga ukurannya adalah norma.



15



Namun demikian, suatu etika bersifat relatif atau tidak mutlak, yang berarti bahwa dalam waktu yang berbeda dan tempat yang berbeda untuk satu etika dengan subjek sama, tidak akan mungkin sama persis. Kita contohkan ketika kita melihat budaya kumpul kebo pada budaya barat, dengan budaya timur. Di budaya barat, kumpul kebo dipandang sesuatu yang etis dan wajar-wajar saja, tetapi dalam budaya timur seperti Indonesia, kumpul kebo dianggap sebagai sesuatu yang tidak etis atau belum etis. Demikian juga dengan ungkapan “dancuk” bagi masyarakat Madura adalah suatu ungkapan etis, tetapi bagi masyarakat di luar itu belum tentu etis.



2. Estetika Estetika akan dikaitkan dengan seni karena estetika lahir dari penilaian manusia tentang keindahan. Kattsof mengatakan bahwa estetika akan menyangkut perasaan, dan perasaan ini adalah perasaan indah. Nilai keindahan tidak semata-mata pada bentuk atau kualitas objeknya, tetapi juga isi atau makna yang dikandungnya. Dengan demikian sebuah estetika akan ditemukan dalam sisi lahirnya maupun batinnya, bukan hanya sepihak. Sebagai ilustrasi bahwa wanita cantik belum tentu indah, karena cantik disini belum tentu menimbulkan kesenangan pada perasaan orang lain. Ilustrasi lain, misalnya kita bangun pagi, matahari memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita merasakan kenikmatan. Meskipun sesungguhnya



16



pagi itu sendiri tidak indah tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat. Dalam hal ini orang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu, artinya memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita serap, padahal sebenarnya tetap merupakan perasaan. Contoh yang lain dalam hal komunikasi. Komunikasi juga dapat dilihat dari sisi estetikanya. Warner J Saverin dan James Tankard Jr mengatakan bahwa komunikasi massa adalah sebagian keterampilan, sebagai seni, dan sebagai ilmu. Komunikasi massa adalah keterampilan yang meliputi teknik-teknik tertentu yang secara fundamental dapat dipelajari, seperti memfokuskan kamera televisi, mengoperasikan perekam pita, dan mencatat ketika wawancara. Komunikasi massa adalah seni dalam artian tantangan-tantangan kreatif seperti menulis naskah untuk acara dokumenter televisi, mengembangkan tata letak yang menyenangkan dan memikat untuk iklan majalah, serta menampilkan teras berita yang menarik dan mengena untuk kisah berita. Ia adalah ilmu yang mencakup asas-asas yang dapat diuji dalam membuat karya komunikasi yang dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan khusus yang lebih efektif.



17



E. Kegunaan Aksiologi 1. Ilmu, nilai, dan tanggung jawab ilmuwan Dalam tahap awal perkembangannya, ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan tertentu. Ilmu tidak saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia, atau menguasai manusia. Tidak jarang manusia diperbudak oleh ilmu. Dengan ilmu, kadang-kadang manusia mengorbankan nilai-nilai kemanusiannya.



Akhirnya



hanya



karena



ilmu



terjadi



gejala



dehumanisasi, sehingga tidak salah jika banyak orang mengatakan bahwa ilmu sudah tidak berpihak kepada manusia, tetapi ilmu sudah mempunyai tujuannya sendiri. Dalam zaman globalisasi saat ini, di mana proses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi menunjukkan perkembangan sedikit demi sedikit, setapak demi setapak, melainkan melalui lompatan-lompatan atau terobosan-terobosan yang besar. Pengaruh menyeluruh yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini antara lain dapat digambarkan dengan terjadinya revolusi industri pada akhir abad 19, yang bermula di Inggris. Menyaksikan kenyataan yang menyambung revolusi industri tersebut maka sejumlah filsuf tentang kemanusiaan jauh-jauh hari telah memperingatkan bahwa kita harus memperhitungkan akibat-akibat yang akan terbawa oleh diterapkannya teknologi mutakhir terhadap kehidupan bersama manusia, tanpa mengingkari betapa kemajuan



18



teknologi telah meningkatkan kemampuan manusia untuk mengelola alam lingkungannya. Filsuf-filsuf ini juga menyaksikan gejala-gejala yang perlu mendapat perhatian kemanusiaan sehubungan dengan akibat sampingan dari penerapan teknologi ini. Dengan demikian sebuah ilmu bukan



mustahil



justru



menjadi



bumerang bagi



kemanusiaan itu sendiri, dan terlempar jauh dari hakikat ilmu yang sebenarnya. Menghadapi kenyataan pahit ini, Ilmuwan yang pada hakikatnya



mempelajari



alam



sebagaimana



adanya,



mulai



mempertanyakan tentang bagaimana seharusnya memanfaatkan ilmu. Banyak orang mulai bertanya untuk apa ilmu itu harus dipergunakan dan ke arah mana ilmu harus diarahkan. Tentu untuk menjawab pertanyaan ini orang harus melihat lagi tentang hakikat moral. Inilah pertanyaan tentang aksiologi yang dipecahkan demi kemaslahatan umat. Dalam filsafat, ilmu juga dikaitkan dengan nilai. Pertanyaan yang banyak dibahas antara lain bahwa apakah selalu ilmu itu bebas nilai atau tidak bebas nilai. Tentu tidak ada orang yang meragukannya kalau ilmu itu sendiri bernilai. Nilai ilmu terletak pada manfaat yang diberikannya sehingga menusia dapat mencapai kemudahan dalam hidup. Ilmu dikatakan bernilai karena menghasilkan pengetahuan yang dapat dipercaya kebenarannya yang objektif, yang terkaji secara kritik. Dengan demikian ilmu sebagai sebuah nilai adalah sesuatu yang bernilai dan masih bebas nilai. Akan tetapi setelah ilmu digunakan oleh



19



ilmuwan, ia menjadi tidak bebas nilai, hal ini disebabkan sejauh mana moral yang ada pada ilmuwan untuk bertanggung jawab terhadap ilmu yang dimilikinya akan menyebabkan ilmu itu menjadi baik atau menjadi buruk. Namun, sebagai seorang ilmuwan, tidak akan dapat lepas dari hakikat ilmu. Banyak peran yang menjadi tanggung jawab sosial terhadap ilmu yang dimiliki. Sikap sosial ilmuwan harus selalu konsisten dengan proses penelaahan ilmu yang dilakukan. Beberapa sikap sosial yang mungkin dilakukan ilmuwan sebagai cermin tanggung jawab sosial antara lain: a. Menjelaskan semua permasalahan yang tidak diketahui masyarakat dengan bahasa yang mudah dicerna. b. Memengaruhi opini dalam rangka memunculkan masalah yang penting untuk segera dipecahkan. c. Meramalkan apa yang terjadi dengan sebuah fenomena. d. Menemukan alternatif dari objek permasalahan yang menjadi pusat perhatian. e. Di bidang etika, ilmuwan tidak hanya memberikan informasi tetapi juga memberikan contoh. Sikap etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan merupakan isu yang dianggap cukup penting dalam filsafat ilmu, terutama sekali jika kita kaitkan dengan pertanyaan apakah ilmu bebas nilai atau tidak. Dalam perkembangannya, ada 2 pihak yang saling bertentangan dalam



20



membahas ini, antara paham positivisme yang menganggap bahwa ilmu harus bebas nilai. Di pihak lain ada juga yang beranggapan bahwa ilmu tidak mungkin bebas nilai karena dalam penerapannya akan sangat dipengaruhi oleh kepentingan sosial. Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang masih banyak diperdebatkan oleh ilmuwan ketika memandang nilai dari sebuah ilmu. Menurut Saifudin, dikatakan bahwa klaim ilmu bebas nilai berdampak bahwa kegiatan ilmiah berjalan atas dasar hakikat ilmu itu sendiri. Secara teoretis ilmu pengetahuan dibiarkan menjelaskan rahasia alam dan menafsirkan realitas objek dengan penekanan padanya. Dalam hal ini ilmu selalu terbuka bagi usaha-usaha penguatan, pendalaman, bahkan pembatalan. Namun di sisi lain, netralis ilmu pengetahuan semakin tidak dapat dipertahankan ketika masuk dalam tataran praktis aksiologis. Ilmu pengetahuan dalam hal ini benar-benar sarat nilai. Ilmu pengetahuan sudah harus mempertimbangkan dimensi etika yang melingkupinya. Kepentingan yang melekat kepada pengguna ilmu menyebabkan ilmu tidak bisa bebas dari tataran teoretis.



2. Kegunaan aksiologi terhadap tujuan ilmu pengetahuan Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Dengan ilmu sesorang dapat



21



mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun. S. Suriasumatri bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan”. Apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya. Untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu: a. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan untuk memahami dan mereaksikan dunia pemikiran. Jika seseorang hendak ikut membentu dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan, sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya.Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu. b. Filsafat sebagai pandangan hidup. Dalam hal ini, semua teori ajarannya



diterima



kebenarannya



dan



dilaksanakan



dalam



kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup digunakan sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan.



22



c. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah. Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batu di depan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung maka dapat diasumsikan bahwa batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas. Penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.



23



BAB III PENUTUP



A. Kesimpulan Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik material. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua non yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu. Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai. Dalam filsafat, nilai akan berkaitan dengan logika, etika, estetika. Logika akan menjawab tentang persoalan nilai kebenaran sehingga dengan logika akan diperoleh sebuah keruntutan. Etika akan berbicara mengenai nilai kebenaran, yaitu antara yang pantas dan tidak pantas, antara yang baik dan tidak baik. Adapun estetika akan mengupas tentang nilai keindahan atau kejelekan. Estetika biasanya erat berkaitan dengan karya seni.



24



DAFTAR PUSTAKA



Abadi, T. W. (2016, Maret). Aksiologi: Antara Etika, Moral dan Estetika. Kanal (Jurnal Ilmu Komunikasi), 4(2), 187-204. Retrieved from http://ojs.umsida.ac.id/index.php/kanal Azwar, W., & Muliono. (2020). Filsafat Ilmu: Cara Mudah Memahami Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenada Media. Bahrum. (2013). Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. Sulesana, 35-45. Bakhtiar, A. (2012). Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Bertens, K. (2013). Etika (Revisi ed.). Yogyakarta: Kanisius. Hakim, A. A., & Sabeni, B. A. (2018). Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia. id.wikipedia.org. (2020, April 27). Aksiologi. Retrieved April 27, 2020, from Wikipedia



Ensiklopedia



Bebas:



https://id.wikipedia.org/wiki/Aksiologi kbbi.web.id. (2020, April 27). aksiologi. Retrieved April 27, 2020, from Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus Versi Online/Daring: https://kbbi.web.id/aksiologi Sanprayogi, M., & Chaer, M. T. (2017, Juli). Aksiologi Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Keilmuan. Al Murabbi, 4(1), 105-120. Suaedi. (2016). Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press. Surajiyo. (2014). Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Bandung: Bumi Aksara.



25



Suriasumantri, J. S. (2006). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Yayasan Obor. Wahana, P. (2016). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Diamond. Wiramihardja, S. A. (2018). Pengantar Filsafat (Revisi 2 ed.). Bandung: Refika Aditama.



26