Makalah Fiqih Munakahat Dan Mawaris Kelompok 7 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH FIQIH MUNAKAHAT DAN MAWARIS RUKUN NIKAH Dosen Pengampu: Dr.H. Suhendra, MM. Makalah Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Fiqih Munakahat dan Mawaris



Disusun Oleh: Dewi Nurkamilah Hanifatulazimah Jehan Jibrani Arrauf



UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR FAKULTAS AGAMA ISLAM PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Jl. K.H. Sholeh Iskandar Km. 2 Bogor – 16164



1.PENDAHULUAN 1.1    LATAR BELAKANG Sebagai umat Islam yang bertaqwa kita tidak akan terlepas dari syari’at Islam. Hukum yang harus di patuhi oleh semua umat Islam di seluruh penjuru dunia. Baik laki-laki maupun perempuan tidak ada perbedaan di mata Allah SWT, tetapi yang membedakan hanyalah ketaqwaan kita. Salah satu dari syari’at Islam adalah tentang pernikahan hal ini sudah di atur dalam hukum Islam, baik dalam al-Qur’an maupun dalam Hadits Rasulullah SAW. Pernikahan merupakan peristiwa yang sering kita jumpai dalam hidup ini, bahkan setiap hari banyak umat Islam yang melakukan pernikahan, dimana pernikahan ini mencegah perbuatan yang melanggar norma – norma agama dan menghindari zina. Terpenuhinya syarat rukun pernikahan mengakibatkan diakuinya keabsahan pernikahan tersebut baik menurut hukum agama, fiqih munakahat, dan pemerintah (kompilasi hukum islam). Bila salah satu syarat rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya pernikahan menurut fiqih munakahat atau hukum islam. 2.1.      RUMUSAN MASALAH a.       Apa pengertian pernikahan ? b.      Apa pengertian rukun dan syarat pernikahan ? c.       Apa saja rukun pernikahan ? d.      Bagaimana syarat sahnya pernikahan ? 2.1.      TUJUAN a.       Agar mengetahui pengertian pernikahan. b.      Agar mengetahui bagaimana rukun pernikahan.



2.PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Munakahat (pernikahan) Pengertian Munakahat ( Pernikahan ) Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti bertemu, berkumpul. Menurut istilah nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum syariat Islam. Menurut U U No : 1 tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME. Keinginan untuk menikah adalah fitrah manusia, yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani rokhaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis, teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis yang dapat dicintai dan mencintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, yang dapat diajak bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan hidup berumah tangga. Rasulullah SAW bersabda : Yang Artinya :”Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup menikah, maka nikahlah. Karena nikah itu dapat menundukkan mata dan memelihara faraj (kelamin) dan barang siapa tidak sanggup maka hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan syahwat”. (HR. Bukhori Muslim)  



Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat



menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut.



2.2 Rukun Nikah Rukun adalah sesuatu yang harus ada dalam suatu ibadah dan hal tersebut menentukan sah atau tidaknya suatu ibadah namun sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut. Rukun nikah adalah hal-hal yang harus ada atau harus dipenuhi keberadaannya dalam islam dan disebutkan dalam fiqih pernikahan. Sebagaimana kita ketahui, rukun adalah bagian pokok dari suatu perbuatan yang membuat perbuatan tersebut dinyatakan sah. Contohnya, shalat tidak akan sah tanpa takbiratul ihram, karena takbiratul ihram merupakan bagian pokok dari shalat tersebut. Sementara dalam bab nikah, rukun nikah berarti bagian dari nikah itu sendiri yang mana ketiadaan salah satu diantaranya akan menjadikan nikah tersebut menjadi tidak sah. Dikutip dari Imam Zakaria alAnshari dalam Fathul Wahab bin Syarhi Minhaj al-Thalab (Beirut: Dar al-Fikr), juz II, hal. 41, rukun nikah tersebut ialah:



‫َان‬ ِ ‫َو‬ ِ ‫ " أَرْ َكانُهُ خَ ْم َسةٌ" " "زَ وْ ٌج َوزَ وْ َجةٌ َو َولِ ٌّي َو َشا ِهد‬.‫اح َو َغي ِْرهَا‬ ِ ‫ فِي أَرْ َكا ِن النِّ َك‬:ٌ‫صي َغةٌ فَصْ ل‬ “Pasal tentang rukun-rukun nikah dan lainnya. Rukun-rukun nikah ada lima, yakni mempelai pria, mempelai wanita, wali, dua saksi, dan shighat. Dari pemaparan di atas bisa kita pahami bahwa rukun nikah ada lima, yakni: 1.



Mempelai pria Mempelai pria yang dimaksud di sini adalah calon suami yang memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan pula oleh Imam Zakaria al-Anshari dalam Fathul Wahab bin Syarhi Minhaj al-Thalab (Beirut: Dar al-Fikr), juz II, hal. 42:



‫" "و شرط في الزوج حل واختيار وتعيين وعلم بحل المرأة له‬ “Syarat calon suami ialah halal menikahi calon istri (yakni Islam dan bukan mahram), tidak terpaksa, ditertentukan, dan tahu akan halalnya calon istri baginya.” Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kedua mempelai adalah: 



Laki-laki dan perempuan yang akan menikah beraga islam







Memiliki Identitas yang jelas dan tidak kabur, hal ini juga dimaksudkan agar pernikahan dapat dicatat oleh petugas pernikahan . Sebelum menikah pasangan boleh melakukan proses ta’aruf dan khitbah atau tunangan.







Kedua belah pihak mempelai baik pria maupun wanita telah setuju untuk menikah dan juga setuju dengan pihak yang mengawininya termasuk wali dari mempelai perempuan.







Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu



pernikahan



misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam ditegaskan mengenai persyaratan persetujuan kedua mempelai pada pasal 16, yaitu: 



Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.







Pihak wanita harus menyetujui pernikahan dengan jelas dengan mengucapkannya dengan lisan maupun tulisan.







Antara kedua belah pihak tidak ada hal-hal yang terlarang untuk melangsungkan pernikahan atau tidak ada konflik dalam keluarga.







Kedua belah mempelai telah dewasa dan mencapai usia minimum pernikahan



2. Mempelai wanita Mempelai wanita yang dimaksud ialah calon istri yang halal dinikahi oleh mempelai pria. Seorang laki-laki dilarang memperistri perempuan yang masuk kategori haram dinikahi. a.Perempuan yang haram dinikahi yaitu: ❖Sebab Nasab “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudarasaudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yanglaki-laki; anak-



anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; “Pada ayat diatas, dijelaskan tentang tujuh golongan wanita yang haram dinikahi (mahram) karena sebab.” Adanya hubungan darah atau nasab. Diantaranya: 1.Ibu kandung dan seterusnya keatas seperti nenek,ibunya nenek. 2.Anak wanita dan seterusnya kebawah seperti anak perempuannya anak perempuan. 3.Saudara kandung wanita. 4.‘Ammat/ Bibi (saudara wanita ayah). 5.Khaalaat/ Bibi(saudara wanita ibu). 6.BanatulAkhi/ Anak wanita dari saudaral aki-laki. 7.Banatul Ukhti/ anak wnaita dari saudara wanita ❖Sebab Menyusui (radha’ah) Ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan. Dikatakan bahwa haram menikahi wanita yang memiliki hubungan sesusuan (radha’ah). Yaitu, wanita yang menyusuinya, dan orang-orang yang pernah menyusu kepada wanita tersebut. Diantaranya: 1.Ibuyang menyusui. 2.Saudara wanita sepersusuan. ❖Sebab Perkawinan (mushaharah) Istrimu (mertua); anak anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya. Wanita yang haram dinikahi sebab perkawinan, diantaranya: 1.Ibu dari istri(mertua wanita). 2.Anak wanita dari istri (anak tiri). 3.Istri dari anak laki-laki (menantu perempuan). 4.Istri dariayah (ibu tiri). Diceritakan dari Ali, r. a. Bahwa tidak haram menikahi ibu mertua kecuali ia (menantulakilaki ) telah berbercampur dengan putrinya. Sebagaimana juga tidak haram putrinya, kecuali ia telah berhubungan badan dengan ibunya. ❖Sebab Persemendaan (mushaharah)



Terkait anak perempuan tiri, menurut jumhur ulama, haram menikahi putri tiri apabila ayah tiri tersebut telah menggauli ibunya, walaupun anak tiri tersebut tidak dibawah pemeliharaannya. Karena pemeliharaan bukan menjadi syarat keharamannya. Menurut Ulama Zhahiriyah, anak tiri tidak haram atas suami ibunya, kecuali terpenuhinya dua unsur. Pertama, Ibunya sudah digauli. Kedua, anak tiri tersebut berada dibawah pemeliharaan suami ibunya. Apabila anak tiri tersebut tidak dibawah pemeliharaan suami dari ibunya, maka tidak haram. Hal ini didasarkan kepada sebuah riwayat yang disandarkan kepada sahabat Ali. 3. Wali Wali di sini ialah orang tua mempelai wanita baik ayah, kakek maupun pamannya dari pihak ayah (‘amm), dan pihak-pihak lainnya. Secara berurutan, yang berhak menjadi wali adalah ayah, lalu kakek dari pihak ayah, saudara lelaki kandung (kakak ataupun adik), saudara lelaki seayah, paman (saudara lelaki ayah), anak lelaki paman dari jalur ayah. Adapun syarat-syarat wali nikah yang harus dipenuhi antara lain sebagai berikut : 



Merdeka dan bukan budak atau hamba sahaya







Berjenis kelamin lelaki dan bukan perempuan sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis namun ada yang menyebutkan bahwa wanita yang telah dewasa dan berakal boleh menjadi wali bagi dirinya sendiri.







Baligh serta dan berakal sehat.artinya wali haruslah sudah dewasa dan memiliki akal yang sehat atau tidak gila.







Tidak sedang melakukan ihram ibadah haji maupun umrah. Hal ini sesuai hadis Rasulullah SAW  “Orang yang sedang ihram tidak boleh menikahkan seseorang dan tidak boleh pula dinikahkan oleh seseorang”.







Adil, dalam hal ini adil wali harus memiliki sifat yang baik sebagaimana disebutkan dalam hadits “Tidak sah nikah kecuali bila ada wali dan dua orang saksi yang adil”







Memiliki pikiran yang sehat dan tidak pikun. Oleh sebab itu seseorang tidaklah sah menjadi wali apabila ia memiliki gangguan dengan pikirannya misalnya pikun karena usia.







Islam, seorang wali nikah haruslah beragama islam dan hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 28:



Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan Hanya kepada Allah kembali (mu). (QS. Ali Imran: 28). 4. Dua saksi Dua saksi ini harus memenuhi syarat adil dan terpercaya. Imam Abu Suja’ dalam Matan alGhâyah wa Taqrîb (Surabaya: Al-Hidayah, 2000), hal. 31 mengatakan, wali dan dua saksi membutuhkan enam persyaratan, yakni Islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, dan adil. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama menyangkut kedudukan saksi dalam pernikahan, apakah termasuk rukun ataukah termasuk syarat dalam pernikahan. Menurut pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah saksi dalam pernikahan adalah termasuk rukun dari pernikahan. Sementara menurut ulama Hanafiyah dan Zahiriyah, saksi merupakan salah satu dari dari syarat-syarat pernikahan yang harus atau mutlak ada. Adapun syarat menjadi saksi dalam pernikahan adalah sebagai berikut : 



Berjumlah minimal dua orang sesuai dengan pendapat ulama namun Ulama hanafiyah berpendapat bahwa saksi itu boleh terdiri dari satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.







Saksi haruslah orang merdeka dan bukan budak atau hamba sahaya







Bersifat adil dalam arti saksi dikenal sebagai orang baik dan tidak pernah melakukan kejahatan besar







Beragama islam, orang nonmuslim tidak diperkenankan menjadi saksi







Bisa mendengar dan melihat. Hal ini diharuskan karena saksi adalah orang yang nantinya akan menyaksikan dan mendengarkan prosesi ijab kabul dalam pernikahan.







Berjenis kelamin laki-laki, namun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa saksi itu boleh terdiri dari perempuan asalkan harus disertai juga oleh saksi laki-laki.



5.



Shighat Shighat di sini meliputi ijab dan qabul yang diucapkan antara wali atau perwakilannya dengan mempelai pria. -Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”). -Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.” Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta‟ala yang artinya: “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (AlAhzab: 37) Ucapan sighat akad nikah atau  ijab dan kabul yang diucapkan oleh wali pihak mempelai perempuan dan dijawab oleh calon mempelai laki-laki. Akad nikah atau ucapan nikah tersebut haruslah diucapkan oleh wali nikah kemudian dijawab oleh mempelai pria .Ijab kabul juga harus dilaksanakan dalam bahasa yang dimengerti oleh kedua belah pihak. Demikian rukun-rukun nikah yang harus dipenuhi, agar pernikahan atau ibadah yang dilaksanakan sah hukumnya di mata hukum dan agama. Pernikahan yang dilaksanakan hendaknya selalu berpegang pada kaidah agama dan dilaksanakan untuk menghindari perbuatan yang haram seperi zina (baca zina dalam islam)  maupun pernikahan sedarah.



3.PENUTUP 3.1 Kesimpulan Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun



dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut. 3.2. Saran Sebagai penutup dari makalah ini, tak luput pula kami ucapkan terima kasih pada semua rekanrekan yang telah banyak membantu dalam pembuatan makalah ini. Di samping itu, masih banyak kekurangan serta jauh dari kata kesempurnaan, tetapi kami semua telah berusaha semaksimal munking dalam  pembuatan makalah yang amat sederhana ini. Maka, dari pada itu . kami semua sangat  berharap kepada semua rekan-rekan untuk memberi kritik atau sarannya, sehingga dalam pembuatan makalah selanjutnya bisa menjadi yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA https://islam.nu.or.id/post/read/84168/lima-rukun-nikah-dan-penjelasannya https://www.nu.or.id/post/read/52236/pernikahan-dalam-perspektif-madzhab-syafi039i https://islam.nu.or.id/post/read/109139/9-bentuk-pernikahan-batal-alias-tidak-sah