Makalah Fiqih Mawaris [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Pengantar Fiqih Mawaris Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah



“ fikih mawaris“



Disusun Oleh : Nanda Faragita Tirtasari (102200094) Novia Amindhartik (102200095)



Dosen Pengampu Khairil Umami, M.S.I.



HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONOROGO 2021 1



DAFTAR ISI



2



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu membawa pengaruh lingkungannya, terutama dengan orang yang dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan. Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat dan masyarakat lingkungannya. Demikian juga dengan kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, selain itu kematian tersebut menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungan dengan pengurusan jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan hukum yang menyangkut hak para keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh harta peninggalannya. Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya ilmu bagaimana cara penyelesaian harta peninggalan keluarganya yang dikenal dengan nama Hukum Waris. Dalam syari'at Islam ilmu tersebut dikenal dengan nama Ilmu Mawaris, Fiqh Mawaris atau Faraidh. B. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang di atas dan agar pembahasan dalam penelitian ini tidak melebar kepada pembahasan yang lain, maka perlu adanya perumusan dari masalah yang akan diteliti, yakni sebagai berikut: A. Apakah Pengertian Ilmu Fiqih Mawaris? B. Bagaimanakah Kedudukan dan Urgensi Fiqih Mawaris? C. Apa saja Dasar-Dasar Pewarisan Masa Jahiliyah? D. Apa saja Syarat Kewarisan? E. Apa saja Rukun Kewarisan? F. Apa saja Penyebab menerima warisan? G. Apa saja Penghalang hak waris? 3



C. Tujuan Tujuan penyusunan makalah ini adalah : A. Untuk mengetahui pengertian ilmu fiqih mawaris. B. Untuk mengetahui kedudukan dan urgensi ilmu fiqih mawaris. C. Untuk mengetahui dasar dasar pewarisan pada masa jahiliyah. D. Untuk mengetahui syarat-syarat kewarisan. E. Untuk mengetahui rukun kewarisan. F. Untuk mengetahui penyebab menerima kewarisan. G. Untuk mengetahui apa penghalang hak waris.



4



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Fiqh Mawaris Istilah Fiqh Mawaris (‫واريث‬CC‫ه الم‬CC‫ )فق‬sama pengertiannya dengan Hukum Kewarisan dalam bahasa Indonesia, yaitu hukum yang mengatur tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Ada dua nama ilmu yang membahas pembagian harta warisan, yaitu ilmu mawaris (‫واريث‬CC‫ )علم الم‬dan ilmu fara'id (‫رائض‬CC‫)علم الف‬. Kedua nama ini (mawaris dan fara'id) disebut dalam al-Qur'an maupun al-hadis. Sekalipun obyek pembahasan kedua ilmu ini sama, tetapi istilahnya jelas berbeda. Kata‫ مواريث‬adalah jama' dari ‫ ميراث‬dan miras itu sendiri sebagai masdar dari ‫ وميراثا‬- ‫ ارثا‬-‫ يرث‬- ‫ ورث‬. Secara etimologi kata miras mempunyai beberapa arti, di antaranya: al-baqa' (‫ )البقاء‬, yang kekal; al-intiqal(‫" )االنتقال‬yang berpindah", dan al-maurus (‫ )الموروث‬yang maknanya at-tirkah ( ‫" )التركة‬harta peninggalan orang yang meninggal dunia". Ketiga kata ini (al-baqa', al-intiqal, dan at- tirkah) lebih menekankan kepada obyek dari pewarisan, yaitu harta peninggalan pewaris. Adapun kata fara'id (‫ )الفرائض‬dalam kontek kewarisan adalah bagian para ahli waris. Dengan demikian secara bahasa, apabila ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu fara'id karena yang dibahas adalah bagian para ahli waris, khususnya ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan. Apabila dibandingkan kedua istilah di atas dalam pengertian bahasa, kata mawaris mempunyai pengertian yang lebih luas dan lebih menampung untuk menyebut ilmu yang membahas tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia dibandingkan istilah fara'id. Apabila ditelusuri pemakaian kedua istilah di atas di kalangan para ulama, tampaknya pada awalnya lebih banyak digunakan kata fara'id daripada kata mawaris. Hal ini dapat dilihat dari fiqh-fiqh klasik yang dalam salah satu babnya memakai judul bab al-faraid atau kitab al5



fara'id, sebagai judul pembahasan kewarisan. Adapun pada masa belakangan menunjukkan kebalikannya, yaitu lebih banyak digunakan kata mawaris, seperti Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya "al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu", jilid VIII dalam bab ke-6 memberi judul babnya ‫الميراث‬. Lafad al-faraid, sebagai jamak dari kafazd faridhah, oleh para ulam faradhiyun diartikan semakna dengan lafazd mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya. Faraid dalam istilah mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara. Sedang ilmu faraidh oleh sebagian ulama faradhiyun di ta’rifkan “ ilmu fiqhi yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagianbagian yang wajib dari harta peningalan untuk setiap pemilik harta pusaka”. Menurut fiqih adalah apa yang ditinggalkan oleh orang mati berupa harta atau hak-hak yang karena kematianya itu menjadi hak ahli warisnya secara syar’i. Ilmu faraid adalah ilmu yang mempelajari pembagian warisan dan cara penghitunganya dilihat darai kaca mata fiqih. Istilah Fara’id adalah bahasa yang menunjukkan bentuk plural atau jamak. Adapun bentuk mufradnya adalah “Faridah” yang berarti: suatu ketentuan atau dapat pula diartikan bagianbagian yang tertentu. Di dalam hukum waris islam dikenal dengan istilah “Ilmul Fara’id” atau disebut dengan ilmul mirats, yakni ilmu yang membahas tentang pembagian warisan dari seseorang yang meninggal dunia. Al-Syarbiny dalam sebuah kitabnya Mughni al-Muhtaj juz 3 mengatakan bahwa: “Fiqih Mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian bagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.” Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Warisan di Indonesia misalnya mendefinisikan “Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”. Dengan demikian, ilmu faraidh mencakup tiga unsur penting didalamnya ( Ruang lingkup ) : 6



1. Pengetauan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris; 2. Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris; dan 3. Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan pembagian harta waris. Dari pengertian mawaris secara bahasa di atas dapat dipahami bahwa ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu mawaris antara lain karena yang dibahasnya adalah mengenai tata cara pemindahan harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti al-intiqal), atau karena yang dibahas oleh ilmu ini ialah harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti tirkah). B. Kedudukan dan Urgensinya Ilmu fara’idh atau fiqih mawaris merupakan ilmu yang sangat penting. Oleh karena itu, Allah sendiri dan secara langsung mengatur bagian-bagian fara’idh ini. Dia tidak menyerahkan hal tersebut kepada malaikat atau rasul yang paling dekat sekalipun. Allah telah menjelaskan masing-masing bagian ahli waris yang seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga dan seperenam. Ini berbeda dengan hukum-hukum lainnya, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain yang nash-nashnya bersifat global. Allah SWT menjamin surga bagi kaum muslimin yang melaksanakan hukum waris Islam ini. Allah SWT berfirman. “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar” [An-Nisa: 13]. Allah SWT, mengancam dengan neraka dan adzab yang pedih bagi orang-orang yang menyelisihi batasan-batasan fara’idh Islam tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukkannya kedalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan” [An-Nisa : 14], Rasulullah SAW memerintahkan agar umat Islam mempelajarai ilmu fara’idh dan mengajarkannya. Amirul Mukminin Umar Ibnul Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pelajarilah fara’idh, sebab ia adalah bagian dari agamamu”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata: 7



“Pelajarilah fara’idh, nahwu dan Sunnah sebagaimana kamu mempelajari Al-Qur’an” Ibnu Abbas Ra, ketika menafsirkan ayat 73 surat Al-Anfal, dia menyatakan: “Jika kamu tidak mengambil ilmu waris yang diperintahkan oleh Allah, maka pasti akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar”. Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Perumpamaan orang yang membaca AlQur’an tetapi tidak pandai fara’idh, adalah seperti baju burnus yang tidak memiliki kepala”. Para ulama Islam sangat peduli dan memberi perhatian yang besar terhadap ilmu ini, dengan berdiskusi, mengajarkan, merumuskan kaidah-kaidahnya, dan menuliskannya dalam literarur (kitab) fiqih. Ini semua karena, fara’idh merupakan bagian dari agama Islam, diwahyukan langsung oleh Allah, dan dijelaskan serta dipraketkkan oleh Rasulullah SAW. (Lihat Syaikh Shalih Fauzan dalam At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hlm. 13-16)



C. Dasar-Dasar Pewarisan Masa Jahiliyah Orang-orang Arab jahiliyah adalah tergolong salah satu bangsa yang gemar mengembara dan berperang. Kehidupan mereka tergantung dari hasil jarahan dan rampasan perang dari bangsa-bangsa yang telah mereka taklukkan, dan juga ada yang tergantung dari hasil memperniagakan rempah-rempah. Dalam tradisi pembagian harta pusaka yang telah diwarisi dari leluhur mereka terdapat suatu ketentuan utama bahwa anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan dilarang mempusakai harta peninggalan ahli warisnya yang telah meninggal dunia.Tradisi tersebut menganggap bahwa anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan adalah sebagai keluarga yang belum atau tidak pantas menjadi ahli waris. Sebagian dari mereka beranggapan bahwa janda perempuan dari orang yang telah meninggal merupakan wujud harta peninggalan yang dapat dipusakakan dan dipusakai kepada dan oleh ahli waris si mati . Banyak sekali riwayat-riwayat dari para sahabat yang menceritakan hal tersebut. Ibn Abi Thalhah, misalnya mengutib suatu riwayat Ibn Abbas r.a yang menjelaskan: “Konon bila terjadi seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan seorang perempuan (janda), kerabatnya melemparkan pakaiannya dimuka perempuan tersebut. (Atas tindakan ini) maka yang melarangnya untuk dikawini oleh orang lain. Jika perempuan tersebut cantik teru s



8



dikawininya dan juga jelek ditahannya sampai meninggal dunia untuk kemudian dipusakai harta peninggalannya.” ) Bukti bahwa tradisi mewarisi janda simati itu betul-betul terjadi pada zaman jahiliyah ialah tindakan seorang yang bernama Mihshan bin Abu Qais al-Aslat, sesaat ayahnya meninggal dunia, ia berhasrat mengawini janda ayahnya yang tidak diurus belanjanya dan tidak diberi pusaka sedikitpun dari harta peninggalan ayahnya. Atas desakan dari calon suaminya yang baru janda tersebut meminta ijin kepada Rasulullah agar diperkenankan berkawin dengan Mihsham. Disaat itu Rasulullah belum dapat memberikan jawaban secara spontan. Baru beberapa saat kemudian, setelah Allah menurunkan ayat dari surat An-Nisa’: 19 “ Hai orang- orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita- wanita( jandajanda si mati) dengan cara paksaan.” Tata aturan pembagian harta pusaka di dalam masyarakat jahiliyyah, sebelum Islam datang, didasarkan atas nasab dan kekerabatan, dan itu hanya diberikan kepada keluarga yang lakilaki saja, yaitu mereka yang lelaki yang sudah dapat memenggul senjata untuk mempertahankan kehormatan keluarga, dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan. Orang-orang perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan pusaka. Bahkan orang-orang perempuan, yaitu istri ayah atau istri saudara di jadikan harta pusaka. Kemudian, pengangkatan anak, berlaku dikalangan jahiliyah dan apabila sudah dewasa si anak angkat mempunyai hak yang sepenuh-penuhnya sebagaimana disyaratkan oleh bapak yang mengangkatnya. Dan karena itu, apabila bapak angkat ini meninggal, anak angkat mempunyai hak mewaris sepenuh-penuhnya atas harta benda bapak angkatnya.



D. Syarat kewarisan Sebagaimana permasalahan-permasalahan lainnya di dalam warisan juga ada beberapa syarat dan rukun yang mesti dipenuhi. Tidak terpenuhinya salah satu syarat atau rukun menyebabkan harta warisan tidak dapat dibagi kepada ahli waris. Dr. Musthafa Al-Khin dalam kitab al-FiqhulManhaji, (Damaskus: Darul Qalam, 2013, jil. II, hal. 274) menyebutkan ada 4 (empat) syarat yang mesti dipenuhi dalam warisan. Keempat syarat tersebut adalah:



9



1. Orang yang mewariskan harta nyata-nyata telah meninggal dunia. Bila orang yang hartanya akan diwaris belum benar-benar meninggal, umpamanya dalam keadaan koma yang berkepanjangan, maka harta miliknya belum dapat diwarisi oleh ahli waris yang berhak menerimanya. Ini dikarenakan adanya warisan itu karena adanya kematian. Selain nyatanyata telah meninggal harta warisan juga bisa dibagi bila seseorang dinyatakan meninggal secara hukum oleh hakim. Umpamanya dalam kasus seorang yang telah lama hilang tanpa diketahui kabarnya kemudian atas ajuan pihak keluarga hakim memutuskan bahwa orang tersebut telah meninggal dunia. Dengan putusan hakim tersebut maka harta milik orang tersebut bisa dibagi kepada ahli waris yang ada. 2. Ahli waris yang akan mendapat warisan nyata-nyata masih hidup ketika orang yang akan diwarisi hartanya meninggal, meskipun masa hidupnya hanya sebentar saja. Artinya ketika orang yang akan diwarisi hartanya meninggal maka yang berhak menerima warisan darinya adalah orang yang nyata-nyata masih hidup ketika si mayit meninggal. Meskipun tak lama setelah meninggalnya si mayit, dalam hitungan menit misalnya, ahli warisnya kemudian menyusul meninggal, maka si ahli waris ini berhak mendapatkan bagian warisan dari si mayit. Sebagai contoh kasus, pada saat Fulan meninggal dunia ada beberapa orang keluarga yang masih hidup yaitu seorang anak laki-laki, seorang anak perempuan, seorang istri, dan seorang ibu. Namun lima menit kemudian istri si fulan menyusul meninggal dunia. Dalam kasus seperti ini maka istri si Fulan tetap menjadi ahli waris yang berhak mendapatkan harta peninggalannya si Fulan meskipun ia menyusul meninggal tak lama setelah meninggalnya si Fulan. Ini dikarenakan pada saat si Fulan meninggal sang istri nyata-nyata masih hidup. 3. Diketahuinya hubungan ahli waris dengan si mayit; karena hubungan kekerabatan, pernikahan, atau memerdekakan budak (walâ’). 4. Satu alasan yang menetapkan seseorang bisa mendapatkan warisan secara rinci. Syarat keempat ini dikhususkan bagi seorang hakim untuk menetapkan apakah seseorang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan atau tidak. Seorang saksi yang menyatakan pada hakim bahwa “orang ini adalah ahli warisnya si fulan” tidak bisa diterima kesaksiannya dengan ucapan begitu saja. Dalam kesaksiannya itu ia mesti menjelaskan alasan kepewarisan orang tersebut terhadap si mayit. E. Rukun Kewarisan Adapun rukun warisan disebutkan oleh Dr. Musthafa Al-Khin  ada 3 (tiga) yakni:



10



1. Orang yang mewariskan (al-muwarrits), yakni mayit yang diwarisi oleh orang lain yang berhak mewarisinya. 2. Orang yang mewarisi (al-wârits), yaitu orang yang bertalian dengan mayit dengan salah satu dari beberapa sebab yang menjadikan ia bisa mewarisi. 3. Harta warisan (al-maurûts), yakni harta warisan yang ditinggalkan mayit setelah kematiannya. F. Penyebab  Menerima Warisan Menurut Ali ashShabuny, (1995:55), yang menyebabkan seseorang berhak menerima harta waris adalah sebagai berikut: 1.  Kekerabatan, merupakan hubungan nasab seperti ibu, bapak, anak-anak, saudara-saudara, para paman dan lain-lain. Dijelaskan dalam surat al-anfal ayat 8 (2) yang berhak menerima warisan adalah orang tua, anak dan orang-orang yang bernasab bagi mereka. 2. Pernikahan, merupakan pernikahan yang sah antara suami dan istri. Sekalipun sesudah pernikahan belum terjadi persetubuhan atau berduaan di tempat sepi (khalwat). Dan mengenai pernikahan yang batal atau fasid tidak berhak menerima warisan. 3. Perbudakan, merupakan hubungan antara budak dan orang yang memerdekakannya, apabila budak yang dimerdekakan tidak mempunyai ahli waris berhak menghabiskan hartanya. 4. Tujuan Islam (Jihatulal-Islam), yaitu bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris maka hartanya ditaruh di Baitul Mal untuk kepentingan orang Islam.



G. Penghalang Hak Waris Warisan akan terhalang oleh 4 hal yaitu sebagai berikut: 1. Perbudakan, seorang yang berstatus budak yang tidak mempunyai hak untuk mewarisi dari saudaranya sendiri. (Q.S An Nahl ayat 75). Sedangkan menurut Idris Ramulyo, perbudakan menjadi penghalang mewarisi bukan karena status sosialnya, tetapi karena dipandang sebagai hamba sahaya yang tidak cakap menguasai harta benda.



11



2. Pembunuhan, pembunuhan terhadap pewaris  oleh ahli waris menyebabkan tidak dapat mewarisi harta yang ditinggal oleh orang yang bunuh, meskipun yang dibunuh tidak meninggalkan ahli waris lain selain yang dibunuh. 3. Berlainan agama, keadaan berlainan agama akan menghalangi mendapatkan harta warisan, dalam hal ini yang dimaksud adalah antara ahli waris dengan muwarris yang berbeda agama. 4. Berlainan negara, dilihat dari segi agama orang yang mewariskan dan orang yang mewarisi, berlainan negara diklasifikasikan menjadi dua yaitu berlainan negara antar orangorang non muslim dan berlainan negara antar orang Islam.



BAB III PENUTUP I.



Kesimpulan Dari pengertian mawaris secara bahasa di atas dapat dipahami bahwa ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu mawaris antara lain karena yang dibahasnya adalah mengenai tata cara pemindahan harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti al-intiqal), atau karena yang dibahas oleh ilmu ini ialah harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti tirkah). Syarat-syarat kewarisan ada 4 yaitu : Orang yang mewariskan harta nyatanyata telah meninggal dunia, ahli waris yang akan mendapat warisan nyata-nyata masih hidup ketika orang yang akan diwarisi hartanya meninggal, meskipun masa hidupnya hanya sebentar saja, diketahuinya hubungan ahli waris dengan si mayit; karena hubungan kekerabatan, pernikahan, atau memerdekakan budak (walâ’) dan satu alasan yang menetapkan seseorang bisa mendapatkan warisan secara rinci.



12



Daftar Pusaka Syahdan. 2016. “Pembagian Harta Warisan  Dalam Tradisi  Masyarakat Sasak :  Studi Pada Masyarakat Jago Lombok Tengah” Jurnal Studi Keislaman dan Ilmu Pendidikan Volume 4 Nomor 2 Hal.  126-128. Muhammad, ikbal. 2018. “Hijab Dalam Kewarisan Perspektif Al-Quran Dan Hadits (Analisis Terhadap Perbedaan Fiqih As-Sunnah Dan KHI)” jurnal at-takfir  volume XI No. 1 Hal.134 Rahman Fatchur, Ilmu Waris, Bandung; PT. Alma’arif, 1971. Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta; PT. Rineka Cipta. Ali as-Sabuny, Muhammad, al-Mawaris fi asy-Syari'ah al-Islamiyyah fi Dau al-Kitab a asSunnah, 1989.Az-zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta; Darul Fikir, 2011.Al-Fauzan, Saleh, fiqih Sehari-Hari, Jakarta; Gema Insani Press, 2005.



13



14