Makalah Formulasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH FORMULASI & TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL PETUNJUK CPOB PRODUK STERIL



DISUSUN OLEH : CHRISTIAN ADITYA MUTHIA NURHIDAYAH



(14040037)



PUTRI RIZKY AMBAJENG



(140400)



RIO ADIYAKSA RUCHIYAT (140400)



SEKOLAH TINGGI FARMASI MUHAMMADIYAH TANGERANG



JL.Raya Pemda Tigaraksa, Matagara Km. 4 No.13 Kab.Tangerang 2015



KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum wr.wb Segala puji bagi Allah SWT yang maha mengetahui dan maha bijaksana yang telah memberi petunjuk agama yang lurus kepada hamba-Nya dan hanya kepada-Nya.Selawat serta salam semoga tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW yang membimbing umatnya dengan suri tauladan-Nya yang baik. Syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan anugrah, kesempatan dan pemikiran kepada kami untuk dapat menyelesaikan makalah ini merupakan pengetahuan tentang PETUNJUK CARA PEMBUATAN OBAT YANG BAIK semua ini di rangkum dalam makalah ini, agar pemahaman terhadap permasalahan lebih mudah di pahami dan lebih singkat dan akurat. Sistematika makalah ini dimulai dari pengantar yang merupakan apersepsi atas materi yang telah dan akan dibahas dalam bab tersebut. Selanjutnya, pembaca akan masuk pada inti pembahasan dan di akhiri dengan kesimpulan, dan saran makalah ini. Diharapkan pembaca dapat mengkaji berbagai permasalahan Tentang PETUNJUK CARA PEMBUATAN OBAT YANG BAIK akhirnya, kami penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses pembuatan makalah ini. Saya menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna untuk menjadi lebih sempurna lagi saya membutuhkan kritik dan saran dari pihak lain untuk membagikan-Nya kepada saya demi memperbaiki kekurangan pada makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi anda semua. Terima kasih Wassalamu’alaikum Wr.Wb Tangerang, 23 Februari 2017



Penulis



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR...............................................................................................i DAFTAR ISI............................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang..........................................................................................1 1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................2 1.3. Tujuan Penulisan.......................................................................................2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defiinisi OHT...............................................................................................3 2.2. Ketentuan OHT.............................................................................................7 2.3. Kriteria OHT.................................................................................................8 2.4. Keunggulan Produk OHT.............................................................................8 2.5. Keuntungan dan Kelebihan OHT.................................................................8 2.6. Mekanisme OHT..........................................................................................9 2.7. Contoh Produk OHT.....................................................................................9 BAB III PEMBAHASAN 3.1. Contoh Produk OHT (Diapet ® SOHO).....................................................10 3.3.1. Deskripsi Produk.................................................................................10 3.3.2. Simplisia OHT ((Diapet ® SOHO)......................................................11 3.3.3.1. Psidii Folium...........................................................................11 3.3.3.2. Curcuma domestica rhizoma...................................................11 3.3.3.3. Granati Pericarpium................................................................12 3.3.3.4. Terminaliae Chebulae Fructus................................................13 3.3.3.5. Coicis Lacrymae-jobii Semen.................................................13 BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan.............................................................................................14 4.2. Saran........................................................................................................14 DAFTAR PUSTAKA



BAB I PENDAHULUAN 1.1.



Latar Belakang Industri farmasi memiliki fungsi dalam pembuatan obat dan bahan obat,sebagai sarana pendidikan dan pelatihan, serta sebagai sarana penelitian dan pengembangan. Kekonsistensian yang meliputi aspek kualitas, keamanan dan efikasiharus dikedepankan oleh sebuah industri farmasi terhadap obat yang diproduksi.Berdasarkan Permenkes 1799/menkes/Per/XII/2010, industri farmasi merupakan badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Selain itu obat atau bahan obat tersebut hanyaboleh diproduksi oleh industri farmasi yang memiliki sertifikat CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik). Obat yang dipasarkan secara luas juga harus memilikiizin edar yang dikeluarkan oleh otoritas Badan POM RI, dimana proses pembuatannya sudah memenuhi ketentuan CPOB. Sehingga persyaratan CPOB merupakan persyaratan mutlak yang wajib dipenuhi oleh suatu industri farmasi. Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) merupakan pedoman yang bertujuan untuk menjamin obat dibuat secara konsisten, memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu. Pada pembuatan obat, pengendalian menyeluruh adalah sangat esensial untuk menjamin bahwa konsumen menerima obat yang bermutu tinggi. Pembuatan secara sembarangan tidak dibenarkan bagi produk yang digunakan untuk menyelamatkan jiwa, memulihkan atau memelihara kesehatan. Pemastian mutu suatu obat tidak hanya mengandalkan pada pelaksanaan pengujian tertentu saja, namun obat hendaklah dibuat dalam kondisi yang dikendalikan dan dipantau secara cermat. Otoritas Pengawasan Obat hendaklah menggunakan Pedoman CPOB sebagai acuan dalam penilaian penerapan CPOB, dansemua peraturan lain yang berkaitan dengan CPOB hendaklah dibuat minimal sejalandengan Pedoman CPOB. Pedoman CPOB tidak bermaksud untuk membatasi pengembangan konsep baru atau teknologi baru yang telah divalidasi dan memberikan tingkat Pemastian mutu sekurang-kurangnya ekuivalen dengan cara yang tercantum dalam Pedoman CPOB.



Dalam Petunjuk Operasional Penerapan CPOB (BPOM RI, 2009), terdapat dua belas aspek yang harus dipenuhi dalam penerapan CPOB, yaitu manajemen mutu; personalia; bangunan dan fasilitas; peralatan; sanitasi dan higiene; produksi; pengawasan mutu; inspeksi diri dan audit mutu; penanganan keluhan terhadap produk, penarikan kembali produk dan produk kembalian; dokumentasi; pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak; kualifikasi dan validasi. Peran seorang apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian yang tercantum dalam PP No. 51 tahun 2009 yaitu bertanggung jawab pada pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan orientasi kepada masyarakat atau pasien menjadi dasar dalam menjalani pekerjaan kefarmasian dengan memproduksi sediaan farmasi yang memenuhi standar, persyaratan keamanan, kualitas, dan efikasinya secara konsisten. 1.2.



Tujuan 1. Mengetahui pengertian produk steril 2. Mengetahui Cara Pembuatan Obat yang Baik dalam Produk steril



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.



Definisi Sediaan steril adalah sedian yang selain memenuhi persyaratan fisika-kimia juga memenuhi persyaratan steril. Steril berarti bebas mikroba. Sediaan steril secara umum adalah sediaan farmasi yang mempunyai kekhususan sterilitas dan bebas dari mikroorganisme. Pada prinsipnya, produk steril yang banyak diproduksi di industri farmasi adalah dalam bentuk larutan terbagi (ampul) dan bentuk serbuk padat siap untuk digunakan dengan diencerkan terlebih dahulu dengan larutan pembawa (vial). Sediaan parental, bisa diberikan dengan berbagai rute : intra vena (i.v), sub cutan (s.c), intradermal, intramuskular (i.m), intra articular, dan intrathecal. Bentuk sediaan sangat mempengaruhi cara (rute) pemberian. Sediaan bentuk suspensi, misalnya tidak akan pernah diberikan secara intravena yang langsung masuk ke dalam pembuluh darah karena adanya bahaya hambatan kapiler dari partikel yang tidak larut, meskipun suspensi yang dibuat telah diberikan dengan ukuran partikel dari fase dispersi yang dikontrol dengan hati – hati. Demikian pula obat yang diberikan secara intraspinal (jaringan syaraf di otak), hanya bisa diberikan dengan larutan dengan kemurnian paling tinggi, oleh karena sensivitas jaringan syaraf terhadap iritasi dan kontaminasi. Semua bahan dan proses yang terlibat dalam pembuatan produk ini harus dipilih dan dirancang untuk menghilangkan semua jenis kontaminasi, baik kontaminasi fisik, kimia atau mikrobiologis (Priyambodo 2007). Sediaan untuk mata (tetes mata maupun salep mata), meskipun tidak dimasukkan ke dalam rongga bagian dalam tubuh, namun ditempatkan berhubungan dengan jaringan – jaringan yang sangat peka terhadap kontaminasi. Oleh karenanya dibutuhkan standar sejenis dengan preparat (sediaan) steril lainnya. Larutan irigasi (infus) juga memiliki standar yang sama dengan larutan parental lainnya, karena selama pemberian sejumlah zat dari larutan dapat memasuki aliran darah secara langsung melalui pembuluh darah luka yang terbuka atau membran mukosa yang rusak (Priyambodo 2007). Sesuai dengan persyaratan CPOB, produk steril dibuat dengan persyaratan khusus. Tujuannya adalah memperkecil resiko pencemaran mikroba, partikulat, dan pirogen. Pembuatan produk steril sangat tergantung dari



keterampilan, pelatihan, dan sikap personalia yang terlibat dalam pembuatan. Pembuatan produk steril harus sepenuhnya mengikuti metode pembuatan dan prosedur yg ditetapkan, secara ketat, karena risiko yang ditimbulkan dari obat jenis juga sangat besar. Produk steril hendaklah dibuat dengan persyaratan khusus dengan tujuan memperkecil risiko pencemaran mikroba, partikulat dan pirogen, yang sangat tergantung dari ketrampilan, pelatihan dan sikap personil yang terlibat. Pemastian Mutu sangatlah penting dan pembuatan produk steril harus sepenuhnya mengikuti secara ketat metode pembuatan dan prosedur yang ditetapkan dengan seksama dan tervalidasi. Pelaksanaan proses akhir atau pengujian produk jadi tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya andalan untuk menjamin sterilitas atau aspek mutu lain. 2.2.



Syarat sediaan steril



1. Efikasi mencakup kemanjuran suatu obat yang dalam terapi termasuk efektivitas obat dalam terapi. 2. Safety : keamanan ini antara lain meliputi: eamanan dosis obat dalam terapi, memberikan efek terapi sesuai dengan yang diinginkan dan tidak memberikan efek toksik atau efek samping yang tidak diinginkan. 3. Aceeptable : maksudnya disukai oleh pasien. Jadi obat perlu dibuat sedemikian menarik dan mudah dipakai konsumen. 4. Sediaan obat harus jernih. Jernih maksudnya tidak ada partikel yang tidak larut dalam sediaan tersebut. Jadi, meskipun sediaan berearna, tetap terlihat jernih (tidak keruh). 5. Tidak berwarna. Maksudnya sediaan larutan bisa saja berwarna, namun warna larutan sama dengan warna zat aktifnya sehingga tidak ada campuran warna lain dalam sediaan itu. 6. Bebas dari partikel asing. Partikel asing; partikel yang bukan penyusun obat. Sumber partikel bisa berasal dari: air, bahan kimia, personil yang bekerja, seratr dari alat/pakaian personil, alat-alat, lingkungan, pengemas (gelas, plastik). 7. Keseragaman volume/berat. Terutama untuk sediaan solid steril. 8. Memenuhi uji kebocoran. Terutama untuk injeksi yang dikemas dalam ampul. Uji kebocoran dapat dilakukan dengan: 



Uji dengan larutan warna (dye bath test)







Metode penarikan vakum ganda (the double vacuum pull method)



9. Stabil. Artinya sediaan tidak mengalami degradasi fisika. Misal jika bentuk sediaan larutan maka sediaan tersebut tetap berada dalam bentuk larutan (bukan suspensi). Sifat stabil ini berkaitan dengan formulasi. Ketidakstabilan dapat dilihat dari: 



Terjadi perubahan warna. Contoh: larutan adrenalin yang awalnya berwarna jernih karena teroksidasi akan menjadi merah karena terbentuk adenokrom.







Terjadi pengendapan. Contoh: injeksi aminophilin dibuat dengan air bebas CO2, karena jika tidak bebas CO2 maka akan terbewntuk theopilin yang kelarutannya kecil dalam air sehingga kanmengendap. Akibatnya dosis menjadi berkurang.



2.3.



Macam-macam Produk Steril



1. Injeksi Suatu Lrutan obat dalam pembawa yang cocok dengan atau bahan tambahan yang dimaksudkan untuk penggunaan parenteral 2. Cairan Infus Merupakan injeksi khusus karena cara pemberiannya dan volumenya besar. Contoh : nutrisi dasar infus dekstrosa, infus ringer, infus pengganti cairan tubuh. 3. Radiopharmaceutical Suatu injeksi yang mengandung bahan radioaktif, berfungsi untuk diagnosis dan pengobatan dalam jaringan organ. Pembuatan dan penggunaanya berbeda dengan bahan obat biasa (non radioaktif) 4. Zat padat kering atau larutan pekat Bahan yang tidak stabil dalam bentuk cair/terlarut disimpan dalam bentuk zat padat kering yang dilarutkan pada waktu akan digunakan. Jika bahan kering tidak mengandung dapar, pengencer atau zat tambahan lain, dan bila ditambah pelarut lain yang sesuai, memberikan larutan yang memenuhi semua aspek persyaratan untuk obat suntik. 5. Larutan Irigasi Larutan ini digunakan untuk merendam luka/ mencuci luka, sayatan bedah atau jaringan/ organ tubuh. Dikemas dalam wadah volume besar dengan tutup dapat berputar. Biasanya diberi label sama seperti injeksi dan bertuliskan “bukan untuk obat suntik” dan persyaratan untuk larutan ini sama seperti larutan parenteral. 6. Larutan dialisis



Larutan yang digunakan untuk menghilangkan senyawa-senyawa toksis yang secara normal disekresikan oleh ginjal. Pada kasus keracunan atau gagal ginjal serta pasien yang menunggu transplantasi ginjal. 7. Larutan, suspensi dan salep untuk mata (obat mata) Sediaan salep mata berupa bahan obat dalam bentuk terlarut atau serbuk yang dibuat halus sampai ukuran mikron ditambahkan ke dasar salep mata yang tidak menyebabkan iritasi. 2.4.



Alur Produksi Sediaan Steril



Berbagai kegiatan persiapan komponen, pembuatan produk dan pengisian hendaklah dilakukan di ruang terpisah di dalam area bersih. Area bersih untuk pembuatan produk steril digolongkan berdasarkan karakteristik lingkungan yang dipersyaratkan. Tiap kegiatan pembuatan membutuhkan tingkat kebersihan ruangan yang sesuai dalam keadaan operasional untuk meminimalkan risiko pencemaran oleh partikulat dan/atau mikroba pada produk dan/atau bahan yang ditangani.



E.



Pembuatan Produk Steril Pembuatan produk steril hendaklah dilakukan di area bersih (masuk melalui ruang



penyangga, area bersih sesuai standar, dipasok udara yang telah difilter dengan efisiensi yang sesuai. Secara garis besar, proses pembuatan produk steril dibagi menjadi 2 kategori : 1. Produk disterilkan dengan sterilisasi akhir (Sterilisasi Akhir; post sterilization)



Zat aktif harus stabil terhadap molekul air dan pada suhu sterilisasi. Sediaan disterilkan pada tahap terakhir pembuatan sediaan. Semua alat setelah lubang-lubangnya ditutup dengan kertas perkamen, disterilkan dengan cara sterilisasi yang sesuai. Pembuatan produk menggunakan cara ini merupakan pembuatan pada umumnya.



2. Produk diproses secara aseptis, pada sebagian atau semua tahap (Aseptic Processing)



Tujuan dari proses aseptis adalah untuk mempertahankan sterilitas produk yang dibuat dari komponen-komponen yang masing-masing telah disterilisasi sebelumnya menggunakan salah satu cara dari metode yang ada. Kondisi operasional hendaklah dapat mencegah kontaminasi mikroba. Untuk menjaga sterilitas komponen dan produk selamaproses aseptis, perhatian perlu diberikan pada: 



Lingkungan ;







Personil;







Permukaan yang kritis;







Sterilisasi wadah / tutup dan prosedur pemindahannya;







Waktu tunggu maksimum bagi produk sebelum pengisian ke dalam wadah akhir; dan







Filter untuk sterilisasi Terbatas pada sediaan yang mengandung zat aktif peka suhu tinggi dan dapat



mengakibatkan penguraian atau penurunan kerja farmakologinya. Antibiotika dan beberapa hormon tertentu merupakan zat aktif yang sebaiknya diracik secara aseptik. Cara aseptik bukanlah suatu metode sterilisasi , melainkan suatu cara kerja untuk memperoleh sediaan steril dengan mencegah kontaminasi jasad renik dalam sediaan. Proses aseptik adalah cara pengurusan bahan steril menggunakan teknik yang dapat memperkecil kemungkinan terjadinya cemaran kuman hingga seminimum mungkin. Teknik aseptik dimaksudkan untuk digunakan dalam pembuatan sediaan steril yang tidak dapat dilakukan proses sterilisasi akhir karena ketidakmantapan zatnya. Sterilitas hasil akhir hanya dapat disimpulkan jika hasil itu memenuhi syarat Uji Sterilitas yang tertera pada Uji Keamanan Hayati.



Dalam pembuatan larutan steril menggunakan proses ini, obat steril dilarutkan atau didispersikan dalam zat pembawa steril, diwadahkan dalam wadah steril, akhirnya ditutup kedap untuk melindungi terhadap cemaran kuman. Semua alat yang digunakan harus steril. Ruangan yang digunakan harus disterilkan terpisah dan tekanan udaranya diatur positif dengan memasukkan udara yang telah dialirkan melalui penyaring bakteri. Pekerjaan ini harus dilakukan dengan tabir pelindung atau dalam aliran udara steril.



Sebelum membuat rancangan/lay out pabrik obat steril, penting untuk memperhatikan sediaan apa yang akan kita produksi. Apakah aseptis atau non aseptis, volume besar atau kecil, bentuk ampul atau vial, golongan betalaktam – non betalaktam, dan sebagainya. Pemahaman mengenai bentuk sediaan sangat penting agar jangan sampai sesudah dibangun ternyata tidak sesuai dengan obat yang akan diproduksi. Pada pembuatan produk steril, dibedakan 4 kelas kebersihan, yaitu: 



Kelas A: Zona untuk kegiatan yang berisiko tinggi, misal zona pengisian, wadah tutup karet, ampul dan vial terbuka, penyambungan secara aseptis. Umumnya kondisi ini dicapai dengan memasang unit aliran udara laminar (laminar air flow) di tempat kerja. Sistem udara laminar hendaklah mengalirkan udara dengan kecepatan merata berkisar 0,36 – 0,54 m/detik (nilai acuan) pada posisi kerja dalam ruang bersih terbuka. Keadaan laminar yang selalu terjaga hendaklah dibuktikan dan divalidasi. Aliran udara searah berkecepatan lebih rendah dapat digunakan pada isolator tertutup dan kotak bersarung tangan.







Kelas B: Untuk pembuatan dan pengisian secara aseptis, Kelas ini adalah lingkungan latar belakang untuk zona Kelas A.







Kelas C dan D: Area bersih untuk melakukan tahap proses pembuatan yang mengandung risiko lebih rendah.



2.5.



Klasifikasi Ruang Bersih dan Sarana Udara Bersih Ruang bersih dan sarana udara bersih diklasifikasikan sesuai dengan EN ISO 14644-



1. Klasifikasi harus dibedakan dengan jelas dari pemantauan lingkungan pada saat operasional. Jumlah maksimum partikulat udara yang diperbolehkan untuk tiap Kelas kebersihan adalah sebagai berikut:



Klasifikasi Kebersihan Ruang Pembuatan Obat



Sedangkan Rekomendasi Sistem Tata Udara (HVAC) di ruangan steril adalah :



Contoh Gambar Skematik Sistem Tata Udara Ruang Steril



Ruang bersih dan sarana udara bersih hendaklah dipantau secara rutin pada saat kegiatan berlangsung dan penentuan lokasi pengambilan sampel hendaklah berdasarkan studi analisis risiko yang dilakukan secara formal dan dari data yang diperoleh selama



penentuan klasifikasi ruangan dan/atau sarana udara bersih. Untuk zona Kelas A, pemantauan partikel hendaklah dilakukan selama proses kritis berlangsung, termasuk perakitan alat, kecuali bila dijustifikasi bahwa kontaminasi yang terjadi dalam proses dapat merusak alat penghitung partikel atau menimbulkan bahaya, misal organisme hidup dan bahan berbahaya radiologis. Pada kasus demikian, pemantauan selama kegiatan rutin penyiapan alat hendaklah dilakukan sebelum terpapar ke risiko kontaminasi tersebut di atas. Pemantauan selama kegiatan proses yang disimulasikan hendaklah juga dilakukan. Frekuensi pengambilan sampel dan ukuran sampel dalam pemantauan zona Kelas A hendaklah ditetapkan



sedemikian rupa sehingga mudah



diintervensi. Pemantauan Kelas B hendaklah dilakukan pada frekuensi dan jumlah sampel yang memadai sehingga perubahan pola kontaminasi dan kegagalan sistem dapat terdeteksi dan memicu alarm bila batas waspada terlampaui. Pada zona Kelas A dan B, pemantauan jumlah partikel ukuran > 5,0 μm menjadi penting karena merupakan sarana untuk deteksi dini kegagalan. Partikel ukuran > 5 μm kadang-kadang dapat terdeteksi yang merupakan pembacaan semu, hal ini disebabkan oleh lonjakan elektris, stray light, kejadian tidak terduga dan lain-lain. Namun, pembacaan partikel dalam jumlah rendah yang terjadi secara



berurutan ataupun terus-menerus



merupakan indikasi kemungkinan terjadi pencemaran dan perlu diinvestigasi. Kejadian tersebut merupakan indikasi dini kegagalan pada sistem tata udara, mesin pengisi atau merupakan indikasi dari kebiasaan yang kurang sesuai selama perakitan alat dan kegiatan rutin. Pemantauan area Kelas C dan D pada saat kegiatan rutin hendaklah dilakukan sesuai dengan prinsip manajemen risiko mutu. Persyaratan batas waspada ataupun batas bertindak tergantung pada jenis proses yang dilakukan, tetapi “waktu pemulihan” yang direkomendasikan hendaklah tercapai. Parameter lain misal suhu dan kelembaban udara akan tergantung pada jenis produk dan proses yang dilakukan. Parameter ini hendaklah tidak memengaruhi kelas kebersihan yang dipersyaratkan.



BAB III PEMBAHASAN



BAB IV PENUTUP



DAFTAR PUSTAKA Agoes, Goeswin. 2009. Sediaan Farmasi Steril (SFI-4). Bandung: Penerbit ITB Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan; 2014.



Badan



POM



RI.



2012.



Petunjuk



Operasional



Penerapan



Pedoman



Cara



Pembuatan Obat Yang Baik 2012.. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta.



Badan



POM



RI.



2006.



Petunjuk



Operasional



Penerapan



Pedoman



Cara



Pembuatan Obat Yang Baik 2006. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta.



Lachman, L., Liebermann, H.A., dan. Kanig, J.I. 1994. Teori and Praktek Farmasi Industri II. Edisi III. Jakarta: UI Press.



Priyambodo B. 2009. Manajemen Farmasi Industri. Global Pustaka Utama



https://tsffarmasiunsoed2012.wordpress.com/2012/06/12/in-process-controldalam-cpob-produksi-untuk-pemastian-mutu-obat/ Diakses 18/04/2016



http://documents.tips/documents/bab-iv-industri-4.html Diakses18/04/2016 http://ifhaa-jasmin.blogspot.co.id/2012/05/quality-control.html, Diakses 30 April 2016