Makalah Gerakan Tanah Kel.3 [PDF]

  • Author / Uploaded
  • grc
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1. Latar Belakang Secara umum, letak geografis Indonesia berada pada pertemuan antara dua samudera dan dua benua. Pertemuan antara benua dan samudera ini menyebabkan Indonesia memiliki kondisi iklim tropis dengan 2 musim yaitu musim hujan dan musim kemarau, yang secara langsung juga menyebabkan daerah Indonesia memiliki cuaca yang selalu berubah-ubah. Dari pandangan geologi regionalnya, letak Indonesia yang berada di pertemuan lempeng tektonik yaitu lempeng Asia, lempeng Australia, lempeng Pasifik, dimana lempeng tersebut saling bertumbukan dan tak jarang bisa menyebabkan beberapa fenomena alam seperti gempa bumi, gerakan tanah, tsunami, dll.



Posisi Indonesia yang secara geografis dan secara geologis tersebut



mengakibatkan Indonesia sangat berpotensi sekaligus rentan terhadap bencana alam. Hampir semua provinsi di Indonesia pernah terjadi bencana alam. Salah satunya adalah Provinsi Jawa Tengah. Karakteristik geologi maupun setting tektonik di Provinsi Jawa Tengah mempunyai bentuk bervariasi yang terjadi karena tumbukan lempeng sehingga terdapat beberapa gunung berapi di atasnya. Dampak dari tumbukan lempeng tektonik adalah terjadinya pengangkatan dan pelipatan lapisan geologi pembentuk pulau sehingga membentuk geomorfologi yang bervariasi seperti dataran landai, perbukitan dan dataran tinggi. Kondisi geologi yang demikian menjadi salah satu faktor pengontrol dari Provinsi Jawa Tengah berpotensi atas ancaman bencana alam yang tinggi. 2. Mitigasi Gerakan Tanah Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menjelaskan bahwa bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 Bab IV Pasal 18 tentang Penanggulangan Bencana, maka dibentuklah suatu badan pada tingkat kabupaten/kota yang memiliki beberapa tugas, salah satu 3 tugasnya adalah memberikan pedoman dan pengarahan penanggulangan bencana. Upaya yang dilakukan oleh BPBD dimulai dari tahap pra bencana, tanggap darurat, dan yang terakhir tahap pemulihan atau tahap pasca bencana. Tahap pra bencana sendiri terdiri atas tiga kegiatan, salah satunya adalah



mitigasi bencana. Mitigasi bencana merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana atau jika memungkinkan dengan meniadakan bahaya. Tahapan-tahapan tersebut (dalam Kusumasari, 2014: 22) antara lain: 1. Pra Bencana Pra bencana merupakan tahapan bencana pada kondisi sebelum kejadian meliputi: a. Pencegahan dan Mitigasi : merupakan tindakan yang diambil sebelum bencana terjadi dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan dampak bencana terhadap masyarakat dan lingkungan. b. Kesiapsiagaan : merencanakan tindakan untuk merespon jika terjadi bencana. Kesiapsiagaan berkaitan dengan kegiatan dan langkah-langkah yang diambil sebelum terjadinya bencana untuk memastikan adanya respon yang efektif terhadap dampak bahaya, termasuk dikeluarkannya peringatan dini secara tepat waktu dan efektif. 2. Saat Bencana Tahapan paling krusial dalam sistem manajemen bencana adalah saat bencana berlangsung atau terjadi. Kegiatan yang dilakukan adalah tanggap darurat atau respon. 3. Pasca Bencana Tahapan yang dilakukan setelah bencana terjadi dan setelah proses tanggap darurat dilewati (Ramli, 2011), antara lain: a. Rehabilitasi, merupakan kegiatan perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat. b. Rekonstruksi, yaitu pembangunan kembali semua sarana dan prasarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat 5 pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Mitigasi merupakan sebuah langkah yang diambil secara independen dari situasi darurat. Coppola (Kusumasari, 2014) menjelaskan bahwa ada dua jenis mitigasi yaitu: 1. Mitigasi struktural, didefinisikan sebagai usaha pengurangan risiko yang dilakukan melalui pembangunan atau perubahan lingkungan fisik melalui penerapan solusi yang dirancang. Upaya ini mencakup ketahanan konstruksi, langkahlangkah pengaturan, dan kode bangunan, relokasi, modifikasi struktur, konstruksi tempat tinggal masyarakat, konstruksi pembatas atau sistem pendeteksi, modifikasi fisik, sistem pemulihan, dan penanggulangan infrastruktur untuk keselamatan hidup. 2. Mitigasi non struktural, meliputi pengurangan kemungkinan atau konsekuensi risiko melalui modifikasi proses-proses perilaku manusia atau alam, tanpa



membutuhkan penggunaan struktur yang dirancang. Di dalam teknik ini terdapat langkahlangkah regulasi, program pendidikan, dan kesadaran masyarakat, modifikasi fisik non struktural, modifikasi perilaku, serta pengendalian lingkungan. 3. Studi Kasus : Gerakan Tanah/Longsor daerah Kampung Sawangan, Desa Sirongge, Kecamatan Pandanarum, Kabupaten Banjarnegara (Sumber : Badan Geologi Indonesia) Lokasi gerakan tanah di desa ini berada pada Kampung Sawangan, RT 01/RW 06, Desa Sirongge, Kecamatan Pandanarum, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Gerakan tanah terjadi pada Hari Sabtu Malam tanggal 10 Februari 2018, setelah terjadi hujan deras dan lama. Hujan yang intensitasnya deras dan durasinya lama itu memicu terjadinya gerakan tanah pada daerah tersebut yang berdampak pada : 1 jalan desa penghubung Kampung Sawangan dan Bantengan putus, 1 rumah rusak ringan, 10 rumah terancam, kebun, ladang dan sawah seluas 29.550 M² rusak  



Secara morfologi daerah bencana memilki ketinggian 850-1000 m dpl merupakan



morfologi perbukitan bergelombang dengan relief sedang hingga kasar dengan puncak Bukit pada ketinggian 1308 m dpl, kemiringan lereng antara 20° – 35°. dan berdasarkan Peta Geologi Lembar Banjarnegara dan pekalongan, Jawa (W.H. Condon, dkk, P3G, 1996) batuan penyusun daerah merupakan Formasi Rambatan (Tmr) yang terdiri dari serpih, napal dan batupasir gampingan. Formasi Rambatan ini diterobos oleh intrusi diorite. Berdasarkan hasil pemeriksaan di lokasi, daerah bencana tersusun atas tanah pelapukan cukup tebal berupa lempung pasiran, coklat tua, plastisitas sedang, permeabilitas tinggi, gembur dan mudah menyerap air. Di bawah tanah pelapukan terdapat serpih dan batu lempung. Tataguna lahan pada lokasi tersebut berupa kebun campuran, pemukiman dan sawah berada di bagian tengah dan bawah daerah longsoran serta jalan desa pada lereng bagian tengah daerah longsoran. Rembesan air muncul pada tekuk lereng dan alur sungai yang bersumber dari perbukitan di sebelah timur laut dari lokasi gerakan tanah. Alur sungai Bantengan berada dibagian bawah lereng dengan debit yang cukup besar. Berdasarkan Peta Prakiraan Potensi Terjadi Gerakan Tanah pada Bulan Februari 2018 di Kabupaten Banjarnegara (Badan Geologi), daerah bencana terletak pada zona potensi terjadi gerakan tanah tinggi, artinya daerah ini mempunyai potensi tinggi untuk terjadi gerakan tanah. Pada zona ini dapat terjadi gerakan tanah jika curah hujan di atas normal, sedangkan gerakan tanah lama maupun baru dapat aktif kembali. Jenis



gerakan tanah yang terjadi di lokasi ini berupa longsoran dengan arah longsoran relatif ke arah baratdaya, karena kandungan airnya melimpah berubah menjadi aliran bahan rombakan. Mahkota longsor memiliki lebar 95 meter, tinggi 10 meter dan panjang landaan ±440 meter. Pada bagian tepi tubuh longsoran  masih banyak terdapat retakan dengan lebar 5-10 cm. Material longsoran mencapai Sungai Bantengan sehinga patut untuk diwaspadai penyumbatan material longsoran tersebut agar tidak terjadi banjir bandang.



Gambar 1. Peta Situasi Gerakan Tanah di Kp. Bedahan, Desa Pringamba, Kecamatan Pandanarum (S umber : Badan Geologi)



 



Secara umum, faktor penyebab gerakan tanah pada lokasi tersebut adalah secara



litologi batuan yang berupa Serpih dan Napal Formasi Rambatan bersifat rapuh dan lembek jika jenuh air. Kemudian secara morfologinya daerah didominasi lereng bukit yang curam dengan sifat tanah pelapukan yang sarang dan mudah luruh jika terkena air, ditambah dengan buruknya sistem drainase pada lereng dengan adanya perubahan tata guna lahan dari tanaman berakar dalam menjadi kebun campuran  di sekitar lokasi bencana. Dan dipicu oleh curah hujan dengan intensitas tinggi dan lama yang turun sebelum gerakan tanah terjadi semakin memicu terjadinya gerakan tanah. Berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan, maka direkomendasikan sebagai berikut : Rumah milik beberapa warga sebaiknya dilakukan relokasi mandiri atau melandaikan timbunan material longsoran yang ada disamping atau didepan rumah. Hal ini dilakukan agar jika terjadi pergerakan tidak kearah rumah warga atau mengurangi gaya dorong dari material longsoran Jika retakan dan amblesan pada area



11 rumah tersebut berkembang intensif, sebaiknya 11 rumah tersebut direlokasi. Genangan dan aliran air di area longsoran tersebut sebaiknya dialirkan agar tidak terjadi genangan di area longsoran. Masyarakat agar mewaspadai alur air jika tiba-tiba berhenti atau tidak mengalir karena akan menimbulkan dorongan yang besar pada area longsoran. Sungai Bantengan masih mengalir walaupun terjadi penyempitan akibat material longsor, namun perlu diantisipasi jika Sungai Bantengan terjadi pembendungan agar segera dibuka untuk menghindari terjadinya banjir bandang. Tipe gerakan tanah yang masih mungkin terjadi adalah gerakan tanah lambat sehingga ada tanda-tanda sebelum terjadi longsoran. Masyarakat sekitar diharapkan waspada terutama saat dan setelah turun hujan karena masih berpotensi terjadi longsor susulan; Penataan dan pengendalian air permukaan dengan membuat permanen irigasi diatas lereng dan pembuatan saluran drainase di sepanjang jalan desa; Perlu kontrol di lereng bagian atas maupun bawah, pada saat musim hujan jika retakan semakin bertambah lebar atau ada tanda tanda retakan tanah, segera diisi dengan tanah liat dan dipadatkan, jika masih terjadi retakan semakin lebar segera laporkan ke pihak berwenang;



Gambar 2. Mahkota Longsoran di Kp. Sawangan, Desa Sirongge, Kecamatan Pandanarum, Kab. Banjarnegara (Sumber : Badan Geologi)



Daftar pustaka Kusumasari, Bevaola. (2014). Manajemen Bencana dan Kapabilitas Pemerintah Lokal. Yogyakarta: Gava Media. Ramli, Soehatman. (2011). Manajemen Bencana (Disaster Management). Jakarta: PT Dian Rakyat.