Makalah Hadits Dhaif [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HADITS DHAIF DAN PERMASALAHANNYA



MAKALAH disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi al-Hadits yang Dibina oleh Agus Khunaifi, M.Ag.



Oleh: Kelompok V Kelas Pendidikan Biologi 3-D



Himmatur Rofi’ah



(2008086076)



Lena Enjelina



(2008086080)



Siti Nurhalisa



(2008086093)



UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI SEPTEMBER 2021



KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan nikmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan lancar dan menyelesaikannya tepat waktu. Selawat serta salam kami sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah menyampaikan pedoman hidup manusia berupa Al-Qur’an dan As-Sunah. Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Studi al-Hadits, Agus Khunaifi, M.Ag., yang telah membimbing kami dalam



menyelesaikan



makalah



yang



berjudul



Hadits



Dhaif



dan



Permasalahannya. Karya tulis ini akan menjelaskan mengenai hadits dhaif , yang meliputi definisi, karakteristik, macam-macam hadits dhaif jika dilihat dari keterputusan sanad dan segi perawi, urutan hieraraki, serta hukum pengamalan hadits dhaif. Penyusun menyadari bahwa makalah ini tidak lepas dari kekurangan. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca guna menjadi bahan evaluasi bagi kami kedepannya. Demikian, semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca.



Semarang, 22 September 2021



Penyusun



ii



DAFTAR ISI Halaman JUDULi KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI iii DAFTAR TABEL



iv



BAB I PENDAHULUAN



1



A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah



2



C. Tujuan Penulisan



2



BAB II PEMBAHASAN



3



1



A. Definisi dan Karakteristik Hadits Dhaif



3



B. Macam-Macam Hadits Dhaif 4 1. Macam-Macam Hadits Dhaif Berdasarkan Keterputusan Sanad 4 2. Macam-Macam Hadits Dhaif Berdasarkan Perawinya Bermasalah 13 C. Urutan Hierarki Hadits Berdasarkan Keterputusan Sanad dari Tingkat Kedhaifannya 15 D. Hukum Pengamalan Hadits Dhaif BAB III PENUTUP



24



A. Kesimpulan



24



B. Saran



25



DAFTAR PUSTAKA 26



iii



17



DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.1. Perbedaan Kriteria Hadits Sahih, Hasan, dan Dhaif Tabel 1.2. Ilustasi Sanad



15



iv



3



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah Hadis Rasulullah adalah sebagai pedoman hidup yang utama bagi umat Islam setelah Al-Qur’an. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan



ketentuan



hukumnya,



tidak



diterangkan



cara



mengamalkannya, tidak diperincikan menurut dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan menurut dalil yang masih mutlak dalam Al-Qur’an, hendaklah dicarikan penyelesiannya dalam Hadis. Sejak masa lalu umat Islam telah mengakui bahwa hadis Nabi saw adalah sumber kedua syariat Islam setelah Alquran.1 Hal itu tercatat dalam warisan ilmu pengetahuan Islam dan dijelaskan oleh ilmu usul fikih dalam semua mazhab. Telah banyak kitab yang ditulis untuk menjelaskan hal itu, baik pada masa lampau maupun masa modern ini. Ini merupkan masalah yang tidak diperselisihkan oleh semua orang yang bertuhankan Allah, beragama Islam, dan mengakui bahwa Muhammad saw. adalah Rasulullah. Pengkajian terhadap Hadis selalu menarik perhatian. Menarik karena dalam sejarahnya, pernah terjadi konflik yang menimpa sejumlah kalangan yang sejatinya sebagai sanad Hadis. Dilihat dari kodifikasinya, Hadis baru terkumpul sekitar seratus tahun setalah Nabi Muhammad wafat. Belum lagi, masalah pemalsuan Hadis yang berdasarkan kepentingan individu maupun kelompok, terutama kepentingan politik dan mazhab fikih. Karena itu, untuk memurnikan Hadis dari noda-noda tersebut, diperlukan kritik dan penelitian yang sangat mendalam. Dilihat dari segi kualitasnya, hadits dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu hadits shahih, hadits hasan,dan hadits dha’if. Hadist dha’if merupakan tingkatan hadist yang tergolong lemah. Hadits dhaif berarti hadits yang tidak memenuhi kriteria hadits shahih dan hasan. Ada



1



banyak penyebab hadits dhaif, namun dari keseluruhan penyebab itu dapat disimpulkan menjadi dua sebab. Ada dua penyebab utama hadits dhaif: keterputusan sanad dan perawinya bermasalah. Masing-masing penyebab itu dirinci lagi oleh para ulama sehingga pembagian hadits dhaif menjadi semakin banyak. Untuk itu di dalam makalah ini akan membahas tentang hadits dhaif, supaya kita bisa mengetahui, memilah dan memilih serta menolaknya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah dari makalah ini, yaitu: 1. Apa definisi dan karakteristik dari hadist dhaif? 2. Apa saja macam-macam hadis dhaif? 3. Bagaimana urutan hierarki hadits berdasarkan keterputusan sanad dari ingkat kedhaifannya? 4. Bagaimana hukum pengamalan hadis dhaif? C. Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah yang disajikan, maka tujuan makalah ini, yaitu: 1.



Untuk mengetahui pengertian dari hadis dhaif.



2.



Untuk mengetahui macam-macam hadist dhaif.



3.



Untuk mengetahui urutan hierarki hadits berdasarkan keterputusan sanad dari tingkat kedhaifannya.



4.



Untuk mengetahui hukum pengamalan dari hadist dhaif.



2



BAB II PEMBAHASAN



A. Definisi dan Karakteristik Hadits Dhaif 1. Definisi Hadits Dhaif Kata Dhaif menurut bahasa yang berarti lemah, sebagai lawan dari Qawiy yang kuat. Sebagai lawan dari kata Shahih, kata Dhaif secara bahasa berarti hadist yang lemah, yang sakit atau yang tidak kuat. Secara terminologis, para ulama mendefinisikan secara berbeda-beda. Akan tetapi pada dasarnya mengandung maksud yang sama. Pendapat An-Nawawi mengenai definisi dari hadits dhaif : “Hadist yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadist Shahih dan syarat-syarat Hadist Hasan”. Hadist dhaif adalah hadist yang tidak bersambung sanadnya atau dalam sanadnya itu ada orang yang bercacat (Aziz & Mahmud, 1958). Yang dimaksud orang yang bercacat disini adalah rawi yang bukan Islam, belum baligh, berubah akalnya, buruk hafalannya, dituduh dusta, biasa lalai, fasik (keluar dari batas agama), tetapi tidak sampai kepada batas kufur. Disamping itu, hadits dhaif juga bisa disebut sebagai hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits maqbul (yang dapat diterima). 2. Karakteristik Hadits Dhaif Pada definisi di atas terlihat bahwa hadis dha’if tidak memenuhi salah satu dari kriteria hadits sahih atau hadits hasan. Berikut ini perbedaan kriteria-kriteria hadits sahih, hadits hasan, dan hadits dhaif. Tabel 1. Perbedaan Kriteria Hadits Sahih, Hasan, dan Dhaif No. 1.



Hadits Sahih Sanadnya



Hadits Hasan Sanadnya bersambung



3



Hadits Dhaif Sanadnya terputus



bersambung 2.



Periwayat adil



Periwayat adil



Periwayatnya tidak adil



3.



Periwayat dhabith



Periwayat



kurang Periwayatnya



dhabith



tidak dhabith



4.



Terlepas dari syadz



Terlepas dari syadz



Mengandung syadz



5.



Terhindar dari ‘illat



Terhindar dari ‘illat



Mengandung ‘illat



B. Macam-Macam Hadits Dhaif Ada dua penyebab utama hadits dhaif, yaitu karena keterputusan sanad dan perawinya bermasalah (Sohari Sahrani, 2010). Masing-masing penyebab itu dirinci lagi oleh para ulama sehingga pembagian hadits dhaif menjadi semakin banyak. 1. Macam-Macam Hadits Dhaif Berdasarkan Keterputusan Sanad Maksud dari sanad terputus adalah apabila dalam periwayatan terdapat perawi yang gugur dari rentetan sanad. Gugurnya perawi dalam sanad dapat berbeda-beda tempatnya. Ada yang gugur dari awal, di tengah dan di akhir. Bisa juga gugurnya dibeberapa tempat secara berurutan atau tidak berurutan. Dalam kaitan dengan keterputusan sanad, hadits dha’if dibagi menjadi tujuh macam, yaitu hadits mauquf, hadits mursal, hadits maqtu’, hadits munqathi’, hadits mu’dhal, hadits mu’allaq, dan hadits mudallas. 1. Hadits Mauquf Hadits mauquf adalah adalah hadis yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir (Sohari Sahrani, 2010). Contoh hadits mauquf :



ُ



‫ان لِ َم ْن اَل َحيَا َء لَه‬ َ ‫ اَل اِ ْي َم‬: َ‫ارثَة‬ َ َ‫ق‬ ِ ‫ال يَ ِز ْي ُد ب ُْن َح‬



“Yazid bin Haris berkata: Tidaklah beriman seseorang yang tidak mempunyai malu”. 2. Hadits Mursal



4



Hadits mursal adalah hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. sebuah hadits disebut mursal apabila diriwayatkan oleh tabi’in langsung dari Nabi tanpa menyebut sahabat. Kata mursal secara bahasa berarti lepas atau terceraikan dengan cepat atau tanpa



halangan



(Agus



Suyadi,



2008).



Sedangkan



secara



terminologis, mayoritas ulama hadits mendefinisikan hadits mursal dengan hadits yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh seorang tabi;I, baik tabi’i besar maupun tabi’i kecil, tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat nabi. Pada dasarnya hukum hadits mursal adalah mardud, karena terputusnya jalur sanad. Namun, para ulama baik dari kalangan ahli hadits maupun lainnya berbeda pendapat tentang hukum hadits mursal ini. Sebab perbedaan ini adalah karena adanya kemungkinan sanad yang hilang pada hadits mursal ini adalah seorang shahabat. Dan kita pahami bersama, seluruh shahabat adil, hingga jika diketahui hadits tersebut dari shahabat (walaupun nama shahabat tersebut tak disebutkan) haditsnya tetap shahih. Namun, keterputusan hadits mursal ini juga ada kemungkinan bukan hanya di sahabat, karena bisa saja seorang tabi’in meriwayatkan hadits dari tabi’in lainnya, bukan langsung dari sahabat. Oleh karena itu, ditinjau dari segi siapa yang menggugurkan dan segi sifat-sifat pengguguran hadis, hadis ini terbagi pada mursal jali, mursal shahabi, dan mursal khafi. 1) Mursal Jali, yaitu bila pengguguran yang telah dilakukan oleh rawi (tabiin) sangat jelas untuk diketahui, bahwa orang yang menggugurkan itu tidak hidup sezaman/semasa dengan orang yang digugurkan yang mempunyai berita. 2) Mursal Shahabi, yaitu pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, karena pada saat itu sahabat tersebut masih kecil atau terakhir masuknya ke dalam agama Islam. 5



3) Mursal Khafi, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tabiin yang hidup sezaman dengan shahabi tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadispun darinya. Contoh hadits mursal:



‫ قال رسول‬: ‫ابعين‬ َ ّ‫ب و هو ِمن الت‬ ِ ّ‫قال َس ِعي ٌد ب ُْن ْال ُم َسي‬ ‫ْح ال‬ *ِ ‫ بَ ْينَنا َو بَي َْن ْال ُمنَافِقِي َْن ُشهُود ْال ِع َشا ِء و الصُّ ب‬: ‫هللا‬ ُ‫يَ ْستَ ِط ْيعُونه‬ Sa’id bin Musayyab berkata... : “Perbedaan antara kita dengan orang-orang munafik ialah bahwa orang-orang munafik itu tidak suka (malas) mengerjakan sembahyang ‘Isya dan Subuh”. 3. Hadits Maqtu’ Hadits maqtu’ berasal dari kata qatha’a (memotong). Secara istilah berarti hadits yang disandarkan kepada seorang tabi’I atau sesudahnya baik perkataan maupun perbuatan, atau hadits yang diriwayatkan dari para tabi’in berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan. Dengan kata lain. Hadits maqtu’ adalah perkataan, perbuatan, atau ketetapan tabi’in atau orang-orang sesudah mereka. Disebut maqtu’



karena hadits ini terpotong, yaitu



sandaranya dipotong hanya sampai tabi’in. Contoh hadits Maqtu’ :



‫ال قاله االعمش‬ َ ِّ‫ِم ْن تَ َم ِام ْال َحج‬ ِ ‫لج َم‬ ِ ‫ضرْ بُ ْا‬ “Haji yang sempurna ialah dengan mengendarai unta.” Ini adalah perkataan dari salah seorang tabi’in bernama A’masy. 4. Hadits Munqathi’ Keterputusan sanad di tengah dapat terjadi pada satu sanad atau lebih, secara berturut-turut atau tidak (Agus Suyadi, 2008). Jika keterputusan terjadi di tengah sanad pada satu tempat atau



6



dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut, hadits yang bersangkutan dinamakan hadits munqathi’. Kata munqathi’ berasal dari bentuk verbal inqatha’a yang berarti: berhenti, kering, patah, pecah, atau putus. Tentang definisi hadits munqathi’, para ulama berbeda pendapat. Berikut dikemukakan beberapa definisi hadits munqathi’ yaitu: 1) Hadits munqathi’ adalah hadits yang sanadnya terputus di bagian mana saja, baik pada sanad terakhir atau periwayat pertama (sahabat) maupun bukan sahabat (selain periwayat pertama). 2) Hadits munqathi’ adalah hadits yang sanadnya terputus, karena periwayat yang tidak berstatus sebagai sahabat Nabi maupun tabi’in menyatakan menerima hadits dari Nabi. Sanad hadits terputus pada peringkat sahabat dan tabi’in. 3) Hadits munqathi’ adalah hadits yang bagian sanadnya sebelum sahabat (periwayat sesudahnya) hilang atau tidak jelas. 4) Hadits munqathi’ adalah hadits yang dalam sanadnya ada periwayat yang gugur seorang atau dua orang tidak secara berurutan. 5) Hadits munqathi’ adalah hadits yang dalam sanadnya ada seorang periwayat yang terputus atau tidak jelas. 6) Hadits munqathi’ adalah hadits yang sanadnya di bagian sebelum sahabat (periwayat sesudahnya) terputus seorang atau lebih tidak secara berturut dan tidak terjadi di awal sanad. 7) Hadits munqathi’ adalah pernyataan atau perbuatan tabi’in. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang tidak disebutkan seorang rawinya sebelum sahabat. Untuk mengetahui keterputusan sanad (alinqitha’) pada hadits munqathi’ dapat diketahui dengan tiga cara: 1) Dengan jelas, yaitu periwayat yang meriwayatkan hadits dapat diketahui dengan pasti tidak sezaman dengan guru yang memberikan hadits kepadanya atau ia hidup sezaman dengan 7



gurunya,



tetapi



tidak



mendapat



izin



(ijazah)



untuk



meriwayatkan haditsnya. Hal ini dapat dilihat dari tahun lahir dan atau wafat mereka. 2) Dengan samar-samar, yaitu karena tidak ada tahun lahir dan atau wafat periwayat, maka keterputusan hadits munqathi’ hanya diketahui oleh orang yang ahli saja. 3) Dengan komparasi, yaitu dengan memperbandingkan haditshadits dengan hadits lain yang senada sehingga diketahui apakah hadits tetentu munqathi’ atau bukan. Contoh hadits munqathi’ :



‫ رواه البيهقى‬.‫ال ّد ْنيا‬



ُ‫عان طالِبُ ْال ِع ْل ِم و طالِب‬ ْ ‫َم ْن‬ ِ َ‫مان ال يَ ْشب‬ ِ ‫هو‬ ‫و قال انه منقطع‬



"Dua macam manusia yang tidak akan kenyang (puas) selamalamanya, ialah penuntut ilmu dan penuntut dunia”. (Riwayat Baihaqi, katanya Hadits Munqathi’). Kalau sekiranya dalam sanad hadits itu tidak disebutkan seorang rawinya sebelum sahabat. Maka hadits itu dinamai hadits munqathi’. 5. Hadits Mu’dhal Adapun menurut istilah muhaditsin, hadis mu’dhal adalah hadis yang putus sanadnya dua orang atau lebih secara berurutan. Contoh dari hadits Mu’dhal adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Hakim dalam kitab “Ma’rifat Ulumil Hadits” dengan sanadnya yang terhubung kepada al-Qo’nabi dari Malik bahwa telah sampai kepadanya bahwa Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda :



ُ َّ‫وك طَ َعا ُمهُ َو ِكس َْوتُهُ بالمعروف َوال يُ َكل‬ ‫ف ِم َن ْال َع َم ِل‬ ِ ُ‫لِ ْل َم ْمل‬ ُ ‫ِإال َما ي ُِطي‬ ‫ق‬ “Hamba sahaya berhak mendapatkan makanan dan pakaiannya secara ma’ruf (yang sesuai) dan tidak boleh dibebani pekerjaan, kecuali yang disanggupinya saja”. 8



Al-Hakim berkata, “Hadis ini mu’dhal dari Malik dalam kitab AlMuwatha.” Hadis ini yang kita dapatkan bersambung sanadnya pada kita, selain Al-Muwatha’, diriwayatkan dari Malik bin Anas dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari bapaknya, dari Abu Hurairah. Letak ke-mu’dhalan-nya karena gugurnya dua perawi dari sanadnya, yaitu Muhammad bin ‘Ajlan dan bapaknya. Kedua rawi tersebut gugur secara berurutan 6. Hadits Mu’allaq Hadits mu’allaq adalah hadits yang terputus di awal sanad. Kata mu’allaq secara bahasa berarti tergantung (Sohari Sahrani, 2010). Sebagian ulama menyatakan, kata mu’allaq yang secara bahasa berarti bergantung itu diambil dari pemakaian istilah ta’liq al-thalaq (cerai gantung) dan ta’liq al-jidar (dinding tergantung) karena ada unsur kesamaan dalam hal keterputusan sambungan. Contoh hadits muallaq :



ْ َ‫ قال‬: ‫ال ْالب َُخارى‬ ‫ان النَّبِ ُّى‬ َ ‫ َك‬: ‫ت َعائشة رضي هللا َع ْنهَا‬ َ َ‫ق‬ ‫يَ ْذ ُك ُر هللاَ على ُكلِّ اَحْ والِ ِه‬ “Bukhari berkata : Aisyah telah berkata : adalah Nabi selalu mengingat Allah pada segala keadaanya”. (Riwayat Bukhari) Disini Bukhari tidak menyebutkan rawi sebelum Aisyah. Antara Buchari dengan Aisyah ada beberapa orang yang tidak disebutkan namanya, sebab itu hadits tersebut dinamakan Hadits Mu’allaq (Ferdiansyah, 2018). 7. Hadits Mudallas Hadis mudallas adalah hadis yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadis tersebut tidak bernoda. Dengan kata lain bahwa hadits mudallas adalah hadis yang diriwayatkan dengan tidak menyebutkan nama orang yang meriwayatkannya dan menukar namanya dengan orang lain. Rawi yang berbuat



9



demikian disebut mudallis. Hadis yang diriwayatkan oleh mudallis disebut hadis mudallas, dan perbuatannya disebut dengan tadlis. Macam-macam tadlis sebagai berikut : 1) Tadlis Isnad Yaitu bila seorang rawi yang meriwayatkan suatu hadis dari orang yang pernah bertemu dengan dia, tetapi rawi tersebut tidak pernah mendengar hadis darinya. Agar dianggap rawi tersebut pernah mendengarnya. Contoh Mudallas Isnad :



ُّ ‫ان ب ُْن ُعيَ ْينَةَ َع ِن‬ ‫س ب ِْن َمالِ ٍك َأ َّن‬ ِ َ‫َع ْن ُس ْفي‬ ِ َ‫الز ْه ِريِّ َع ْن َأن‬ ‫هّٰللا‬ ‫ت ُحيَ ٍّي‬ َ ‫صلَّى ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأ ْولَ َم َعلَى‬ َ ‫ي‬ ِ ‫صفِيَّةَ ِب ْن‬ َّ ِ‫النَّب‬ ‫ق َوتَ ْمر‬ ٍ ‫بِ َس ِو ْي‬ “Dari Sufyan bin Uyainah, dari Az-Zuhri, dari Sahabat Anas bin Malik, sesungguhnya Nabi SAW mwmbuat walimah atas pernikahan (Beliau dan) Shafiyah dengan memasak gandum dan kurma.” Abu Isa mengatakan bahwa Sufyan bin Uyainah melakukan tadlis pada hadits tersebut, di mana dia terkadang tidak menyebutkan dari Wa'il bin Dawud dari anaknya (Dawud) dan dia terkadang menyebutkannya. Artinya, Sufyan bin Uyainan terkadang menyembunyikan 2 rawi sebelum sambung pada AzZuhri, yaitu Wa'il bin Dawud dari anaknya (Dawud). Hadits tersebut diriwayatkan dari banyak jalur sanad, salah satu jalur sanadnya adalah Sufyan bin Uyainah dari Az-Zuhri. 2) Tadlis Syuyukh Mudallas Syuyukh adalah rawi yang meriwayatkan hadits dari gurunya (rawi lain), tetapi dia menyebut gurunya dengan sebutan yang tidak dikenal, baik berupa nama, kunyah (nama panggilan), laqab (julukan), qabilah (suku), negara, atau bahkan pekerjaan, dengan tujuan agar tidak dikenali. Contoh Mudallas Syuyukh : 10



ٍّ‫ َأ ْخبَ َرنَا َأب ُْو َأحْ َم َد ب ُْن َع ِدي‬،‫َأ ْخبَ َرنَا َأب ُْو َس ْع ٍد ْال َمالِينِ ُّي‬ ‫َّار‬ ِ ‫ َح َّدثَنَا َأحْ َم ُد ب ُْن ْال َح َس ِن ب ِْن َع ْب ِد ْال َجب‬،ُ‫ْال َحافِظ‬ ،‫ق‬ َ ‫ْحا‬ َ ‫ َأ ْخبَ َرنَا َأبُو ِإس‬،‫ َح َّدثَنَا َعلِ ُّي ب ُْن ْال َج ْع ِد‬،‫الصُّ ْوفِ ُّي‬ ،‫وب ب ِْن ُم َح َّم ِد ب ِْن طَحْ اَل َء‬ َ ُ‫ َع ْن يَ ْعق‬،‫ ال َّش ْيبَانِ ُّي‬:‫ال‬ َ َ‫َأظُنُّهُ ق‬ ‫ُول‬ َ ‫ َأ َّن َرس‬: َ‫ َع ْن َعاِئ َشة‬،َ‫ َع ْن َع ْم َرة‬،‫ال‬ ِ ‫َع ْن َأبِي الرِّ َج‬ ‫هّٰللا‬ ‫ فََأ ْلقَى‬،‫ي ُغاَل ًما‬ َ ‫ َأ َرا َد َأ ْن يَ ْشتَ ِر‬،‫صلَّى ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ِ‫هللا‬



‫هللا‬ َ َ‫ فَق‬،‫ فََأ َك َل ْال ُغاَل ُم فََأ ْكثَ َر‬،‫بَي َْن يَ َد ْي ِه تَ ْمرًا‬ ِ ‫ال َرسُو ُل‬ ‫ ِإ َّن َك ْث َرةَ اَأْل ْك ِل ُشْؤ ٌم‬: ‫صلَّى هّٰللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ



“Abu Sa’d Al-Malini menceritakan kepada kami, Abu Ahmad bin ‘Adi



Al-Hafidz



menceritakan



kepada



kami,



Ali



bin



Ja’d



menceritakan kepada kami, Abu Ishaq menceritakan kepada kami, aku mengira dia berkata: As-Sya’bani, dari Ya’qub bin Muhammad bin Thalkha’, dari Abu Rijal, dari Amrah, dari Siti Aisyah, sesungguhnya Rasulullah SAW ingin membeli ghulam (pelayan yang



masih



anak-anak),



Beliau



memberikan



kurma



di



hadapannya, ia pun memakan banyak, lalu Rasulullah SAW bersabda,



‘Sesungguhnya



banyak



makan



adalah



(tanda)



kesialan’”. Hadits tersebut merupakan Mudallas Syuyukh, karena Ali bin Ja'd merekayasa nama rawi sesudahnya, yaitu Abu Ishaq yang memiliki nama asli Ibrahim bin Harasah. Hal itu dilakukan karena Ibrahim bin Harasah dianggap berbohong sebagai seorang rawi (Ferdiansyah, 2018). 3) Tadlis Taswiyah (tajwid) Yaitu seorang rawi meriwayatkan hadis dari gurunya yang tsiqah (dipercaya), yang oleh guru tersebut diterima dari gurunya yang lemah, dan guru yang lemah ini menerima dari 11



seorang guru yang tsiqah pula, tetapi si mudallis tersebut dalam meriwayatkannya tanpa menyabutkan rawi-rawi yang lemah. Contoh hadits mudallas taswiyah :



‫ َع ْن ُم َح َّم ِد ب ِْن‬،‫اويِّ َع ْن َأبِ ْي ُأ َميَّةَ الطَّرْ س ُْو ِس ِّي‬ ِ ‫َع ْن الطَّ َح‬ ‫ َح َّدثَنَا‬،‫ َح َّدثَنَا ْال َولِ ْي ُ*د ب ُْن ُم ْسلِ ٍم‬،َ‫ب ب ِْن َع ِطيَّة‬ ٍ ‫َو ْه‬ ‫ب‬ ٍ ‫َّان ب ِْن َع ِطيَّةَ َع ْن َأبِ ْي ُمنِ ْي‬ ِ ‫اَْأل ْو َز‬ ٍ ‫ َع ْن َحس‬،‫اع ُّي‬ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ِ‫ال َرس ُْو ُل هللا‬ َ َ‫ ق‬،‫ال‬ َ َ‫ َع ِن اب ِْن ُع َم َر ق‬،‫ْالج َُر ِش ِّي‬ ُ ‫ ب ُِع ْث‬: ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ،ُ‫ْك لَه‬ َ ‫ْف َحتَّى يُ ْعبَ َد هللاُ اَل َش ِري‬ ِ ‫ت ِبال َّسي‬



َ ْ‫َوج ُِع َل ِر ْزقِ ْي تَح‬ َّ ‫ َوج ُِع َل ال ِّذلَّةُ* َوال‬،‫ت ِظلِّ ُر ْم ِح ْي‬ ‫ص َغا ُر‬ ‫ َو َم ْن تَ َشبَّهَ بِقَ ْو ٍم فَه َُو ِم ْنهُم‬، ْ‫ف َأ ْم ِري‬ َ َ‫ْ َعلَى َم ْن َخال‬ “Dari At-Thajawi, dari Abu Umayyah At-Tharsusi, dari Muhammad bin Wahab bin Athiyah, Walid bin Muslim menceritakan kepada kami, Al-Auza’I menceritakan kepada kami dari Hassan bin Athiyah, dari Abu Munis Al-Jurasyi, dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘aku diutus (menjelang hari kiamat) dengan pedang sehingga Allah disembah tanpa ada sekutu bagiNya, rizkiku ditempatkan dibayang-bayang tombakku. Kehinaan dan



kerendahan



dijadikan



bagi



orang



yang



menyelisihi



perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”’. Dalam



hadits



tersebut,



Walid



bin



Muslim



sengaja



menggugurkan seorang rawi yang dhaif di antara Al-Auza'i dan Hassan bin Athiyah, rawi dhaif tersebut bernama Abdur Rahman bin Tsabit. Hal itu dilakukan agar hadits tersebut terbebas dari sanad yang dhaif, sebagaimana pengakuan Walid bin Muslim sendiri ketika Hutsaim bin Kharijah menanyakan kepadanya.



12



2. Macam-Macam Hadits Dhaif Berdasarkan Perawinya Bermasalah a. Hadits Matruk, adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang disepakati atas kelemahannya, seperti dicurigai berdusta, dicurigai kefasikannya, pelupa, banyak keragu-raguannya, atau suatu hadits hanya diriwayatkan oleh satu orang, seperti riwayat Umar bin Syamr, dari Jabir, dari Harits, dari ‘Ali RA. ‘Amr di sini terkena sifat matrukul hadits (Qadir Hasan, 1996). b. Hadits Munkar, adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah yang bertentangan dengan rawi yang lebih kuat darinya dari sisi ketsiqahannya (Mudasir, 2010). Perbandingannya adalah hadits ma’ruf adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi tsiqah yang bertentangan dengan perawi yang lemah, seperti hadits riwayat Ibnu Abi Hatim, dari jalurnya Hubaib bin Habib, dari Abi Ishaq, dari al-‘Izar bin Huraits, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah beliau bersabda:



َّ ‫َم ْن َأقَا َم ال‬ ‫صا َم َو قَ َرى‬ َ ‫صاَل ةَ* َو َأتَى ال َّز َكاةَ َو َح َّج َو‬ َ‫الجنَّة‬ َّ ‫ال‬ َ ‫ضي‬ َ ‫ َد َخ َل‬,‫ْف‬ Ibnu Abi Hatim berkata: Hadits ini munkar, karena terdapat rawi yang kredibel yaitu Abi Ishaq dan rawi yang kurang kredibel yaitu Hubaib (Ma’shum, 2008). c. Hadits Mudraj, adalah hadits yang menampakkan suatu tambahan, baik dari segi sanad atau matannya, karena diduga bahwa tambahan tersebut termasuk bagian dari hadits itu (Qadir Hasan, 1996), seperti hadits riwayat at-Tirmidzi tentang:



َّ ُّ‫ َأي‬,ِ‫ يَا َرس ُْو َل هللا‬:‫ت‬ ُ ‫قُ ْل‬....... ‫ب َأ ْعظَ ُم‬ ِ ‫الذ ْن‬ Hadits ini dapat dilihat dari dua jalur, yaitu: Jalur Ibnu Mahdi, dari ats-Tsaury, dari Washil al-Ahdab, dari Manshur; dan Jalur alA’masy, dari Abi Wa’il, dari Amr bin Surahby, dari Ibnu Mas’ud. Dalam



meriwayatkan



hadits 13



ini,



Washil



al-Ahdab



tidak



menyebutkan Umar bin Surahbil, tetapi dia meriwayatkan dari Abi Wa’il yang menerima langsung dari Ibnu Mas’ud. Jadi, penyebutan Umar bin Syurahbil merupakan sisipan (tadrij) pada riwayat Manshur dan al-A’masy (Mudasir, 2010). d. Hadits Maqlub, adalah hadits yang diganti lafadznya dengan lafadz lain di dalam sanadnya atau matannya, dengan mendahulukan atau mengahirkan atau semisalnya, seperti hadits riwayat Hammad anNashiby, dari al-A’masy, dari Abi Shalih, dari Abi Hurairah:



ِ



‫ق فَاَل تَ ْب َدُأ ْوهُ ْم بِال َّساَل م‬ ٍ ‫ِإ َذا لَقِ ْيتُ ُم ْال ُم ْش ِر ِكي َْن فِ ْي طَ ِر ْي‬



Hadits ini maqlub, karena Hammad mengganti Suhail bin Abi Shalih dengan al-A’masy (Al-Maliki, 2001). e. Hadits Mudltharib, adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang berbeda-beda, akan tetapi syarat-syarat diterimanya dari beberapa rawi tersebut sama di dalam kekuatannya, sekira ada pertentangan dari segala arah, maka tidak bisa dijam’u, dinaskh, dan ditarjih, seperti hadits riwayat at-Tirmidzi, dari jalur Abu Bakar, sesungguhnya ia bertanya kepada Nabi saw demikian:



َ ‫اك ِشب‬ ‫ َشيَّبَ ْتنِ ْي هُ ْو ٌد َو َأ َخ َواتُهَا‬:‫ال‬ َ ‫يَا َرس ُْو َل هللاِ َأ َر‬ َ َ‫ْت؟ ق‬ Menurut Daru Quthniy, hadits ini termasuk hadits mudltharib, sebab hanya diriwayatkan dari satu jalur matarantai sanad, yaitu Abu Ishaq, tetapi dari jalur ini pula banyak ditemukan kerancuan dalam matarantai sanad yang jumlahnya lebih dari sepuluh redaksi, di antaranya ada yang mengatakan bahwa: 1) diriwayatkan



secara



muttashil;



dan



2)



Hadits tersebut Hadits



tersebut



diriwayatkan secara mursal (Hadi Saeful, 2006). f. Hadits Mushahhaf, hadits yang terjadi perubahan huruf atau makna di dalamnya atau di dalam sanadnya (Al-Maliki, 2001), seperti contoh hadits:



14



‫صيَ ِام‬ َ ‫ َك‬,‫ال‬ َ ‫ض‬ َ ‫صا َم َر َم‬ َ ‫َم ْن‬ ِ ‫ان َك‬ ٍ ‫ان َو َأ ْتبَ َعهُ ِستًّا ِم ْن َش َّو‬ ‫ال َّد ْه ِر‬ Kemudian hadits tersebut ditashhif oleh Abu Bakr ash-Shuuliyu pada lafadz



‫ ِستًّا‬menjadi ‫ َش ْيًأ‬.



g. Hadits Muharraf, adalah hadits yang terjadi perubahan syakl di dalamnya atau di dalam sanadnya, maksudnya terjadi perubahan pada harakat-harakatnya atau pada sukun-sukunnya, seperti pada hadits:



‫هللا‬ ِ ‫ فَ َك َواهُ َرس ُْو ُل‬,‫ب َعلَى َأ ْك َحلِ ِه‬ ِ ‫ُر ِم َي ُأبَ ٌّي يَ ْو َم اِإْل حْ َزا‬ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ



Hadits tersebut ditahrif oleh Ghundar dengan melafalkan menjadi ‫ي‬ ْ ِ‫َأب‬.



‫ُأبَ ٌّي‬



C. Urutan Hierarki Hadits Berdasarkan Keterputusan Sanad dari Tingkat Kedhaifannya Sebab-sebab kedhaifan hadis itu berbeda-beda kekuatan dan pengaruhnya, maka tingkatan hadis dhaif itu dengan sendirinya berbedabeda. Ada yang kadar kelemahannya kecil sehingga hampir-hampir dihukumi sebagai hadis hasan dan ada yang terlalu dhaif (Nuruddin, 2012). Tabel 2. Ilustrasi Sanad Ilustrasi sanad : Pencatat Hadits > penutur 4 > penutur 3 > penutur 2 (tabi'in) > penutur 1 (Para sahabat) > Rasulullah SAW.



Berikut ini adalah adalah urutan hierarki hadits berdasarkan keterputusan sanad dari tingkat kedhaifannya: 1. Hadits Mauquf.



15



Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat Nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu. Sebagai contoh, Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: "Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah". Dan dalam pernyataan contoh itu tidak memiliki kejelasan, apakah berasal dari Nabi atau sekadar pendapat para sahabat. Akan tetapi jika ekspresi yang digunakan sahabat adalah seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang untuk…", "Kami terbiasa… jika sedang bersama Rasulullah", maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu'. 2. Hadits Mursal. Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi'in (penutur 2) mengatakan "Rasulullah berkata" tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya). 3. Hadits Maqthu’. Hadits Maqthu’ diartikan sebagai hadits yang sanadnya berujung pada para tabi'in (penerus) atau sebawahnya. Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu". 4. Hadits Munqati' Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3. 5. Hadits Mu'dhal Bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut. 6. Hadits Mu'allaq Bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1 (Contoh: "Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah). 16



7. Hadits Mudallas Untuk hadits ini dapat dicontohkan, bila salah satu rawi mengatakan "..si A berkata .." atau "Hadits ini dari si A.." tanpa ada kejelasan "..kepada saya.."; yakni tidak tegas menunjukkan bahwa hadits itu disampaikan kepadanya secara langsung. Bisa jadi antara rawi tersebut dengan si A ada rawi lain yang tidak terkenal, yang tidak disebutkan dalam sanad. Hadits ini disebut juga dengan hadits yang disembunyikan cacatnya karena diriwayatkan melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya. Padahal sebenarnya ada, atau dengan kata lain merupakan hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya. D. Hukum Pengamalan Hadits Dhaif 1. Hukum-Hukum Hadits Dhaif Dari pengertian dan kriteria yang terdapat pada hadits dhaif, maka hadits dhaif ini berakibat hukum sebagai berikut: a. Tidak boleh diamalkan, baik dalam hal menggunakannya sebagai landasan menetapkan suatu hukum maupun sebagai landasan suatu akidah, melainkan hanya dibolehkan dalam hal keutamaankeutamaan amal dengan memberikan iklim yang kondusif menggairahkan atau merasa takut untuk melakukan atau tidak melakukan suatu amal perbuatan, dan dalam hal menerangkan biografi. Menurut para ahli hadis, pendapat ini dapat dijadikan pegangan, tetapi hal itu masih di perselisihkan oleh para ulama tentang dibolehkannya mengamalkan hadis dhaif dengan syaratsyarat sebagimana yang disebutkan Ibnu Hajar, yaitu: 1) Hadits dhaif itu mengenai keutamaan-keutamaan beramal. Ulama yang menegaskan dibolehkannya mengamalkan hadis dhaif dalam bidang keutamaan-keutamaan amal, di antaranya ialah: 



Imam Al-Nawawi dalam kitabnya Al-Targib.







Imam Al-Iraqi dalam kitab Syarah Alfiyah Al-Iraqi.







Ibnu Hajar Al-Asqalaani dalam kitab Syarah Al-Nukhbah. 17







Syekh Zakariya Al-Anshari dalam kitab Syarah Alfiyah Al-Iraaqi.







Al-Allaamah



Al-Lukhnuwi



dalam



risalahnya



yang



membehas secara lengkap tentang hadis dhaif yang berjudul Al-Ajwibah Al-Fashilah. 



Al-Sayyid Alawi Al-Maliki dalam kitab Risalah khusus tentang hukum hadis dhaif.



2) Kualitas kedhaifannya tidak terlalu, sehingga tidak dibolehkan mengamalkan hadis-hadis dhaif yang diriwayatkan oleh orang pendusta, yang di tuduh berbuat dusta, dan yang sangat jelek kesalahannya. 3) Hadis dhaif itu harus bersumber pada dalil yang bisa diamalkan. 4) Pada



waktu



mengamalkan



hadis



dhaif



tidak



boleh



mempercayai kepastian hadis itu, melainkan harus dengan niat ikhtiyat (berhati-hati dalam agama). b. Orang yang mengetahui hadis sanadnya dhaif, maka harus mengatakannya, “Hadis ini sanadnya dhaif.” Tidak dibolehkan dengan mengatakannya, “Hadis ini dhaif” hanya disebabkan adanya kelemahan dalam sanad. Karena, hadis itu kadang mempunyai sanad lain yang shahih. Seseorang dibolehkan menyebutkannya dengan tegas, “Hadis ini dhaif” apabila telah jelas tidak ada sanad lain yang shahih. c. Hadis dhaif yang tanpa sanad tidak boleh diucapkan dengan katakata, “Bahwasanya Nabi SAW bersabda…. Begini dengan begitu….dst.” Akan tetapi, harus diucapkan dengan kata-kata, “Diriwayatkan dari Nabi SAW… begitu… begitu….dst”, atau dengan kata-kata lain yang senada, yang terdiri dari bentuk-bentuk ungkap-ungkap



yang



mengandung



makna



tidak



adanya



memastikan, yang disebut dengan “shigdhat tamridh”. Adapun untuk menyebutkan hadis shahih, sudah barang tentu harus menggunakan yang menunjukan arti kepastian, yang di sebut 18



dengan “shighat jazm.” Dan dipandang sangat tidak baik meriwayatkan hadis shahih dengan menggunakan shigat tamridh. d. Apabila hadis dhaif itu mempunyai makna yang musykil, maka tidak perlu dicari-cari interprestasinya dengan cara mena’wil, atau dengan cara lain untuk menghilangkan kemuskilannya, sebab cara-cara yang demikian itu hanya bisa dilakukan terhadap hadis shahih. e. Hadis dhaif tidak boleh mengakibatkan turunnya kualitas validitas hadis shahih, demikian ini pendapat Ibnu Hajar dalam kitab Fathu Al-Bari. 2. Pengamalan Hadits Dhaif Mengenai hadis dhaif dalam pengamalannya di kehidupan seharihari, terdapat tiga pandangan atau pendapat para ulama, yaitu: a. Hadis dhaif itu sama sekali tidak boleh diamalkan. Tidak boleh dalam soal hukum, tidak boleh dalam soal targib dan lain-lainnya. Inilah mazhab iman-iman besar hadis, seperti: Al Bukhari dan Muslim dalam muqaddimah shahihnya dengan tegastegas mencela mereka yang memegangi hadis dhaif (Idri, 2010). Alasan golongan ini, ialah: agama ini diambil dari kitab dan sunah yang benar. Hadis dhaif, bukan sunah yang benar (dapat diukur besar). Hal ini umumnya dikarenakan sikap kehati-hatian mereka dalam menyikapi suatu hadis. Maka berpegang kepadanya, berarti menambah agama dengan tidak berdasar kepada keterangan yang kuat. b. Hadis-hadis dhaif itu dipergunakan untuk menerangkan fadlilatfadlilat amal (fadhailul a’mal). Pendapat ini dikatakan pendapat sebagian fuqaha dan ahli hadis, Imam Ahmad, menerima hadis-hadis dhaif kalau berpautan dengan targhieb dan tarhib dan menolaknya kalau berpautan dengan hukum. Diantara fuqoha yang berpendapat sama adalah Ibnu ‘Abdil Barr (Ibnu Qayyim, 2000).



19



Sebagian besar ulama hadis membolehkan mengamalkan hadis dhaif selama tidak berkaitan dengan akidah, sifat-sifat Allah, dan hukum Islam (fikih).  Mahmud Ath-Thahhan berkata:



‫ الَّ ِذيْ َعلَ ْي ِه‬،‫ْف‬ َ َ‫اِ ْختَل‬ ِ ‫ث الض َِّعي‬ ِ ‫ف ْال ُعلَ َما ُء فِي ْال َع َم ِل بِ ْال َح ِد ْي‬ ‫ضاِئ ِل‬ َ َ‫ُج ْمه ُْو ِر ْال ُعلَ َما ِء َأنَّهٌ يُ ْستَ َحبُّ ْال َع َم ُل بِ ِه فِي ف‬ ‫ال‬ ِ ‫اَأْل ْع َم‬



“Ulama berbeda pendapat dalam mengamalkan hadis dhaif. Pendapat



yang



dipegang



oleh



mayoritas



ulama



adalah



disunnahkan mengamalkan hadis dhaif dalam masalah fadhail amal (keutamaan amal-amal yang baik).” Contoh hadis yang dinilai dhaif (oleh sebagian ulama) yang mencakup fadhail amal, misalnya:



ْ َ‫آن َوا ْست‬ ُ‫ظهَ َرهُ فََأ َح َّل َحالَلَهُ َو َح َّر َم َح َرا َمه‬ َ ْ‫َم ْن قَ َرَأ ْالقُر‬ ‫َأ ْد َخلَهُ هَّللا ُ ِب ِه ْال َجنَّةَ َو َشفَّ َعهُ ِفي َع َش َر ٍة ِم ْن َأ ْه ِل بَ ْيتِ ِه ُكلُّهُ ْم‬ ْ َ‫َو َجب‬ ‫ت لَهُ النَّا ُر‬ “Barang siapa membaca Al-Qur’an kemudian dia menghafalnya dan



menghalalkan



mengharamkan



apa



apa



yang



yang



dihalalkan



diharamkan



Al-Qur’an



Al-Qur’an,



serta niscaya



dengannya Allah akan memasukkannya ke dalam surga dan dapat memberi syafaat kepada 10 keluarganya yang masuk neraka.” (HR. Tirmidzi no. 2905; gharib menurut Imam Tirmidzi). Hadis di atas menegaskan keutamaan seorang hafiz Al-Qur’an yang hidup berdasarkan Al-Qur’an, sehingga insyaAllah masuk surga dan diberikan kesempatan menyelamatkan 10 orang anggota keluarganya yang divonis neraka. Walaupun hadisnya



20



lemah, menjadi hafiz Al-Qur’an adalah suatu hal yang baik dan ditopang oleh hadis-hadis sahih maupun hasan lainnya. Sehingga boleh saja mengutip hadis ini untuk menyemangati seseorang untuk menjadi penghafal Al-Qur’an. Sejak dulu, para ulama hadis seperti Imam Ibnu Mubarak dan Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya, menilai bahwa hadis lemah ada kegunaannya.  Ketika Imam Ibnu Mubarak ditanya apa yang harus dilakukan dengan hadis dari seorang perawi yang lemah, beliau menjawab bahwa hadis itu “tidak boleh digunakan sebagai bukti (dalil) dalam hal fikih.” Namun, “boleh meriwayatkan hadis itu dalam hal sopan santun (adab), dakwah yang baik (mauizah), zuhud, dan hal-hal semacam itu.”  Sementara itu, Imam Ahmad berkata, “Jika kami diberi tahu hadis dari Rasulullah saw tentang halal dan haram, hukum syariat, maka kami pun berlaku ketat dalam hal isnadnya (rantai periwayatan suatu hadis). Namun, jika kami diberi tahu hadis dari Rasulullah saw tentang keutamaan amal tertentu (fadhail amal) serta  ganjarannya di dunia dan akhirat, atau suatu hadis yang tidak menciptakan atau menghilangkan hukum tertentu, maka kami berlaku longgar (tidak ketat) dalam hal isnad.”   Imam Ahmad sendiri tentunya tidak anti terhadap hadis dhaif. Dalam Musnad Ahmad, yang terdiri dari lebih dari 27,000 hadis, Imam Ahmad mencantumkan beberapa hadis dhaif. Misalnya, hadis-hadis yang perawinya ada satu orang yang tidak diketahui sehingga menyebabkan hadis-hadis tersebut lemah. Tentunya ulama besar hadis seperti Imam Ahmad yang hafal 1 juta hadis tahu bahwa jika suatu hadis memiliki perawi yang tidak diketahui, maka otomatis hadisnya menjadi lemah.   c. Mempergunakan hadis dhaif, bila dalam sesuatu masalah tidak diperbolehkan hadis-hadis shahih atau hasan.



21



Pendapat ini disandarkan kepada Abu Daud, demikian pula pendapat Imam Ahmad, bila tiada diperboleh fatwa shahaby. Dan perlu ditegaskan, bahwa menurut penerangan Al-Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalany bahwa oleh ulama-ulama yang mempergunakan hadis dhaif, mensyaratkan kebolehan mengambilnya itu terdapat tiga syarat, yaitu: 1) Kelemahan hadis itu tiada seberapa. Maka yang hanya diriwayatkan oleh orang yang tertuduh berdusta, tidak di pakai. 2) Petunjuk hadis itu di tunjuki oleh sesuatu dasar yang dipegangi,



dengan



arti



bahwa



memeganginya



tidak



berlawanan dengan sesuatu dasar hukum yang sudah dibenarkan. 3) Di saat mempergunakan Hadis tersebut tidak diyakini sebagai Hadis yang Tsubut (valid), namun diyakini sebagai langkah kehati-hatian (Ihthiyath), dan tidak dinisbahkan kepada Nabi SAW apa yang tidak pernah beliau ucapkan atau hanya dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat yang tidak berdasarkan nash sama sekali. Ulama Syafii Imam Nawawi berkata:



‫ث َو َغي ِْر ِه ُم التَّ َساهُ ُل فِي‬ ِ ‫َويَجُو ُز ِع ْن َد َأ ْه ِل ْال َح ِدي‬ َّ ‫ُوع ِم َن ال‬ ،‫يف‬ ِ ‫ض ِع‬ ِ ‫اَأْل َسانِي ِد َو ِر َوايَةُ َما ِس َوى ْال َم ْوض‬



َ ‫ان‬ ِ ‫ت هَّللا‬ ِ ‫صفَا‬ ِ ‫ض ْعفِ ِه فِي َغي ِْر‬ ِ َ‫َو ْال َع َم ُل بِ ِه ِم ْن َغي ِْر بَي‬ ُ‫ق لَه‬ َ ُّ‫ َو ِم َّما اَل تَ َعل‬،‫تَ َعالَى َواَأْلحْ َك ِام َك ْال َحاَل ِل َو ْال َح َر ِام‬ ‫بِ ْال َعقَاِئ ِد َواَأْلحْ َكام‬. ِ



22



“Menurut para pakar hadis dan selain mereka, boleh menganggap mudah dalam sanad-sanad hadis dhaif, meriwayatkan hadis dhaif selain hadis maudhu’ (palsu), dan mengamalkannya tanpa menjelaskan kelemahannya dalam selain sifat-sifat Allah Ta’ala, hukum-hukum seperti halal dan haram, dan sesuatu yang tidak berkaitan dengan aqidah dan hukum.” Ulama hadis dan tafsir Imam As-Suyuthi mengatakan bahwa jika seseorang ingin meriwayatkan hadis dhaif, maka ia jangan menegaskan bahwa ini adalah sabda Rasulullah saw atau perbuatan Beliau dengan berkata, “Rasulullah saw bersabda …”. Namun, hendaknya ia berkata “Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda ..,” atau semisalnya, berupa perkataan yang tidak secara tegas menjelaskan bahwa itu adalah sabda Rasulullah saw. Berdasarkan pendapat dari sebagian besar para ulama hadis, dapat disimpulkan bahwa hadis-hadis dhaif dapat diamalkan dengan syarat-syarat, yaitu: Tidak menyangkut hal halal-haram; Tidak menyangkut hal akidah dan sifat-sifat Allah; Bukan hadis yang sangat lemah (dhaif jiddan); Digunakan dalam masalah fadhail amal (keutamaan amal-amal yang baik) atau mengajarkan adab yang baik; Isi hadisnya sejalan atau tidak berkontradiksi dengan hadis-hadis hasan ataupun sahih, apalagi Al-Qur’an; dan ketika menyampaikannya, ada baiknya juga disebutkan atau diindikasikan bahwa hadis ini lemah (sebagai bentuk kejujuran intelektual dan kehati-hatian). 



23



BAB III PETUTUP



A. Kesimpulan Dhaif secara bahasa berarti hadist yang lemah, yang sakit atau tidak kuat. An-Nawawi mendefinisikan hadits dhaif, yaitu hadist yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadist Shahih dan Hadist Hasan. Karakteristik hadits dhaif : sanadnya terputus, periwayatnya tidak adil, periwayatnya tidak dhabith, mengandung syadz, dan mengandung ‘illat. Dalam kaitan keterputusan sanad, hadits dha’if dibagi menjadi tujuh macam, yaitu hadits mauquf, hadits mursal, hadits mu’dhal, hadits mu’allaq, hadits maqtu’, hadits munqathi’, dan hadits mudallas. Sedangkan berdasarkan perawinya yang bermasalah, hadits dhaif dibedakan menjadi hadits matruk, hadits munkar, hadits Mudraj, hadits maqlub, hadits mudltharib, hadits mushahhaf, dan hadits muharraf. Urutan hierarki hadits berdasarkan keterputusan sanad dari tingkat kedhaifannya, yaitu hadits mauquf, hadits mursal, hadits maqtu’, hadits munqathi’, hadits mu’dhal, hadits mu’allaq, dan hadits mudallas. Hadits dhaif berakibat hukum: 1) Tidak boleh diamalkan sebagai landasan menetapkan suatu hukum atau akidah, melainkan boleh dalam hal keutamaan amal. 2) Orang yang mengetahui hadis sanadnya dhaif, maka harus mengatakannya. 3) Hadits dhaif tanpa sanad harus diucapkan dengan kata-kata, “Diriwayatkan dari Nabi SAW… begitu… begitu….dst”, atau kata lain yang senada. 4) Apabila hadis dhaif mempunyai



makna



yang



musykil,



maka



tidak



perlu



dicari



interprestasinya dengan mena’wil untuk menghilangkan kemuskilannya. 5) Tidak boleh mengakibatkan turunnya kualitas validitas hadis shahih. Mengenai hadits dhaif dalam pengamalannya para ulama berpendapat: a) Hadis dhaif tidak boleh diamalkan. b) Hadis-hadis dhaif dipergunakan menerangkan fadlilat-fadlilat amal. c) Digunakan jika di sesuatu masalah tidak diperbolehkan hadis-hadis shahih atau hasan. 24



B. Saran Demikian makalah yang berjudul Hadits Dhaif dan Permasalahannya ini kami susun. Dari pembahasan poin masalah yang disajikan, diharapkan pembaca dapat mengambil hikmah dan manfaat dalam mempelajari



hadits



dhaif



agar



tidak



mudah



terjebak



dengan



pemahaman-pemahaman yang penuh dengan pertentangan menurut disiplinnya. Kami menyadari makalah ini masih banyak kerurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca guna menyempurnakan dalam penyusunan makalah selanjutnya.



25



DAFTAR PUSTAKA



A. Qadir Hasan. 1996. Ilmu Musththalah Hadits. Bandung: CV. Diponegoro. Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadits. Bandung : PT Shantika. Al-Maliki, Alawi Muhammad. 2001. Al-Minhal al-Lathif. Dar ar-Rahmah alIslamiyah. Aziz, M., & Mahmud Junus. 1958. Ilmu Musthalah Hadist. Jakarta: PT Djadjamurni. Ferdiansyah, H. 2018. Ilmu Hadis : Macam-Macam Hadis Dhaif. Diakses pada 23 September 2021, dari https://www.nu.or.id. Hadi Saeful. 2006. Ulumul Hadits. Kulon Progo: Sabda Media. Ma’shum Zein Muhammad. 2008. Ulumul Hadits & Musthalah Hadits. Jombang: Darul Hikmah. Mudasir. 2010. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia. Nuruddin. 2012. Ulumul Hadits. Bandung: PT Remaja Posdakarya. Ibnu Qayyim. 2000. Studi Kritik terhadap Hadis Fadhilah Amal. Jakarta: Pustaka Azzam. Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta: Kencana Pranada Media Group. Sohari Sahrani. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.



26