Makalah Hadits Ditinjau Dari Kualitasnya [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH ULUMUL HADIS HADIS DITINJAU DARI KUALITASNYA



DISUSUN OLEH FIRMAN AKBAR



PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( PAI ) SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI ) AL-AZHARY MAMUJU TAHUN AKADEMIK 2020/2021



KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah, menyertai rangkaian kalimat ini puji syukur sepatutnya kita ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik, meskipun jauh dari kesempurnaan. Kesempurnaan hanya milik-Nya, khilaf dan salah hanya milik penulis sebagai hamba-Nya. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpah pada junjungan Baginda Muhammad SAW, yang senantiasa dinantikan syafaatnya. Penyusun sangat menyadari bahwa isi makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu, masukan, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan, agar dalam penyusunan makalah selanjutnya akan semakin mendekati kesempurnaan. Akhir kata, penyusun mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. MAMUJU 28 MARET 2021



PENYUSUN FIRMAN



ii



DAFTAR ISI



iii



iiii



BAB I PENDAHULUAN A.    LATAR BELAKANG Hadits dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Adapun hadits maqbulialah hadits yang unggul pembenaran pemberitaannya, dalam hal ini hadits maqbul ialah hadits yang mendapat dukungan bukti-bukti dan membuat unggul itu adalah dugaan pembenaran. Hadits maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits  shahih dan hadits hasan. hadits shahih ada yang shahih li dzatihi dan shahih li ghairihi begitupun juga hadits hasan. Sedangkan hadits mardud ialah hadits yang ditolak atau tidak diterima, jadi hadits mardud ialah hadits yang tidak unggul pembenaran dan pemberitaannya. Hadits mardud juga terbagi dua yaitu hadits dha’if dan hadits maudhu’.



1



B.     Rumusan Masalah 1.      Apa yang dimaksud dengan Hadits Maqbul? 2.      Apa yang dimaksud dengan hadits Mardud? 3.      Apa yang dimaksud dengan Hadits Shahih? 4.      Apa yang dimaksud dengan Hadits Hasan? 5.      Apa yang dimaksud dengan Hadist Dho’if?



2



BAB II PEMBAHASAN A. Klasifikasi hadits berdasarkan kualitas riwayat  Yang dimaksud dengan kualitas riwayat dalam pembahasan ini adalah tingkat validitas (kebenaran) sebuah hadits, apakah hadits tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah atau tidak. Jadi, pembagian hadits dari sudut pandang ini akan mengakibatkan diterima (maqbul) atau ditolaknya (mardud) sebuah riwayat. Berdasarkan sudut pandang tersebut, secara umum, para ulama’ hadits membagi hadits menjadi empat, yaitu, shahih, hasan, dha’if, dan maudhu’. Berdasarkan segi kualitasnya hadits dibagi menjadi 2 yaitu: Hadits maqbul dan Hadits mardud 1.   Hadist maqbul       Maqbul menurut bahasa berarti ma’khuz (yang diambil) dan mushaddaq (yang dibenarkan atau diterima) sedangkan menurut istilah adalah: ‫القبول شروط جميع فيه فرت ماتوا‬ “Hadits yang telah sempurna padanya, syarat-syarat penerimaan.  Syarat-syarat penerimaan suatu hadits menjadi hadits yang maqbul berkaitan dengan sanadnya, yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhabit, dan juga berkaitan dengan matannya tidak syadz dan tidak ber’illat.



 



3



Hadits maqbul dapat digolongkan menjadi dua, yaitu hadits shahih dan hadits hasan.[1]



a) Hadits Shahih ‫الصحيح الحديث‬ Secara bahasa, shahih berarti “sehat, selamat dari aib, benar”. Secara istilah, hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan kuat hafalan dhabith-nya, serta terhindar dari kejanggalan (syadz) dan cacat (illat). Para ulama’ mengatakan, hadits shahih hadits yang sanadnya tersambung di kutip oleh orang yang adil lagi cermat dari yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW. Sumber-sumber hadits shahih adalah kitab-kitab yang memuat hadits shahih antara lain: 



Al Muwatta’ ialah kitab hadits yang pertama yang disusun oleh Imam Malik (93-1791 H / 712-798 M)







Al-jami’ As-Shahih Al-Bukhori merupakan kitab hadits terbaik yang disusun oleh Imam Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Al-Mughiroh Ibn Birdizbah (194-256 H)



·        



 Sahih Muslim adalah kitab hadits shahih yang menempati posisi kedua



setelah Shahih Bukhori. Yang disusun oleh Imam Muslim Ibn Al-Hajaj AlQusyairy an Nasisabury (206-261 H) ·        



 Shahih bin Huzaimah adalah kitab hadits shahih yang disusun oleh



Abdullah Ibn Abu Bakar Al-Huzaimah yang wafat pada 313. Didalam kitab ini memuat kitab hadits yang belum tercover dalam kitab Al-Bukhori.



4



·      



   Shahih Ibn Hibban adalah kitab shahih yang ditulis oleh Abu Hatim



Muhammad Ibn Hibban yang wafat pada tahun 354 H.



Syarat-syarat hadits shahih yaitu:  Sanadnya bersambung (ittishal al sanad) Yang dimaksud dengan sanadnya bersambung ialah bahwa tiaptiap perawinya dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari perawi terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadits itu.  Perawinya adil Kata adil menurut bahasa berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak zalim, tidak menyimpang, tulus, jujur.[2] Di samping harus Islam dan baligh, juga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: -      Senantiasa melaksanakan segala perintah agama dan meninggalkan semua larangannya. -      Senantiasa menjauhi perbuatan-perbuatan dosa; dan -     Senantiasa memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menodai muru’ah, yakni suatu sikap kehati-hatian dari melakukan perbuatan yang sia-sia atau perbuatan dosa.  Perawinya dhabit kata “dhabth” menurut bahasa adalah yang kokoh, yang kuat, yang hafal, dengan sempurna.



5



Adapun sifat-sifat kedhabitan perawi, menurut para ulama’, dapat diketahui melalui: -  Kesaksian para ulama’ -  Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat dari orang lain yang telah dikenal kedhabithannya.  Tidak syadz (janggal) Tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat.  Tidak ber-Illat (ghair mu’allal) Kata illat bentuk jama’nya ‘ilal atau al-‘ilal, menurut bahasa berarti cacat, penyakit, keburukan dan kesalahan baca. Menurut istilah, ‘illat berarti suatu sebab yang tersembunyi atau yang samar-samar, yang karenanya dapat merusak kesahihan hadits tersebut.[3] Hadits shahih ada dua macam yaitu: Shahih li dzatihi dan Shahih li ghairihi Shahih li dzatihi ( ‫) لذاته الصحيح‬ “Shahih li dzatihi” Artinya: yang sah karena dzatnya, yakni shahih dengan tidak bantuan keterangan lain.   : ‫مالك اخبرنا يوسفبن هللا حدثناعبد‬   ‫قال ص اللهرسول ان هللا عبد عن فع نا عن‬ ‫مالك اخبرنا يوسفبن هللا حدثناعبد الثالث الثالث ن و د ن اثنا‬ ‫اذاكانواثالثةفاليتناجي‬ Artinya: (kata Bukhari)[4] : telah menceritakan kepada kami, “Abdullah bin Yusuf, ia berkata telah mengkhabarkan kepada kami, Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila mereka itu bertiga orang,



6



janganlah dua orang dari antaranya berbisik-bisikan dengan tidak bersama ketiganya. Rawi-rawi yang ada dalam sanad hadits diatas, kalau disusun dengan tertib, akan jadi seperti berikut:



1.      Bukhari 2.      ‘Abdullah bin Yusuf 3.      Malik 4.      Nafi’ 5.      ‘Abdullah (yaitu Ibnu ‘Umar) 6.      Rasulullah SAW.



Keterangan: 



Kalau kita memeriksa sanad tersebut, dari Bukhari sampai Nabi SAW, kita akan dapati bersambung dari seorang rawi kepada yang lain, karena bukhari mendengar dari ‘Abdullah; ‘Abdullah ini mendengar dari Malik; Malik ini mendengar dari Nafi’; Nafi’ ini mendengar dari ‘Abdullah (Ibnu ‘Umar); ‘Abdullah (Ibnu ‘Umar) ini pula mendengar dari Rasulullah SAW.







Rawi-rawi No. 1-5 semua bersifat: adil, kepercayaan dan dhabith dengan sempurna.



Adapun Rasulullah SAW. Tentu tidak perlu kita ragukan sifat beliau.



7







Hadits ini tidak terdapat syu-dzudz-nya, yakni tidak menyalahi hadits yang derajatnya lebih kuat; dan tidak ada ‘illat-nya, yaitu kekeliruan, kesalahan dan lain-lain yang menyebabkan hadits itu tercela. [5]



(‫صالة كل مع بالسواك المرتهم الناس علي أو امتي علي اشق ان لوال )البخارى رواه‬ “Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan shalat”[6]



As Shahihi li Ghairihi ‫لغيره الصحيح‬ “Shahih li Ghairihi” artinya: yang shahih karena yang lainnya, yaitu yang jadi sah karena dikuatkan dengan jalan (sanad) atau keterangan lain.[7] Hadits dibawah ini merupakan contoh hadis Hasan li dzatihi yang naik derajatnya menjadi Shahih li ghairihi:



(‫صالة كل مع بالسواك المرتهم الناس علي أو امتي علي اشق ان لوال )البخارى رواه‬ “Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan shalat” Menurut Ibnu Al-Shalah, bahwa Muhammad bin ‘Amr adalah terkenal sebagai orang yang jujur, akan tetapi ke-dhabithannya kurang sempurna, sehingga hadits riwayatnya hanya sampai ketingkat hasan. Hadits tersebut pada mulanya adalah hasan li dzatihi. karena ada riwayat lain yang lebih tsiqqah seperti hadits riwayat Al-Bukhari yang diriwayatkan melalui jalur  Al-A’raj pada contoh diatas maka hadits hasan tersebut naik derajatnya menjadi shahih li ghairihi.



8



b) Hadits Hasan ‫الحسن الحديث‬ Hasan menurut bahasa berarti ‫( اليه تميل و النفس تشتهيه ما‬sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu). Sedangkan menurut istilah, para ulama’ berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadits hasan ini. Menurut Ibnu Taimiyah menguraikan batasan hadits hasan yang diberikan Al-Tirmidzi sekaligus merangkum polemic tentang peristilahan yang sering dipakai Al-Tirmidzi. Hadits hasan menurut Al-Tirmidzi adalah (dalam redaksi Ibn Taymiyah):



‫ وجهين من ماروي‬, ‫ بالكذب متهم هو من رواته فى وليس‬, ‫حاديث لأل ذمخالف شا والهو‬ ‫الصحيحة‬ “hadits yang diriwayatkan dari dua arah (jalur), dan para perawinya tidak tertuduhdusta, tidak mengandung syadz yang menyalahi hadits-hadits shahih”



Sementara itu Ibn Hajar mendefinisikan hadits hasan sebagai berikut: “khabar ahad yang dinukilkan melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa ber’illat dan syadz disebut hadits shahih, namun bila kekuatan ingatannya kurang kokoh (sempurna) disebut hasan li dzatihi”. Dengan definisi ini, dapat diketahui bahwa hadits hasan menurut Ibn Hajar adalah hadits yang telah memenuhi lima persyaratan hadits shahih sebagaimana



9



disebutkan terdahulu, hanya saja bedanya, hadits shahih daya ingatan perawinya sempurna, sedang pada hadits hasan daya ingatan perawinya kurang sempurna. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa hadits hasan menurut Ibn Hajar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, (tetapi) tidak begitu kuat daya ingatannya, bersambung-sambung sanadnya, dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan pada matannya. Dengan demikian, hadits hasan ini menempati posisi diantara hadits shahih dan hadits dha’if. Definisi ini sama dengan definisi AlZarqany, dan Muhammad bin ‘Alwi Al Maliki Al-Hasani. Kitab-kitab yang banyak memuat hadits hasan ini diantaranya adalah Sunan Al-Tirmidzi, Sunan Abi Daud, dan Sunan Al-Daruquthny. Syarat-syarat hadits hasan: a.       Sanadnya bersambung b.      Perawinya adil c.       Perawinya dhabit, tetapi kualitan ke-dhabit-annya di bawah ke-dhabit-an perawi hadits shahih d.      Tidak terdapat kejanggalan atau syadz dan e.       Tidak ber’illat. Macam-macam hadits hasan: Hasan li Dzatihi dan Hasan li Ghairihi Hasan li dzatihi ‫لذاته الحسن‬ Hadits hasan li dzatihi merupakan hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayat yang adil, dhabith meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada kejanggalan (syadz) dan cacat (‘illat) yang merusak.



10



Ibn Al-Shalah memberikan batasan hadits jenis ini dengan: “bahwasannya para perawinya masyhur/terkenal dengan kejujurannya, amanah, meskipun tidak mencapai derajat perawi hadits shahih, karena keterbatasan kekuatan dan kebagusan hafalannya. Meskipun demikian, hadits yang diriwayatkannya tidak termasuk kedalam golongan yang munkar”. [8] Hadits hasan li dzatihi ini bisa baik derajatnya menjadi hadits shahih (li ghairihi) bila ada hadits lain yang sejenis diriwayatkan melalui jalur sanad lain. Sebagai contohnya adalah hadits Al-Tirmidzi yang diriwayatkan dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abi Hurairah, . )‫ص هللا رسول قال (الترمذي‬: ‫صالة كل مع بالسواك المرتهم امتي على اشق ان لوال‬ Artinya: (kata Turmudzi:[9]) Telah bersabda Rasulullah SAW: “Jika aku tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwakan diwaktu tiap-tiap hendak shalat”. Hadits hasan ini hasan li dzatihi. Muhammad Ibn Amr ibn Alqamah terkenal seorang yang baik dan jujur, tetapi kurang dhabith. Karena itu banyak ulama’ yang melemahkan hadits-hadits yang diriwayatkannya. Oleh karena itu hadits tersebut memperoleh status hasan li dzatihi. akan tetapi ada riwayat lain dari jalur Al A’raj dari Abu Hurairah, maka hadits ini naik derajatnya menjadi hadits shahih li ghairihi.[10]



Hasan li Ghairihi ‫لغيره الحسن‬ “satu hadits yang “tidak terlalu lemah”, dikuatkan dengan jalan lain yang seumpama atau sebanding dengannya”



11



Walaupun dikuatkan dengan beberapa jalan. Tidaklah dapat menjadi “hasan li ghairihi”, bahkan tetap atas kelemahannya. Contohnya: )‫ليلىابي بنلرحمنعبدعنزيادابيبنيزيدعنهشيمحدثنامنيع بناحمد حدثنا(الترمذي‬ ‫قال عازب بن البراءعن‬: ‫ص هللا رسول قال‬: ‫الجمعة يوم يغتسلوا ان المسلمين على حقا‬ Artinya: (kata Turmudzi[11]): Telah menceritakan kepada kami, Ahmad bin Mani’, telah menceritakan kepada kami, Husyaim, dari Yazid bin Abi Ziyad, dari ‘Abdirrahman bin Abi Laila, dari Al-Bara’ bin ‘Azib, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: “sesungguhnya satu keawajiban atas orang-orang Islam mandi pada hari Jum’at”. Keterangan: Gambaran sanad itu begini: 1.      Turmudzi 2.      Ahmad bin Mani’ 3.      Husyaim 4.      Yazid bin Abi Ziyad 5.      ‘Abdirrahman bin Abi Laila 6.      Bara’ bin ‘Azib 7.      Rasulullah SAW             Rawi-rawi di sanad ini, semua orang kepercayaan, melainkan Husyaim terkenal sebagi mudallis. Karena ini, maka sanadnya teranggap lemah yang tidak sangat, karena orangnya kepercayaan.



12



B.     Hadits mardud                       Mardud menurut bahasa berarti “yang ditolak” atau yang “tidak diterima”. Sedangkan mardud menurut istilah ialah: ‫اوبعضها الشروط تلك فقد‬ “hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadits” Tidak terpenuhinya persyaratan dimaksud, bisa terjadi pada sanad dan matan. Para ulama’  mengelompokkan hadits jenis ini menjadi dua yaitu hadits dha’if dan hadits maudhu’ 1. Hadits Dha’if ‫الضعيف الحديث‬



Kata dha’if  menurut bahasa, berarti lemah, sebagai lawan kata dari kuat. Maka sebutan hadits dha’if, secara bahasa berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat. Secara istilah, para ulama’ terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadits dha’if ini. Akan tetapi pada dasarnya, isi dan maksudnya tidak berbeda. Beberapa definisi, diantaranya: a. Al-Nawawi mendefinisikan dengan; ‫الحسن والشروط الصحة شروط فيه يوجد مالم‬ “hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan” b. Nur Al-Din ‘Itr, bahwa definisi yang paling baik adalah: ‫المقبول الحديث شروطمن شرطا فقد ما‬



13



            “hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits shahih atau yang hasan)”. Terdapat dua macam keadaan yang menyebabkan suatu hadits itu lemah, yaitu: 1.      Putus sanadnya, dan 2.      Tercacat seorang rawi atau beberapa rawinya. Ta’rifnya dapat disusun begini:             “hadits dha’if itu ialah satu hadits yang terputus sanadnya, atau diantara rawi-rawinya ada yang bercacat” 2.



Hadits Maudhu’ ‫الموضوع الحديث‬ 



Al-Maudhu’ adalah isim maf’ul dari wa-dha-‘a, ya-dha-‘u, wadh-‘an, yang mempunyai arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan); al-iftira’ wa alikhtilaq (mengada-ada atau membuat-buat); dan al-tarku (di tinggal)). Sedangkan pengertian hadits maudhu’ menurut istilah adalah: ‫أويقره أويفعله يقله لم مما وكذبا اختالقا وسلم عليه هللا صلى هللا رسول الى مانسب‬ .‫المصنوع المختلق هو بعضهم وقال‬             “hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. Secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, berbuat ataupun menetapkannya”.             Sebagian, mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits maudhu’ ialah: ‫سواء وبهتانا زورا وسلم عليه هللا صلى هللا رسول إلى المنسوب المصنوع المختلع هو‬ ‫اوخطأ عمدا ذلك كان‬



14



            “hadits yang dibuat-buat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaan ini dinisbatkan kepada Rasulullah SAW secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak”. Jadi hadits maudhu’ itu adalah bukan hadits yang bersumber dari Rasulullah SAW atau dengan kata lain bukan hadits Rasul, akan tetapi suatu perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alas an kemudian dinisbatkan kepada Rasul.



15



BAB III PENUTUP Simpulan             Yang dimaksud dengan kualitas riwayat dalam pembahasan ini adalah tingkat validitas (kebenaran) sebuah hadits, apakah hadits tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah atau tidak. Jadi, pembagian hadits dari sudut pandang ini akan mengakibatkan diterima (maqbul) atau ditolaknya (mardud) sebuah riwayat. Berdasarkan sudut pandang tersebut, secara umum, para ulama’ hadits membagi hadits menjadi empat, yaitu, shahih, hasan, dha’if, dan maudhu’. Berdasarkan segi kualitasnya hadits dibagi menjadi 2 yaitu: 1. Hadits maqbul 2. Hadits mardud             Hadits maqbul dapat digolongkan menjadi dua, yaitu hadits shahih dan hadits hasan.             Hadits shahih terbagi menjadi dua yaitu shahih li dzatihi dan shahih li ghairihi, begitupun hadits hasan terbagi menjadi dua yaitu hasan li dzatihi dan hasan li ghairihi.             Hadits maqbul dapat digolongkan menjadi dua, yaitu hadits dha’if dan hadits maudhu’.



16



DAFTAR PUSTAKA Tim kajian keislaman, (2012), buku induk terlengkap agama Islam, (Yogyakarta: Citra Risalah); Suparta,  Munzier (2002), Ilmu Hadits, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada); Munawir, Ahmad Warson, al munawar kamus Arab-Indonesia, (Jogjakarta: unit pengadaan buku-buku keagamaan pondok pesantren al munawwir, 1984);  “Shahih Bukhari” ; Hassan, A. Qodir,  (1996), ilmu mushthalah hadits, (Bandung: cv. Diponegoro); Shahih Turmudzi [1] Munzier Suparta, (2002), Ilmu Hadits, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), hal. 124-125. [2] Ahmad Warson Munawir, al munawar kamus Arab-Indonesia, (Jogjakarta: unit pengadaan buku-buku keagamaan pondok pesantren al munawwir, 1984), hal. 971-972. [3] Munzier Suparta, (2002), Ilmu Hadits, op.cit,  hal. 130-133. [4] “Shahih Bukhari” 8:64. [5] A. Qodir Hassan, (1996), ilmu mushthalah hadits, (Bandung: cv. Diponegoro), hal. 29-30. [6] Munzier Suparta, (2002), Ilmu Hadits, op.cit,  hal. 134. [7] Ibid, [8] Munzier Suparta, (2002), Ilmu Hadits, op.cit. hal. 145-146. [9] Shahih Turmudzi 1:38 [10] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, op.cit. hal. 146



17



18