Makalah Harta, Akad Dan Perilaku Konsumen Dalam Ekonomi Islam [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH “HARTA, AKAD DAN PERILAKU KONSUMEN DALAM EKONOMI ISLAM”



KELOMPOK 1 DISUSUN OLEH : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



ADE RIDWAN (171011201713) ASRIFTA BILKY C. ANAM (171011201335) ATIKAH FAJRIANTI (1710201297) AYYUBI KHAIRULLAH (171011201377) DWI MAGDALENA (171011201309) FITRI WIDIANTI (171011201321) FLIVIA RETNO HERWANTI (171011201355)



KELAS // RUANG JURUSAN DOSEN PENGAMPU



: 04SAKE021 // A609 : AKUNTANSI S1 : Irham Fachreza Anas, SEI.,ME, CIBP



UNIVERSITAS PAMULANG Jl. Surya Kencana No. 1 Pamulang – Tangerang Selatan



KATA PENGANTAR Assalamu Alaikum Wr.Wb.



Syukur Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT. Atas segala nikmat dan karuniaNya.Shalawat dan salam yang tak lupa pula kita panjatkan kepada junjungan kita RasulullahMuhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan/jahiliyah kea lam terang benderang sekarang ini. Akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah dengan daya dan upaya yang terbatas maka makalah ini dapat diselesaikan .Adapun judul makalah ini adalah “EKONOMI SYARIAH” Akhir kata kami berharap apa yang kami tulis ini dapat bermamfaat bagi pembaca dan terkhusus bagi kami untuk digunakan sebagai pembelajaran dalam membuatkan karya-karya baru lainnya. Semoga Allah SWT senantiasa tetap memberikan petunjuk dan bimbingan-Nya kepada kami menuju jalan lurus yang penuh dengan Ridha-Nya. Amin Ya Rabbal Alamin. Wassalamu alaikum Wr.Wb.



Jakarta, 6 Maret 2019 Penulis



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan BAB II PEMBAHASAN 2.1 Harta Dalam Sudut Pandang Islam 2.2 Kepemilikan Harta dalam Islam 2.3 Maqashid Syariah dalam Kepemilikan Harta 2.4 Pembagian Harta dalam Islam 2.5 Pengertian Akad 2.6 Dasar Hukum, Rukun, dan Syarat Akad 2.7 Macam-macam Akad dan yang membatalkan Akad 2.8 Akad dalam Lembaga Keuangan Syariah 2.9 Akad-akad Bank Syariah 2.10 Konsumsi dan Perilaku Konsumen dalam Islam 2.11 Urgensi Konsumsi 2.12 Norma Etika Konsumsi 2.13 Konsep Maslahah dalam Perilaku Konsumen Islami 2.14 Prinsip-prinsip Konsumsi 2.15 Batasan Konsumsi dalam Syariah 2.16 Perilaku Konsumen Muslim 2.17 Perbedaan Perilaku Konsumen Muslim dengan Perilaku Konsumen Konvesional BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 3.2 Saran



BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Harta merupakan kebutuhan inti dalam kehidupan dimana manusia tidak akan bisa terpisah darinya. Secara umum, harta merupakan sesuatu yang disukai manusia, seperti hasil pertanian, perak dan emas, ternak atau barang-barang lain yang termasuk perhiasan dunia. Manusia termotivasi untuk mencari harta demi menjaga eksistensinya dan demi menambah kenikmatan materi dan religi, dia tidak boleh berdiri sebagai penghalang antara dirinya dengan harta. Namun, semua motivasi ini dibatasi dengan tiga syarat, yaitu harta dikumpulkannya dengan cara yang halal, dipergunakan untuk hal-hal yang halal, dan dari harta ini harus dikeluarkan hak Allah dan masyarakat tempat dia hidup. Harta dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. kemudian Allah telah menyerahkannya kepada manusia untuk menguasai harta tersebut melalui izinNya sehingga orang tersebut sah memiliki harta tersebut. Adanya pemilikan seseorang atas harta kepemilikian individu tertentu mencakup juga kegiatan memanfaatkan dan mengembangkan kepemilikan harta yang telah dimilikinya tersebut. Setiap muslim yang telah secara sah memiliki harta tertentu maka ia berhak memanfaatkan dan mengembangkan hartanya. Hanya saja dalam memanfaatkan dan mengembangkan harta yang telah dimilikinya tersebut ia tetap wajib terikat dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengembangan harta. Namun sebaliknya kondisi saat ini khususnya di Indonesia ada batas-batas kepemilikan harta yang sebenarnya dapat dimiliki untuk umum. Bahkan banyak intervensi Negara asing yang ingin menguasai kepemilikan umum menjadi milik pribadi. Berangkat dari permasalahan diatas, maka tulisan singkat ini akan menguraikan makna harta dalam pandangan Islam dan konsep kepemilikan harta dalam Islam, dan maqashid syariah dalam kepemilikan harta, serta pembagian harta dalam islam.



1.2 RUMUSAN MASALAH Berdasaran dari pemaparan latar belakang diatas, kami (penulis) dengan ini merumuskan rumusan masalah yang kami akan kaji : 1. Bagaimana harta dalam pandangan islam? 2. Jelaskan kepemilikan harta dalam prospektif islam! 3. Jelaskan maqashid syariah dalam kepemilikan harta! 4. Bagaimana pembagian harta dalam islam? 5. Jelaskan Akad dalam ekonomi syariah! 6. Jelaskan perilaku konsumen menurut pandangan islam! 7. Bagaimana konsep Maslahah dalam perilaku konsumen islami?



8. Apa perbedaan perilaku konsumen muslim dan konsumen konvensional?



1.3 TUJUAN Tujuan makalah ini untuk para pembaca agar dapat lebih memahami tentang konsep kepemilikan harta dalam Islam, dan maqashid syariah dalam kepemilikan harta, pembagian harta dalam islam, akad serta perilaku konsumen dalam ekonomi islam.



BAB II PEMBAHASAN



2.1 HARTA DALAM SUDUT PANDANG ISLAM a.Pengertian harta menurut bahasa Berdasarkan kamus Lisanul Arab karya Ibnu Manzur, bahwa mal (harta) berasal dari kata kerja mawwala, multa, tumalu, multa. Jadi mal dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang dimiliki. Berkata Ibnu Atsir, “Pada dasarnya, al-mal ialah barang milik seperti emas atau perak, tetapi kemudian kata al-mal itu dipakai untuk semua jenis benda yang bisa dikonsumsi dan dimiliki.” Dalam Mukhtar al-Qamus, kata al-mal berarti apa saja yang dimiliki, kata tamawwalta berarti harta kamu banyak karena orang lain, dan kata multahu berarti kamu memberikan uang kepada seseorang. Maka segala sesuatu yang tidak dapat dimiliki manusia tidak dapat disebut sebagai harta secara bahasa, seperti: pepohonan yang berada di hutan belantara, ikan yang berada di air sungai, ataupun burung yang ada di angkasa b. Pengertian Harta dalam al-Qur’an: “Dijadikan indah dalam (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga)”. (Ali Imron 3: 14). Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa harta dalam pandangan al-Qur’an adalah segala sesuatu yang disenangi manusia seperti emas, perak, kuda pilihan, hewan ternak, sawah ladang dan lain sebagainya yang kesemuanya itu diperlukan untuk memenuhi hajat hidup. Menurut al-Qur’an, harta menjadi baik bila digunakan sesuai petunjuk Ilahi, dan sebaliknya akan menjadi buruk bila penggunaannya tidak sesuai dengan petunjuk-Nya.



c. Pengertian Harta menurut al-Sunnah Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-sebaiknya harta ialah yang berada pada orang salih”. (HR. Bukhari dan Muslim). Dari hadis ini dapat diketahui bahwa mal/harta sebagai milik pribadi menjadi nikmat bila digunakan untuk kebaikan semisal dengan kebaikan orang salih yang menggunakan harta tersebut. Namun demikian, keberadaan harta bukan menjadi tujuan hidup. Karenanya, pemilik harta diharapkan tidak lupa mengabdi kepada Allah.



d. Pengertian Harta Menurut Fuqaha: a. Harta menurut madzhab Hambali adalah apa-apa yang memiliki manfaat yang mubah untuk suatu keperluan dan atau untuk kondisi darurat.



b. Harta menurut Imam Syafi’i adalah barang-barang yang mempunyai nilai untuk dijual dan nilai harta itu akan terus ada kecuali kalau semua orang meninggalkannya (tidak berguna lagi bagi manusia). c. Harta menurut Ibnu Nujaim al-Misri adalah apa-apa yang bernilai dan bisa disimpan untuk kebutuhan. d. Harta menurut sebagian ulama fiqih kontemporer adalah setiap benda yang mempunyai nilai materi di kalangan manusia atau apa saja yang bisa dimiliki dan bisa diambil manfaat darinya, atau juga bisa sebagai ciptaan selain manusia yang dijadikan untuk kemaslahatan manusia dan manusia dapat memiliki dan memanfaatkan secara bebas. Jadi pengertian harta dalam konsep Islam dapat disimpulkan bahwa harta/mal adalah segala sesuatu yang disukai dan dimiliki manusia, dapat dimanfaatkan pada saat sekarang, maupun untuk keperluan di masa yang akan datang serta dapat dimanfaatkan secara syar’i .



2.2 TEORI KEPEMILIKAN DALAM ISLAM Al-Milkiyah berasal dari kata al-milk bentukan dari kata malaka – yamliku – malkan wa mulkan wa milkan. Malaka artinya menguasai atau memiliki. Menurut Ibn Sayidih, almalk, al-mulk atau al-milk adalah pemilikan (penguasaan) sesuatu dan kemampuan berbuat sesuai keinginan terhadap sesuatu itu. Al-Milkiyah dapat diartikan ownership. Di dalam ensiklopedia Wikipedia, ownership adalah fakta atau status dari pemilikan ekslusif atau kendali atas suatu kekayaan (property). Menurut Fathi Ahmad Abdul Karim bahwa kata milkiyah bermakna al-ihtiwa dan al-qudrah yaitu memelihara dan menguasai sesuatu secara bebas. Artinya hak seseorang dalam menguasai sesuatu dan dibolehkannya seseorang untuk mengambil manfaat dengan segala cara yang dibolehkan oleh syara’, dimana bagi orang lain tidak diperkenankanya mengambil manfaat dengan barang tersebut kecuali dengan izinnya, dan sesuai dengan bentuk-bentuk muamalah yang diperbolehkan. Kepemilikan hakiki adalah milik Allah. Allahlah pemilik segala kekuasaan/kepemilikan (al-Mâlik al-mulk). Allah sendiri telah menyatakan bahwa harta itu (hakikatnya) adalah milik-Nya: “Berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan (diberikan)-Nya kepada kalian.” (QS al-Nur: 33).



Hanya saja, Allah SWT telah memberikan kekuasaan atas harta kepada manusia sekaligus menjadikan harta itu sebagai hak pemilikan manusia. Allah Swt. berfirman: “Dan nafkahkanlah sebagian dari harta kalian yang Allah telah menjadikan kalian menguasainya” (QS al-Hadid: 7).. Dalam pandangan Islam hak milik dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : hak milik pribadi, hak milik umum, dan hak milik negara. 1. Kepemilikan Individu Kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardiyyah) adalah izin dari Asy-Syari’ kepada individu untuk memanfaatkan suatu barang atau jasa. Karena merupakan izin dari Asy-Syari’, kepemilikan hanya ditetapkan berdasarkan ketetapan dari Asy-Syari’. Pertama, ketetapan tentang barang atau jasa yang diizinkan (dibolehkan) untuk dimiliki dan yang tidak. Dalam hal ini, Allah telah menyifati sesuatu dengan halal dan haram.



Kedua, ketetapan tentang tatacara perolehan harta yang diizinkan (dibolehkan) dan yang tidak. Perolehan harta itu bisa melalui: sebab-sebab kepemilikan harta dan sebab-sebab pengembangan harta. Kepemilikan pribadi dalam Islam merupakan suatu hal yang sudah dikenal. banyak dijumpai ayat-ayat al-Qur’an menggunakan lafadz “amwalikum, amwalihim, mal al-yatim, atau buyutikum”. Sebagaimana Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengeluarkan zakat dan infaq hal lafadz ini menunjukkan bahwa mereka adalah pemilik harta. Begitu juga ayat-ayat kewarisan menunjukkan diakuinya kepemilikan pribadi/ pribadi. Dalam sunnah Nabi juga terdapat hadis-hadis yang banyak, sebagaimana sabda Nabi dalam khutbah al-wada’ “sesunguhnya darah, harta, dan kehormatan kamu sekalian adalah haram bagi kalian”(HR. Bukhari Muslim). juga hadis yang berbunyi: “setiap muslim bagi muslim lainnya haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya” (HR. Muslim dan lainnya) Dan di dalam al-Qur’an juga diterangkan bahwa jiwa manusia secara fitrah mempunyai kecintaan terhadap harta. Sebagaimana Allah berfirman:) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatangbinatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”.“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan” Sungguh walaupun setiap orang yang bekerja mempunyai hak untuk memiliki hasil usahanya, Merupakan suatu yang alamiah adanya kepemilikan pribadi, seandainya kepemilikan pribadi ini tidak diperbolehkan maka seseorang tidak akan dapat memiliki hasil usahanya lebih banyak dari kebutuhan dirinya dan keuarganya.



Islam mengatur kepemilikan pribadi meliputi: a. mengatur tentang barang atau jasa yang diizinkan (dibolehkan) untuk dimiliki dan yang tidak. Dalam hal ini, Allah telah menentukan sesuatu dengan halal dan haram. b. mengatur tentang tata cara memperoleh harta yang diizinkan (dibolehkan) dan yang tidak. Perolehan harta itu bisa melalui: tata cara bagaimana memperoleh harta dan tata cara mengembangan harta. Islam melindungi kepemilikan pribadi dan selainnya dari pencurian dan ghasab (pengambilan tanpa izin) oleh karena itu Islam menghukum pencuri dan memberikan ta’zir kepada orang yang ghasab. Dan orang yang mati karena mempertahankan hartanya maka ia mati syahid. Kepemilikan di dalam Islam tidak hanya mengenai kepemilikan mata uang semata, tetapi lebih dari itu seperti harta perolehan, harta perdagangan, modal produksi, dan harta lainya yang termasuk harta pribadi, berbeda dengan harta-harta Negara maupun harta umum, maka tidak diperbolehkan bagi seseorang umpamanya memiliki tanah yang diwakafkan, atau memiliki sungai yang besar atau lautan. Tanah-tanah yang dapat dimiliki secara pribadi antara lain seperti: Tanah yang diserahkan kepada seseorang dari pemiliknya, tanah sulh, tanah unwah, tanah ihya al-mawat, tanah iqtha.



2. Kepemilikan Umum Kepemilikan umum adalah izin Asy-Syâri‘ kepada komunitas masyarakat untuk sama-sama memanfaatkan sesuatu. Kepimilikan umum menyangkut tiga jenis: 1) Sarana-sarana umum yang diperlukan oleh seluruh kaum muslimin dalam kehidupan sehari-hari; 2) harta-harta yang keadaan asalnya terlarang bagi individu tertentu untuk memilikinya; 3) Barang tambang (sumber alam) yang jumlahnya tak terbatas.



3. Kepemilikan Negara (state property) Harta-harta yang termasuk milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang negara, dimana negara dapat memberikan kepada sebagian warga negara, sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki negara untuk mengelolanya semisal harta fai, kharaj, jizyah dan sebagainya. Meskipun harta milik umum dan milik negara pengelolaannya dilakukan oleh negara, namun ada perbedaan antara kedua bentuk hak milik tersebut. Harta yang termasuk milik umum pada dasamya tidak boleh diberikan negara kepada siapapun, meskipun negara dapat membolehkan kepada orang-orang untuk mengambil dan memanfaatkannya. Berbeda dengan hak milik negara dimana negara berhak untuk memberikan harta tersebut kepada individu tertentu sesuai dengan kebijakan negara. Harta kekayaan sejatinya adalah milik Allah Subhana Wa Ta’ala. Sedangkan manusia adalah para hambanya dan kehidupan di dalamnya manusia bekerja, berkarya dan membangunnya dengan menggunakan harta Allah Subhana Wa Ta’ala. karena semua itu adalah milik-Nya, maka sudah seharusnya harta kekayaan meskipun terikat dengan nama orang tertentu dan dimanfaatkan untuk kepentingan mereka.



2.3 MAQASHID SYARIAH DALAM KEPEMILIKAN HARTA Memelihara harta secara individu, umum dan Negara. Dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: 1. Memelihara harta dalam peringkat daruriyyat, seperti syariat tentang tatacara pemilikan dan larangan mengambil harta orang lain 2. Memelihara harta dalam peringkat hajjiyat seperti syari’at tentang jual beli dengan cara salam. 3. Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Menurut penyusun, cara melindungi harta sesuai dengan kepemilikannya adalah sebagai berikut: a. Hak milik individu, dalam mendapatkannya harus sesuai dengan syariat islam yaitu dengan cara bekerja ataupun warisan dan tidak boleh memakan harta orang lain dengan cara yang bathil atau memakan hasil riba. b. Hak milik sosial ataupun umum, karena kepemilikan benda ini secara umum, maka cara menjaganya harus dilestarikan dan tidak digunakan dengan semena-mena. c. Hak milik Negara, suatu Negara dituntut mengelola kekayaan Negara dengan cara menjaga dan mengelola sumber daya alam dan sumber pendapatan Negara.



2.4 PEMBAGIAN HARTA DALAM ISLAM 1. Mutaqawwim dan Ghair Mutaqawwim Menurut wahbah zuhaili (1989,IV,hal.44), al-maal al mutaqawwim adalah harta yang dicapai atau diperoleh manusia dengan sebuah upaya dan diperbolehkan untuk memanfaatkannya, seperti makanan, pakaian. Al-maal gairu al mutaqawwim adalah harta yang belum diraih atau dicapai dengan usaha, seperti mutiara didasar laut, minyak diperut bumi. Atau harta tersebut tidak diperbolehkan syara’ untuk dimanfaatkan, kecuali dalam keadaan darurat. Dengan adanya pembagian harta, terdapat implikasi hukum yang harus diperhatikan: a. Sah atau tidaknya harta tersebut menjadi obyek transaksi b. Adanya kewajiban untuk menggantinya, ketika terjadinya kerusakan c. Jika harta ghair mutaqawwim dimiliki oleh seorang muslim, maka tidak ada kewajiban untuk menggantinya 2. ‘Iqar dan Manqul Menurut Hanafiyah (1989,IV, hal.46), manqul adalah harta yang memungkinkan untuk dipindah, dari suatu tempat ke tempat lain, seperti uang, hewan. ‘Iqar adalah harta yang tidak bisa dipindah dari suatu tempat ke tempat lain, seperti tanah dan bangunan. Implikasi hukum mengenai ‘iqar dan manqul: a. Dalam harta ‘iqar terdapat hak syuf’ah b. Menurut hanafiyah, harta yang diperbolehkan untuk di waqafkan adalah harta ‘iqar c. Seorang wali tidak boleh menjual harta iqar atas orang yang berada dalam tanggungannya kecuali mendapatkan alasan yang dibenarkan syara’, seperti untuk membayar hutang d. Menurut abu hanifah dan abu yusuf, harta iqar boleh ditransaksikan walaupun belum diserahterimakan. 3. Mitsli dan Qilmi Al maal al mitsli adalah harta yang terdapat padanannya dipasaran, tanpa adanya perbedaan atas bentuk fisik atau bagian-bagiannya, atau kesatuannya. Harta mitsli dapat dikategorikan menjadi empat bagian; a. Al-makilaat (sesuatu yang dapat ditakar), seperti gandu, terigu b. Al mauzuunat (sesuatu yang dapat ditimbang, seperti kapas, besi. c. Al’adadiyat (sesuatu yang dapat dihitung) seperti pisang, telor, apel d. Al dzira’iyat (sesuatu yang dapat diukur dan memiliki persamaan atas bagianbagiannya) seperti kain, kertas. e. Al maal al qilmi adalah harta yang tidak terdapat padanannya dipasaran, atau terdapat tempat padanannya, akan tetapi nilai tiap satuannya berbeda Harta mitsli bisa berubah menjadi harta qimi, atau sebaliknya, a. Jika harta mitsli susah didapatkan dipasaran-kelangkaan b. Jika terjadi percampuran antara dua harta mitsli dari dua jenis yang berbeda, seperti modifikasi Toyota dan Honda, maka mobil tersebut menjadi harta qimi c. Jika harta qimi terdapat banyak padanannya dipasaran



Dengan adanya pembagian harta mitsli dan qimi, memiliki implikasi hokum sebagai berikut a. Harta mitsli bisa menjadi tsaman (harga) dalam jual beli hanya dengan menyebutkan jenis dan sifatnya, sedangkan harta qimi tidak bisa b. Jika harta mitsli dirusak orang, maka wajib diganti dengan padanannya yang mendekati nilai ekonomisnya atau sama c. Jika harta qimi dirusak, maka harus diganti sesuai keinginannya, walaupun tanpa izin dari pihak lain d. Harta mitsli rentang terhadap riba fadl 4. Istikhlaki dan isti’mali Al maal al istikhlaki adlaah harta yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan kecuali dengan merusak bentuk fisik harta tersebut, seperti aneka warna makanan dan minuman, kayu bakar. Al maal al isti’mali adalah harta yang mungkin bisa dimanfaatkan tanpa harus merusak bentuk fisiknya, seperti perkebunan, rumah kontrakan. Harta istikhlaki bisa ditransaksikan dengan tujuan konsumsi, harta isti’mali bisa digunakan sebagai objek ijarah (sewa). Pembagian harta ini menimbulkan beberapa konsekuensi implikasi hokum sebagai berikut; a. Harta waqaf tidak dapat dimiliki atau ditasharrufkan menjadi milik perorangan b. Harta yang diperuntukkan bagi kepentingan dan fasilitas umum, seperti jalan dan pasar, pada prinsipnya tidak dapat dimiliki oleh perseorangan.



2.5 PENGERTIAN AKAD Akad merupakan salah satu dari ilmu fiqih muamalah yang mengatur hubungan dengan manusia serta urusan keduniawian. Transaksi antar satu pihak dengana pihak lainnya adalah interaksi yang tidak dihindadri karena setiap orang memiliki berbagai kebutuhan di dalam hidup. Dalam transaksi yang terjadi, muncul sebuah kesepakatan yang di dasari keterikatan antar satu sama lain dalam ijab dan qobul. Inilah yang didsebut dengan akad dalam islam. Akad tersebut digunakan dalam melakukan suatu transaksi maupun kerjasama denga orang lain. Dalam Bahasa arab akad disebut uqud, bentuk jamak dari aqd. Secara Bahasa artinya adalalah ‘mengikat’, ‘bergabung’, ‘mengunci’ , menahan’ , atau dengan akata lain membuat perjanjian. Dalam hukum islam, aqd artinya gabungan atau penyatuan dari penawaran (ijab) dan penerimaan (qabul) yang sah sesuai dengan hukum islam. Ijab adalah penawaran dari pihak pertama, sedangan qabul adalah penerimaan dari penawaran yang di sebut oleh pihak pertama. Sedangkan secara istilah akad adalah menghubungkan suatu kehendak suatu pihak dengan pihak lain dalam suatu bentuk yang menyebabkan adanya kewajiban untuk mewujudkan suatu hal. Contohnya akad jual beli. Akad berkaitan erat dengan kemantapan hati manusia untuk harus melakukan sesuatu, hal ini sesuai dengan firman Allah : “Hai orang – orang beriman, penuhilah akad – akad itu”. (QS. Al-Maidah: 11)



2.6 DASAR HUKUM, RUKUN, DAN SYARAT AKAD a. Dasar Hukum Akad Dalil nash yang membahas tentang akad tetuang dalam Q.S al-Maidah:1 dan Q.S Ali ‘ Imran : 76 1) Q.S Al-Maidah: 1 Terjemahan : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu [Akad (perjanjian) mencangkup : janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya] Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan di bacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang di kehendaki-Nya.” (Q.S al-Maidah: 1) Makna ayat: Pada permulaan ayat ini Allah memerintahkan kepada setiap orang yang beriman untuk memenuhi janji-jani yang telah di ikrarkan, baik janji kepada Allah maupun yang dibuat antar manusia termasuk kontrak bisnis. Perkataan aqdu mengacu terjadinya dua perjanjian atau lebih, bila seseorang mengadakan janji kemudian oranng lain menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama ,maka terjadilah perikatan dua buah janji dari dua orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain disebut perikatan (‘aqad). Semua perikataan dapat dilakukan asal tidak melanggar ketentuan Allah. 2) Q.S Ali’Imran: 76 Terjemahan : (Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya [yakni janji yang telah didbuat seseorang baik kepada sesama manusia maupun terhadap Allah.] dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. Makna ayat : Allah menyangkal pendapat orang-orang bani Israel (pada surah Ali’Imran: 76) yang mengatakan bahwa tidak ada dosa bagi mereka apabila melakukan kejahatan terhadap orang-orang islam. Kemudian Allah menegaskan supaya setiap orang menepati segala macam janji dan menunaikan amanah yang telah dipercayakan kepadanya. Karena itu, jika ada orang yang meminjamkan harta dengan penepatan waktu, hendaklah dipenuhi janji itu dengan mengembalikan harta itu tepat pada waktunya. Allah menyebutkan pahala bagi orang-orang yang sudah menepati janjinya karena termasuk dalam kategori takwa. Keterangan ini untuk memberikan pengertian bahwa menepati janji termasuk perbuatan yang di ridohi Allah.



b. Rukun Akad Rukun akad terdiri dari 3 hal utama yaitu aqidan, mahal al-aqad dan sighah. Aqidan adalah pihak pihak yang akan melakukan akad kemudian mahal al – aqad adalah objek akad berupa jasa atau benda berharga sedangkan siqhah pernyataan resmi adanya transaksi.



Dalam transaksi syariah, sighah alias pernyataan resmi adanya transaksi terdiri dari ijab dan qobul. Isi dari pernyataan ini tergantung dari akad yang dilakukan, misalnya akad sewa atau akad jual beli. Pihak yang melakukan akad haruslah orang yang memiliki kemampuan untuk mengelola harta dengan baik (rusyd), baliqh dan berakal sehat. Sementara itu objek akad harus sesuai dengan syariah islam, bukan alcohol, darah, bangkai maupun daging babi. Objek akad juga harus jelas dan tidak mengandung unsur gharar (ketidakpastian). Selain gharar, hal-hal yang bisa membatalkan akad adalah riba dan maisir (perjudian). Ada beragam akad yang sering ditemui dalam transaksi syariah antara lain akad waddiah, akad mudharabah, dan akad murabahah. Contoh penggunaan akad dalam syariah pegadaian adalah akad rahn dalam produk gadai syariah. c. Syarat- Syarat Akad Ada beberapa macam syarat akad, syarat terjadinya akad, syarat syah, syarat memberikan, dan syarat keharusan (luzum). 1) Syarat terjadinya akad Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara’. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad menjadi batal. Syarat ini menjadi dua bagian: A. Syarat Umum, yakni syarat-syarat yang harus ada dalam setiap aqad. a. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli), maka akad orang tidak cakap (orang gila, orang yang berada dibawah pengampuan (mahjur) karena boros dan lainnya akadnya tidak sah. b. Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya. c. Akad itu diijinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan akid yang memiliki barang. d. Akad bukan jenis akad yang dilarang. e. Akad dapat memberi faedah. f. Ijab harus berjalan terus, maka ijab tidak sah apabila ijab tersebut dibatalkan sebelum adanya qobul. g. Ijab dan qobul harus bersambung, jika seseorang melakukan ijab dan berpisah sebelum terjadinya qobul, maka ijab yang demikian dianggap tidak sah.



B. Khusus, yakni syarat-syarat yang harus ada pada sebagian aqad, dan tidak disyaratkan pada bagian lainnya. Syarat khusus ini juga disebut syart idhofil (tambahan) yang harus ada di samping syarat-syarat umum, seperti syarat adanya wali dalam pernikahan. 2) Syarat sah aqad Syarat syah akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara’ untuk menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak dipenuhi, akad tersebut rusak. Ada



kekhususan syarat sah pada setiap akad. Ulama hanafiyah mensayartkan terhindarnya sesorang dari kecacatan jual beli, yaitu kebodohan, paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur kemadaratan, dan syarat-syarat jual beli rusak (fasid). 3) Syarat pelaksanaan akad Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimiliki sesuai dengan aturan syara’. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketetapan syara’, baik secara asli, yakni dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai pengantin (menjadi wakil seseorang). Dalam hal ini di syaratkan, antara lain : a. Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika dijadikan, maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli. b. Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang lain. 4) Syarat kepastian hukum Dasar dalam akad adalah kepastian. Di antara syarat luzum dalam jual beli adalah terhindarnya dari bebrapa khiyar jual beli, seperti khiarsyarat, khiyar aib, dll. Jika luzum tampak, makan akad batal atau dikembalikan. 2.7 MACAM-MACAM AKAD DAN HAL-HAL YANG MEMBATALKAN AKAD a. Macam-macam Akad Akad bedasarkan ilmu fiqih ada 2 macam akad shahih dan tidak shahih : 1) Akad Shaih merupakan akad yang sudah memenuhi syarat dan rukun. Menurut ulama Madhap Hanafi dan Madhap Maliki membagi akad Shahih ada dua macam : a. Akad yang nafiz, yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syarat, serta tidak ada penghalang untuk melaksanakannya. b. Akad Muquf, merupakan akad yang dilakukan seseorang yang mampu beretindak atas kehendak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melakukan dan melangsungkan. Seperti akadnya anak mumayyiz tapi belum baligh sehingga ia harus mendapatkan izin dari wali anak itu. Ulama fiqih membagi jual beli yang shahih dari segi mengikat atau tidak. a) Akad yang mengikat bagi dua belah pihak, sehingga salah satu pihak tidak boleh membatalkan aqad itu tanpa seizing pihak lain. Seperti jual beli dan sewa menyewa. b) Akad yang tidak mengikat kedua belah pihak. Seperti pinjam meminjam.



2. Akad yang tidak shahih merupakan akan yang memiliki kekurangan pada syarat dan rukun akad. Sehingga hukum tidak berlaku pada kedua belah pihak yang melakukan akad itu. Mudhab Hanafi membagi akad ini kedalam dua macam yaitu:



a) Akad bathil, apabila akad itu tidak memnuhi salah satu rukun dan larangan langsung dari syara. Seperti jual beli yang dilakukan anak kecil. b) Akad fasid, akad ini pada dasarnya dibenarkan tetapi sifat yang diakadkan tidak jelas sepeprti menjual mobil tidak disebutkan merknya, tahunnya, dan sebagainya.



b. Hal hal yang membatalkan Akad Akad akan menjadi batal manakala terjadi hal hal sebagai berikut 1) Berakhir masa masa akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu. 2) Dibatalkan oleh pihak pihak yang berakad, apabila akad itu mengikat. 3) Dalam suatu akad yang bersifat mengikat, akad dapat berakhir apabila: a. Akad itu fasid b. Berlaku khiyar syarat dan khiyar aib. c. Akad itu tidak dilakukan oleh salah satu pihak yang berakad. d. Telah tercapai akad itu secara sempurna. e. Wafat salah satu pihak yang berakad.



2.8. AKAD TRANSAKSI IMPLIKASINYA DALAM OPERASIONAL LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH Dalam bank syari’ah, akad yang dilalukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan atau perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjinan tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah.



2.9 AKAD-AKAD BANK SYARIAH Berbagai jenis akad yang diterapkan oleh bank syariah dapat dibagi ke dalam enam kelompok pola, yaitu: 1. Pola Titipan, seperti wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah; 2. Pola Pinjaman, seperti qardh dan qardhul hasan; 3. Pola Bagi Hasil, seperti mudharabah dan musharakah; 4. Pola Jual Beli, seperti murabahah, salam, dan istishna; 5. Pola Sewa, seperti ijarah dan ijarah wa iqtina; 6. Pola Lainnya, seperti wakalah, kafalah, hiwalah, ujr, sharf, dan rahn. 2.9.1 Akad Pola Titipan Akad berpola titipan (Wadi’ah) ada dua, yaitu Wadi’ah yad Amanah dan Wadi’ah yad Dhamanah. Pada awalnya, Wadi’ah muncul dalam bentuk yad alamanah (tangan amanah), yang kemudian dalam perkembangannya memunculkan yadh-dhamanah ‘tangan penanggung’. Akad Wadi’ah yad Dhamanah ini akhirnya banyak dipergunakan dalam aplikasi perbankan syariah dalam produk-produk pendanaan. a. Titipan Wadi’ah yad Amanah Secara umum Wadi’ah adalah titipan murni dari pihak penitip (muwaddi’) yang mempunyai barang/aset kepada pihak penyimpan (mustawda’) yang diberi amanah/kepercayaan, baik individu maupun badan hukum, tempat barang yang dititipkan harus dijaga dari kerusakan, kerugian, keamanan, dan keutuhannya, dan dikembalikan kapan saja penyimpan menghendaki. Barang/aset yang dititipkan adalah sesuatu yang berharga yang dapat berupa uang, barang, dokumen, surat berharga, atau barang berharga lainnya. b. Titipan Wadi’ah yad Dhamanah Dari prinsip yad al-amanah ‘tangan amanah’ kemudian berkembang prinsip yadhdhamanah ‘tangan penanggung’ yang berarti bahwa pihak penyimpan bertanggung jawab atas segala kerusakan atau kehilangan yang terjadi pada barang/aset titipan. Hal ini berarti bahwa pihak penyimpan atau custodian adalah trustee yang sekaligus guarantor ‘penjamin’ keamanan barang/aset yang dititipkan. Ini juga berarti bahwa pihak penyimpan telah mendapatkan izin dari pihak penitip untuk mempergunakan barang/aset yang dititipkan tersebut untuk aktivitas perekonomian tertentu, dengan catatan bahwa pihak penyimpan akan mengembalikan barang/aset yang dititipkan secara utuh pada saat penyimpan menghendaki. Hal ini sesuai dengan anjuran dalam Islam agar aset selalu diusahakan untuk tujuan produktif (tidak idle atau didiamkan saja). 2.9.2 Pinjaman Qardh Qardh merupakan pinjaman kebajikan/lunak tanpa imbalan, biasanya untuk pembelian barang-barang fungible (yaitu barang yang dapat diperkirakan dan diganti sesuai berat, ukuran, dan jumlahnya). Objek dari pinjaman qardh biasanya adalah uang atau alat tukar lainnya (Saleh, 1992), yang merupakan transaksi pinjaman murni tanpa bunga ketika peminjam mendapatkan uang tunai dari pemilik dana (dalam hal ini bank) dan hanya wajib mengembalikan pokok hutang pada waktu tertentu di masa yang akan datang. Peminjam atas prakarsa sendiri dapat mengembalikan lebih besar sebagai ucapan terima kasih.



2.9.3 Akad Pola Bagi Hasil Akad bank syariah yang utama dan paling penting yang disepakati oleh para ulama adalah akad dengan pola bagi hasil dengan prinsip mudharabah (trustee profit sharing) dan musyarakah (joint venture profit sharing). Prinsipnya adalah al-ghunm bi’lghurm atau al-kharãj bi’l-damãn, yang berarti bahwa tidak ada bagian keuntungan tanpa ambil bagian dalam risiko (Al-Omar dan Abdel-Haq, 1996), atau untuk setiap keuntungan ekonomi riil harus ada biaya ekonomi riil (Khan, 1995). Konsep bagi hasil yang digambarkan dalam buku Fiqih pada umumnya diasumsikan bahwa para pihak yang bekerja sama bermaksud untuk memulai atau mendirikan suatu usaha patungan (joint venture) ketika semua mitra usaha turut berpartisipasi sejak awal beroperasi dan tetap menjadi mitra usaha sampai usaha berakhir pada waktu semua aset dilikuidasi. Ciri utama pola bagi hasil adalah bahwa keuntungan dan kerugian ditanggung bersama baik oleh pemilik dana maupun pengusaha. 2.9.4 Akad Pola Jual Beli Jual beli (buyu’, jamak dari bai’) atau perdagangan atau perniagaan atau trading secara terminologi Fiqih Islam berarti tukar menukar harta atas dasar saling ridha (rela), atau memindahkan kepemilikan dengan imbalan pada sesuatu yang diizinkan (Santoso, 2003). Jual beli dibolehkan Syariah berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ (konsensus) para ulama. Dalam QS 2:275 disebutkan bahwa “Allah menghalalkan perniagaan (albai’) dan mengharamkan riba”. Sedangkan dalam QS 4:29 disebutkan “Hai orangorang yang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu”. Dalam Fiqih Islam dikenal berbagai macam jual beli. Dari sisi objek yang diperjualbelikan, jual beli dibagi tiga, yaitu: a. Jual beli mutlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan uang; b. Jual beli sharf, yaitu jual beli atau pertukaran antara satu mata uang dengan mata uang lain; c. Jual beli muqayyadah, yaitu jual beli dimana pertukaran terjadi antara barang dengan barang (barter), atau pertukaran antara barang dengan barang yang dinilai dengan valuta asing (counter trade); Dari sisi cara menetapkan harga, jual beli dibagi empat, yaitu: 1) Jual beli musawamah (tawar menawar), yaitu jual beli biasa ketika penjual tidak memberitahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatnya; 2) Jual beli amanah, yaitu jual beli dimana penjual memberitahukan modal jualnya (harga perolehan barang). 3) Jual beli dengan harga tangguh, Bai’ bitsaman ajil, yaitu jual beli dengan penetapan harga yang akan dibayar kemudian. Harga tangguh ini boleh lebih tinggi daripada harga tunai dan bisa dicicil (concern pada cara menetapkan harga, bukan pada cara pembayaran); 4) Jual beli muzayadah (lelang), yaitu jual beli dengan penawaran dari penjual dan para pembeli berlomba menawar, lalu penawar tertinggi terpilih sebagai pembeli. Kebalikannya, disebut jual beli munaqadhah, yaitu jual beli dengan penawaran pembeli untuk membeli barang dengan spesifikasi tertentu dan para penjual berlomba menawarkan dagangannya, kemudian pembeli akan membeli dari penjual yang menawarkan harga termurah.



2.9.5 Akad Pola Sewa Transaksi nonbagi hasil selain yang berpola jual beli adalah transaksi berpola sewa atau ijarah. Ijarah, biasa juga disebut sewa, jasa, atau imbalan, adalah akad yang dilakukan atas dasar suatu manfaat dengan imbalan jasa. Ijarah adalah istilah dalam Fikih Islam dan berarti memberikan sesuatu untuk disewakan. Menurut Sayyid Sabiq, ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Jadi, hakekatnya ijarah adalah penjualan manfaat. Ada dua jenis ijarah dalam hukum Islam, yaitu: 1) Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut musta’jir, pihak pekerja disebut ajir, upah yang dibayarkan disebut ujrah. 2) Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ijarah ini mirip dengan leasing (sewa) di bisnis konvensional. Pihak yang menyewa (lessee) disebut musta’jir, pihak yang menyewakan (lessor) disebut mu’jir/muaajir, sedangkan biaya sewa disebut ujrah. Ijarah bentuk pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan syariah. Sementara itu, ijarah bentuk kedua biasa dipakai sebagai bentuk investasi atau pembiayaan di perbankan syariah. Ijarah adalah transaksi sewa-menyewa barang tanpa alih kepemilikan di akhir periode. 2.9.6 Akad Pola Lainnya Selain pola-pola yang telah dijelaskan, masih ada jenis akad lain yang biasa digunakan perbankan syariah, yaitu: a. Wakalah Wakalah (deputyship), atau biasa disebut perwakilan, adalah pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak (muwakil) kepada pihak lain (wakil) dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Atas jasanya, maka penerima kekuasaan dapat meminta imbalan tertentu dari pemberi amanah Rukun dari akad wakalah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu: 1) Pelaku akad, yaitu muwakil (pemberi kuasa) adalah pihak yang memberikan kuasa kepada pihak lain, dan wakil (penerima kuasa) adalah pihak yang diberi kuasa; 2) Objek akad, yaitu taukil (obyek yang dikuasakan); dan 3) Shighah, yaitu Ijab dan Qabul. Sedangkan syarat-syarat dari akad wakalah, yaitu: 1) Obyek akad harus jelas dan dapat diwakilkan; dan 2) Tidak bertentangan dengan syariat Islam. Bentuk-bentuk akad wakalah, antara lain: 1) Wakalah Muthlaqah, yaitu perwakilan yang tidak terikat syarat tertentu; dan 2) Wakalah Muqayyadah, yaitu perwakilan yang terikat oleh syarat-syarat yang telah ditentukan dan disepakati bersama. Contoh penggunaan wakalah dalam jasa perbankan, antara lain L/C (letter of credit),. transfer, kliring, RTGS, inkaso, dan pembayaran gaji. b. Kafalah Kafalah (Guaranty) adalah jaminan, beban, atau tanggungan yang diberikan oleh penanggung (kaafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau



yang ditanggung (makful). Kafalah dapat juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Atas jasanya penjamin dapat meminta imbalan tertentu dari orang yang dijamin. Jadi, secara singkat kafalah berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang kepada orang lain dengan imbalan. Rukun dari akad kafalah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu: 1) Pelaku akad, yaitu kaafil (penanggung) adalah pihak yang menjamin, dan makful (ditanggung), adalah pihak yang dijamin; 2) Objek akad yaitu makful alaih (tertanggung) adalah obyek penjaminan; dan 3) Shighah, yaitu Ijab dan Qabul. Sedangkan syarat-syarat dari akad kafalah, yaitu: 1) Obyek akad harus jelas dan dapat dijaminkan; dan 2) Tidak bertentangan dengan syariat Islam. Kafalah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu kafalah dengan harta dan kafalah dengan jiwa. Sedangkan jenis kafalah ada tiga, yaitu: a) Kafalah Bit Taslim, yaitu jaminan pengembalian barang yang disewa; b) Kafalah Al Munjazah, yaitu jaminan mutlak tanpa batas waktu; dan c) Kafalah Al Mualaqah, yaitu jaminan yang dibatasi jangka waktu tertentu. Contoh penggunaan kafalah dalam jasa perbankan, antara lain bank garansi. c. Hawalah Hawalah (Transfer Service) adalah pengalihan hutang/piutang dari orang yang berhutang/berpiutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya/menerimanya. Rukun dari akad hawalah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu: 1) Pelaku akad, yaitu muhal adalah pihak yang berhutang, muhil adalah pihak yang mempunyai piutang, dan muhal ’alaih adalah pihak yang mengambilalih hutang/piutang; 2) Objek akad, yaitu muhal bih (hutang); dan 3) Shighah, yaitu Ijab dan Qabul. Sedangkan syarat-syarat dari akad hawalah, yaitu: 1) Persetujuan para pihak terkait; dan 2) Kedudukan dan kewajiban para pihak. Contoh penggunaan hawalah dalam jasa perbankan, antara lain anjak piutang. d. Rahn Rahn (Mortgage) adalah pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain (bank) dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Atas jasanya, maka penerima kekuasaan dapat meminta imbalan tertentu dari pemberi amanah. Rukun dari akad rahn yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu: 1) Pelaku akad, yaitu rahin (yang menyerahkan barang), dan murtahin (penerima barang); 2) Objek akad, yaitu marhun (barang jaminan) dan marhun bih (pembiayaan); dan 3) Shighah, yaitu Ijab dan Qabul. Sedangkan syarat-syarat dari akad rahn, yaitu: 1) Pemeliharaan dan penyimpanan jaminan; dan 2) Penjualan jaminan. Contoh penggunaan rahn dalam jasa perbankan, antara lain gadai.



e. Sharf Sharf adalah jual beli suatu valuta dengan valuta lain. Rukun dari akad sharf yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu: 1) Pelaku akad, yaitu ba’l (penjual) adalah pihak yang memiliki valuta untuk dijual, dan musytari (pembeli) adalah pihak yang memerlukan dan akan membeli valuta; 2) Objek akad, yaitu sharf (valuta) dan si’rus sharf (nilai tukar); dan 3) Shighah, yaitu Ijab dan Qabul. Sedangkan syarat-syarat dari akad sharf, yaitu: 1) Valuta (sejenis atau tidak sejenis). Apabila sejenis, harus ditukar dengan jumlah yang sama. Apabila tidak sejenis, pertukaran dilakukan sesuai dengan nilai tukar; dan 2) Waktu penyerahan (spot). Produk jasa perbankan yang menggunakan akad sharf adalah fasilitas penukaran uang (money changer). f. Ujr Ujr adalah imbalan yang diberikan atau yang diminta atas suatu pekerjaan yang dilakukan. Akad ujr diaplikasikan dalam produk-produk jasa keuangan bank syariah (fee based services), seperti untuk penggajian, penyewaan safe deposit box, penggunaan ATM, dan sebagainya.



2.10 KONSUMSI DAN PERILAKU KONSUMEN DALAM ISLAM Dalam ekonomi islam konsumsi juga memiliki pengertian yang sama, tetapi memiliki perbedaan dalam setiap yang melingkupinya. Perbedaan yang mendasar dengan konsumsi ekonomi konvensional adalah tujuan pencapaian dari konsumsi itu sendiri, cara pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman Syariah islamiyyah. Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasannya. Dengan kata lain, perilaku konsumen adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan jasa mereka. Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumberdaya (resources) yang dimilikinya.



2.11 URGENSI KONSUMSI Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian, karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi mengarah kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia. Sebab, mengabaikan konsumsi berarti mengabaikan kehidupan dan juga mengabaikan penegakan manusia terhadap tugasnya dalam kehidupan. Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Adanya konsumsi akan mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan demikian akan menggerakkan roda-roda perekonomian



2.12 NORMA ETIKA KONSUMEN Menurut Yusuf Qardhawi, ada beberapa norma dasar yang menjadi landasan dalam berperilaku konsumsi seorang muslim antara lain : 1. Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir. Dalam hal ini hara yang di berikan Allah SWT kepada manusia tidak untuk di timbun atau disimpan karena penimbunan harta dilarang keras dalam islam dan memanfaatkannya adalah kewajiban 2. Tidak melakukan kemubadziran Seorang muslim senantiasa membelanjakan hartanya untukan kebutuhan – kebutuhan yang bermanfaat dan tidak berlebihan (boros/isfar). Beberapa sikap yang harus di perhatikan adalah : a. Menjahui berhutang, karena berhutang angan tidak di anjurkan, kecuali dalam keadaan tang sangat terpaksa. b. Menjaga aset yang mapan dan pokok, seorang muslim memperbanyak belanjanya dengan cara menjual aset – aset yang mapan dan pokok. Nabi mengingatkan , jika terpaksa menjual aset maka hasilnya hendak digunakan untuk membeli aset lain agar berkahnya di berkahi 3. Tidak hidup mewah dan boros. Kemewahan dan pemborosan yaitu menenggelamkan diri dalam kenikmatan dan bermegah-megahan sangat ditentang oleh ajaran Islam. 4. Kesederhanaan, membelanjakan harta pada kuantitas dan kualitas secukupnya adalah sikap terpuji bahkan penghematan merupakan salah satu langkah yang sangat dianjurkan pada saat krisis ekonomi terjadi. 5. Mementingkan kehendak sosial dibandingkan dengan keinginan yang benar-benar bersifat pribadi. 6. Konsumen akan berkumpul untuk saling bekerjasama dengan masyarakat dan pemerintah untuk mewujudkan semangat islam. 7. Konsumen dilarang mengkonsumsi barang atau jasa yang penggunaannya dilarang oleh agama islam 2.13 KONSEP MASLAHAH DALAM PRILAKU KONSUMEN ISLAMI Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini (Khan dan Ghifari, 1992). Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan (aldin), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Semua



barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah. Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi masing masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau bukan bagi dirinya .Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu dan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.



2.14 PRINSIP-PRINSIP KONSUMSI Menurut Abdul Mannan, dalam melakukan konsumsi terdapat lima prinsip dasar, yaitu: 1. Prinsip Keadilan Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan tidak dilarang hukum. Artinya, sesuatu yang dikonsumsi itu didapatkan secara halal dan tidak bertentangan dengan hukum. Islam memiliki berbagai ketentuan tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” (Qs al-Baqarah,2 : 169). Keadilan yang dimaksud adalah mengkonsumsi sesuatu yang halal (tidak haram) dan baik (tidak membahayakan tubuh). Kelonggaran diberikan bagi orang yang terpaksa, dan bagi orang yang suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan. 2. Prinsip Kebersihan Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang dapat merusak fisik dan mental manusia, misalnya: makanan harus baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Sementara dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah. “Makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya” (HR Tarmidzi). Prinsip kebersihan ini bermakna makanan yang dimakan harus baik, tidak kotor dan menjijikkan sehingga merusak selera. Nabi juga mengajarkan agar tidak meniup makanan: ”Bila salah seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke dalam gelas” (HR Bukhari). 3. Prinsip Kesederhanaan Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah dan merupakan pangkal dari berbagai kerusakan di muka bumi. Islam menghendaki suatu kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi kebutuhan manusia sehingga tercipta pola konsumsi yang efesien dan efektif secara individual maupun sosial. “Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Qs al-A’raf, 7: 31). Arti penting ayat-ayat ini adalah bahwa kurang makan dapat mempengaruhi jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi dengan berlebih-lebihan tentu akan berpengaruh pada perut. 4. Prinsip Kemurahan hati Allah dengan kemurahan hati-Nya menyediakan makanan dan minuman untuk manusia (Qs al-Maidah, 5: 96). Maka sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi dengan kemurahan hati. Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang kekurangan



makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada kita, kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya. Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika mengkonsumsi benda-benda ekonomi yang halal yang disediakan Allah karena kemurahan-Nya. 5. Prinsip Moralitas. Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus dibingkai oleh moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata – mata memenuhi segala kebutuhan. Allah memberikan makanan dan minuman untuk keberlangsungan hidup umat manusia agar dapat meningkatkan nilai-nilai moral dan spiritual. Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terimakasih setelah makan. 2.15 BATASAN KONSUMSI DALAM SYARI’AH Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia, yang dalam bentuk perilaku, gaya hidup, selera, sikap – sikap terhadap sesama manusia, sumberdaya, dan ekologi. Keimanan sangat mempengaruhi sifat kuantitas, dan kulitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan materil maupun spiritual. Kita melihat batasan konsumsi dalam Islam sebagaimana diurai dalam Alqur’an surah Al-Baqarah [2]: 168 -169 : Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah – langkah setan; karena setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu. Sesungguhnya setan hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. Sedangkan untuk batasan terhadap minuman merujuk pada firman Allah dalam al qur’an surah Al-Maidah[5] : 90 : Hai orang – orang yang beriman, sesungguhnya (minuman khamer, berjudi,(berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan – perbuatan itu agar kamu beruntung. 2.16 PERILAKU KONSUMEN MUSLIM Dalam bidang konsumsi, Islam tidak menganjurkan pemenuhan keinginan yang tak terbatas. Dalam pemenuhan kebutuhan manusia,Islam menyarankan agar manusia dapat bertindak ditengah – tengah (moderity) dan sederhana (simpelicity). Pembelanjaan yang dianjurkan dalam Islam adalah yang digunakan untuk memenuhi “kebutuhan” dan melakukan dengan cara rasional.



2.16.1. Dasar Hukum Perilaku konsumen



Hasan sirry menyatakan bahwa sumber hukum konsumsi yang tercactum dalam Al-Qur’an adalah; Makanlah dan minumlah,namun janganlah berlebih – lebihan, Sesungguhnya Allah itu tidak menyukai orang – orang berlebih – lebihan.



Sumber yang berasal dari Hadits Rasul adalah, Abu Said Al – Chodry r.a. berkata: ketika kami dalam bepergian bersama Nabi saw. Mendadak datang seseorang berkendara, sambil menoleh kekanan kekiri seolah – olah mengharapkan bantuan makanan, maka bersabda Nabi: “siapa yang mempunyai kelebihan kendaraan harus dibantukan pada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan siapa yang mempunyai kelebihan bekal harus dibantu kepada yang tidak berbekal.” Kemudian Rasulullah menyebut berbagai macam jenis kekayaan hingga kita merasa seseorang tidak berhak memiliki sesuatu yang lebih dari kebutuhan hajatnya..



2.16.2 Konsep Maslahah Dalam Prilaku Konsumen Islami



Dalam pandangan Islam kepuasan didasarkan pada suatu konsep yang disebut dengan maslahah. Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional.



Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini.



Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan (aldin), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah.



Kegiatan-kegiatan ekonomi meliputi produksi, konsumsi dan pertukaran yang menyangkut maslahah tersebut harus dikerjakan sebagai suatu ‘religious duty‘ atau ibadah. Tujuannya bukan hanya kepuasan di dunia tapi juga kesejahteraan di akhirat. Semua aktivitas tersebut, yang memiliki maslahah bagi umat manusia, disebut ‘needs’ atau kebutuhan.



Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:



1. Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu.



2. Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.



3. Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi.



Berdasarkan kelima elemen di atas,maslahah dapat dibagi dua jenis:



Pertama, maslahah terhadap elemen-elemen yang menyangkut kehidupan dunia dan akhirat, dan kedua: maslahah terhadap elemen-elemen yang menyangkut hanya kehidupan akhirat.



Dengan demikian seorang individu Islam akan memiliki dua jenis pilihan:



1. Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama dan berapa untuk maslahah jenis kedua.



2. Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka mencapai ‘kepuasan’ di akhirat) dan berapa bagian untuk kebutuhan akhirat. Dalam membandingkan konsep ‘kepuasan’ dengan ‘pemenuhan kebutuhan’ (yang terkandung di dalamnya maslahah), kita perlu membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara’ yakni antara daruriyyah, tahsiniyyah dan hajiyyah. Penjelasan dari masing-masing tingkatan itu sebagai



berikut:



1) Daruriyyah: Tujuan daruriyyah merupakan tujuan yang harus ada dan mendasar bagi penciptaan kesejahteraan di dunia dan akhirat, yaitu mencakup terpeliharanya lima elemen dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan atau agama, akal/intelektual, keturunan dan keluarga serta harta benda. Jika tujuan daruriyyah diabaikan, maka tidak akan ada kedamaian, yang timbul adalah kerusakan (fasad) di dunia dan kerugian yang nyata di akhirat. 2) Hajiyyah: Syari’ah bertujuan memudahkan kehidupan dan menghilangkan kesempitan. Hukum syara’ dalam kategori ini tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok tadi melainkan menghilangkan kesempitan dan berhati-hati terhadap lima hal pokok tersebut.



3) Tahsiniyyah: syariah menghendaki kehidupan yang indah dan nyaman di dalamnya. Terdapat beberapa provisi dalam syariah yang dimaksudkan untuk mencapai pemanfaatan yang lebih baik, keindahan dan simplifikasi dari daruriyyah dan hajiyyah. Misalnya dibolehkannya memakai baju yang nyaman dan indah.



2.17 PERBEDAAN PERILAKU KONSUMEN MUSLIM DENGAN PERILAKU KONSUMEN KONVENSIONAL Konsumen Muslim memiliki keunggulan bahwa mereka dalam memenuhi kebutuhannya tidak sekadar memenuhi kebutuhan individual (materi), tetapi juga memenuhi kebutuhan sosial (spiritual). Konsumen Muslim ketika mendapatkan penghasilan rutinnya, baik mingguan, bulanan, atau tahunan, ia tidak berpikir pendapatan yang sudah diraihnya itu harus dihabiskan untuk dirinya sendiri, tetapi karena kesadarannya bahwa ia hidup untuk mencari ridha Allah, sebagian pendapatannya dibelanjakan di jalan Allah (fi sabilillah). Dalam Islam, perilaku seorang konsumen Muslim harus mencerminkan hubungan dirinya dengan Allah (hablu mina Allah) dan manusia (hablu mina an-nas). Konsep inilah yang tidak kita dapati dalam ilmu perilaku konsumen konvensional. Selain itu, yang tidak kita dapati pada kajian perilaku konsumsi dalam perspektif ilmu ekonomi konvensional adalah adanya saluran penyeimbang dari saluran kebutuhan individual



yang disebut dengan saluran konsumsi sosial. Alquran mengajarkan umat Islam agar menyalurkan sebagian hartanya dalam bentuk zakat, sedekah, dan infaq.



BAB III PENUTUP



3.1 KESIMPULAN Islam mengakui fitrah manusia untuk mencintai harta, dan memilikinya, perhatian Islam dalam masalah harta tersebut di uraikan secara jelas melalui kalam al-Qur’an dan lisan Nabi SAW. Konsep harta harta dalam Islam sangat komprehensif, dimana Islam tidak hanya mengatur bagaimana harta itu dapat diperoleh dengan cara yang halal, bagaimana harta dapat dikembangkan, dan didayagunakan, akan tetapi juga mengatur bagaiamana agar harta itu dapat berfungsi mensejahterakan umat, yaitu dengan menggerakkan para pemilik harta melalui instruksi Tuhan dalam al-Quran maupun melalui sabda utusan-Nya untuk mendistribusikan harta dengan menginfaqkannya untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga, serta untuk membantu kebutuhan para fuqara dan masakin. Kaitannya dengan kepemilikan, Islam memandang bahwa pemilik hakiki adalah Allah semata, harta yang ada di tangan manusia hanyalah titipan dan amanat yang harus ditunaikan sesuai apa yang diinginkan sang pemilik sebenarnya. Konsep kepemilikan dalam Islam berbeda dengan kapitalis yang memandang harta adalah milik manusia, maka manusia bebas untuk mengupayakannya, bebas mendapatkannya dengan cara apapun dan bebas pula untuk memanfaatkannya atau dalam kata lain falsafah yang mereka miliki adalah kebebasan kepemilikan, begitu juga konsep kepemilikan Islam berbeda dengan kepemilikan sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu, harta adalah milik Negara. Akan tetapi konsep Islam mengakui adanya kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan Negara. Ketiga macam kepemilikan tersebut dberi batasan wewenang sesuai dengan fungsinya masing-masing. yang pada intinya agar terjaga keseimbangan untuk menuju kesejahteraan baik individu, masyarakat dan Negara



3.2 SARAN Semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu pemakalah dan temanteman dalam memahami tentang Harta, Kepemilikan Harta serta Perilaku Konsumen dalam Ekonomi Islam. Pemakalah berharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca.