Makalah HIV [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KONSEP PENYAKIT HIV/AIDS DAN KRITERIA DIAGNOSTIK HIV/AIDS diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan HIV/AIDS dosen pengampu : Nina Gartika, S.Kp., M.Kep



Disusun oleh: Kelompok 1 Elvina



302017044



Moch. Ramlan



3020170



Putri Nurhabibah



302017056



Putri Pramitha Nurislami Fahmawati



302017057



Sania Suci Defrianti



302017064



Sekar Ayu Atresia



302017065



Sylvi Nurdiyanti



302017073



Teguh Tresna Nuralam



302017074



Winy Anggraeni Wulan Dari Febrianti



302017082 302017083



PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN KELAS 3-B SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ‘AISYIYAH BANDUNG Jl. K. H. Ahmad Dahlan Dalam (Banteng Dalam) No. 6 Bandung 2019



KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT yang selalu melimpahkan kasih dan sayangnya kepada kita semua khususnya kepada penulis serta selalu memberikan hidayah dan inayahnya sehingga penulis dapat membuat makalah ini dengan penuh suka cita dan dapat mengumpulkan makalah ini tepat pada waktunya. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada nabi besar kita, nabi Muhammad SAW. Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan HIV/AIDS. Dalam penyusunannya pun penulis mendapatkan bantuan dari dosen mata kuliah yang bersangkutan, dari teman-teman dan dari referensi buku serta artikel media massa. Penyusunan makalah ini belum mencapai kata sempurna, sehingga penulis dengan lapang dada menerima kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun sehingga di kemudian hari penulis dapat membuat makalah jauh lebih baik dari makalah ini. Penulis berharap dengan dibuatnya makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca serta menjadi inspirasi bagi pembaca.



Bandung, September 2019



Penulis



i



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR........................................................................................................i DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1 A.



Latar Belakang Masalah.........................................................................................1



B.



Rumusan Masalah..................................................................................................1



C.



Tujuan....................................................................................................................2



BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................3 A.



Konsep Penyakit HIV/AIDS..................................................................................3



B.



Dasar Virologi HIV................................................................................................4



C.



Imunopatologi HIV................................................................................................6



D.



Patofisiologi HIV...................................................................................................7



E.



Transmisi HIV........................................................................................................9



F.



Perjalanan Penyakit HIV......................................................................................10



G.



Penatalaksanaan Klinik Infeksi HIV/AIDS..........................................................11



H.



Kriteria Diagnostik HIV/AIDS.............................................................................11



I.



Stadium HIV........................................................................................................14



J.



Intervensi Pra dan Pasca Tes HIV.........................................................................17



K.



Universal Precaution Pada HIV............................................................................21



BAB III PENUTUP........................................................................................................24 A.



Kesimpulan..........................................................................................................24



B.



Saran....................................................................................................................24



DAFTAR PUSTAKA



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam tubuh manusia itu unik banyak bakteri, jamur dan virus. Tetapi ketika ada suatu mikroorganisme dalam tubuh manusia tentunya ada juga yang melindungi tubuh manusia yaitu sistem imun [Dr. Nursalam, 2011]. Terkadang juga sistem imun bisa menjadi suatu masalah yang serius karena ada beberapa penyakit imun yang begitu sulit untuk disembuhkan salah satunya adalah HIV dan AIDS, untuk di Indonesia sendiri orang yang terinfeksi HIVAIDS kian meningkat. Dalam hal ini pentingnya edukasi terkait materi HIV-AIDS untuk di berikan kepada masyarakat guna mencegah penularan infeksi HIV AIDS yang merupakan penyakit berbahaya B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam makalah ini akan diuraikan dalam bab pembahasan. Rumusan masalah makalah ini terdiri dari : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.



Bagaimana fisiologis sistem imun? Bagaimana dasar virologi HIV? Bagaimana patofisiologi HIV? Bagaimana transmisi HIV? Bagaimana perjalanan penyakit HIV? Bagaimana penatalaksanaan klinik infeksi HIV/AIDS? Bagaimana saja tes diagnostik? Bagaimana diagnosis HIV pada bayi, anak, remaja, dan dewasa? Bagaimana stadium HIV? Bagaimana intervensi pra dan pasca tes HIV? Bagaimana universal precaution pada HIV?



1



2



C. Tujuan 1.



Tujuan Umum Dari tujuan pembuatan makalah ini diharapkan pembaca mengetahui dan



memahami tentang Konsep penyakit HIV/AIDS. 2.



Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui fisiologis sistem imun. b. Untuk mengetahui dasar virologi HIV. c. Untuk mengetahui patofisiologi HIV.Untuk mengetahui transmisi HIV. d. Untuk mengetahui perjalanan penyakit HIV. e. Untuk mengetahui penatalaksanaan klinik infeksi HIV/AIDS. f. Untuk mengetahui tes diagnostik. g. Untuk mengetahui diagnosis HIV pada bayi, anak, remaja, dan dewasa. h. Untuk mengetahui stadium HIV. i. Untuk mengetahui intervensi pra dan pasca tes HIV. j. Untuk mengetahui universal precaution pada HIV.



BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Penyakit HIV/AIDS 1.



Fisiologis Sistem Imun imun merupakan suatu sistem yang menjaga tubuh manusia dari dalam, ketika



tubuh manusia di serang oleh mikroorganisme seperti jamur, bakteri, kuman dan virus maka sistem imun kita akan berfungsi secara otomatis umtuk melawan mikroorganisme tersebut. Ada juga beberapa mekanisme dalam sistem imun seperti mekanisme non spesifik dan spesifik. a. Non Spesifik Maksud dari mekanisme non spesifik ini adalah respon imun secara alamiah yang merespon semua mikroorganisme, yang merukan sistem non spesifik adalah tubuh kita, kulit dan kelenjarnya dan enzim-enzim yang ada di tubuh kita. Jadi sistem non spesifik ini akan bekerja secara otomatis. Misalkan ketika kulit kita terbuka atau terluka maka dengan mudah bakteri akan masuk dan berkembang dalam tubuh sehingga membuat tubuh kita terkena infeksi, disanalah kenapa ada sistem imun yang akan menghancurkan setiap-setiap bakteri yang masuk ke dalam tubuh kita. b. Spesifik Sedangkan maksud dari pertahanan spesifik ini adalah suatu pertahanan atau respon imun yang terfokus pada satu mikroorganisme dan tidak memberikan proteksi terhadap mikroorganisme yang berkaitan. Dan perjalanan respom spesifik ini di dapat dari pejanan pada reaksi infeksi sehingga jaringan tubuh membentuk sistem imun. Komponen yang paling utama dalam respon spesifik ini adalah leukosit. Kekebalan tubuh yang di dapat di bagi menjadi dua yaitu. 1) kekebalan humoral Merupakan imunitas yang perankan oleh limfosit B baik dengan bantuan sel imun lainya ataupun bahkan tidak sama sekali, tugas sel B ini akan dilaksanakan oleh imunoglobulin yang disekresikan oleh sel plasma. Terdapat lima kelas imunoglobulin yaitu IgM, IgA, IgG, IgD dan IgA.



3



4



Imunitas humoral akan terbentuk apabila respon non spesifik berhasil melakukan responya. 2) kekebalan dimediasi sel Pembentukan kekebalan diperantai sel dilakukan jika respon imun non spesifik gagal menahan mikroorganisme masuk ke tubuh. Sel limfosit T akan membentuk kekebalan diperantai sel dengan melisis sel tubuh yang diserang sehingga mengalami apoptosis. Kekebalan ini tidak menghasilkan antibodi. Ada beberapa macam sel limofit T. Adapun beberapa jenis limfosit T antara lain adalah sebagai berikut. - Sel T memori, di program untuk memngingat dan mengenali antigen spesifik apabila menyerang tubuh sewaktu-waktu - Sel T helper, mengontrol pembelahan sel B, pembentukan antibodi dan aktivitas sel - Sel T sitoksik atau pembunuh, meilisis sel tubuh yang di serang antigen - Sel T supresor, menurunkan respon imun yang lebih dari cukup 3) Reaksi Hipersensitivitas Adalah suatu respon imun yang tidak di inginkan yang dapat merusak jaringan akibat paparan antigen terhadap substrat yang secara instrinsik sebenarnya tidak bahaya



Penggolongan Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV



Contoh Immediate Hypersentivity Antibody Mediate cytotoxicity Immune Compleks Cell mediated hypersentivity



Drug Allergy Anemia hemolitik Auto imun Dermatitis kontak, TBC



B. Dasar Virologi HIV 1.



Siklus Hidup HIV Sel penjamu yang terinfeksi oleh HIV memiliki waktu hidup sangat pendek;



hal ini berarti HIV secara terus-menerus menggunakan sel penjamu baru untuk mereplikasi diri. Sebanyak 10 milyar virus dihasilkan setiap harinya. Serangan



5



pertama HIV akan tertangkap oleh sel dendrit pada membrane mukosa dan kulit pada 24 jam pertama setlah paparan. Sel yang terinfeksi tersebut akan membuat jalur ke nodus limfa dan kadang-kadang ke pembuluh darah perifer selama 5 hari setelah paparan, di mana replikasi virus menjadi semakin cepat. Siklus hidup HIV dapat dibagi menjadi 5 fase, yaitu;



2.



1) Masuk dan mengikat. 2) Reverse transcriptase. 3) Replikasi. 4) Budding. 5) Maturase (Nuralam dan Ninuk, 2007). Tipe HIV Ada 2 tipe HIV yang dapat menyebabkan AIDS; HIV-1 dan HIV-2. HIV-1



bermutasi lebih cepat karena replikasi lebih cepat. Berbagai macam subtipe dari HIV-1 telah ditemukan dalam area geografis yang spesifik dan kelompok spesifik risiko tinggi. Individu dapat terinfeksi oleh subtipe yang berbeda. Berikut adalah subtipe HIV-1 dan distribusi geografisnya; Sub tipe A: Afrika Tengah Sub tipe B: Amerika Selatan, Brazil, USA, Thailand Sub tipe C: Brazil, India, Afrika Selatan Sub tipe D: Afrika Tengah Sub tipe E: Thailand, Afrika Tengah Sub tipe F: Brazil, Rumania, Zaire Sub tipe G: Zaire, Gabon, Thailand Sub tipe H: Zaire, Gabon Sub tipe I: Kamerun, Gabon



6



Sub tipe C sekarang ini terhitung lebih dari separuh dari semua infeksi HIV baru di seluruh dunia (Nuralam dan Ninuk, 2007). C. Imunopatologi HIV Secara imunologis, sel T yang terdiri atas limfosit T-helper, disebut limfosit CD4+ akan mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun kualitas. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T (toxic HIV). Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudia menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4+



dan ko-reseptornya, bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan



membrane sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel membrane. Pada bagian inti terdapat enzim reverse transcriptase yang terdiri atas DNA polymerase menyusun kopi DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuklase memusnahkan RNA asli. Enzim polimerase kemudian membentuk kopi DNA kedua dari DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan. Kode genetic DNA berupa untai ganda setelah terbentuk, maka akan masuk ke inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA kopi dari virus disisipkan dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+ , kemudian bereplikasi yang menyebabkan sel limfosit CD4+ mengalami sitolisis. Virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien, juga menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfe, sel-sel epitel pada usus, dan sel Langerhans di kulit. Efek infeksi pada sel mikroglia di otak adalah ensefalopat dan pada sel epitel usus adalah diare yang kronis. Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut biasanya baru disadari pasien setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami kesembuhan. Pasien yang terinfeksi virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama bertahun-tahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut sel CD4 +



7



mengalami penurunan jumlahnya dari 1000/µl sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200-300/µl setelah terinfeksi 2-10 tahun (Nuralam dan Ninuk, 2007). D. Patofisiologi HIV Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahan AIDS, sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas sluler dan menunjukkan gambaran penyakit yang kronis. Penurunan imunitas biasanya diikuti adanya peningakatan risiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta penyakit keganasan (Depkese RI, 2003). Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang menjadi AIDS pada tiga tahun pertama, 50% menjadi AIDS sesudah sepuluh tahun, dan hampir 100% pasien HIV menunjukkan gelaja AIDS setelah 1,3 tahun (Sudoyo, 2006). Dalam tubuh ODHA, partikel virus akan bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga orang yang terinfeksi HIV seumur hidup akan tetap terinfeksi. Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas infeksi seperti demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk pada 3-6 minggu setelah infeksi (Sudoyo, 2006). Kondisi ini dikenal dengan infeksi primer. Infeksi primer berkaitan dengan peiode waktu di mana HIV pertama kali masuk ke dalam tubuh. Pada fase awal proses infeksi (imunokompeten) akan terjadi respons imun berupa peningkatan aktivasi imun, yaitu pada tingkat seluler (HLA-DR; sel T; IL-2R); serum atau humoral (beta-2 mikroglobulin, neopterin, CD8, IL-R) dan antibodi upregulation (gp 120, anti p24 ; IgA) (Hoffmann, Rockstroh, Kamps, 2006). Induksi sel T-helper dan sel-sel lain diperlukan untuk mempertahankan fungsi sel-sel faktor sistem imun agar tetap berfungsi baik. Infeksi HIV akan menghacnurkan sel-sel T, sehingga T-helper tidak dapat memberikan induksi kepada sel-sel efektor sistem imun. Dengan tidak adanya Thelper, sel-sel efektor sistem inun seperti T8 sitotoksik, sel NK, monosit dan sel B tidak dapat berfungsi secara baik. Dayatahantubuh menurun sehingga pasien jatuh ke dalam stadium lebih lanjut (Hoffmann, Rockstroth, Kamps, 2006). Saat ini, darah pasien meunjukkan jumlah virus sangat tinggi, yang berati banyak virus lain di dalam darah. Sejumlah virus dalam darah atau plasma per milimeter mencapai



8



1 juta. Orang dewasa yang baru terinfeksi sering menunjukkan sindrom retroviral akut. Tanda dan gejala dari sindrom retroviral akut ini meliputi: panas, nyeri otot, sakit kepala, mual, muntah, diare, berkeringat di malam hari, kehilangan berat badan, dan timbul ruam. Tanda dari gejala tersebut biasanya terjadi 2-4 minggu setelah infeksi, kemudian hilang atau menurun setelah beberapa hari dan sering salah terdeteksi sebagai influenza atau infeksi mononukleosis (Calles, N.R, 2000). Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4 dalam darah menurun dengan cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4 pada nodus limfa dan thymus selama waktu tersebut, yang membuat individu yang terinfeksi HIV akan mungkin terkena infeksi oportunistik dan membatasi kemampuan



thymus untuk



memproduksi limfosit T. Tes antibodi HIV menggunakan enzym linked imunoabsorbent assay (ELISA) yang akan menunjukkan hasil positif (Calles, N.R, 2000). Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini bisa berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok orang yang perjalanan penyakitnya sangat cepat, hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalannya sangat lambat. Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik (penurunan berat badan, demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi, jamur, herpes, dan lain-lain. (Sudoyo, 2006). Pada fase ini disebut dengan imunodefisiensi, dalam serum pasien yang terinfeksi HIV ditemukan adanya faktor supresif berupa antibodi terhadap proliferasi sel T. Adanya supresif pada proliferasi sel T tersebut dapat menekan sintesis dan sekresi limfokin. Sehingga sel T tidak mampu memberikan respons terhadapa mitogen, terjadi disfungsi imun ditandai dengan penurunan kadar CD4, sitokin (IFNx; IL-2; IL-6); antibodi down regulation (gp120; anti p-24); TNF α; antinef (Hoffmann, Rockstroh, Kamps, 2006).



9



Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkoba. Lamanya penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkolosis, Infeksi oleh kuman lain akan membuat HIV membelah lebih cepat. Selain itu dapat mengakibatkan reaktivasi virus di dalam limfosit T sehingga perjalanan penyakit bisa lebih progresif (Sudoyono, 2006). E. Transmisi HIV Proses penularan virus HIV melalui beberapa cara yaitu: secara horizontal melalui hubungan seksual dan melalui darah yang terinfeksi, atau secara vertikal penularan dari ibunya ke bayi yang dikandungnya. Risiko penularan ini akan semakin meningkat bila terdapat infeksi menular seksual lain yang menyertai, terutama pada ulkus genital. Cairan tubuh yang paling banyak mengandung HIV adalah air mani (semen), cairan vagina/serviks, dan darah sehingga penularan utama HIV adalah melalui 4 jalur yang melibatkan cairan tubuh tersebut. a. Jalur hubungan seksual (homoseksual/heteroseksual). b. Jalur pemindahan darah atau produk darah seperti: transfusi darah, alat suntik, alat tusuk tatto, tindik, alat bedah, dll. c. Jalur transplantasi alat tubuh. d. Jalur transplasental, janin dalam kandungan ibu hamil dengan infeksi HIV dan infeksi perinatal. Penularan virus HIV transplasental dipengaruhi beberapa faktor. Disebutkan beberapa faktor yang meningkatkan risiko penularan virus HIV transplasental antara lain rendahnya sel CD4, rendahnya antibodi terhadap virus HIV, adanya keluhan terhadap infeksi HIV dan tingginya kadar virus HIV dalam tubuh ibu yang dapat terdeteksi melalui antigen p24 dalam serum ibu. Penularan HIV pada neonatus selama proses kelahiran terjadi melalui infeksi membran fetus dan cairan amnion dari vagina atau serviks yang berada dibawahnya, melalui masuknyya darah ibu penderita HIV pada bayinya saat persalinan dan melalui kontak langsung kulit dan mukosa membran bayi dengan sekres genital dan darah ibu yang menderita HIV saat persalinan berlangsung.



10



Sebenarnya HIV dapat ditemukan dalam ASI, air liur, air mata dan keringat, tetapi penularan melalui bahan ini belum terbukti kebenarannya karena jumlah virus yang sangat sedikit. Penularan HIV juga tergantung pada beberapa faktor, seperti fase infeksi, kadar virus dalam serum, adanya trauma, infeksi sekunder, efisiensi fungsi barier epithel, adanya sel dengan reseptor terhadap virus, sistem imunitas orang yang terpapar dan intensitas paparan virus. Salah satu petandadaya infeksius dari seorang penderita HIV adalah fase infeksi. Pada kebanyakan infeksi virus, kadar virus tertinggi terjadi pada awal infeksi, sebelum terbentuk antibodi. Untuk HIV fase ini sulit ditemukan karena kebanyakan penderita asimtomatis pada fase ini dan respons anti-HIV tidak dapat diketahui.



F. Perjalanan Penyakit HIV



11



G. Penatalaksanaan Klinik Infeksi HIV/AIDS Tidak dapat disembuhkan; meskipun demikian, WHO (World Health Organization) telah merekomendasikan terapi untuk pasien dengan jumlah Cd4⁺ ≤350 sel/mmᶟ, tanpa mempedulikan fase klinis. Terapi primer untuk infeksi HIV meliputi tiga jenis agen antiretroviral berikut ini: a. Inhibitor protease (PI), seperti ritonavir, indinavir, nelfinavir, dan atazanavir b. Inhibitor transkriptase terbalik nukleosida atau transcriptase inhibitor



(NRTI),



seperti



tenofovir,



emtrisitabine,



zidovudine,



didanosine,



zalcitabine, lamivudine, dan stavudine, c. Inhibitor transkriptase terbalik non-nukleosida atau nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI), seperti efavirenz, nevirapine, dan delavirdine. H. Kriteria Diagnostik HIV/AIDS 1.



Tes Diagnostik Tes skiring yang digunakan untuk mendignosis HIV adalah ELISA. Untuk



mengindentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik karena penyakit lain bisa juga menunjukjan hasil positif. Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan fale positif antara lain adalah penyakit autoimun, infeksi virus, atau keganasan hematologi. Kehamilan juga bisa menyebabkann



fale



positif.



Tes



yang



biasanya



digunakan



untuk



mengonfirmasikan hasil ELISA, antara lain Western Blot (WB), indirect immunofluoresence assay (IFA) ataupun radio-immunoprecipitation assay (RIPA). Pada daerah-daerah dimana prevalensi HIV sangat tinggi, dua kali hasil ELISA positif ditambah gejala klinis bisa digunakan untuk mendiagnosa HIV. Bila metode ini dipilih, maka akan lebih baik jika dipilih dua tioe tes ELISA yang berbeda. Western Blot merupakan elektroforesis gel poliakrilamid yang digunakan untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada rantai protein, protein yang berarti hasil tes negatif. Sedangakan bila hampir atau semua rantai protein ditemukan, berarti Western Blot positif. Tes Western Blot mungkin



12



juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka tes Western Blot harus diulangi lagi setelah 6bulan. Jika tes tetap negatif maka pasien dianggap HIV negatif. Beberapa tes cepat untuk deteksi HIV dikembangkan dengan menggunakan teknologi serupa ELISA, dan hasilnya seakurat tes ELISA. Keuntungan tes ini adalah hasilnya bisa didapat hanya dalam beberapa menit. PCR (polymerase chain reaction) untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas (Dr. Nursalam, 2011). Menurut Ratih, 2012 pemeriksaan diagonostik HIV bisa dilakukan dengan cara mendeteksi infeksi HIV adalah dengan melalui kegiatan konseling dan tes HIV. Kegiatan ini terbukti sangatlah bernilai tinggi dalam pelayanan kesehatan dan dukungan yang dibutuhkan dan memungkinkan intervensi yang aman dan efektif terutama dalam pencegahan penularan dari ibu ke anak. Konseling dan tes HIV tersedia dalam berbagai situasi dengan menggunakan pendekatan sukarela ( VCT=Voluntary Counseling Test) dan konseling yang diinisiasi oleh petugas ( PITC = Provider Initiated Tes and Counseling). Sasaran kegiatan VCT adalah masyarakat yang ingin mengetahui status HIV/AIDS dan mencegah penularan, masyarakat yang berperilaku risiko tinggi seperti sering berganti pasangan dan pengguna narkoba jarum suntik. Kegiatan VCT didahului oleh konseling pra tes dan diakhiri oleh konseling pasca tes. Untuk itu diperlukan konselor yang terlatih dan professional. Sedangkan PITC merupakan kegiatan konsultasi dan tes HIV yang diinisiasi oleh petugas kesehatan manakala petugas kesehatan menemukan seorang pasien yang dicurigai mempunyai faktor risiko terkena HIV / AIDS. 2.



Diagnosis HIV Pada Bayi, Anak, Remaja, dan Dewasa Diagnosis HIV pada bayi, anak, remaja dan dewasa berdasarkan yang



dikemukakan oleh Nursalam, dkk (2018, 61-67), sebagai berikut. a.



Diagnosis HIV Pada Bayi dan Anak Bayi yang tertular HIV dari ibuya biasanya akan terlihat normal secara klinis



pada periode neonatal. Pneumonia yang disebabkan oleh pneumocystis carinii



13



adalah sebagai penyakit penanda yang paling sering ditemukan pada anak. Gejala umum yang sering ditemukan pada bayi dengan infeksi HIV adalah gangguan tumbuh kembang, kandidiasis oral, diare kronis, atau hepatosplenomegali (pembesaran hati dan lien. Mengingat antibody ibu bisa dideteksi pada bayi sampai berusia 18 bulan, maka tes ELISA dan Western Blot akan positif meskipun bayi tidak terinfeksi HIV karena tes ini berdasarkan ada atau tidaknya antibody terhadap virus HIV. Tes paling spesifik untuk mengidentifikasi HIV adalah PCR untuk DNA HIV. Anak-anak berusia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan menggunakan kombinasi atara gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Anak dengan HIV sering mengalami infeksi berulang/kambuhan, gagal tumbuh atau wasting, limfadenopati menetap, keterlambatan berkembang, sariawan pada mulut dan faring. Anak usia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan ELISA dan tes konfirmasi lain seperti pada orang dewasa. Pada pasien bayi dan anak, tes HIV hanya bisa dilakukan jika ada izin dari orang tua/wali, dengan indikasi yaitu: 1) anak sakit yang berhubungan dengan HIV, misalnya TB berat/mendapat OAT berulang; 2) bayi lahir dari ibu HIV; 3) mengetahui status bayi/anak dari ibu yang didiagnosis HIV; 4) mengetahui status bayi/anak setelah saudaranya terdiagnosis HIV atau salah satu orang tuanya diduga meninggal akibat HIV; 5) terpajan atau berpotensi terinfeksi HIV melalui jarum suntik terkontaminasi atau mendapat transfuse berulang; 6) anak mengaami kekerasan seksual (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.2014a). b. Diagnosis HIV Pada Remaja dan Dewasa Diagnosis HIV pada orang dewasa mengikuti prinsip-prinsip khusus. Baik diagnosis klinik maupun laboratorium dikembangkan untuk menentukan diagnosis negatif maupun positif. Tanda dan gejala pada infeksi HIV awal bisa sangat tidak spesifik dan menyerupai infeksi virus lain, yaitu: letargi, malaise, sakit tenggorokan, myalgia (nyeri otot), demam dan berkeringat. Pasien mungkin mengalami beberapa gejala, tetapi tidak mengalami keseluruhan gejala tersebut di atas. Pada stadiu awal, pemeriksaan laboratorium merupakan cara terbaik untuk mengetahui apakah pasien terinfeksi virus HIV atau tidak.



14



Tes untuk mendiagnosis HIV dilakukan dengan menggunakan tiga jenis antibody yang berbeda sensitivitas dan spesivitasnya. Konseling dan testing sukarela merupakan tahapan awal untuk mengetahui status HIV seseorang (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014a). Indikasi tes HIV menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 21 tahun 2013 meliputi: 1) setiap orang dewasa, anak dan remaja dengan kondisi medis yang diduga terinfeksi HIV terutama dengan riwayat TB IMS; 2) asuhan antenatal apada ibu hamil dan ibu bersalin; 3) lelaki dewasa yang meminta sirkumsisi sebagai tindakan pencegahan HIV (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014a) I.



Stadium HIV



Klasifikasi Imunodefisiensi menurut WHO



Klasifikasi WHO tentang imunodefisiensi HIV menggunakan CD4 Imunodefisiensi Jumlah CD4 menurut umur ≤11 bulan 12-35 bulan 36-59 bulan ≥ 5 (%) Tidak ada Ringan Sedang Berat



>35 30-35 25-30 30 25-30 20-25 25 20-25 15-20 500 350-499 200-349