Makalah Hiv [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DAFTAR ISI



BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................................1 A.



LATAR BELAKANG.....................................................................................................................1



B.



Rumusan Masalah............................................................................................................................2



C.



Tujuan Penulisan.............................................................................................................................2 1.



Tujuan Umum..............................................................................................................................2



2.



Tujuan Khusus.............................................................................................................................2



BAB II KONSEP DASAR PENYAKIT HIV...........................................................................................3 A.



Konsep Dasar Mikrobiologi dan Parasitologi..................................................................................3



B.



Konsep Dasar Patologi Anatomi......................................................................................................3



C.



Proses Infeksi HIV...........................................................................................................................4 1.



Siklus Virus HIV.........................................................................................................................4



2.



Pathogenesis dan Peran Aktivasi Imun........................................................................................5



D.



E.



Pencegahan Penularan HIV.............................................................................................................8 1.



Mikrobida Topik..........................................................................................................................8



2.



Sunat pada pria............................................................................................................................8



3.



Kemoprofilaksis sebelum dan pasca pajanan...............................................................................9



4.



Mengurangi Transmisi dengan Mengurangi Viral Load..............................................................9



5.



Vaksin HIV................................................................................................................................10 Farmakologi HIV...........................................................................................................................11



BAB III PENUTUP....................................................................................................................................13 A.



Kesimpulan....................................................................................................................................13



B.



Saran..............................................................................................................................................13



BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG HIV (Human immunodeficiency virus) adalah virus RNA yang tergolong dalam famili Retroviridae, sub famili Lentivirinae. Virus ini merupakan penyebab AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome), yang dapat menimbulkan penurunan sistem imunitas tubuh secara menyeluruh (Connor & Ho, 1992; Barker & Barnett, 1995). Pada tahun 1978 Robert Gallo dan kawan-kawan berhasil mengisolasi suatu retrovirus pada sel-sel limfosit T dari penderita leukemia dan dikenal sebagai Human Tlymphotropic virus tipe I dan II (HTLV-I dan HTLV-II). Dari penemuan ini kemudian dikemukakan oleh Gallo bahwa kasus AIDS yang pertama kali ditemukan pada tahun 1981 adalah akibat infeksi oleh varian HTLV-I pada sel-sel limfosit T helper. Pada tahun 1983 Essex dan kawan-kawan melaporkan



bahwa 25 – 30% dari penderita AIDS



mempunyai antibodi yang dapat bereaksi silang dengan antigen membran dari HTLV-I. Penyebab AIDS yang sesungguhnya mulai ditetapkan pada tahun 1983 pada saat Luc Montagnier berhasil mengisolasi suatu retrovirus dari penderita dengan AIDS-related lymphadenopathy syndrome. Isolat ini disebut lymphadenopathy virus (LAV). Pada saat yang hampir bersamaan, yaitu pada tahun 1984 Gallo mengisolasi pada biakan jaringan suatu retrovirus dari penderia AIDS dan diberi nama HTLV-III dan pada tahun yang sama Levy mengisolasi AIDS- related retrovirus (ARV) dari penderita AIDS. Akhirnya setelah melalui perdebatan antara para pakar virologi ditetapkan oleh The International Committee of Taxonomy of Viruses” bahwa retrovirus penyebab AIDS adalah Human immunodeficiency virus (HIV) untuk menggantikan nama-nama sebelumnya, karena virus-virus yang ditemukan tersebut adalah virus yang sama (Haase, 1990). Seseorang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit dengan segera, namun sudah dapat menularkan kepada orang lain. Hal ini menyebabkan sulitnya pencegahan dan pemberantasan AIDS sehingga penyakit ini telah menjadi masalah internasional, karena dalam waktu relatif singkat dapat terjadi peningkatan jumlah 1



penderita dan melanda semakin banyak



negara. Oleh sebab itu, makalah ini akan



membahas pathogenesis dari penyakit HIV dan cara pencegahan terhadap penyakit tersebut.



B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Konsep Dasar Mikrobiologi & Parasitologi pada HIV ? 2. Bagaimana Konsep Dasar Patologi Anatomi pada HIV ? 3. Apa yang terjadi pada Proses Infeksi dan bagaimana proses terjadinya ? 4. Apa saja pencegahan yang dapat dilakukan terhadap penularan HIV ? 5. Bagaimana peran farmakologi dalam menangani HIV ?



C. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui proses pathogenesis pada penyakit HIV 2. Tujuan Khusus a. Menjelaskan Konsep Dasar Mikrobiologi & Parasitologi pada HIV b. Menjelaskan Konsep Dasar Patologi Anatomi pada HIV c. Mendeskripsikan terjadinya Proses Infeksi dan bagaimana proses terjadinya d. Menjelaskan pencegahan yang dapat dilakukan terhadap penularan HIV e. Menjelaskan peran farmakologi dalam menangani infeksi HIV



2



BAB II KONSEP DASAR PENYAKIT HIV



A. Konsep Dasar Mikrobiologi dan Parasitologi



B. Konsep Dasar Patologi Anatomi



3



C. Proses Infeksi HIV 1. Siklus Virus HIV HIV paling sering ditularkan selama aktivitas seksual, dan sel dendritik, monosit, makrofag, sel langerhans, dan sel mikroglia pada atau dekat permukaan mukosa. Sel-sel ini berikatan dengan afinitas tinggi terhadap Glikoprotein gp120 dan dapat mempertahankan infeksi partikel selama berhari-hari, sehingga memudahkan presentasi virus ke sel yang rentan. Siklus replikasi HIV dalam sel targetnya dimulai dengan pengikatan gp120 virus ke molekul CD4, reseptornya pada permukaan sel inang. Setelah gp120 mengikat CD4, glikoprotein mengalami perubahan konformasi yang memfasilitasi pengikatannya ke koreseptor seluler. Fusi dengan membran sel inang dan terjadinya . Ledakan awal viremia dan penyebaran virus yang cepat ke organ limfoid, terutama jaringan limfoid terkait usus, merupakan faktor utama dalam pembentukan infeksi kronis dan persisten yang merupakan ciri khas penyakit HIV. Meskipun respons imun seluler dan humoral yang kuat terlihat selama infeksi HIV primer, virus berhasil lolos dari pembersihan yang dimediasi imun. Oleh karena itu, begitu infeksi terbentuk, ia tidak pernah dihilangkan sepenuhnya dari tubuh. Proses siklus yang pertama asalah tahap masuknya virus dalam sel inang berkaitan dengan struktur permukaan virus dan inangnya, penempelan berlangsung karena adanya muatan listrik yang berlawanan antara molekul gp120 yang memiliki muatan positif dengan proteoglikan dari lektin permukaan sel yang bermuatan negatif, setelah terjadi penempelan, gp120 akan melakukan ikatan spesifik dengan molekul CD4 yang dimiliki sel inang, ikatan ini akan memicu berbagai perubahan struktur molekul (konformasi) gp120 dan koreseptor dibutuhkan untuk menginduksi konformasi gp41 yang berada dalam membran virus. Setelah terjadinya fusi, virus tidak berselubung mempersiapkan untuk mengadakan replikasi. Material genetik virus adalah RNA single stand-sense positif (ssRNA), virus harus mentranskripsi RNA ini dalam DNA secara optimal pada replikasi sel manusia. Tahap transkripsi mundur dari integrasi genom dimana dalam memanfaatkan kelengkapan yang dimiliki sel, genom virus harus digabungkan dengan genom sel inang. Genom virus yang telah menyatu dengan genom sel inang dapat berada dalam 4



keadaan laten atau aktif. cDNA yang aktif disebut sebagai provirus. Provirus digunakan sebagai pola cetakan transkripsi menjadi untainan RNA dalam proses replikasi atau biosintesis protein virus yang diperlukan dalam pertikel virus baru. Hasil sintesa lengkap molekul double-strand DNA (dsDNA) dipindahkan ke dalam inti dan berintegrasi ke dalam kromoson sel tuan rumah oleh enzim integrase. Integrasi ini menimbulkan beberapa masalah, pertama HIV dapat menyebabkan infeksi kronik dan persisten. Selanjutnya translasi pada ribosom dari rough endoplasmic reticulum (rER) menjadi peptida yang diselesaikan dalam kompleks golgi. Gabungan DNA virus dan DNA sel inang akan mengalami replikasi, transkripsi dan translasi kemudian erjadi Perakitan partikel virus baru pada prinsipnya berlangsung pada membran sel inang yang terinfeksi dan mendorong pembentukan inti virus yang belum dewasa. Nukleokapsid yang sudah terbentuk oleh ssRNA virus disusun dalam satu kompleks. Kompleks nukleoprotein ini kemudian dibungkus dengan 1 membran pembungkus dan dilepaskan dari sel pejamu melalui proses ”budding”. dari membran plasma. Kecepatan produksi virus dapat sangat tinggi dan menyebabkan kematian sel inang. 2. Pathogenesis dan Peran Aktivasi Imun Perjalanan khas infeksi HIV meliputi infeksi primer, penyebaran virus ke organ limfoid, latensi klinis, peningkatan ekspresi HIV, penyakit klinis dan kematian. Durasi antara infeksi primer dan progresi menjadi penyakit klinis rata-rata sekitar 10 tahun. Pada kasus yang tidak diobati, kematian biasanya terjadi dalam 2 tahun setelah onset gejala. Setelah infeksi primer, selama 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan viremia permulaan, viremia dapat terdeteksi selama sekitar 8-12 minggu. Virus tersebar luas ke seluruh tubuh selama masa ini, dan menjangkiti organ limfoid. Pada tahap ini terjadi penurunan jumlah sel –T CD4 yang beredar secara signifikan. Respon imun terhadap HIV terjadi selama 1 minggu sampai 3 bulan setelah terinfeksi, viremia plasma menurun dan level sel CD4 kembali meningkat. Tetapi respon imun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna, dan sel- sel yang terinfeksi HIV menetap dalam limfoid. Masa laten klinis ini dapat berlangsung sampai 10 tahun, selama masa ini banyak terjadi replikasi virus. Siklus hidup virus 5



dari saat infeksi sel ke saat produksi keturunan baru yang menginfeksi sel berikutnya rata-rata 2,6 hari. Limfosit T -CD4, merupakan target utama yang bertanggung jawab memproduksi virus. Pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan gejala klinis yang nyata, seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang ditemukan pada pasien dengan penyakit tahap lanjut, biasanya jauh lebih virulen dan sitopatik dari pada strain virus yang ditemukan pada awal infeksi. Bersamaan dengan pembentukan partikel virus muda dari membran sel, terjadi proses proteolisis kapsid untuk pengembangan virus menjadi dewasa. Aktivasi kekebalan kronis adalah ciri khas penyakit HIV dan menghasilkan peningkatan replikasi virus dan penurunan sel imun. Plesi, disfungsi sel imun, dan limfosit yang menyimpang perputaran. Selain faktor endogen seperti efek sitokin proinflamasi, faktor eksogen termasuk interaksi langsung antara HIV dan berbagai jenis sel serta efek dari mikroba penginfeksi lainnya dikaitkan dengan aktivasi seluler yang meningkat dan dengan demikian mungkin memiliki efek penting pada patogenesis penyakit HIV. Koinfeksi



yang



berpotensi



meningkatkan



aktivasi



kekebalan



dan



menyediakan lingkungan yang permisif untuk replikasi HIV. Secara khusus, ada epidemiologi yang cukup besar bukti untuk hubungan antara penyakit menular, khususnya penyakit ulkus genital, dan risiko penularan HIV. Studi terbaru program 7 tahun studi kohort spective infeksi HIV akut di Pune, India, Reynolds dkk melaporkan bahwa individu dengan penyakit baru-baru ini atau sifilis memiliki peningkatan risiko 14 kali lipat untuk tertular HIV melalui hubungan seksual yang berisiko. Dalam penelitian sebelumnya di Pune, tim ini menemukan bahwa insiden baru-baru ini herpes simplex virus-2 (HSV-2) infeksi dikaitkan dengan 4 kali lipat peningkatan risiko penularan HIV. Menariknya, dalam penelitian ini, risiko infeksi HIV meningkat untuk individu yang tidak menunjukkan gejala untuk HSV-2 infeksi serta untuk individu dengan infeksi HSV-2 simtomatik.



6



Mekanisme biologis untuk peningkatan risiko infeksi HIV pada individu dengan beberapa penyakit : a. penyakit menular seksual (PMS) adalah gangguan integritas mukosa. Pencegahan dan pengobatan PMS merupakan strategi untuk mencegah infeksi HIV. b. Infeksi cacing, tuberkulosis, dan malaria) dengan peningkatan kerentanan kemampuan untuk infeksi HIV atau memburuknya perkembangan penyakit HIV. Bentwich dan rekan telah mendalilkan bahwa infeksi kronis, terutama infeksi cacing, meningkatkan risiko penularan HIV dengan menyebabkan sistem imun kronis aktivasi yang menghasilkan peningkatan viral load plasma. c. Obat cacing infeksi juga dapat meningkatkan kerentanan terhadap HIV; Misalnya, laboratorium kami bekerja sama dengan laboratorium lain untuk menunjukkan bahwa filariasis, penyakit parasit ekstraseluler, meningkatkan kerentanan sel mononuklear darah perifer manusia terhadap Infeksi HIV secara in vitro. d. Pencegahan dan pengobatan tuberkulosis dan malaria juga mungkin memiliki peran penting dalam mencegah infeksi HIV. Aktivasi kekebalan oleh Mycobacterium tuberculosis meningkatkan viremia plasma HIV dan keragaman spesies pada orang yang terinfeksi, berpotensi meningkatkan perkembangan HIV dan risiko penularan HIV ke orang lain. Dalam satu penelitian, virus plasma pada orang yang terinfeksi HIV sebelum, selama, dan setelah perkembangan tuberkulosis dan menemukan peningkatan 5-160 kali lipat dalam replikasi virus selama fase aktif tuberkulosis. Data ini dan selanjutnya menyoroti pentingnya terapi tuberkulosis filaktik pada orang yang terinfeksi HIV dengan infeksi M. tuberculosis laten, yang tidak hanya dapat mengendalikan penyebaran tuberkulosis tetapi juga dapat menurunkan tingkat penyebaran virus, replikasi dan dengan demikian mengurangi risiko penularan HIV. e. Episode malaria akut juga telah dikaitkan dengan peningkatan beban HIV yang mungkin mempercepat perkembangan dan memfasilitasi transmisi. Studi HIVindividu yang terinfeksi koinfeksi dengan "penyakit tropis" mungkin tidak berkaitan langsung dengan Amerika Serikat, di mana malaria, tuberkulosis 7



kerugian, dan penyakit parasit relatif jarang, tetapi mereka membangun pada data in vitro yang berlimpah bahwa aktivasi kekebalan yang menyimpang memfasilitasi replikasi HIV. Pengobatan HIV, pembuatan dan penggunaan vaksin untuk mencegah koinfeksi adalah kemungkinan pencegahan penyakit HIV sedang dipelajari secara intensif oleh banyak kelompok penelitian.



D. Pencegahan Penularan HIV Mengacu pada jurnal artikel yang digunakan sebagai bahan review, Fauci, A (2007) menyebutkan beberapa hal yang dapat mencegah atau mengendalikan penularan HIV, sebagai berikut: 1. Mikrobida Topik Penggunaan mikrobisida topikal akan menjadi metode pencegahan yang sangat penting bagi wanita yang sebaliknya bergantung pada modalitas perlindungan yang dikendalikan pria, seperti penggunaan kondom pria atau mengizinkan penggunaan kondom wanita. Mikrobisida topikal kandidat dapat berfungsi sebagai penghalang fisik, menghambat penyerapan oleh atau infeksi sel dendritik, menetralkan atau menghambat HIV pada permukaan mukosa, menghambat replikasi virus dalam sel yang



terinfeksi,



atau



meningkatkan



pertahanan



vagina



misalnya;



dengan



mempertahankan pH yang tidak ramah terhadap HIV dan patogen lainnya (Fauci, 2007). 2. Sunat pada pria Berdasarkan hasil uji klinis yang telah dilakukan menyebutkan bahwa sunat pada laki-laki dewasa yang dilakukan secara medis dan signifikan dapat mengurangi risiko seorang laki-laki tertular HIV melalui hubungan heteroseksual. Penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa resiko laki-laki yang sudah disunat memilik nilai 40-80% lebih kecil tertular infeksi HIV. Sunat pada laki-laki mampu melindungi terhadap penularan HIV. Jaringan kulup bagian dalam yang sangat vaskularisasi mengandung kepadatan sel Langerhans yang tinggi serta peningkatan jumlah CD4+, sel T, makrofag, dan target seluler lainnya untuk HIV. Berbeda dengan lingkungan kering pada area keratin pada permukaan luar kulup, lingkungan 8



lembab di bawah kulup dapat meningkatkan keberadaan atau persistensi flora mikroba, yang melalui perubahan inflamasi, dapat menyebabkan konsentrasi sel target yang lebih tinggi untuk kulup. HIV di kulup dan kepadatan sel yang rentan HIV. Mukosa bagian dalam kulup lebih rentan terhadap mikroabrasi, menyediakan pintu masuk bagi HIV, dan tingkat PMS ulseratif yang lebih tinggi pada pria yang tidak disunat juga dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi HIV. Oleh karena itu, menghilangkan kulup mengurangi beberapa target virus, dan memungkinkan penghalang permukaan kulit yang lebih protektif terhadap HIV. Sunat laki-laki dewasa, meskipun tidak sepenuhnya melindungi terhadap HIV (Fauci, 2007). 3. Kemoprofilaksis sebelum dan pasca pajanan Secara teoritis, jika replikasi HIV dapat dihambat segera setelah terpapar virus, infeksi permanen kemungkinan dapat dihindari. Pendekatan semacam itu akan membantu mengatasi kebutuhan akan metode pencegahan yang dikendalikan oleh perempuan, yang merupakan prioritas penting karena lebih dari 50% infeksi baru secara global terjadi pada wanita. Pendekatan ini disebelum pendekatan profilaksis pra pajanan. Beberapa bukti menunjukkan bahwa profilaksis pra pajanan terhadap infeksi HIV dapat menjadi pencegahan pertama kali untuk menghindari penularan infeksi HIV. Misalnya, obat antiretroviral (ARV) telah digunakan dengan sangat sukses untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi (Fauci, 2007). Profilaksis setelah terkena pajanan HIV, dikenal sebagai profilaksis pasca pajanan. Pendekatan pasca pajanan ini memiliki peran dalam mencegah infeksi HIV di lingkungan non-pekerjaan dan pekerjaan. Data dari penelitian pada hewan dan penelitian observasional pada manusia menunjukkan bahwa terapi antiretroviral dimulai tidak lebih dari 48-72 jam setelah paparan seksual, penggunaan narkoba suntikan, atau paparan pekerjaan dan dilanjutkan selama 28 hari mengurangi kemungkinan



penularan



dari



infeksi



HIV.



Berdasarkan



pedoman



federal



merekomendasikan inisiasi terapi antiretroviral (ARV) segera ketika terkena pajanan karena dapat menimbulkan risiko besar untuk tertular HIV (Fauci, 2007).



9



4. Mengurangi Transmisi dengan Mengurangi Viral Load Banyak tindakan pencegahan terkait patogenesis berfokus pada pengurangan viral load sebagai sarana untuk membuat orang yang terinfeksi HIV menjadi meminimalkan resiko penularan. Pendekatan yang sesuai adalah pasca pajanan, yakni pengobatan individu yang terinfeksi dengan pengobatan antiretroviral kombinasi, yang pada sebagian besar individu, dapat mengurangi kadar virus dalam plasma ke tingkat yang tidak terdeteksi. Bukti kuat bahwa mengurangi viral load mampu mengurangi penularan berasal dari penelitian tentang penularan ibu-janin. Hubungan antara viral load dan penularan juga telah ditunjukkan dalam kaitannya dengan cara penularan seksual. Misalnya, penelitian terhadap pasangan monogami, HIV serodiskordan di Rakai, Uganda, telah menunjukkan korelasi langsung antara viral load pasangan yang terinfeksi dengan kemungkinan resiko penularan (Fauci, 2007). 5. Vaksin HIV vaksin telah memberikan cara yang aman, hemat biaya, dan efisien untuk mencegah penyakit, kecacatan, dan kematian akibat penyakit menular. Vaksin yang berhasil biasanya didasarkan pada asumsi bahwa tubuh dapat meningkatkan respons imun yang efektif selama infeksi alami dan bahwa vaksin akan meniru respons alami terhadap infeksi. Dengan sebagian besar penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin (misalnya, cacar, polio, campak, dan influenza), tubuh dapat membersihkan agen infeksi dan memberikan perlindungan terhadap paparan di masa depan. Namun, pada HIV kerja vaksin tidak seperti pada penyakit yang disebutkan diatas. karena respon imun alami terhadap infeksi HIV tidak mampu membersihkan virus dari tubuh. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap sifat bermasalah pengembangan vaksin HIV pencegahan adalah tingginya mutabilitas virus, fakta bahwa infeksi dapat ditularkan oleh virus bebas sel atau virus terkait sel, kemungkinan kebutuhan untuk pengembangan kekebalan mukosa yang efektif, dan kurangnya pemahaman tentang korelasi yang tepat dari kekebalan pada penyakit HIV. Banyak vaksin HIV yang menjanjikan sedang dalam berbagai tahap perkembangan klinis, dan tujuan akhir dari vaksin HIV adalah untuk mencegah infeksi. Namun, bahkan vaksin yang tidak mencegah infeksi tetapi secara signifikan mengubah perjalanan penyakit atau 10



infektivitas individu dapat berdampak positif tidak hanya pada individu tetapi juga penyebaran infeksi di masyarakat (Fauci, 2007).



E. Farmakologi HIV Untuk semua penderita HIV/AIDS diberikan anjuran untuk istirahat sesuai kemampuan atau sakit, dukungan nutrisi yang memadai berbasis makronutrien dan mikronutrien untuk penderita HIV & AIDS, konseling termasuk pendekatan psikologis dan psikososial, dan membiasakan gaya hidup sehat. Terapi antiretroviral adalah metode utama



untuk



mencegah



perburukan



sistem



imun



tubuh.



Terapi



infeksi



sekunder/oportunistik/malignansi diberikan sesuai gejala dan diagnosis penyerta yang ditemukan.



Sebagai tambahan, profilaksis untuk infeksi oportunistik spesifik



diindikasikan pada kasus-kasus tertentu (Maartens Get al, 2014). dalam kutipan A.N. Hidayat, dkk (2019). Prinsip pemberian ARV adalah menggunakan kombinasi 3 jenis obat yang ketiganya harus diserap dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah, dikenal dengan highly active antiretroviral therapy (HAART). Istilah HAART sering disingkat menjadi ART (antiretroviral therapy) atau terapi ARV. Pemerintah dalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no.87 Tahun 2014 menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV dengan berdasarkan pada 5 aspek, yaitu efektivitas, efek samping/toksisitas, interaksi obat, kepatuhan, dan harga obat. (kemenkes, 2014) dalam kutipan A.N. Hidayat, dkk (2019). ART lini pertama pada anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa yang belum pernah mendapat ARV sebelumnya (naive ARV), termasuk ibu hamil dan menyusui , ODHA koinfeksi hepatitis B, dan ODHA dengan TB. A.N. Hidayat, dkk (2019).



Paduan pilihan



Tenovofir (TDF) + Lamivudin (3TC) (atau Emtricitabine (FTC)) + Efavirenz (EFV)



dalam



bentuk



Fixed



Dose



Combination (FDC) Paduan alternative



11Zidovudin (AZT) + 3TC + EFV (atau)



Nevirapin (NVP)) atau TDF + 3TC (atau FTC) + NVP.



ARV lini pertama pada dewasa



1.



Jangan memulai TDF jika creatine clearance test (CCT) hitung 10kg jangan diberikan pada anak dengan gangguan psikiatrik berat. EFV adalah pilihan pada anak dengan TB.



12



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan HIV (Human immunodeficiency virus) adalah virus RNA yang tergolong dalam famili Retroviridae, sub famili Lentivirinae. Virus ini merupakan penyebab AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) yang dapat menimbulkan penurunan sistem imunitas tubuh secara menyeluruh. Ciri khas penyakit HIV adalah adanya aktivasi kekebalan yang kronis. HIV juga menyebabkan peningkatan replikasi virus dan penipisan sel imun, disfungsi sel imun, dan penggantian limfosit yang menyimpang. Peningkatan kasus infeksi HIV menyebabkan munculnya berbagai penelitian mengenai pencegahan penyebaran infeksi seperti penggunaan mikrobisida yang aman, sirkumsisi, pengobatan HIV pada ibu hamil, penggunaan profilaksis ARV hingga vaksinasi. B. Saran Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan diharapkan selalu meningkatkan pengetahuan mengenai penatalaksanaan dan upaya pencegahan infeksi berdasarkan penelitian yang dapat dibuktikan.



13



REFERENSI



Barker E dan Barnett SW. 1995. Human Immunodeficiency Viruses. Dalam : Murray PR, Baron EJ, Pfaller MA, Tenover FC, dan Yolken RH (Eds.), Manual of Clinical Microbiology, 6th Ed., American Society for Microbiology, hal. 1098 – 1114 Fauci, A. S. (2007). Pathogenesis of HIV disease: Opportunities for new prevention interventions. Clinical Infectious Diseases, 45(SUPPL. 4). https://doi.org/10.1086/522540 Haase AT. 1990. Biology of Human Immunodeficiency Virus and Related Viruses. Dalam : Holmes KK, Mardh P-A, Sparling PF, Wiesner PJ, Cates W Jr., Lemon SM, dan Stamm WE (Eds.), Sexually Transmitted Diseases, 2n Ed., Mc Graw-Hill Inc., hal. 305 – 353 Hidayat, A.N. dkk (2019). MANAJEMEN HIV/AIDS Terkini, Komperhensif, dan Multidisiplin. Surabaya : Airlangga University Press