Makalah Hukum Kontrak Kel. 3 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH HUKUM KONTRAK Tentang “Keabsahan Suatu Perjanjian”



Disusun oleh : Kelompok 3 1. Doni Iswanto



(1816050009)



2. Wida Sulistiani



(1816050010)



3. Chintya Aulia Putri



(1816050011)



4. Fany Elwista Saputry (1816050012)



Dosen Pembimbing : Aslan Deri Ichsandi, SH. MH JURUSAN PERBANKAN SYARIAH-A FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ( UIN ) IMAM BONJOL PADANG 1441 H / 2020 M



1



KATA PENGANTAR Assalamualaikum wr.wb Puji syukur kepada Allah SWT. atas limpahan rahmad, nikmat, hidayah, dan karunianya, sehingga makalah dengan materi ‘’ Keabsahan suatu perjanjian‘’ dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam tercurahkan kepada nabi besar Muhammad SAW selaku uswatunhasanah bagi umat islam. Beliau telah mengajarkan kepada manusia ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan pada saat sekarang ini. Ucapan terima kasih kepada seluruh kalangan yang membantu tersusunnya makalah ini hingga selesai. Ucapan terima kasih ini terutama ditujukan kepada dosen mata kuliah Hukum Kontrak yaitu bapak Aslan Deri Ichsandi, SH. MH yang telah banyak memberi arahan dalam pembuatan makalah ini. Penulis menyadari, bahwa banyak sekali kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini.. Baik itu kesalahan dalam penulisan maupun kesalahan yang lain yang disebabkan oleh keterbatasan ilmu penulis sendiri. Selanjutnya, dengan kehadiran makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Diharapkan juga kritikan dan saran serta masukan dari para pembaca yang dapat membangun terhadap makalah ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih. Wassalamualaikum wr.wb



Padang, 20 Maret 2020



Penulis



2



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................................4 B. Rumusan Masalah .......................................................................................4 C. Tujuan Penulisan ............................................................…………………4 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian ....................................................5 B. Syarat-syarat sah nya Perjanjian .................................................................6 C. Akibat Hukum Perjanjian ............................................................................10 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................................13 B. Saran ............................................................................................................13 DAFTAR PUSTAKA



3



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum bertujuan mengatur berbagai kepentingan manusia dalam rangka pergaulan hidup di masyarakat.kepentingan manusia dalam masyarakat begitu luas, mulai dari kepentingan pribadi hingga masyarakat dengan Negara. Untuk itu pergolongan hukum privat mengatur kepentingan individu atau pribadi, seperti hukum dagang dan hukum perdata. Hukum perikatan yang terdapat dalam buku III kitab undang-undang hukum perdata merupakan hukum yan bersifat khusus dalam melakukan perjanjian dan perbuatan hukum yang bersifat ekonomis atau perbuatan hukum yang dapat dinilai dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum. Dalam kegiatan ekonomi terdapat upaya untuk mendapatkan keuntungan atau laba. Namun harus berdasarkan peraturan dan norma yang terdapat dalam undang-undang yang berlaku maupun hukum yang berlaku. Dengan adanya hubungan hukum maka terjadi pertalian hubungan subjek hukum dengan objek hukum (hubungan hak kebendaan). Dalam hukum perjanjian didalamnya terdapat dua azas yaitu azas konsensualitas dan azas kebebasan berkontrak. B. Rumusan Masalah 1. Apa saja dasar hukum perjanjian? 2. Apa saja syarat sah perjanjian? 3. Bagaimana akibat hukum perjanjian? C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui apa saja dasar hukum perjanjian. 2. Untuk mengetahui apa saja syarat sah perjanjian. 3. Untuk mengetahui bagaimana akibat dari hukum perjanjian.



4



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian dan Dasar Hukum perjanjian Perjanjian diatur dalam pasal 1313 kitab Undang-Undang hukum perdata, yang menyatakan bahwa:”suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Menurut subekti “ perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji pada orang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”, sedangkan menurut R.setiawan , perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, diamana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih ,jadi pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap dua orang atau lebih lainnya. Menurut kitab undang-undang hukum perdata, suatu perjanjian pada hakikatnya telah terjadi dengan adanya sepakat dari kedua belah pihak dan mengikat mereka yang membuatnya,layaknya mengikatnya suatu undang-undang. Perikatan adalah suatu perhubungan antara dua orang atau dua pihak dalam bidang hukum kekayaan yang berdasarkan pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain ,dan dari pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pada dasarnya dalam suatu perikatan terdapat dua pihak. Pihak pertama adalah pihak yang berhak menuntut sesuatu, yang dinamakan kreditur, sedangkan pihak kedua adalah pihak yang selanjutnya dinamakan debitur,tuntutan itu didalam hukum disebut sebagai “prestasi”. berdasarkan pasal 1234 kitab undang-undang hukum perdata berupa: 1) Menyerahkan suatu barang atau memberikan sesuatu. 2) Melakukan suatu perbuatan atau berbuat sesuatu. 3) Tidak melakukan suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu.1 Dalam hal ini perikatan tidak hadir begitu saja, dengan kata lain ada sesuatu atau persetujuan tertentu yang melahirkan suatu perikatan.



1



Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2007), hlm.1.



5



Pasal 1352 kitab undang-undang hukum perdata, menyatakan lebih lanjut bahwa perikatan yang lahir dari undang-undang dapat di bagi menjadi perikatan yang lahir dari undangundang saja dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Perikatan merupakan suatu perjanjian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu yang lebih mengacu pada hal yang konkrit atau lebih mengecu pada suatu peristiwa. Perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang untuk tujuan tertentu, terjadi diluar kemampuan para pihak yang bersangkutan. Pada kenyataannya, yang paling banyak adalah perikatan yang dilahirkan oleh perjanjian. Hal tersebut didasarkan pada hak dan wewenang untuk membuat hukum dengan lingkup terbatas yang diberikan atau yang dilimpahkan oleh suatu hukum lain yang lebih mendasar dan berlaku umum. Disimpulkan bahwa menurut kitab undang-undang hukum perdata, suatu perjanjian pada hakikatnya telah terjadi dengan adanya sepakat (consensus) dari kedua belah pihak, dan mengikat mereka yang membuatnya, layaknya mengikatnya suatu undang-undang.2 B. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian Setiap ketentuan hukum, juga harus ada yang bersifat mengatur sehingga dapat diletakkan pedoman dan dasar suatu tindakan hukum. Seperti halnya dalam suatu perjanjian, maka ketentuan hukum tersebut harus diperhatikan dalam hal antara lain-syarat sahnya suatu perjanjian. Perjanjian sah artinya telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh UndangUndang, sehingga ia diakui oleh hukum. Untuk sahnya suatu perjanjian, menurut pasal 1320 kitab Undang-Undang Hukum perdata, di perlukan 4 syarat yaitu: 1) Sepakat mereka yang mengikat diri. 2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian. 3) Mengenai suatu hal tertentu. 4) Suatu sebab yang halal. Sepakat mereka yang mengikat dirinya yang cukup untuk membuat suatu perjanjian, ditujukan pada orang-orangnya atau subjeknya yaitu mengenai para pihak yang mengadakan perjanjian. Oleh karena itu, dua syarat yang pertama, dinamakan syarat subjektif untuk sahnya suatu prjanjian. Sedangkan mengenai suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal ditujukan kepada subjeknya, yaitu mengenai hal-hal pokok yang diperjanjian oleh para pihak. Oleh 2



Budiono Kusumo Hamidjojo, Dasar-dasar Merancang Kontrak, (Jakarta: PT Gramedia, 2008), hlm.7.



6



kerena itu, dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif untuk sahnya suatu perjanjian. 3 Untuk jelasnya ke empat syarat yang dimaksud diatas adalah sebagai berikut: a) Sepakat mereka yang mengikat diri Para pihak yaitu orang-orang yang merupakan subjek dalam suatu perjanjian harus sepakat artinya setuju atau sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang mereka adakan. Jadi apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, dikehendaki pula oleh pihak yang lain. Para pihak yang menginginkan sesuatu yang sama secara timbal balik, misalnya dalam hal jual beli, si penjual menghendaki sejumlah uamg, sedangkan si pembeli menghendaki sesuatu barang dari si penjual. b) Cakap untuk membuat suatu perjanjian Berdasarkan ketentuan Undang-Undang, setiap orang yang sudah dewasa adalah cakap untuk mengikatkan dirinya atau mampu membuat sendiri persetujuan dengan akibat-akibat hukum yang sempurna. Ketidak cakapan seseorang untuk membuat suatu perjanjian adalah mereka sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 kitab undang-undang hukum perdata, yaitu: 1) Mereka yang belum dewasa. 2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan. 3) Seorang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.4 Jika berdasarkan ketentuan diatas, maka orang-orang yang sudah dewasa dan tidak berada dibawah pengampuan dapat dianggap mampu untuk membuat suatu perjanjian. Lain halnya apabila seseorang yang sudah dewasa akan tetapi yang bersangkutan tidak sehat pikirannya. Maka kedudukan orang tersebut sama dengan anak yang belum dewasa dan ditaruh di bawah pengampuan. Dalam mengadakan suatu perjanjian, orang-orang tersebut dianggap tidak mampu menyadari akan tanggung jawab yang dibebankannya. Oleh sebab itu bagi mereka yang belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya. Sedangkan mereka yang sudah dewasa diletakkan di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum perdata menentukan bahwa seorang perempuan yang bersuami bila mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2007), hlm.19. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan S. Tjitrosudibio cet. 32. (Jakarta: Pradnya Paramita, 2002), ps.1330. 3 4



7



izin (kuasa tertulis) dari suaminya. Jadi Undang-Undang memasukkan seorang istri dalam kelompok orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian. Seorang istri hanya cakap untuk membuat perjanjian tanpa bantuan atau izin tertulis dari suami dalam hal mengenai suatu perjanjian yang berkaitan dengan keperkuan rumah tangga yaitu mengenai masalah yang kecil-kecil saja. Dalam perkembangannya, ketidakcakapan seorang istri untuk melakukan suatu perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tan izin atau bantuan dari suami sudah tidak berlaku lagi. Yang kemudian ketidak berlakuan ketentuan tersebut dipertegas dan diperkuat lagi dengan adanya surat edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 kepada ketua pengadilan Negeri dan pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia.5 c) Mengenai suatu hal tertentu Suatu perjanjian harus mempunyai prestasi dalam bentuk barang tertentu atau paling tidak harus dapat ditentukan jenisnya , sedangkan jumlahnya asal dapat dihitung atau ditetapkan kemudian. Perjanjian yang objeknya tidak memenuhi ketentuan tersebut adalah batal. Selanjutnya berdasarkan pasal 1334 Kitab Undang-Undang Hukum perdata, bahwa barangbarang yang baru akan ada dikemudian hari, sepanjamg tidak dilarang secara tegas oleh Undang-Undang, dapat menjadi objek suatu perjanjian, misalnya mengenai perjanjian untuk menjual suatu hasil panen tahun depan untuk suatu harga tertentu, adalah sah. Lain halnya apabila mengadakan suatu perjanjian mengenai warisan yang belum terbuka adalah dilarang oleh Undang-Undang. d) Suatu sebab yang halal Pengertian sebab di sini bukan berarti yang menyebabkan atau mendorong batin seseorang untuk membuat perjanjian. Hal yang menyebabkan atau yang mendorong batin seseorang untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak diperdulikan oleh undang-undang. Misalnya jika seseorang meminjam uang dan mempergunakan uang tersebut untuk berjudi, tidak dapat dikatakan bahwa kuasanya tidak halal. Jadi sebab di sini maksudnya adalah tidak lain dari pada isi perjanjian itu sendiri menggambarkan tujuan yang akan di capai oleh para pihak. Dalam hal ini undang-undang hanya memperhatikan atau mengawasi isi dari perjanjian saja dan apabila tujuan yang akan dicapai oleh para pihak.



5



Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2007), hlm.23.



8



Dalam hal ini undang-undang hanya memperhatikan atau mengawasi isi dari perjanjian saja dan apabila tujuan yang hendak dicapai dengan perjanjian ternyata bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan, maka perjanjian tersebut adalah tidak halal. Sebagai contoh dari suatu perjanjian jual beli dimana seorang membeli pisau di sebuah toko dengan maksud menggunakan pisau tersebut untuk membunuh orang, maka jual beli pisau tersebut mempunyai suatu sebab yang halal. Lain halnya apabila dalam perjanjian jual beli tadi, tujuan untuk membunuh di masukkan atau diatur secara jelas dalam perjanjian yang mereka buat, misalnya si penjual hanya bersedia menjual pisaunya bila si pembeli dengan pisau tadi di pakai untuk membunuh orang, maka isi perjanjian ini menjadi causa tidak halal. Selanjutnya apabila syarat-syarat atau salah satu syarat dari empat syarat tersebut di atas tidak di penuhi maka suatu perjanjian akan dapat berakibat batal demi hukum atau dapat dimintakan pembatalannya. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa dua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif dan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif untuk sahnya perjanjian.6 Dalam hal syarat subjektif tidak dipenuhi oleh suatu perjanjian maka perjanjian tersebut dapat dituntut pembatalannya. Dan sepanjang belum ada pembatalan oleh hakim, perjanjian ini tetap berlaku. Yang berhak menuntut pembatalan terhadap perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif ini adalah pihak yang memberikan sepakat tidak bebas atau pihak yang tidak cakap. Suatu perjanjian apabila terdapat salah satu pihak yang memberikan sepakat misalkan seorang anak yang belum dewasa maka anak itu sendiri yang dapat atau berhak menuntut pembatalannya kelak bila ia sudah menjadi dewasa atau orang tua ataupun walinya. Dalam hal seorang yang berada dibawah pengampuan, maka pengampuannyalah yang dapat meminta pembatalan dan dalam hal seorang



yang telah memberikan sepakat atau



perjanjiannya secara tidak bebas, maka dia sendiri yang meminta pembatalannya. Dengan demikian walaupun suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif ini tidak dengan sendirinya batal demi hukum, akan tetapi tidak mempunyai kepastian karena setiap saat terancam oleh bahaya pembatalan dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk mematuhunya. Perjanjian ini dalam bahasa inggris dinamakan vaidable atau dalam bahasa belanda di sebut vernietigbaar. 6



Ibid, hlm. 25-26.



9



Hak untuk meminta pembatalan ini selanjutnya dibatasi oleh undang-undang yaitu dalam pasal 1454 kitab undang-undang hukum perdata, yang memberikan batas waktu lima tahun berlakunya hak tersebut. Dan juga dalam pasal 1456 kitab undang-undang hukum prdata menentukan bahwa hak tuntutan untuk membatalkan suatu perjanjian menjadi gugur apabila terdapat penguatan (affirmation) secara tegas atau secara diam-diam oleh orang tuanya, wali atau pengampu dari suatu pihak yang tidak memenuhi syarat subjektif. Terhadap suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif sahnya perjanjian maka perjanjian ini batal demi hukum, artinya tidak pernah terjadi suatu perjanjian dan berarti pula tidak pernah ada perikatan. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif, dalam bahasa inggris dikatakan “mull and void.”7 C. Akibat Hukum Perjanjian Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini di batasi oleh hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjiann tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak , atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Dan suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga.8 Menurut Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akibat dari suatu perjanjian adalah: 1. Perjanjian mengikat para pihak. Maksudnya, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak akan mengikat para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. (Miru dan Pati, 2011:78) 2. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak karena merupakan kesepakatan di antara kedua belah pihak dan alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu (Pasal 1338 ayat 2 KUHPerdata). Maksudnya, perjanjian yang sudah dibuat, tidak N. Ike Kusmianti, 2016, Undue Influence Sebagai Faktor Penyebab Cacat Kehendak di luar Kuh perdata, dalam Upaya Mengisi Kekosongan Hukum, Jurnal ilmu Hukum Litigasi, Vo. 17, No. 1. 8 Subekti, Hukum Perjanjian, (,Jakarta: Intermasa, 2007), hlm.30. 7



10



bisa dibatalkan secara sepihak tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini sangat wajar, agar kepentingan pihak lain terlindungi sebab perjanjian itu dibuat atas kesepakatan kedua belah pihak, maka pembatalannya pun harus atas kesepakatan kedua belah pihak. Selain itu, pembatalan secara sepihak hanya dimungkinkan jika ada alasan yang cukup oleh undangundang. 3. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata). Menurut Subekti, itikad baik berarti kejujuran atau bersih. Dengan kata lain,



setiap



perjanjian harus dilaksanakan dengan penuh kejujuran. 9 Akibat dari suatu perjanjian adalah sebagai berikut: 10 a. Perjanjian Hanya Berlaku di Antara Para Pihak yang Membuatnya Sesuai dengan ketentuan Pasal 1340 Ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian yang dibuat hanya berlaku di antara para pihak yang membuatnya. Hal ini berarti bahwa setiap perjanjian, hanya membawa akibat berlakunya ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata bagi para pihak yang terlibat atau yang membuat perjanjian tersebut. b. Mengenai Kebatalan atau Nulitas dalam Perjanjian Suatu perjanjian yang dibuat apabila tidak memenuhi salah satu atau lebih persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka perjanjian tersebut menjadi tidak sah, yang berarti perjanjian itu terancam batal. Berikut ini adalah macam-macam kebatalan, yaitu : 1) Perjanjian yang Dapat Dibatalkan Perjanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan jika perjanjian tersebut dalam pelaksanannya akan merugikan pihak-pihak tertentu.



Pembatalan tersebut dapat



dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian dan dapat dimintakan apabila tidak telah terjadi kesepakatan bebas dari pihak yang membuat perjanjian (Pasal 1321 sampai dengan Pasal 1328 KUH Perdata) dan salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap untuk bertindak hukum (Pasal 1330 sampai dengan 1331 KUH Perdata). 2) Perjanjian yang Batal Demi Hukum Miru Ahmadi, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011) 10 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian,( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm.165 9



11



Suatu perjanjian dikatakan batal demi hukum, yang berarti perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya jika terjadi pelanggaran terhadap syarat obyektif dari sahnya suatu perikatan. 3) Kebatalan Relatif dan Kebatalan Mutlak Suatu kebatalan disebut relatif, jika kebatalan tersebut hanya berlaku terhadap individu orang perorangan tertentu saja; dan disebut mutlaj jika kebatalan tersebut berlaku umum terhadap seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali. Perjanjian yang dapat dibatalkan dapat saja berlaku relatif atau mutlak, meskipun tiap-tiap perjanjian yang batal demi hukum psati berlaku mutlak.



12



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Ada banyak definisi atau pengertian yang dikemukakan oleh para ahli tetapi perbedaan definisi tersebut merupakan sebuah hal yang wajar karena setiap pandangan dari para ahli berbeda-beda. Untuk pengertian secara umumnya, perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Kemudian didalam suatu perjanjian terdapat banyak unsur-unsur dan juga terdapat asas-asas yang memperkuat suatu perjanjian tersebut. Perjanjian juga memiliki sebuah syarat yang sudah tercantum dalam hukum, yaitu terdapat dalam pasal 1320 kitab UU Hukum Perdata. Dan juga memiliki dua jenis nya yakni perjanjian nominative dan perjanjian innominative. B. Saran Pemakalah menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, untuk itu kami mengharapkan kritikan dan saran dari teman-teman semua untuk dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan makalah selanjutnya. Semoga ma Budiono Kusumo Hamidjojo, Dasar-dasar Merancang Kontrak, (Jakarta: PT Gramedia, 2008), hlm.7.kalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat memberikan pemahaman tersendiri.



13



DAFTAR PUSTAKA Ahmadi Miru. 2011. Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hamidjojo Budiono Kusumo. 2008. Dasar-dasar Merancang Kontrak. Jakarta: PT Gramedia. Muljadi Kartini dan Widjaja Gunawan. 2006. Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. N. Ike Kusmianti. 2016. Undue Influence Sebagai Faktor Penyebab Cacat Kehendak di luar Kuh perdata. dalam Upaya Mengisi Kekosongan Hukum. Jurnal ilmu Hukum Litigasi. Vo. 17. No. 1 R. Subekti dan S. Tjitrosudibio. cet. 32. 2002. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek. Jakarta: Pradnya Paramita. ps.1330. Subekti. 2007. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.



14