Makalah Hukum Orang (H.perdata) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH Hukum Orang dan Manusia sebagai Subjek Hukum



Oleh : ALFIN SAHRI NIM : 2010111068 BAYU RAMADHANA RAHMAD NIM : 2010111121



FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2020/21



i



KATA PENGANTAR Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah SWT, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “Hukum Pribadi atau Perorangan”



Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata. dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tugas makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar - besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini terutama Dosen Pengampu kami Ulvanora,SH,MH. yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan tugas ini.



Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengajak pembaca untuk memberikan saran serta kritik atau sanggahan bila ada kekurangan yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata dari kami semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.



Padang, 7 Februari 2021



Penyusun



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ........................................................................................................................ i DAFTAR ISI..................................................................................................................................... ii BAB I ............................................................................................................................................... 1 PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 1 A.



Latar Belakang....................................................................................................................... 1



B.



Rumusan masalah .................................................................................................................. 2



C.



Tujuan ................................................................................................................................... 2



BAB II .............................................................................................................................................. 3 PEMBAHASAN ............................................................................................................................... 3 Hukum Orang ........................................................................................................................ 3



A. 1.



Pengertian Hukum Orang ................................................................................................... 3



2.



Aspek-aspek hukum orang ................................................................................................. 3 Manusia sebagai subjek hukum .............................................................................................. 4



B. 1.



Manusia ............................................................................................................................. 4



2.



Ketidakcakapan.................................................................................................................. 6



3.



Pendewasaan...................................................................................................................... 6



4.



Nama ................................................................................................................................. 7



5.



Domisili ............................................................................................................................. 8



6.



Keadaan tidak hadir............................................................................................................ 9



BAB III ........................................................................................................................................... 11 PENUTUP ...................................................................................................................................... 11 A.



Kesimpulan.......................................................................................................................... 11



DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................... 12



ii



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum, misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha, dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) terdiri dari empat bagian, yaitu: 1) Buku I : berisi tentang Orang. 2) Buku II : berisi tentang Kebendaan. 3) Buku III : berisi tentang Perikatan/Perjanjian. 4) Buku IV : berisi tentang Pembuktian dan Kadaluarsa.



Namun, seperti yang tertulis dalam judul makalah, kami hanya akan membahas Buku I KUH Perdata tentang orang yang lebih spesifik lagi tentang hukum perorangan atau pribadi. Pengertian hukum perorangan menurut subekti adalah Peraturan - peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak dan kewajiban untuk bertindak sendiri, melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan itu 1. Definisi ini terlalu sempit karena hukum perorangan tidak hanya mengkaji ketiga hal tersebut, namun juga mengkaji tentang domisili dan catatan sipil. Jadi, hukum perorangan adalah keselurah kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang subyek hukum dan kewenangan, kecakapan, domisili, dan catatan sipil. Definisi ini dititikberatkan pada wewenang subyek hukum dan ruang lingkup peraturan hukum perorangan.



1 Subekti, 2003. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta:Intermassa, hal.19



1



Berdasarkan uraian di atas kami sangat tertarik untuk membahas mengenai hukum orang (personanreacht) yang menjadi salah satu subjek hukum untuk dipahami secara mendalam tujuannya untuk melindungi hak maupun kewajiban seorang manusia.



B. Rumusan masalah 1. Apa itu hukum orang? 2. Bagaimana hukum orang (personenrecht) memandang manusia sebagai subjek hukum? C. Tujuan 1. Untuk mengetahuai pengertian hukum orang 2. Untuk mengetahui hukum orang sebagai bagian dari subjek hukum



2



BAB II PEMBAHASAN



A. Hukum Orang 1. Pengertian Hukum Orang Hukum orang dapat diartikan dalam arti luas dan arti sempit. Hukum (tentang) orang dalam arti luas : Hukum orang adalah hukum yang memuat tentang peraturan-peraturan tentang diri manusia sebagi subyek dalam hukum, peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan Hukum (tentang) orang dalam arti sempit : Hukum yang mengatur tentang orang sebagai subjek hukum. Dari pengertian di atas merujuk hukum orang dari aspek ruang lingkupnya, yang meliputi peraturan tentang manusia, subjek hukum, kecakapan hukum, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.



2. Aspek-aspek hukum orang Hukum Perorangan adalah yang memuat kaidah-kaidah hukum yang mengatur Orang (pribadi) dalam hukum disebut sebagai subjek hukum, subjek hukum artinya setiap pendukung hak dan kewajiban. 1) Subjek Hukum Didalam buku I KUH Perdata yang disebut subjek hukum ialah hanya orang yang disebut pribadi kodrat tidak termasuk badan hukum yang disebut dengan pribadi hukum. Namun dalam perkembangan selanjutnya badan hukum tidak dimasukkan menjadi subjek hukum yang diatur dalam kitab undang-undang hukum dagang, sehingga subjek hukum itu meliputi : a. Orang disebut pribadi kodrati b. Badan hukum disebut pribadi hukum Orang sebagai subjek hukum mulai sejak lahir hingga meninggal dunia. Namun ada pengecualian yaitu sebagai perluasan yang diatur dalam pasal 2 KUH perdata yang mengatakan : “bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya dianggap telah dilahirkan hidup apabila ada kepentingan bayi



itu



yang



menghendaki”. Jadi walaupun anak itu belum lahir dapat dianggap sebagai 3



subjek hukum. Terhadap asas ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : (1) Anak telah dibenihkan pada saat timbul kepentingan anak. (2) Anak dilahirkan hidup pada saat dilahirkan walaupun sekejap dan meninggal. (3) Ada kepentingan anak yang menghendaki bahwa anak dianggap telah lahir. Pengakuan Sebagai Subyek Hukum Manusia sebagai subjek hukum, pembawa hak dan kewajiban terjadi sejak manusia itu lahir, dan berakhir setelah ia meninggal dunia. Bahkan pengakuan manusia sebagai subjek hukum dapat dilakukan sejak manusia masih di dalam kandungan ibunya, asal ia dilahirkan hidup. Hal ini telah disebutkan dalam Pasal 2 KUH Perdata, bahwa: “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah lahir, bila mana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah telah ada.”Indonesia sebagai negara hukum, mangakui manusia pribadi sebagai subyek hukum, pendukung hak dan kewajiban. Di dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) disebutkan bahwa: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Selain subyek hukum dikenal juga objek hukum, sebagai lawan dari subyek hukum. Objek hukum adalah benda yang tidak mempunyai hak dan kewajiban dan berguna bagi subyek hukum yang mana djadikan pokok hubungan hukum oleh subyek hukum. Yang menjadi objek hukum adalah ialah benda dan barang.



B. Manusia sebagai subjek hukum 1. Manusia Manusia adalah pengertian biologis ialah gejala dalam alam, gejala biologika yaitu makhluk hidup yang mempunyai pancaindera dan mempunyai budaya. Sedangkan



orang



adalah



pengertian



yuridis



ialah



gejala



dalam



hidup



bermasyarakat. Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah orang atau



4



person.2 Menurut hukum modern, 3



seperti hukum yang berlaku sekarang di



Indonesia, setiap manusia diakui sebagai manusia pribadi. Artinya diakui sebagai orang atau persoon. Karena itu, setiap manusia diakui sebagai subyek hukum (rechtspersoonlijkheid) yaitu pendukung hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban perdata tidak bergantung kepada agama, golongan, kelamin, umur, waganegara ataupun orang asing. Demikian pula hak dan kewajiban perdata tidak bergantung pula kepada kaya atau miskin, kedudukan tinggi atau rendah dalam masyarakat, penguasa (pejabat) ataupun rakyat biasa, semuanya sama. Manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban mulai sejak lahir dan baru berakhir apabila mati atau meningal dunia. Pengecualian mulainya mendukung hak dan kewajiban dalam BW disebut pada Pasal 2 yang menentukan sebagai berikut: (1) "Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya". (2) "Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tidak pernah telah ada".



Ketentuan yang



termuat dalam Pasal 2 BW di atas ini sering disebut "rechtsfictie". Ketentuan ini sangat penting dalam hal warisan misalnya. Dalam Pasal 638 BW ditentukan bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalau ia telah ada pada saat pewaris meninggal dunia. Ini berarti bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalau ia hidup sebagai manusia biasa pada saat pewaris meninggal dunia. Akan tetapi, dengan adanya Pasal 2 BW, seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya sudah dianggap seolah-olah sudah dilahirkan, manakala anggapan ini menjadi keuntungan si anak. Tapi kalau anak dalam kandungan itu kemudian dilahirkan mati, maka ia dianggap sebagai tidak pernah telah ada. Artinya kalau anak (bayi) itu lahir hidup, meskipun hanya sedetik dan ini dapat ditentukan, maka ia ketika dalam kandungan dianggap sudah hidup, sehingga dalam kandunganpun ia sudah merupakan orang yakni pendukung hak.



4



Pentingnya Pasal 2 BW terlihat pada contoh kasus sebagai berikut. Seorang ayah pada tanggal 1 Agustus 1984 meninggal dunia. Pada saat meninggal dunia ini ia mempunyai dua orang anak, sedangkan isterinya dalam keadaan hamil (mengandung).



2 Achmad Ichsan. S.H., Hukum Perdata IA, Pembimbing Masa, Jakaita, cet. I, 1969, p. 68. 3 Ibid. 4 Prof. Sudiman Kartohadiprodjo, S.H., Pengantar Tata Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakata, cet. VII, 1977, p. 79



5



2. Ketidakcakapan Wewenang seseorang dalam hukum dapat dibedakan menjadi dua macama yaitu: (1) wewenang untuk mempunyai hak (rechtsbevoegheid). (2) wewenang untuk melakukan



(menjalankan)



perbuatan



hukum



dan



faktor-faktor



yang



mempengaruhinya. Menurut hukum manusia pribadi (natuurlijk person) mempunyai hak dan kewajiban, akan tetapi tidak selalu cakap hukum ( rechtsbekwaam ) untuk melakukan perbuatan hukum. Kecakapan bertindak hukum diatur oleh pasal-pasal: 1) Pada pasal 1330 BW yang tidak memiki kecakapan bertindak yaitu: seseorang yang belum dewasa (umurnya belum mencapai 21 tahun dan belum pernah menikah sejak memasuki umur 19 tahun) dan wanita yang bersuami. 2) Pada pasal 433 KUH Per, ketidakcakapan sungguh-sungguh ialah orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan (curatele), karena gangguan jiwa seperti sakit syaraf atau gila, imbisil (tolol, dungu, bodoh), pemabuk atau pemboros, lemah daya atau lemah fikiran, dan perbuatannya akan merugikan dan menelantarkan keluarga terutama bagi anak-anak. Akan tetapi, pada pasal 1330 BW yang mengatakan bahwa wanita yang bersuami tidak memiliki kecakapan bertindak hukum sudah tidak berlaku lagi. Karena, menurut UU tentang perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 31 yang mengatakan bahwa, kedudukan istri dan suami adalah sama dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarkat, masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. Hanya tugasnya dibagi, suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga. 3. Pendewasaan Menurut Konsep hukum perdata barat, istilah Pendewasaan adalah menunjuk pada keadaan belum dewasa yang oleh hukum dinyatakan sebagai dewasa. Untuk dapat mengetahui apakah batasan dewasa dan belum dewasa dapat kita lihat dalam Pasal 330 KUHPerdata, yang kurang-lebih berbunyi : “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun, dan tidak terlebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan tersebut dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali dalam keadaan belum dewasa”. Keadaan dewasa yang memenuhi syarat Undang-undang ini maka disebut sebagai kedewasaan, maka orang yang berada dalam keadaan dewasa ini telah cakap untuk 6



melakukan semua perbuatan hukum. Dari keterangan ini maka jelas bahwa KUHPerdata menggunakan kriteria umur dalam menentukan dewasa atau belum dewasanya seseorang. Namun akan lain lagi apabila dalam keadaan- keadaan sangat penting tertentu, ada kalanya diperlukan bahwa kedudukan orang yang belum dewasa ini disamakan dengan orang yang telah dewasa, maksudnya agar orang tersebut mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan atau mengurus kepentingannya sendiri dan melakukan beberapa perbuatan hukum tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka pengertian inilah yang disebut sebagai Pendewasaan(Handlichting). Terdapat dua macam handlichting yaitu: (1) Pendewasaan penuh (Ps. 421) dengan cara pengajuan surat pernyataan sudah cukup umur (venia aetatis) dengan syarat berumur 20 tahun dan mengajukan permohonan kepada Presiden RI (2) Pendewasaan terbatas (Ps. 426-431) yaitu orang dinyatakan dewasa apabila berumur 18 tahun dan orang tuanya (wali) tidak merasa keberatan. Diajukan ke Pengadilan Negeri dan dapat ditarik kembali misalkan untuk membuat surat wasiat. 4. Nama Bagi golngan Eropa dan mereka yang dipersamakan, soal nama mereka ini diatur dalam Buku I titel II bagian kedua (Pasal 5a s.d 12) yang menentukan tentang nama-nama, perubahan namanama, dan perubahan nama-nama depan. Akan tetapi, dengan adanya Undang-undang No. 4 tahun 1961 yang mengatur tentang penggantian nama, maka pasal-pasal BW tentang nama yang telah diatur dalam undang-undang ini tidak berlaku lagi. Masalah nama bagi orang-orang golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan, merupakan hal yang cukup penting, karena nama itu merupakan identifikasi seseorang sebagai subyek hukum. Bahkan, dari nama itu sudah dapat diketahui keturunan siapa seorang yang bersangkutan. Hal mana sangat penting dalam urusan pembagian warisan serta soal-soal lain yang berhubungan dengan kekeluargaan. 5 Nama seorang golongan Eropa pada umumnya terdiri dari dua bagian yaitu '[nama kecil" (misalnya Karel, Jan, Robert, dan sebagainya) yang



5 Majalah Hukum dan Pembangunan, Fakultas Hukum UI, Jakarta, No. 6, Tahun IX, 1979, p. 632 s.d. 636.



7



biasa diberikan sendiri oleh orang tuanya dan "nama keluarga" (seperti Bakker, Koch, Tounissen dan sebagainya) yang dipakai oleh bapak dan ibunya. 6 5. Domisili Tiap orang menurut hukum, harus mempunyai tempat tinggal yang dapat dicari. Tempat tersebut dinamakan Domisisili. Bahwa domisili adalah tempat kediaman mana seseorang melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang menimbulkan akibat hukum, yang termasuk perbuatan hukum adalah jual-beli, tukar-menukar, beli sewa, leasing, sewa-menyewa, hibah dll. Tujuan daripada domisili ini adalah untuk mempermudah para pihak dalam mengadakan hubungan hukum dengan pihak-pihak lain yang terkait. Unsur-unsur daripada domisili, meliputi : (1) Adanya tempat tertentu (baik tetap maupun sementara) (2) Adanya orang yang selalu hadir dalam tempat tersebut (3) Adanya hak dan kewajiban (4) Adanya prestasi. Menurut sistem Common Law (Hukum Inggris), perihal domisili dibagi ke dalam tiga macam domisili, yaitu : 1. (1) Domicili of Origin, yaitu tempat tinggal seseorang yang mana sesuai tempat kelahiran ayahnya yang sah (2) Domicili of Dependence, yaitu tempat tinggal disesuaikan dengan tempat tinggal ayah bagi anak yang belum dewasa, domisili ibu bagi anak yang tidak sah, dan bagi seorang istri ditentukan oleh domisili suaminya (3) Domicili of Choice, yaitu tempat tinggal yang ditentukan oleh/ dari pilihan seseorang yang telah dewasa, disamping tindak tan-duknya sehari-hari. Ketentuan-ketentuan yang mengatur tempat kediaman yang dipilih, dibedakan ke dalam dua macam seperti dikemukakan berikut ini : 1. (1) Domisili yang ditentukan oleh Undang-undang, adalah tempat kediaman yang ditentukan ditentukan oleh Peraturan Perun- dang-undangan. Hal ini biasa terjadi di dalam hukum acara, ketika melakukan eksekusi dan orang



6 Ibid.



8



yang akan mengajukan eksepsi/ keberatan (Pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama, yang berbunyi kurang lebih :“Seorang suami yang ingin menggugat istrinya maka ia harus mengajukan gugatan di tempat tinggal istrinya”. (2) Domisili secara bebas, adalah tempat kediaman yang dipilih secara bebas oleh para pihak yang mengadakan hubungan kontrak atau hubungan hukum lainnya. 6. Keadaan tidak hadir Ketentuan mengenai keadaan tidak di tempat atau keadaan tidak hadir (afwezigheid) termuat dalam BW Buku I Pasal 463 s.d. 495 dan dalam Stb. 1946 No. 137 jo Biblad V dan Stb. 1949 No. 451. Undang-undang mengatur keadaan tidak di tempat atas tiga masa atau tingkatan, yaitu masa persiapan (Pasal 463 s.d. 466), masa yang berhubungan dengan pernyataan bahwa, orang yang meninggalkan tempat itu mungkin meninggal dunia (Pasal 467 s.d. 483) dan masa pewarisan secara definitif (484). Dalam masa persiapan (tindakan sementara) tidak perlu ada keraguan apakah orang yang meninggalkan tempat tinggal itu masih hidup atau sudah meninggal dunia; tetapi ada alasan yang mendesak guna mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaannya atau guna mengadakan seorang wakil baginya. Pada masa ini itu menunjuk Balai Harta Peninggalan (weeskamer) untuk menjadi pengurus harta kekayaan dan kepentingan orang yang tidak di tempat tidak banyak, maka untuk mengurus harta kekayaan dan mewakili kepentingannya itu, Pengadilan Negeri dapat memerintahkan kepada seorang atau lebih dari keluarga sedarah atau semenda atau kepada isteri atau suaminya. Masa yang berhubungan dengan pernyataan bahwa orang yang meninggalkan tempat itu mungkin meninggal dunia, yaitu setelah lewat 5 tahun sejak keberangkatannya dari tempat tinggalnya atau 5 tahun sejak diperolehnya kabar terakhir yang membuktikan bahwa pada waktu itu masih hidup, setelah diadakan pemanggilan secara umum dengan memuat di surat kabar sebanyak tiga kali. Hakhak dan kewajiban-kewajiban orang yang tidak di tempat beralih kepada ahli warisnya, tetapi ini hanya bersifat sementara dan dengan pembatasan-pembatasan. Sedangkan masa pewarisan secara definitif adalah masa dimana persangkaan bahwa orang yang tidak di tempat itu telah meninggal dunia semakin kuat yaitu 9



setelah lampau 30 tahun sejak hari pernyataan kemungkinan meninggal dunia atau setelah lampau 100 tahun terhitung sejak hari lahir orang yang tidak di tempat itu. Meskipun demikian, dalam setiap masa itu orang yang tidak di tempat tersebut tetap mempunyai wewenang berhak dan wewenang bertindak atas harta kekayaan yang ditinggalkannya, dimana kalau ia muncul kembali, maka hak-hak dan kewajiban-kewajibannya kembali kepadanya dengan pembatasan-pembatasan tertentu (Pasal 486 dan Pasal 487). Kemudian dalam Pasal 489 s.d. 492 diatur tentang akibatakibat keadaan tidak di tempat yang berhubungan dengan perkawinan, tetapi dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal-pasal BW mengenai afwezigheid yang berhubungan dengan perkawinan ini kiranya sudah tidak relevan lagi. Pentingnya pengaturan mengenai keadaan tidak di tempat atau keadaan tidak hadir terutama adalah pada masa dahulu dimana hubungan antar daerah masih sukar. Berbeda dengan zaman modern sekarang dimana hubungan antar daerah maupun antar negara sudah lancar. Untuk masa sekarang pengaturan mengenai keadaan tidak di tempat tetap ada gunanya, satu dan lain hal bila terjadi perang atau terjadi kekacauan-kekacauan, dimana orang banyak yang hilang dan perhubungan dengan beberapa daerah atau negara terputus.7



7 Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, cet. XI, 1975, p. 18, 19.



10



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan a. Hukum orang adaah hukum yang mengatru orang sebagai subyek hukum. Hukum perorangan adalah kaidah hukum yang mengatur kedudukan hukum (status orang) berkaitan dengan wewenang hukum dan kecakapan bertindak dalam lalu lintas hukum. b. Buatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum. Pada dasarnya yang dapat menjadi subyek hukum manusia atau orang atau person. Ada dua pengertian orang atau person sebagai subyek hukum : a) Natuurlijk person (orang atau manusia pribadi) b) Recht person (badan hukum) Secara hukum termasuk hukum perdata semua manusia adalah subyek hukum sejak dilahirkan sampai meninggal dunia, bahkan dalam kandunganpun, menurut pasal 2 KUHPerdata sudah dianggap manusia dan karenanya menjadi subyek hukum perdata apabila ada kepentingan hukumnya dan pada saat lahir dia hidup. Namun apabila ketika lahir meninggal, maka dianggaplah dia tidak pernah ada. Status manusia sebagai subyek hukum perdata disandang sampai meninggal dunia, sejalan dengan logika hukum yang ditentukan pasal 3 KUHPerdata: “Tiada suatu



hukumanpun



yang



mengakibatkan



keperdataannya.”



11



seseorang



kehilangan



hak



DAFTAR PUSTAKA



Achmad Ichsan. S.H. cet. I, (1969).Hukum Perdata. Pembimbing Masa. Cahyono, Akhmad Budi and Surini Ahlan Sjarif (2008). Mengenal Hukum Perdata. Depok: CV Gitama Jaya. Darmabrata, Wahyono (2003). Asas-asas Hukum Perdata, Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Prof. Sudiman Kartohadiprodjo, S.H. cet. VII, (1977). Pengantar Tata Hukum Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakata. Sri Soedewi M. Sofwan, S.H., Prof. Dr. Ny (1980). Hukum Jaminan di Indonesia, Pokokpokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta. Subekti, (2003). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta:Intermassa.



12



13