Makalah Hukum Pidana Anak [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK YANG MASIH DALAM PENGAMPUAN



Dosen Pengampu : Dr Ervin Hengky Prasetyo, S.H.,M.H Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pidana Anak



Disusun Oleh Suryandaru Wardana ( 5118500194)



ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL 2020/2021



Kata Pengantar



Puji syukur atas kehadiran Allah swt karena atas rahmat dan hidayah-nya lah sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Perlindungan hukum bagi tindak pidana yang dilakuka oleh anak yang masih dalam pengampuan” dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana ini.  Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan atau pun pedoman bagi para pembaca sekalian.harapan saya semoga makalah ini dapat menjadi salah satu sumber ilmu dan juga menambah wawasan bagi pembaca sekalian. Saya menyadari bahwasannya makalah yang saya buat ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami harapkan kritikan dan masukannya dari pembaca supaya saya bisa memperbaiki makalah saya selanjutnya.



Tegal, 16 November 2021



Suryandaru Wardana



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR.............................................................................................. 1 DAFTAR ISI............................................................................................................. 2 BAB I    PENDAHULUAN A.    Latar Belakang............................................................................................ 3 B.    Rumusan Masalah........................................................................................ 6 C.    Tinjauan pustaka.......................................................................................... 6 BAB II     PEMBAHASAN A. Faktor Penyebab Anak Melakukan Tindak Pidana...............................................



7



B.Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku tindak Pidana .................... 8 BAB III    PENUTUP A. Kesimpulan.................................................................................................... 12    DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak meiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan baik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia. Konsekuensi dari ketentuan pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk melindungi anak. Anak perlu mendapat perlindungan dari dampak



negatif



perkembangan-perkembangan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagai orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, antara lain disebabkan oleh faktor diluar diri anak tersebut. Kenakalan setiap anak setiap tahun selalu meningkat, apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi yang dilakukan, kadang-kadang tindakan pelanggaran yang dilakukan anak dirasakan telah meresahkan semua pihak khususnya para orang tua. Fenomena meningkatnya perilaku tindak kekerasan yang dilakukan anak seolah-olah tidak berbanding lurus dengan usia pelaku. Oleh karena itu berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak, perlu segera dilakukan. Salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak saat ini adalah melalui penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak. Tujuan sistem peradilan pidana anak tidak semata-mata untuk



menjatuhkan sanksi pidana bagi anak yang telah melakukan tindak pidana, tetapi lebih difokuskan pada dasar pemikiran bahwa penjatuhan sanksi tersebut sebagai sarana mendukung mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana. Secara internasional, maksud penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak adalah mengutamakan pada tujuan untuk kesejahteraan anak. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam peraturan Perserikatan BangsaBangsa dalam United Nation Standard Minimum Rules For the Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) atau The Beijing Rules, bahwa tujuan peradilan anak (Aims of Juvenile Justice), sebagai berikut : “The Juvenile Justice System shall emphasize well-being of the juvenile and shall ensure that any reaction of juvenile offenders shall always be in proportion to the circumstances of both the offender and offence”. (Sistem Peradilan Pidana bagi Anak / Remaja akan menguntungkan kesejahteraan remaja dan akan memastikan bahwa reaksi apapun atas pelanggaran-pelanggaran hukum berusia remaja akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggarpelanggar hukumnya maupun pelanggaran hukumnya). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri , keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun, dalam pelaksanaannya anak diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak. Selain itu, undang-undang tersebut sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komperhensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan demikian, perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan



lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak serta memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Kemudian lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, sebagai jawaban atas kebutuhan masyarakat dan pemerintah akan peraturan yang memberikan perlindungan bagi anak khususnya anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam undang-undang yang baru ini terdapat banyak perubahanperubahan yang paling mencolok adalah diterapkannya proses Diversi dalam menyelesaikan perkara anak, serta pendekatan Keadilan Restoratif yang melibatkan seluruh Stake Holder terutama masyarakat dalam membantu proses pemulihan keadaan menjadi lebih baik. Diharapkan dengan lahirnya undang-undang yang baru ini, akan memberikan landasan hukum yang berkeadilan bagi semua pihak, terutama anak yang berhadapan dengan hukum, yang dalam perkembangannya masih membutuhkan perhatian, kasih sayang, serta bimbingan dari orang disekitarnya untuk menjadi pribadi yang lebih cerdas, mandiri, berakhlak mulia, bertanggungjawab, serta berguna bagi keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan demikian selaku penulis tertarik untuk menulis sebuah tulisan yang berjudul “Fungsi Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak terhadap Anak Pelaku Kejahatan terhadap Sesama Anak Selama Proses dalam Penyidikan yang Sesuai dengan Asas Kepentingan Terbaik Baik Anak Pelaku”. B. Rumusan Masalah 1. Apa itu Diversi dan Keadilan Restoratif ? 2. Apa itu pengertian dari “Anak yang berhadapan dengan hukum” ? 3. Siapa itu Anak yang dimaksud sesuai dengan Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ? 4. Bagaimana cara Penyidik memeriksa perkara terhadap anak pelaku ?



C. Manfaat dan Tujuan Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat supaya lebih mengetahui proses penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Hasil penulisan ini juga diharapkan dapat dibaca oleh penyidik anak supaya lebih memerhatikan kepentingan terbaik bagi si anak.



BAB II PEMBAHASAN 1. Diversi dan Keadilan Restoratif Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus ABH. Polisi, Kejaksaan dan Pengadilan serta Pembimbing Kemasyarakatan atau Balai Pemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS)



dan



Lembaga



Penyelenggaraan



Kesejahteraan



Sosial



(LPKS)sebagai institusi atau lembaga yang menagani ABH mulai dari anak bersentuhan dengan sistem peradilan, menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak hingga tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman dalam koridor keadilan restoratif. Hal itu selaras dengan : a. Deklarasi PBB tahun 2000 tentang Prinsip-prinsip pokok tentang Penggunaan Program-Program Keadilan Restoratif dalam permasalahanpermasalahan Pidana (United Nations Declaration on The Basic Principles on the Use of Restoratif Justice Programmes in Criminal Matters) b. Deklarasi Wina tentang Tindak Pidana dan Keadilan (Vienna Declaration on Crime and Justice : "Meeting the challanges of the Twenty-First Century") butir 27-28 tentang Keadilan Restoratif c.Kongres PBB ke-XI di Bangkok tahun 2005 tentang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana (Eleventh United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice)pada butir 32 :"Persekutuan Strategis dalam Pencegahan tindak pidana dan peradilan pidana (Synergies and Responses : Strategic Alliances in Crime Prevention and Criminal Justice)" Selanjutnya diatur dalam UU 11 tahun 2012 dan PERMA 4 tahun 2014 Menurut UU SPPA Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, yang bertujuan untuk: a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak; b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;



d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada



Anak.



Menurut PERMA 4 tahun 2014 Musyawarah Diversi adalah musyawarah antara pihak yang melibatkan Anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang



tua/walinya,



Pembimbing



Kemasyarakatan,



Pekerja



Sosial



Profesional, perawakilan dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai kesepakatan diversi melalui pendekatan keadilan restoratif. Sedangkan Fasilitator adalah hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan. Diversi adalah pengalihan proses pada sistem penyelesaian perkara anak yang panjang dan sangat kaku. Mediasi atau dialog atau musyawarah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam diversi untuk mencapai keadilan restoratif. Penghukuman bagi pelaku Tindak Pidana Anak tidak kemudian mencapai keadilan bagi korban, mengingat dari sisi lain masih meninggalkan permasalahan tersendiri yang tidak terselesaikan meskipun pelaku telah dihukum. Melihat prinsip prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau biasa disebut diversi. Institusi penghukuman bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak karena justru di dalamnya rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Oleh karena itu dibutuhkan suatu acara dan prosedur di dalam sistem yang dapat mengakomodasi penyelesaian perkara yang salah satunya adalah dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif, melalui suatu pembaharuan hukum yang tidak sekedar mengubah undangundang semata tetapi juga memodfikasi sistem peradilan pidana yang ada, sehingga semua tujuan yang di kehendaki oleh hukumpun tercapai. Salah satu bentuk mekanisme restoratif justice tersebut adalah dialog yang dikalangan



masyarakat



Indonesia



lebih



dikenal



dengan



sebutan



"musyawarah untuk mufakat”. Sehingga diversi khususnya melalui konsep restoratif justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting



dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Jika kesepakan diversi tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh para pihak berdasarkan laporan dari Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan, maka Hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan sesuai dengan Hukum Acara Peradilan Pidana Anak. Hakim dalam menjatuhkan putusannya wajib mempertimbangkan pelaksanaan sebagian kesepakatan diversi. Dalam PERMA 4 tahun 2014 dijelaskan bahwa Diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana (pasal 2). PERMA ini juga mengatur tahapan musyawarah diversi, dimana fasilitor yang ditunjuk Ketua Pengadilan wajib memberikan kesempatan kepada : a. Anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan b. Orang tua/Wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan c. Korban/Anak Korban/Orang tua/Wali untuk memberikan tanggapan dan bentuk penyelesaian yang diharapkan. Bila dipandang perlu, fasilitator diversi dapat memanggil perwakilan masyarakat maupun pihak lain untuk memberikan informasi untuk mendukung penyelesaian dan/atau dapat melakukan pertemuan terpisah (Kaukus). Kaukus adalah pertemuan terpisah antara Fasilitator Diversi dengan salah satu pihak yang diketahui oleh pihak lainnya.



2. Anak yang Berhadapan dengan Hukum Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 pasal 1 angka 2 Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Dalam Pasal 1 angka 3 dijelaskan Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12



(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Kemudian menurut pasal 1 angka 4, Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Dan menurut pasal 1 angka 5 Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. 3. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang Dalam Undan-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak



terdapat



definisi



anak,



anak



nakal,



dan



anak



didik



pemasyarakatan. Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Anak Nakal adalah : a. Anak yang melakukan tindak pidana ; atau b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlangsung dalam masyarakat yang bersangkutan. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur bahwa kategori anak adalah seseorang yang berumur antara 12 tahun sampai dengan 18 tahun. 4. Cara Penyidik Memeriksa Perkara Kejahatan oleh Anak Pelaku Anak yang belum berumur 8 tahun dapat pula melakukan tindak pidana, untuk itu terhadap anak tersebut dapat dilakukan penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa : “Dalam hal anak belum mencapai umur 8



(delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik”. Penyidiakan seperti apa yang dimaksud dalam pasal tersebut, karena ketentuan lainnya secara tegas menentukan bahwa anak yang dapat diajukan ke siding Pengadilan Anak adalah yang telah mencapai umur 8 tahun namun belum merumur 18 tahun. Dalam pejelasan undang-undang ditegaskan, bahwa penyidikan tersebut tujuannya untuk mengungkap apakah anak yang belum berumur 8 tahun ini melakukan tindak pidana seorang diri (sendirian) atau ada unsur keikut sertaan (deelneming) dewasa. Apabila terungkap melakukan tindak pidana dengan kawannya atau orang lain yang berumur 8 tahun keatas, maka kawan-kawannya tersebut yang akan dilakukan penyidikan lebih lanjut. Dalam hasil penyidikan dalam hal penyidik berpendapat bahwa anak tersebut dapat dibina oleh orang tua, atau orang tua asuhnya, maka penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. Namun apabila penyidik berpendapat bahwa anak tersebut tidak dapat lagi dibina oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya maka penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Penyidikan dapat dilakukan dengan cara : Pasal 26 (1) Penyidikan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2) Pemeriksaan terhadap Anak Korban atau Anak Saksi dilakukan oleh Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. telah berpengalaman sebagai penyidik; b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak. (4) Dalam hal belum terdapat Penyidik yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tugas penyidikan dilaksanakan oleh penyidik yang



melakukan tugas penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Pasal 27 (1) Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara Anak, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan. (2) Dalam hal dianggap perlu, Penyidik dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan tenaga ahli lainnya. (3) Dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap Anak Korban dan Anak Saksi, Penyidik wajib meminta laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan. Pasal 28 Hasil Penelitian Kemasyarakatan wajib diserahkan oleh Bapas kepada Penyidik dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam setelah permintaan penyidik diterima. Pasal 29 (1) Penyidik wajib mengupayakan Diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai. (2) Proses Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya Diversi. (3) Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penyidik menyampaikan berita acara Diversi beserta Kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan. (4) Dalam hal Diversi gagal, Penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke Penuntut Umum dengan melampirkan berita acara Diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan. BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan Dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, proses penyidikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana kejahatan lebih menekankan kepada kepentingan terbaik bagi si anak sehingga anak akan kooperatif selama proses penyidikan. 2. Saran Diharapkan Penyidik Polri selaku pihak yang berwenang dalam melakukan penyidikan lebih memperhatikan metode penyidikan yang



sesuai dengan Undang-Undang Nomo 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Karena selama ini banyak keluhan masyarakat yang mengatakan kurangnya pengtahuan dan praktek penyidikan yang kurang sesuai dengan Undang-Undang ini.



DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pramukti, Angger Singgit, S.H. dan Primaharsya, Fuadi, S.H. 2015. Peradilan Pidana Anak. Yogyakarta : Pustaka Yustisia Prof. Dr. Soetedjo, Wagiati, S.H., MS. dan Melani, S.H., MH. 2013. Pidana Anak. Bandung : PT. Refika Aditama