Makalah Ijma Sebagai Sumber Hukum [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

IJMA’ SEBAGAI SUMBER HUKUM



MAKALAH



Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Ushul Fiqh dan Maqashid Syariah pada Institut Agama Islam Negeri Langsa



OLEH : ULPHI SUHENDRA NIM: 5012020011



PROGRAM STUDI S2 HUKUM EKONOMI SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LANGSA 2020



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ...................................................................................................................... i



BAB 1 PENDAHULUAN …………………………………………………………………………. 1 Latar Belakang ………………………………….....……………………………………………..… 1



BAB 2 PEMBAHASAN …………………………………………………………………………..2 1. Pengertian Ijma’........................................................................................................……… 2 2. Macam-Macam Ijma’.................................................……………………………………….. 3 3. Kehujjahan Ijma’ Menurut Pandangan Ulama ......................................................................4 4. Kedudukan Ijma’ Sebagai Dasar Hukum Islam ....................................................................6 5. Sebab – Sebab dilakukan Ijma’ ............................................................................................7 6. Syarat atau Rukun Ijma’ .......................................................................................................7 7. Ijma’ Dalam Ekonomi Islam .................................................................................................7



BAB 3 PENUTUP …………………………………………………………................................. 12 A. Kesimpulan …………………………………………………………………........................... 12 B. Saran ……………………………………………………………………………………............12



DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………...…………….. 13



KATA PENGANTAR Assalamualaikum wr.wb. Bismillahirrahmanirrahim.



Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, atas izin dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tepat waktu tanpa kurang suatu apa pun. Tak lupa pula penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW. Semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.



Penulisan makalah berjudul ‘Ijma’ Sebagai Sumber Hukum’ bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh dan Maqashid Syariah. Pada makalah ini diuraikan definisi, kedudukan, syarat dan klasifikasi ijma’. Selain itu, diulas juga telaah historis perkembangan pendapat ulama tentang ijma’.



Selama proses penyusunan makalah, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada:



1.



Bapak M. Suhaili Sufyan, MA. Ph.D selaku dosen mata kuliah Ushul Fiqh dan Maqashid Syariah;



2.



Keluarga yang telah memberikan dukungan;



3.



Pihak yang tidak dapat disebutkan penulis satu per satu.



Akhirul kalam, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Besar harapan penulis agar pembaca berkenan memberikan umpan balik berupa kritik dan saran. Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Aamiin.



Wassalamualaikum wr.wb



Langsa, 02 Desember 2020



Penulis



BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Islam sangat membenci perpecahan dan perselisihan sampai Rasulullah SAW memerintahkan kepada orang yang sedang membaca Al Qur’an agar menghentikan bacaanya jika bacaannya itu akan mengakibatkan perpecahan. “Bacalah Al Qur’an selama bacaan itu dapat menyatukan hati kalian, tetapi jika kalian berselisih maka hentikanlah bacaan itu.“ (HR Bukhari & Muslim). Kendati keutamaan membaca Al Qur’an sangat besar, akan tetapi Nabi SAW tidak mengizinkan membacanya jika bacaan itu membawa kepada perselisihan dan pertentangan. Jika perselisihan menyangkut pemahaman makna, maka harus dibaca dengan berpegang teguh kepada pemahaman dan pengertian yang akan menumbuhkan kesatuan. Jika terjadi perselisihan atau timbul suatu keraguaan, maka hendaklah bacaan itu ditinggalkan dan berpegang teguh pada yang Muhkam yang akan membawa persatuan. Dalam menentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran Islam para mujtahid telah berpegang teguh kepada sumber-sumber ajaran Islam. Sumber pokok ajaran Islam adalah Al Qur’an yang memberi sinar pembentukan hukum Islam sampai akhir zaman. Disamping itu terdapat as-Sunnah sebagai penjelas Al Qur’an terhadap hal-hal yang masih bersifat umum. Selain itu para mujtahidpun menggunakan Ijma’, Qiyas. Sebagai salah satu acuan dalam menentukan atau menetapkan suatu hukum. Untuk itu, perlu adanya penjabaran tentang sumber-sumber ajaran Islam tersebut seperti Al Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad. Agar mengerti serta memahami pengertian serta kedudukannya dalam menentukan suatu hukum ajaran Islam. Ijma’ menurut istilah ushul adalah sepakat para mujtahid muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rasulallah SAW terhadap hukum Syar’i, pada suatu peristiwa. Ijma’ para mujtahid adalah suatu i’tibar terhadap suatu hukum. Menurut mereka hukum ini adalah dalil terhadap suatu masalah. Definisi ini adanya yaitu setelah wafatnya Nabi SAW. Karena selagi Rasul masih hidup, maka dia sendiri yang menjadi sumber Syar’i, tidak ada penggambaran perbedaan pendapat dalam syar’i dan tidak ada kesepakatan. Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu tidak sebagai syari’at. Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syari’at, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram, dan lain-lain. Hal itu sesuai dengan pendapat Imam Al-Gazali yang menyatakan bahwa kesepakatan tersebut dikhususkan pada masalah-masalah agama, juga sesuai dengan pendapat Al-Juwaini dalam kitab Al-Warakat, Safiudin dalam Qawaidul usul, Kamal bin Hamal dalam kitab Tahrir, dan lain-lain. Adapun mengenai masa atau zaman, para ulama ada yang memasukkannya sebagai syarat ijma’. Sedang Al-Athar dalam kitab Hasiyah Jam’ul Jawami’ mengartikan zaman dalam definisi ijma’ di atas dengan zaman mana saja. Ijma’ menurut hukum Islam adalah kesepakatan pendapat para mujtahid umat nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat pada suatu masa tertentu tentang masalah tertentu.



BAB II PEMBAHASAN 1.     Pengertian Ijma’ a.      Menurut bahasa Ijma dilihat dari segi bahasa, ijma’ berarti berkumpul, sepakat, setuju atau sependapat. Definisi ijma’ menurut bahasa juga terbagi dalam dua arti: 1.      Bermaksud atau niat, sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surat  sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surat Yunus ayat 71: Artinya: “Dan bacakanlah kepada mereka berita tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya, “Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadaku) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanya). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan. Lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepaku.”(QS. Yunus: 71) Maksudnya, semua pengikut Nabi Nuh dan teman-temannya harus mengikuti jalan yang beliau tempuh. Dan hadits Rasulullah SAW. Yang artinya, “Barang siapa yang belum siap untuk berpuasa sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.” 2.      Kesepakatan terhadap sesuatu, suatu kaum dikatakan telah ber-Ijma’ bila mereka bersepakat terhadap sesuatu. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surat Yusuf ayat 15, yang menerangkan keadaan saudara-saudara Yusuf a.s : Artinya: “Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka memasukkan dia), dan (di waktu dia sudah ada di dalam sumur) saya wahyukan kepada Yusuf, “sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.” (QS. Yusuf: 15) Yakni mereka bersepakat terhadap rencana tersebut. Adapun perbedaan antara kedua arti diatas adalah: yang pertama bisa dilakukan oleh satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya. [1] Sedangkan ijma’ menurut hukum islam adalah kesepakatan pendapat para mujtahid umat nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat pada suatu masa tertentu tentang masalah tertentu. Ijma’ menurut istilah ushul adalah sepakat para mujtahid muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafatnya Rasulallah terhadap hukum Syar’i, pada suatu peristiwa. Ijma’ para mujtahid adalah suatu i’tibar terhadap suatu hukum. Menurut mereka hukum ini adalah dalil terhadap suatu masalah. Definisi ini adanya yaitu setelah wafatnya Nabi SAW. Karena selagi Rasul masih hidup, maka dia sendiri yang menjadi sumber tasyri’, tidak ada penggambaran perbedaan pendapat dalam syar’i dan tidak ada kesepakatan.[2] b.      Ijma’ Menurut Istilah Ulama Ushul Para ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma’ menurut istilah, diantaranya: a.       Pengarang kitab Fushulul Bada’i berpendapat bahwa Ijma’ itu adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ untuk Muhammad SAW. Dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’ b.      Pengarang kitab tahrir al-Kamal  Bin Haman berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW. Terhadap masalah syara’. (Al. Ghifari)[3]



Dapat disimpulkan bahwa Ijma’ adalah kesepakatan para Mujtahid muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafatnya Rasulullah SAW terhadap hukum syar’i, karena selagi Rasul masih hidup maka dia sendiri yang menjadi sumber syar’i.



2.     Macam-macam Ijma’ Ditinjau dari sudut cara menghasilkan hukum itu, maka ijma’ ini ada dua macam: a.      Ijma’ Sharih (bersih atau murni) Maksudnya, semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya.       Hal itu bisa terjadi bila semua mujtahid berkumpul disuatu tempat, kemudian masingmasing mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang ingin diketahui ketetapan hukumnya. Setelah itu, mereka menyepakati salah satu dari barbagai pendapat yang mereka keluarkan tersebut.       Selain itu, bisa juga pada suatu masa timbul suatu kejadian, kemudian seorang mujtahid memberikan fatwa tentang kejadian itu, mujtahid kedua berfatwa seperti fatwanya mujtahid pertama. Dan mujtahid ketiga mangamalkan apa yang telah difatwakan tersebut, begitu seterusnya sehingga mujtahid menyepakati pendapat tersebut. b.      Ijma’ Sukuti Ijma’ Sukuti adalah sebagian mujtahid terang-terangan menyatakan pendapatnya itu dengan fatwa, atau memutuskan suatu perkara, dan sebagian lagi hanya berdiam diri. Hal ini berarti dia menyetujui atau berbeda pendapat terhadap yang di kemukakan di dalam mengupas suatu masalah. Ijma’ Sukuti yaitu ijma’ i’tibari. Karena orang yang berdiam diri itu belum tentu menyetujui, belum pasti dia membenarkan dan meyakini kesepakatan tentang sidang ijma’ itu untuk di jadikan hujah maka hal ini berbeda-beda pendapat ulama. Jumhur berpendapat bahwa ini tidak boleh dijadikan hujah. Karena tidak keluar dari pendapat beberapa orang mujtahid. Sedangkan ulama Hanafi berpendapat, boleh dijadikan hujah, bila mujtahid itu tetap berdiam diri, tidak berbicara dan tidak mengeluarkan pendapat. Berdiam diri disini tidak dapat disamakan dengan berdiam diri karena takut, atau berolok-olok. Karena berdiam diri di tempat barfatwa itu menyatakan sesuatu atau atau membuat peraturan atau undang-undang. Disamping itu dia menafikan (meniadakan) terhadap apa yang menjadi halangan baginya mengemukakan pendapat sekalipun berbeda. Kalau memang ternyata berbeda maka disini sikap berdiam diri itu akan dipertajam.[4] Adapun ditinjau dari pihak ini maka Ijma’ itu ada yang qathi dan ada yang dzan. 1.      Ijma’ Qathi Ijma’ qathi yaitu ijma’ syarih, dengan pengertian bahwa hukumnya itu di qathi’kan olehnya. Tidak ada jalan bagi hukum terhadap suatu peristiwa, dengan adanya khilaf ( perbedaan pendapat). Bukan lagi lapangan ijtihad mengenai suatu peristiwa setelah diadakan Ijma’ Sharih terhadap hukum syar’i. 2.      Ijma’ dzanni Yang menunjukkan atas hukumnya, yaitu ijma’ dzanni dengan pengertian bahwa hukumnya itu masih diragukan. Dzan itu juga kuat, tidak boleh mengeluarkan peristiwa dari lapangan yang dibentuk oleh ijtihad. Karena merupakan jalan pemikiran dari jemaah mujtahid. Bukan keseluruhannya.[5] Ditinjau dari ruang lingkup para mujtahid yang berijma’, maka ijma’ bisa dibagi kepada beberapa bagian: 1.      Ijma’ al- Ummat, ijma’ inilah yang dimaksud dengan dermisi pada awal pembahasa ini. 2.      Ijmaush Sahabat yaitu persesuaian paham segala ulama sahabat terhadap sesuatu urusan.



3.      Ijma’ Ahl al-Madinah yaitu persesuaian paham ulama-ulama ahli madinah terhadap suatu kasus. Ijma’ ini bagi Imam Malik adalah hujjah. 4.      Ijma’ Ahl al-Kufah, Ijma’ ini dianggap hujjah oleh Imam Hanafi. 5.      Ijma’ al-Khulafa’ al-Arba’ah, ijma’ ini oleh sebagian ulama dianggap hujjah atas dasar hadits : ‘ kamu wajib mengikuti sunahku dan sunnah Khulafah Rasyidin sesudahku ( H.R. Ahmad Abu Daud, At-Turmudzi)” 6.      Ijma’ al-Syaykhayni yaitu persesuaian paham Abu Bakar dan Umar dalam suatu hukum, ijma’ ini oleh sebagian ulama dianggap hujjah atas dasar hadits yang diriwayatkan oleh AtTurmudzi. “ Ikutlah atau teladanilah kedua orang ini sesudahku, yaitu Abu Bakar dan Umar”. 7.      Ijma’ al-Itrah yaitu persesuaian paham ulama-ulama Ahli Bait.[6]



3.     Kehujjahan Ijma’ Menurut Pandangan Para Ulama Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan ijma’ , misalnya, apakah ijma’ itu syar’i? Apakah ijma’ itu merupakan landasan ushul fiqh atau bukan? Bolehkah kita menafikan atau mengingkari ijma’? Untuk menjawab pertanyaann-pertanyaan tersebut, para ulama berbeda pendapat. AlBardawi berpendapat bahwa orang-orang Hawa tidak menjadikan ijma’ itu sebagai hujjah, bahkan dalam syarah-nya dia mengatakan bahwa ijma’ itu bukan hujjah secara mutlak. Menurut Al-Amidi, para ulama telah sepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah yang wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan dengan Syi’ah Khawarij dan Nizam dari golongan Mu’tazilah. Al-Hajib berkata bahwa ijma’ itu hujjah tanpa menanggapi pendapat Nizam, Khawarij, dan Syi’ah. Adapun Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma’ itu pada dasarnya adalah hujjah. Sedangkan dalam kitab Qawa ‘idul Ushul dan Ma’aqidul Ushul dikatakan bahwa ijma’ itu hujjah pada setiap masa. Namun, pendapat itu ditentang oleh Daud yang mengatakan bahwa ijma’ itu hanya terjadi pada masa sahabat.[7] Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis ijma’ itu merupakan sendiri, yaitu sharih dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijma’ akan ditinjau berdasarkan pembagian ijma’ itu sendiri. 1.      Kehujjahan Ijma’ Sharih Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secara qath’i, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu permasalahan maka ia menjadi hukum qath’i yang tidak boleh ditentang, dan menjadi masalah yang tidak boleh di-ijthadi lagi.[8] Ibrahim An-Nidzam, sebagian dari golongan syi’ah dan khawarij, berkata bahwa ijma’ itu tidak termasuk hujjah.          Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh jumhur Jumhur mengeluarkan beberapa dalil untuk memperkuat pendapat mereka tentang kehujjahan ijma’, antara lain: “barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Saya biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang



telah dikuasainya itu dan saya memasukkan ia ke dalam Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa : 115) Kehujjahan dalil dari ayat di atas adalah ancaman Allah SWT. Terhadap mereka yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mukmin. Disebutkan bahwa mereka akan di masukkan ke Neraka Jahannam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu adalah bathil dan haram diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh orang-orang mukmin adalah hak dan wajib diikuti. Dalil yang digunakan oleh jumhur di atas dibantah kehujjahannya dalam ijma’. Bahwa yang dimaksud jalannya orang-orang mukmin di atas adalah para pengikut Rasulullah SAW, penolongnya dan penjaga dari musuh-musuhnya, bukan legalisasi hukum terhadap kesepakatan ulama mijtahid. Maka maksud ayat di atas, sesuai dengan yang ada dalam kitab Al-Burhan, adalah “sesungguhnya orang-orang yang memusuhi Rasulullah SAW, dan para penentang jalan orang-orang beriman yang menoong Rasulnya dan menjaga dari musuhnya, mereka akan dibiarkan oleh Allah mengikuti hawa nafsunya, dan akan disiksa di akhirat dengan dimasukkan dalam neraka Jahannam dan ditempatkan pada tempat yang hina. Itulah arti tekstual ayat, yang sesuai dengan Asbab Nuzul-nya, bahwa ayat itu turun berkaitan dengan Bashir bin Ubairiq yang masuk Islam, tetapi kemudian ia mencuri. Nabi memerintahkan untuk memotong tangannya, tetapi ia bisa kabur ke Mekah dengan memanfaatkan kelengahan orang-orang beriman. Di Mekah, ia berusaha untuk untuk mencuri sebuah rumah dengan cara melubangi dindingnya, dan ia pun mati dalam keadaan kafir.[9] Sehubungan dengan hal itu, pada firman Allah SWT. Dalam surat An-Nisa : 48, disebutkan: “sesungguhnya Allah SWT. Tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia akan mengampuni dosa selain itu (syirik) bagi siapa saja yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa :48) Dengan demikian, jelaslah bahwa ayat di atas bukan dalil tentang ijma’. Pengarang At-Tharir berkata bahwa “As-Subki pernah berkata, Imam Syafi”i meng-istinbath hukum dari dalil di atas dan menyatakan bahwa dalil itu menunjukkan kehujjahan ijma’. “dan demikian (pula) saya telah menjadikan kamu umat (umat islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia” (QS.Al-Baqarah :143) Ayat tersebut dikemukakan oleh Al-Amidi. Kehijjahan dari ayat tersbut adalah keadilan mereka (para mujtahid) yang menjadi hujjah bagi manusia untuk menerima pendapat mereka. Seperti halnya menjadikan Rasul sebagai hujjah dengan menerima sabdanya. Dengan mengartikan seperti itu, jelas bahwa pendapat mereka merupakan hujjah bagi yang lainnya. Muslim Al-Tsubut berpendapat bahwa keadilan itu tidak mesti menghilangkan kesalahan yang bisa dikategorikan sebagai pembuatan maksiat. Namun, yang mesti ditekankandari ayat tersebut adalah keutamaan ijma’ terdahulu. 2.      Kehujjahan Ijma’ Sukuti Ijma Sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya dikalangan para ulama. Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah, bahkan tidak menyatakan sebagai ijma’. Diantara mereka adalah pengikut Maliki dan Imam Syafi’i yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya. Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa juga tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan mereka terhadap



mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qath’i atau zhanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dikatakan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid, berarti tidak bisa dikatakan ijma’ ataupun dijadikan sebagai hujjah. Sebagian besar golongan Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ijma sukuti merupakan hujjah yang qath’i seperti halnya ijma’ Sharih. Alasan mereka adalah diamnya sebagian mujtahid untuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya. Bila memenuhi persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka sehingga bisa dikatakan sebagai ijma’, karena kesepakataan mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang qath’i karena alasannya juga menunjukkan adanya ijma’ yang tidak bisa dibedakan dengan ijma’ sharih. Al-Kurhi dari golongan Hanafi dan Al-Amidi dari golongan syafi’i menyatakan bahwa ijma’ sukuti adalah hujjah yang bersifat zhanni. Pendapat merekalah yang kita anggap lebih baik. Karena diamnya sebagian mujtahid untuk menyatakan pendapatnya kalau memenuhi syarat ijma sukuti tidak bisa dikatakan sebagai kesepakatan terhadap para mujtahid lainnya. Tetapi boleh dikatakan diamnya mereka itu diantara menyepakati dan tidak. Sikap tersebut sebagaimana telah dilakukan oleh kaum ulama salaf. Mereka tidak melarang untuk menyatakan hag meskipun tidak mampu melaksanakan dan ada sebagian yang mengingkarinya.[10] Contohnya, ketika Mu’adz bin Jabal melaporkan pada Umar bin Khathab bahwa ia bermaksud menghukum wanita hamil yang melakukan zina, ia berkata, “Seandainya Allah mejadikan kepada kamu keselamatan pada punggungnya (perempuan), maka kamu tidak akan menjadikan bayi perempuan itu jalan keselamatan”, maka Umar berkata : “kalau bukan Mu’adz (yang berkata) maka Umar akan memarahinya”. Begitu pula ketika seorang perempuan berkata kepada Umar bin Khathab bahwa ia mendengar kaum muslimin tidak boleh memberikan mahar pada perempuan melebihi empat ratus dirham dan mengharuskan agar memasukkan selebihnya kepada baitul mal. Ia berkata, “tidakkah Allah pernah berfirman: ‫واتيتم احداهن قنطرا‬ Artinya: “Apakah Umar melamarnya?” Beliau berkata, “perempuan tersebut benar dan Umar salah.” Dan masih banyak contoh-contoh lainnya yang dapat diketahui dengan menelaah kehidupan mereka. Bila diamnya sebagian mujtahid tidak bisa dikatakan sebagai ketetapan qath’i tetapi zhanni, maka kehujjahan ijma’ sukuti tidak bisa dikatakan qath’i, melainkan zhanni.[11]



4.     Kedudukan Ijma’ Sebagai Dasar Hukum Islam Kebanyakan ulama’ mengetahui bahwa ujma’ merupakan sumber hukum yang kuat dalam menetapkan hukum islan dan menduduki tingkatan ketiga dalam sumber hukum islam. Kekuatan ijma’ sebagai sumber hukum islam ditunjukkan dalam nash Al Qur’an dan Hadits, diantaranya adalah QS. An-Nisa: 59. ‫يا أيّها الّذين أمنوا أطيعوا هللا وأطيعوا الرّسول وأولى األمر منكم‬ “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu”. Rasulullah SAW bersabda: )‫(رواه ابن أبى عاصم‬ ‫ال تجتمع أ ّمتى على الَضّاللة‬ “Ummatku tidak bersepakat atas kesesatan”. )‫(رواه أحمد‬ ‫ما رأه المسلمون حسنا فهو عند هللا حسن‬



“Apa yang dilihat oleh orang Islam sebagai kebaikan, maka menurut Allah STW itu juga baik”. Dengan demikian, pada dasarnya ijma’ dapat dijadikan alternative dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang di dalam Al Qur’an atau Hadist tidak ada atau kurang jelas hukumnya.



5.     Sebab-sebab dilakukan Ijma’ 1. karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam nash Al Qur’an atau Hadist tidak diketemukan hukumnya; 2. Karena nash Al Qur’an dan Hadist sudah tidak turun lagi atau telah berhenti; 3. Karena pada masa dahulu itu jumlah mujtahid tidak terlalu banyak dan mereka mudah dikoordinir untuk melakukan kesepakatan dalam menentukan status hukuk suatu permasalah yang timbul pada saat itu; 4. di antara para mujtahid belum timbul perpecahan dan masih mudah menyatukan pendapat.



6.   Syarat- syarat atau Rukun- rukun ijma’ 1.      Di saat terjadinya kejadian itu terdapat beberapa adanya mujtahid. Karna kesepakatan tidak mungkin tercapai kecuali dari beberapa pendapat yang saling memiliki kesesuaian. Bila pada waktu itu tidak ada beberapa mujtahid atau tidak ada sama sekali atau hanya ada seorang mujtahid saja , maka menurut syara’ ijma’ tersebut tidak sah. Oleh sebab itu masa rosulullah tidak ada ijma’ karna beliau sendiri sebagai Mujtahid. 2.      Kesepakatan atas hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal Negara, kebangsaan, atau kelompok.Bila kesepakatanya hanya oleh Mujtahid dari kalangan tertentu saja maka tidak sah menurut hukum syara’. Karna ijma’ tidak sah kecuali dengan kesepakatan umum dari semua ( yang memiliki kapasitas sebagai) mujtahid dunia islam pada masa terjadinya peristiwa itu. 3.      Adanya kesepakatan tersebut jelas. Dalam artian tidak ada pertentangan dari sebagian atau minoritas mujtahid. 4.      Kesepakatan mereka di awali dengan pengungkapan pendapat masing- masing mujtahid. Pendapat itu di ungkapkan dalam bentuk perkataan seperti fatwa atas suatu peristiwa atau perbuatan seperti bentuk putusan hukum. Bisa juga di ungkapkan secara perorangan mujtahid , kemudian setelah pendapatnya masing- masing di kumpulkan di temukan adanya kesepakatan.



7.  Ijma’ dalam Ekonomi Islam Semakin kompleks problematika dan perkembangan perekonomian pada zaman modern ini, beberapa ijma’ (keputusan) ulama pada kondisi kontemporer sekarang adalah sebagai berikut: 1.  Ijma’ tentang keharaman bunga bank. Menurut Syeikh Yusuf Qardhawi dalam bukunya bunga bank adalah haram, bahwa sebanyak 300 ulama dan pakar ekonomi dunia telah menghasilkan suatu ijma’ tentang keharaman bunga bank (mereka terdiri dari ahli fikih, ahli ekonomi dan keuangan dunia) melalui satu pertemuan dimana ”Telah lahir ijma’ ulama dari berbagai lembaga, pusat penelitian, muktamar, seminar-seminar ahli fikih dan ahli ekonomi Islam yang mengharamkan bunga bank dalam segala bentuknya dan bunga bank itu adalah riba



tanpa diragukan sedikitpun.[12] Beberapa hasil keputusan dari lembaga internasional antara lain:[13] 1. Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) Semua perserta sidang OKI kedua yang berlangsung di Karachi, Pakistan, Desember 1970, telah menyepakati dua hal utama yaitu: a. Praktek bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam b. Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Hasil kesepkatan inilah yang melatar belakangi didirikannya Bank Pembangunan Islam (IDB). 2. Mufti Negara Mesir Keputusan kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap dan konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun 1900 hingga 1989 Mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan 3. Konsul Kajian Islam Dunia Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank. Dalam konferensi II KKID yang diselenggarakan di Universitas Al-Azhar, Cairo, pada bulan Muharram 1385 H / Mei 1965, ditetapkan bahwa tidak ada sedikit pun keraguan atas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional. Diantara ulama-ulama besar yang hadir adalah Syeikh Al-Azhar, Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof.Dr. Mustafa Ahmad Zarqa, Dr. Yusuf Qardhawi, dan sekitar 300 ulama besar dunia lainnya. Dr. Yusuf Qardhawi, salah seorang peserta aktif dalam konferensi tersebut mengutarakan langsung kepada penulis pada tanggal 14 Oktober 1999 di Institute Bankir Indonesia, Kemang, Jakarta Selatan, bahwa konferensi tersebut di samping dihadiri oleh para ulama juga diikuti oleh para bankir dan ekonom dari Amerika, Eropa, dan dunia Islam. Yang menarik, menurut beliau, bahwa para bankir dan ekonom justru yang paling semangat menganalisa kemadharatan praktek pembungaan uang melebihi hammasah (semangat) para ustadz dan ahli syariah. Mereka menyerukan bahwa harus dicari satu bentuk sistem perbankan alternatif.  



4. Fatwa Lembaga-lembaga lain



Senada dengan ketetapan dan fatwa dari lembaga-lembaga Islam dunia di atas, beberapa lembaga tersebut berikut ini juga menyatakan bahwa bunga bank adalah salah satu bentuk riba yang diharamkan. Lembaga-lembaga tersebut antara lain:



Akademi Fiqh Liga Muslim Dunia b. Pimpinan Pusat Dakwah, Penyuluhan, Kajian Islam, dan Fatwa, Kerajaan Saudi Arabia a.



Selain lembaga diatas, ada penambahan ketetapan akan keharaman bunga bank oleh tiga forum ulama internasional, yaitu:[14] a. Majma’ul Buhuts al-Islamiyyah di Al-Azhar Mesir Mei 1965. b. Majma’ al-Fiqh al-Islamy di negara-negara OKI, Jeddah 22-28 Desember 1985. c.



Majma’ Fiqh Rabithah Rabithah al-‘Alam al-Islamy keputusan ke-6 sidang ke-9, Mekkah 12-19 Rajab 1406 H.



d. Keputusan Dar Al-Ifta, Kerajaan Saudi Arabia, 1979. e.



Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan, 22 Desember 1999.



Dasar-dasar Penetapan[15] 1. Bunga bank memenuhi kriteria riba yang diharamkan Allah SWT seperti dikemukakan oleh Imam Nawawy dalam Al-Majmu, Ibn Al-Araby dalam ahkam Al Qur’an, Al-Aini dalam Umdah al-Qary, Al-Sarakhasy dalam Al-Mabsuth, Ar-Raghib al-Isfahani, Yusuf Qardhawi dalam Fawaid al-Bunuk, Muhammad Abu Zahrah, Muhammad Ali-Ashabuni, Wahbah Az-Zuhaily dalam Al-Fiqh wal Islamy wa adilatuh. 2. Bunga uang dari pinjaman/simpanan yang berlaku diatas lebih buruk daripada riba yang diharapkan Allah SWT dalam Al Qur’an, karena riba hanya dikenakan tambahan pada saat si peminjam tidak mampu mengembalikan pinjaman pada saat jatuh tempo. Sedangkan bunga bank sudah langsung dikenakan tambahan sejak transaksi. 2. Ijma’ tentang keabsahan kontrak pembelian barang yang belum diolah atau diproduksi (‘Aqdul Istishna’).[16] Aturan normalnya adalah pelarangan penjualan barang yang tidak ada (non-exist) karena adanya ketidakpastian. Tapi penjualan barang seperti ini, yang belum ada hukumnya tidak sah karena ia belum pasti hukumnya. Kesepakatan para Ulama membolehkannya ditujukan untuk memperoleh jalan keluar yang mudah. 3.  Ijma’ tentang warisan, ijma’ yang telah dilandaskan pada sunnah yang diamati dalam kasus warisan. Dimana ulama sepakat menetapkan bahwa nenek menggantikan kedudukan ibu sebagai ahli waris bilamana ibu kandung dari si mayit sudah meninggal.[17] Dimana Nabi SAW pernah memberi nenek seperenam harta warisan dari si mayit yang telah tiada ibunya. Dalam sumber lain telah disepakati bahwa bila seseorang didahului (ditinggal mati) oleh ayahnya, maka kakek turut serta memperoleh warisan bersama anak lelaki yang diambil dari bagian ayahnya.[18]



Telah disepakati pula bahwa seorang nenek berhak memperoleh seperenam dari warisan yang ada. Dalam hal ini, Ijma’ didasarkan pada keputusan yang berasal dari Mughirah bin Syu’bah (wafat tahun 50 H) dibandingkan dengan ketentuan Nabi SAW. Dasar Penetapan[19] Dalam masalah hukum kekeluargaan telah disepakati bahwa karena Al Qur’an menjelaskan (larangan) menikah dengan ibu dan anak perempuan, maka larangan itupun berlaku bagi nenek dan cucu perempuan (walaupun jaraknya lebih jauh), dengan dalil yang sama. 4.  Ijma’ ulama tentang asuransi bisnis yang mengharamkan, Sesungguhnya Majelis Ulama Fikih pada pertemuan pertamanya yang diadakan pada tanggal 10 sya’ban 1398 M, di Makkah al-Mukarramah di pusat Rabithah al-Alam al-Islami meneliti persoalan asuransi dengan berbagai jenisnya yang bermacam-macam, setelah sebelumnya menelaah tulisan para ulama dalam persoalan tersebut, dan juga setelah melihat keputusan Majelis Kibar alUlama di Kerjaan Saudi Arabia pada pertemuan kesepuluh di Kota Riyadh tanggal 4/4/97 M, dengan SK No. 55, tentang haramnya asuransi berbasis bisnis dengan berbagai jenisnya. Setelah mempelajari secara lengkap berbagai pendapat seputar persoalan itu, baik berupa asuransi jiwa, asuransi barang dagangan berdasarkan analisis sebagai berikut:[20] Dimana memberlakukan premi tetap sebagaimana dilakukan berbagai perusahaan asuransi bisnis merupakan perjanjian usaha yang mengandung unsur “menjual kucing dalam karung” karena pihak yang akan menerima asuransi pada saat perjanjian tidak mengetahui jumlah uang yang akan dia berikan dan akan diterima. Karena bisa jadi sekali, dua kali membayar iuran, terjadi kecelakaan sehingga ia berhak mendapatkan jatah yang dijanjikan oleh pihak perusahaan asuransi, hal ini juga sangat bergantung pada perkembangan saat tanggungan itu harus dibayarkan penanggung.[21] Yang merusak perjanjian dan membolehkan asuransi kooperatif (semacam arisan) dan asuransi sosial (tunjangan pensiun) karena dasarnya adalah dari sumbangan sukarela dan atas asas gotong royong sesuai dengan Q.S Al-Maidah : 2. [22] sehingga ijma ulama mengharamkan asuransi bisnis di konvensional. 5.  Ijma’ ulama tentang instrumen keuangan syariah SBIS dalam akad ju’alah (Kitab Bidayah Al-Mujtahid, Ibnu Rusyd 2/283 Madzhab Maliki, Syaf’i dan Hanbali berpendapat, bahwa Ju’alah boleh dilakukan dengan alasan : (1)     Firman Allah : “Penyeru-penyeru itu berkata : “kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya”  (Yusuf : 72) (2)      Dalam Hadits diriwayatkan, bahwa para sahabat pernah menerima hadiah atau upah dengan cara Ju’alah berupa seekor kambing karena salah seorang diantara mereka berhasil mengobati orang yang dipatuk kalajengking dengan cara membaca surat Al Fatihah. Ketika mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah, karena takut hadiah tidak halal. Rasullah pun tertawa seraya bersabda : “Tahukah anda sekalian, bahwa itu adalah jampi-



jampi (yang positif). Terimalah hadiah itu dan beri saya sebagian”. (HR. Jamaah, mayoritas ahli Hadits kecuali An Nasa’i) 6. Jual beli pelelangan (muzayadah), dimana pelelangan itu boleh berdasarkan ijma’ (konsensus) kaum muslimin.[23] Pelelangan adalah penawaran barang di tengah keramaian. Lalu para pembeli saling menawar dengan harga tertinggi sampai kepada batas harga tertinggi yang ditawarkan, lalu terjadilah transaksi, dan si pembeli bisa mengambil barang yang dijual. 7.  Jual beli Madhaamin (jual beli hewan yang masih dalam perut) menurut jumhur ulama tidak dibolehkan.[24] Alasannya adalah mengandung unsur gharar, sangat jelas karena jika penjual ingin menjual anak yang masih dalam perut induknya yang berarti barang belum ada, sedang si pembeli menghadapi suatu risiko antara berhasil mendapatkan anak tersebut atau tidak.



BAB III KESIMPULAN A.    Kesimpulan



Ijma’ menurut bahasa  mempunyai arti dua yaitu kesengajaan, mufakat, tekad seperti dalam firman Allah Swt.



)71:‫فأجمعواأمركموشركائكم‚ (يونس‬ Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu- sekutumu untuk membinasakanmu.( QS. Yunus:71) Sedang menurut istilah ada banyak definisi diantaranya:             Menurut Muhammad bin Hamzah Al- Ghifari (w. 834 H.) mengemukakan definisi ijma’, yakni:Kesepakatan semua mujtahid dari kalangan umat Muhammad pada suatu masa terhadap hukum syara’.Sedangkan al- Kamal bin Human menyatakan bahwa ijma’ adalah :Kesepatan semua mujtahid pada suatu masa dari kalangan Muhammad terhadap perkara syara’. Definisi yang paling tepat ialah yang di kemukakan oleh al- syaukani yakni:



‫اتّفاق المجتهدي من أ ّمة مح ّمد ص ّل هللا عليه وسلّم بعد وفاته في عص‚ر من االعص‚‚ار‬ ‫على امر من االمور‬



Kesepakatan semua mujtahid dari umat Nabi Muhammad SAW.Setelah wafatnya beliau pada suatu masa terhadap suatu perkara. Syarat-syarat ijma’ diantaranya: Di saat terjadinya kejadian itu terdapat beberapa adanya mujtahid. Karena kesepakatan tidak mungkin tercapai kecuali dari beberapa pendapat yang saling memiliki kesesuaian.Kesepakatan atas hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal Negara, kebangsaan, atau kelompok.Adanya kesepakatan tersebut jelas.Dalam artian tidak ada pertentangan dari sebagian atau minoritas mujtahid.Kesepakatan mereka di awali dengan pengungkapan pendapat masing- masing mujtahid. Macam- macam ijma’:Ijma’ Shorikh ( pasti) dan Ijma’ Sukuti ( dugaan). Kelompokumat  islam di bedakan menjadi dua golongan, yakni golongan Ahl alsunnah wa al- jamaah (sunni) dan golongan non_ Sunni (Syiah, Khawarij, Dan Mu’tazillah).Golongan non-sunni memandang bahwa ijma’ bukan merupakan hujjah syar’iyyah. B.     Saran Apa yang ada dalam makalah ini bukan semata pemikiran saya, akan tetapi saya ambil dari berbagai referensi yang berkaitan dengan judul yang ditugaskan kepada saya, untuk itu marilah kita ambil hikmah dan manfaatnya. Dan dalam penyusunan  makalah ini, saya menyadari masih ada kekurangan baik dalam hal penulisan ataupun isi materi dari makalah ini. Untuk itu saya mohon adanya kritik maupun saran yang membangun dari pembaca, untuk perbaikan dalam penyusunan makalah saya kedepannya.



DAFTAR PUSTAKA  



Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia. Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh: PENGGALIAN, PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN HUKUM ISLAM, Jakarta: Kencana, 2010.







Ilmu Ushul Fiqh/Syekh Abdul Wahab Khallaf: Jakarta, Rineka Cipta, 2012.



[1] Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia, 2010. Hal 68-69 [2] Ilmu Ushul Fiqh/Syekh Abdul Wahab Khallaf: Jakarta, Rineka Cipta, 2012. Hal 49 [3] Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia, 2010. Hal 69 [4]Ilmu Ushul Fiqh/Syekh Abdul Wahab Khallaf: Jakarta, Rineka Cipta. Hal 57 [5] Ibid [6] Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh: PENGGALIAN, PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN HUKUM ISLAM, Jakarta: Kencana, 2010. Hal 76 [7] Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia, 2010. Hal 73 [8] Ibid hal 73-74 [9] Ibid hal 74 [10] Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia, 2010. Hal 80 [11] Ibid 81 [12] Qardhawi, Yusuf. Bunga Bank Adalah Haram [13] Antonio, Syafi’i. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan, BI dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999. hlm 94. [14] Hafidhuddin, Didin. Mutiara Dakwah, Jakarta: Kuwais, 2006. hlm 299. [15] idem [16] Achsien, Iggi H. Investasi Syariah di Pasar Modal: Menggagas Konsep dan Praktek Manajemen Portofolio Syariah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000. [17] Firdaus. Op cit. Hal 48 [18] Op Cit hal 102. Rahman, Abdur. 1993. Shariah Kodifikasi Hukum Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta. [19] idem [20] Al-Muslih, Abdullah. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Penerjemah, Abu Umar Basyir. Jakarta: Darul Haq, 2004. hal 275. [21] Sula, M. Syakir. Asuransi Syariah (Life dan General: Konsep & Sistem Operasional). Jakarta: GIP, 2004. hal 299. [22] Al-Mushlih, Abdullah. Bunga Bank Haram ? : Menyikapi Fatwa MUI menuntaskan kegamangan umat. Jakarta: Darul Haq, 2003. hal 107. [23] Al-Muslih, Abdullah. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Penerjemah, Abu Umar Basyir. Jakarta: Darul Haq, 2004. hal 108. [24] Dikutip dari Ash-Shawi, Muhammad Shalah Muhammad. Problematika Investasi pada Bank Islam Solusi Ekonomi Islam. Terjemahan. Jakarta: Migunani, 2008. hal 291. lihat juga Ibnu Qayyim, Zaad al-Ma’ad, 4 : 318319.