Makalah Ikatan Valensi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TEORI IKATAN VALENSI



OLEH :



AISYAH PUTRI OKTAVIANI



: 2013031010 ; 2020



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA 2021



1. Teori Ikatan Valensi Teori ikatan valensi merupakan teori ikatan yang menjelaskan bahwa atom-atom saling berikatan melalui tumpang tindih antara orbital terluar (orbital valensi). Dua atom yang saling berdekatan masing-masing memiliki orbital valensi dan satu elektron. Orbital valensi ini saling tumpang tindih (overlap) sehingga elektron yang terletak pada masing-masing orbital valensi saling berpasangan. Sesuai dengan larangan Pauli, maka kedua elektron yang berpasangan tersebut harus memiliki spin yang berlawanan karena berada pada satu orbital. Dua buah elektron ditarik oleh inti masing-masing atom sehingga terbentuk ikatan kovalen. Orbital dari dua buah atom yang saling tumpah tindih harus memiliki tingkat energi atau perbedaan tingkat energi yang sama. Teori ikatan valensi terdapat istilah orbital atom dan orbital hibrida. Orbital hibrida terbentuk dari proses hibridisasi yaitu pembentukan orbital-orbital dengan tingkat energi yang sama (orbital hibrid) dari orbital-orbital dengan tingkat energi yang berbeda. Geometri molekul dapat ditentukan dengan menggunakan konsep hibridisasi yang dapat dilihat dari susunan dalam ruang orbital hibrid yang terbentuk. Berikut beberapa hukum dasar mengenai teori ikatan valensi yaitu: 1. Ikatan valensi terjadi karena adanya gaya tarik-menarik pada elektron-elektron yang tidak berpasangan pada atom-atom yang berdekatan. 2. Elektron-elektron yang berpasangan memiliki arah spin yang berlawanan. 3. Elektron-elektron yang berpasangan tidak dapat membentuk ikatan lagi dengan elektronelektron yang lain. 4. Kombinasi elektron dalam ikatan hanya dapat diwakili oleh satu persamaan gelombang untuk setiap atomnya. 5. Elektron-elektron yang berada pada tingkat energi paling rendah akan membuat pasangan ikatan-ikatan yang paling kuat. 6. Dua orbital dari sebuah atom, orbital dengan kemampuan bertumpang tindih paling banyaklah yang akan membentuk ikatan paling kuat dan cenderung berada pada orbital yang terkonsentrasi itu. Teori ikatan valensi yang ditekankan yaitu pada fungsi gelombang elektron-elektron berpasangan yang dibentuk dari tumpang tindih fungsi gelombang pada masing-masing orbital dari atom-atom yang berkontribusi dan saling terpisah. Misalnya ikatan valensi pada molekul



hidrogen, dimana apabila terdapat satu elektron pada masing-masing dua atom H yang berlainan maka kemungkinan fungsi gelombang pada sistem adalah sebagai berikut: Ψ = χA(1)χB(2) ………………………………………….. (1) Ψ = χA(2)χB(1) ………………………………………….. (2) dengan keterangan bahwa χA dan χB adalah orbital-orbital 1s pada atom A dan B, sementara angka 1 dan 2 menunjukkan elektron yang berikatan dengan proton pada masing-masing atom A dan B. Kedua atom H ketika berada pada keadaan yang sangat dekat, tidak dapat diketahui apakah elektron 1 terikat pada atom A dan elektron 2 terikat pada atom B atau justru sebaliknya, sehingga perlu membuat dua fungsi gelombang pada kedua sistem yang mungkin terjadi. Saat kedua kemungkinan ini disatukan dalam gelombang superposisi, maka terbentuk kombinasi linear dari keduanya. Ψ = χA(1)χB(2) + χA(2)χB(1) …………………………………… (3) Fungsi di atas merupakan fungsi gelombang untuk ikatan H-H. Kedua fungsi ini berinterferensi konstruktif sehingga terjadi kenaikkan amplitudo di daerah fungsi gelombang dalam nukleus (inti). Berdasarkan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa pada teori ikatan valensi, fungsi gelombang dibentuk oleh pasangan spin dari elektron-elektron pada kedua orbital atomatom yang berikatan. Ikatan yang terjadi dari tumpang tindih ini adalah ikatan sigma (б). Contoh ikatan sigma dari orbital s dan p yang saling tumpang tindih dapat dituliskan sebagai berikut:



Teori ikatan valensi dapat juga diterapkan dalam molekul poliatomik dengan teori hibridisasi molekul. Penerapan teori ikatan valensi untuk menjelaskan tentang hibridisasi sp 3 misalnya pada molekul metana (CH4). Metana memiliki atom pusat karbon (C) yang berkoordinasi secara terahedral. Oleh karena itu, atom karbon pusat memiliki orbital-orbital yang simetri tepat dengan 4 atom hidrogen. Konfigurasi dari karbon adalah sebagai berikut:



Molekul CH4 berbentuk tetrahedral. Hal ini disebabkan adanya tumpang tindih 4 orbital hibrida sp3 dari atom C dengan 4 orbital 1s dari 4 atom H yang mengarah pada pojok-pojok tetrahdral.



2. Teori Orbital Orbital molekular merupakan hasil tumpang-tindih dan penggabungan orbital atomik pada molekul. Menurut pendekatan lurus (linear combination), jumlah molekuler yang bergabung sama dengan orbital atomik yang bergabung. Dua atom yang bergabung masing-masing mempunyai satu orbital atomik dan akan dihasilkan dua orbital molekuler. Salah satu merupakan kombinasi penjumlahan dari kedua orbital atomik yang saling menguatkan dan lainnya merupakan kombinasi pengurangan yang saling meniadakan. Kombinasi penjumlahan menghasilkan orbital molekuler ikat (bonding) yang mempunyai energi lebih rendah, sedangkan kombinasi pengurangan menghasilkan orbital molekuler anti-ikat (anti-bonding).



Orbital molekuler ikat (bonding) yaitu orbital dengan rapatan elektron ikat terpusat yang mendekat pada daerah antara kedua inti atom yang bergabung dan akan lebih stabil. Orbital molekuler anti-ikat (anti-bonding) yaitu orbital dengan rapatan elektron ikat terpusat yang menjauh dari daerah antara inti atom yang bergabung dan bersifat kurang stabil. Penempatan elektron dalam orbital molekul ikatan menghasilkan ikatan kovalen yang stabil, sedangkan penempatan elektron dalam orbital molekul anti-ikatan menghasilkan ikatan kovalen yang tidak stabil. Orbital ikatan yang dihasilkan disebut orbital non-ikat (non-bonding) jika pada daerah tumpang-tindih terdapat orbital atomik yang tidak bereaksi dalam pembentukan ikatan.



Kerapatan elektron dalam orbital molekul ikatan lebih besar di antara inti atom yang berikatan, sedangkan dalam orbital molekul anti-ikatan, kerapatan elektron mendekati nol di antara inti. Pembentukan orbital molekul ikatan berkaitan dengan interferensi konstruktif, dimana interferensi konstruktif memperbesar amplitudo. Pembentukan orbital molekul anti-ikatan berkaitan dengan interferensi destruktif, dimana interferensi destruktif meniadakan amplitudo. Interaksi konstruktif dan interaksi destruktif antara dua orbital 1s dalam molekul H2 mengarah



pada pembentukan ikatan sigma (σ1s) dan pembentukan anti-ikatan sigma (σ*1s) (Chang, 2004).



Teori orbital molekul menggunakan kombinasi linear orbital-orbital atom untuk membentuk orbital-orbital molekul. Orbital molekul merupakan sebuah orbital dari persamaan Schrödinger yang melibatkan beberapa inti atom. Jika orbital molekul merupakan tipe orbital yang elektronelektronnya memiliki kebolehjadian lebih tinggi berada di antara dua inti daripada di lokasi lainnya, maka orbital ini merupakan orbital ikat dan akan cenderung menjaga kedua inti bersama. Jika elektron-elektron cenderung berada di orbital molekul yang berada di lokasi lainnya, maka orbital ini adalah orbital anti-ikat dan akan melemahkan ikatan. Elektronelektron yang berada pada orbital bukan-ikatan cenderung berada pada orbital yang paling dalam (hampir sama dengan orbital atom) dan diasosiasikan secara keseluruhan pada satu inti, elektron-elektron ini tidak saling menguatkan maupun melemahkan kekuatan ikatan.



Orbital molekul sigma (ikatan atau anti-ikatan) kerapatan elektronnya terkonsentrasi secara simetris di sekitar garis antara kedua inti atom-atom yang berikatan, dua elektron dalam orbital molekul sigma membentuk ikatan sigma. Orbital molekul pi (ikatan atau anti-ikatan) kerapatan elektronnya terkonsentrasi di atas dan di bawah garis imajiner yang menghubungkan kedua inti atom yang berikatan, dua elektron dalam orbital molekul pi membentuk ikatan pi. Ikatan rangkap dua hampir selalu terdiri atas ikatan sigma dan ikatan pi, ikatan rangkap selalu berupa ikatan sigma dengan dua ikatan pi (Chang, 1987).



Fungsi gelombang elektron dalam suatu atom disebut orbital atom, karena kebolehjadian ditemukannya elektron dalam orbital molekul sebanding dengan kuadrat fungsi gelombang. Suatu fungsi gelombang mempunyai daerah yang mempunyai amplitudo positif dan negatif yang disebut dengan cuping. Tumpang tindih cuping positif dengan positif atau negatif dengan negatif dalam molekul akan memperkuat satu sama lain membentuk ikatan, tetapi cuping positif dengan negatif akan meniadakan satu sama lain tidak membentuk ikatan. Besarnya efek interferensi ini mempengaruhi besarnya integral tumpang tindih dalam kimia kuantum.



Orbital atom bertumpang tindih menghasilkan orbital molekul dalam pembentukan molekul, yaitu fungsi gelombang elektron dalam molekul. Setiap baris dalam diagram orbital molekul menggambarkan sebuah orbital molekul yang terisi oleh elektron. Orbital molekul ini mencakup seluruh molekul, sehingga dapat diasumsikan bahwa elektron akan terisi pada



orbital molekul sama seperti elektron terisi pada orbital atom dengan mengikuti aturan aufbau, kaidah Hund, serta larangan Pauli. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menggambarkan diagram orbital molekul untuk molekul diatomik adalah Linear Combination of Atomic Orbitals approach (LCAO/Pendekatan Kombinasi Linear Orbital Atom). Pendekatan diatas meliputi hal-hal sebagai berikut: Orbital molekul terbentuk dari overlap atau tumpang tindih orbital atom. Orbital-orbital atom dengan energi yang sama dapat berinteraksi pada tingkat enegi yang sama. Dua orbital yang saling tumpang tindih saling berinteraksi membentuk dua orbital molekul, yaitu Bonding Molecular Orbital (Orbital Molekul Ikatan) dan Anti-bonding Molecular Orbital (Orbital Molekul Anti-ikatan). Kasus paling sederhana misalnya pada orbital molekul yang dibentuk dari orbital atom A dan B. Orbital molekul ikatan dibentuk antara A dan B apabila syarat-syarat berikut ini terpenuhi, yaitu: Cuping orbital atom penyusunnya cocok untuk tumpang tindih. Tanda positif atau negatif cuping yang bertumpang tindih sama. Tingkat energi orbital-orbital atomnya dekat. Tingkat energi orbital molekul ikatan lebih rendah, sementara tingkat energi orbital molekul anti ikatan lebih tinggi dari tingkat energi orbital atom penyusunnya. Semakin besar selisih energi orbital ikatan dan anti ikatan, semakin kuat ikatannya. Apabila tidak ada interaksi ikatan dan anti ikatan antara A dan B, orbital molekul yang dihasilkan adalah orbital non ikatan. Elektron menempati orbital molekul dari energi terendah ke energi yang tertinggi. Orbital molekul yang terisi dan mempunyai energi tertinggi disebut HOMO (highest occupied molecular orbital) dan orbital molekul kosong yang mempunyai energi terendah disebut LUMO (lowest unoccupied molecular orbital). Dua atau lebih orbital molekul yang berenergi sama disebut orbital terdegenerasi (degenerate).



Atom-atom yang lebih besar akan begabung membentuk molekul diatomik (seperti O2, F2, atau Cl2) maka akan lebih banyak orbital atom yang berinteraksi. Menurut pendekatan dengan LCAO, diasumsikan bahwa hanya orbital atom dengan energi yang sama yang dapat berinteraksi. Orbital 2s hanya berinteraksi dengan orbital 2s dari atom lainnya, orbital 2p hanya berinteraksi dengan orbital 2p dari atom lainnya, dan begitu seterusnya. Seperti halnya pada atom hidrogen, orbital 1s dari satu atom saling tumpang tindih dengan orbital 1s dari atom yang lain untuk membentuk satu orbital σ1s dan satu orbital σ*1s. Bentuknya akan sama seperti yang dibentuk oleh orbital 1s hidrogen. Orbital 2s sari satu atom akan saling tumpang tindih



dengan orbital 2s dari atom lain untuk membentuk satu orbital σ2s dan satu orbital σ*2s. Bentuk dari kedua orbital molekul ini akan sama dengan orbital σ1s dan orbital σ*2s, namun memiliki tingkat energi yang lebih tinggi.



Aturan konfigurasi elektron yang dapat digunakan untuk memahami kestabilan orbital molekul adalah sebagai berikut: Jumlah orbital molekul yang terbentuk selalu sama dengan jumlah orbital atom yang bergabung. Semakin stabil orbital molekul ikatan, semakin kurang stabil orbital molekul anti-ikatan yang berkaitan. Pengisian orbital molekul dimulai dari tingkat energi rendah ke tingkat energi tinggi. Molekul yang stabil, jumlah elektron dalam orbital molekul ikatannya selalu lebih banyak daripada dalam orbital molekul anti-ikatan karena pengisian elektron dalam orbital molekul ikatan yang dimulai dari yang energi lebih rendah terlebih dahulu. Elektron ketika ditambahkan ke orbital molekul dengan energi yang sama, susunan yang paling stabil diramalkan aoleh aturan Hund, yaitu elektron memasuki ke orbital-orbital molekul ini dengan spin sejajar. Jumlah elektron dalam orbital molekul sama dengan jumlah semua elektron pada atom-atom yang berikatan. Senyawa diatomik homointi terdiri dari dua unsur yang memiliki inti atom yang identik. Atomatom yang sama akan memiliki tingkat energi yang sama. Orbital-orbital dinamakan sigma (σ) atau pi (π) sesuai dengan karakter orbitalnya. Suatu orbital sigma mempunyai simetri rotasi sekeliling sumbu ikatan, dan orbital pi mempunyai bidang simpul. Oleh karena itu, ikatan sigma dibentuk oleh tumpang tindih orbital s-s, p-p, s-d, p-d, dan d-d, dan ikatan pi dibentuk oleh tumpang tindih orbital p-p, p-d, dan d-d. Apabila dua fungsi gelombang dari dua atom dinyatakan dengan φA dan φB, orbital molekul yang terbentuk merupakan kombinasi linear orbital atom (linear combination of the atomic orbitals (LCAO)). Dalam molekul hidrogen (H2), tumpang tindih orbital 1s masing-masing atom hidrogen membentuk orbital ikatan σg apabila cupingnya mempunyai tanda yang sama dan anti-ikatan σu bila bertanda berlawanan serta dua elektronnya mengisi orbital ikatan σg.



Terbentuknya orbital molekuler pada molekul H2 dengan metoda kombinasi linear orbital atomik (linear combination of the atomic orbitals (LCAO) adalah sebagai berikut: Ψ = N (Ψx + Ψy) ………………………………………….. (4)



Ψ* = N (Ψx + Ψy) …………………………………………. (5) Dimana: Ψ



= fungsi gelombang untuk orbital molekuler



Ψx danΨy



= fungsi gelombang orbital 1s hidrogen untuk atom x dan y



N



= konstanta normaliasi



Berdasarkan persamaan tersebut dapat diperoleh peluang ditemukannya sebuah elektron dengan cara mengkuadratkan persamaan gelombang Ψ. Ψ2 = N2 (Ψx2 + Ψy2 + 2Ψx Ψy………………………………………….. (6) Ψx2



= menunjukkan peluang menemukan elektron di sekeliling atom x



Ψy2



= menunjukkan peluang menemukan elektron di sekeliling atom y



2Ψx + Ψy



= menunjukkan peningkatan elektron pada daerah antara kedua inti



Molekul oksigen (O2) dengan konfigurasi 8O= 1s2 2s2 2p4.



Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa selain adanya orbital atom (samping), terdapat juga orbital molekul (tengah). Elektron-elektron pada orbital molekul merupakan jumlah dari elektron-elektron yang terdapat di dalam masing-masing orbital kulit valensi unsur penyusunnya. Orbital s akan membentuk ikatan sigma dan orbital p akan membentuk ikatan pi. Orbital dengan tanda asterik (*) merupakan orbital anti-ikatan sehingga suatu molekul menjadi tidak stabil. Semakin banyak elektron pada orbital anti-ikatan, maka suatu molekul akan semakin tidak stabil. Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa gas O2 merupakan gas paramagnetik karena terdapat elektron yang tidak mengisi orbital π*px dan π*py secara penuh, sehingga konfigurasi elektron valensi molekul O2 adalah:



(σ2s)2(σ*2s)2(σ2pz)2(π2px)2(π2py)2(π*2px)1(π*2py)1 atau (σ2s)2(σ*2s)2(σ2p)2( π2p)4(π*2p)2



3. Model Ikatan Orbital Overlap/ tumpang tindih orbital Tumpang tindih orbital adalah konsentrasi orbital pada atom yang berdekatan di wilayah ruang yang sama. Tumpang tindih orbital dapat menyebabkan pembentukan ikatan. Pentingnya tumpang tindih orbital ditekankan oleh Linus Pauling untuk menjelaskan sudut ikatan molekul yang diamati melalui eksperimen dan menjadi dasar konsep hibridisasi orbital. Karena orbital s bulat (dan tidak memiliki arah) dan orbital p berorientasi 90 ° satu sama lain, diperlukan teori untuk menjelaskan mengapa molekul seperti metana (CH 4 ) mengamati sudut ikatan 109,5 °. Pauling mengemukakan bahwa orbital s dan p pada atom karbon dapat bergabung membentuk hibrida (sp 3 dalam kasus metana) yang diarahkan ke atom hidrogen. Orbital hibrid karbon memiliki tumpang tindih yang lebih besar dengan orbital hidrogen, dan oleh karena itu dapat membentuk ikatan C – H yang lebih kuat Ukuran kuantitatif tumpang tindih dua orbital atom Ψ A dan Ψ B pada atom A dan B adalah integral tumpang tindihnya



4. Hibridasi Orbital Atom Hibridisasi merupakan sebuah konsep bersatunya orbital-orbital atom membentuk orbital hibrid yang baru yang sesuai dengan penjelasan kualitatif sifat ikatan atom. Konsep orbitalorbital yang terhibridisasi sangatlah berguna dalam menjelaskan bentuk orbital molekul dari sebuah molekul. Konsep ini merupakan bidang tak terpisahkan dari teori ikatan valensi. Teori hibridisasi dipasarkan oleh kimiawan Linus Pauling[2] dalam menjelaskan struktur molekul seperti metana (CH4). Secara historis, konsep ini dikembangkan untuk sistem-sistem kimia yang sederhana, namun pendekatan ini selanjutnya diaplikasikan lebih lapang, dan sekarang ini dianggap sbg sebuah heuristik yang efektif untuk merasionalkan struktur senyawa organik. Teori hibridisasi tidaklah sepraktis teori orbital molekul dalam hal aturan kuantitatif. Masalahmasalah pada hibridisasi terlihat jelas pada ikatan yang melibatkan orbital d, seperti yang terdapat pada kimia koordinasi dan kimia organologam. Walaupun skema hibridisasi pada logam transisi bisa digunakan, ia umumnya tidak akurat. Sangatlah penting untuk dicatat bahwa orbital merupakan sebuah model representasi dari tingkah laku elektron-elektron dalam molekul. Dalam kasus hibridisasi yang sederhana, pendekatan ini didasarkan pada orbital-orbital atom hidrogen. Orbital-orbital yang terhibridisasikan diasumsikan sbg gabungan dari orbital-orbital atom yang bertumpang tindih satu sama yang lain dengan proporsi yang bervariasi. Orbital-orbital hidrogen digunakan sbg



dasar skema hibridisasi karena ia merupakan keliru satu dari sedikit orbital yang persamaan Schrödingernya memiliki penyelesaian analitis yang dikenal. Orbital-orbital ini kesudahan diasumsikan terdistorsi sedikit untuk atom-atom yang lebih berat seperti karbon, nitrogen, dan oksigen. Dengan asumsi-asumsi ini, teori hibridisasi barulah bisa diaplikasikan. Perlu dicatat bahwa kita tidak memerlukan hibridisasi untuk menjelaskan molekul, namun untuk molekulmolekul yang terdiri dari karbon, nitrogen, dan oksigen, teori hibridisasi menjadikan penjelasan strukturnya lebih gampang. Teori hibridisasi sering digunakan dalam kimia organik, biasanya digunakan untuk menjelaskan molekul yang terdiri dari atom C, N, dan O (kadang kala juga P dan S). Penjelasannya dimulai dari bagaimana sebuah ikatan terorganisasikan dalam metana. Hibrid sp3 Hibridisasi menjelaskan atom-atom yang berikatan dari sudut pandang sebuah atom. Untuk sebuah karbon yang berkoordinasi secara tetrahedal (seperti metana, CH 4), karenanya karbon haruslah memiliki orbital-orbital yang memiliki simetri yang tepat dengan 4 atom hidrogen. Konfigurasi kondisi dasar karbon merupakan 1s2 2s2 2px1 2py1 atau lebih gampang dilihat:



Teori ikatan valensi memprediksikan, sesuai pada keberadaan dua orbital p yang terisi setengah, bahwa C akan membentuk dua ikatan kovalen, yaitu CH2. Namun, metilena merupakan molekul yang sangat reaktif (lihat pula: karbena), sehingga teori ikatan valensi saja tidak cukup untuk menjelaskan keberadaan CH4. Lebih lanjut lagi, orbital-orbital kondisi dasar tidak bisa digunakan untuk berikatan dalam CH4. Walaupun eksitasi elektron 2s ke orbital 2p secara teori mengijinkan empat ikatan dan sesuai dengan teori ikatan valensi (adalah aci untuk O2), hal ini berarti akan aci beberapa ikatan CH4 yang memiliki energi ikat yang berlainan oleh karena perbedaan aras tumpang tindih orbital. Gagasan ini telah dibuktikan keliru secara eksperimen, setiap hidrogen pada CH 4 bisa dibiarkan lepas sama sekali dari karbon dengan energi yang sama. Untuk menjelaskan keberadaan molekul CH4 ini, karenanya teori hibridisasi digunakan. Langkah awal hibridisasi merupakan eksitasi dari satu (atau lebih) elektron:



Proton yang membentuk inti atom hidrogen akan menarik keliru satu elektron valensi karbon. Hal ini menyebabkan eksitasi, memindahkan elektron 2s ke orbital 2p. Hal ini meningkatkan pengaruh inti atom terhadap elektron-elektron valensi dengan meningkatkan potensial inti efektif. Kombinasi gaya-gaya ini membentuk fungsi-fungsi matematika yang baru yang dikenal sbg orbital hibrid. Dalam kasus atom karbon yang berikatan dengan empat hidrogen, orbital 2s (orbital inti hampir tidak pernah terlibat dalam ikatan) "bergabung" dengan tiga orbital 2p membentuk hibrid sp3 (dibaca s-p-tiga) dijadikan



Pada CH4, empat orbital hibrid sp3 bertumpang tindih dengan orbital 1s hidrogen, menghasilkan empat ikatan sigma. Empat ikatan ini memiliki panjang dan kuat ikat yang sama, sehingga sesuai dengan pengamatan.



sama dengan Sebuah pandangan alternatifnya merupakan dengan memandang karbon sbg anion C4−. Dalam kasus ini, semua orbital karbon terisi:



Bila kita menrekombinasi orbital-orbital ini dengan orbital-s 4 hidrogen (4 proton, H+) dan mengijinkan pemisahan maksimum selang 4 hidrogen (yakni tetrahedal), karenanya kita bisa melihat bahwa pada setiap orientasi orbital-orbital p, sebuah hidrogen tunggal akan bertumpang tindih sebesar 25% dengan orbital-s C dan 75% dengan tiga orbital-p C. HaL ini sama dengan persentase relatif selang s dan p dari orbital hibrid sp3 (25% s dan 75% p). Menurut teori hibridisasi orbital, elektron-elektron valensi metana seharusnya memiliki tingkat energi yang sama, namun spektrum fotoelekronnya [3] menunjukkan bahwa terdapat dua pita, satu pada 12,7 eV (satu pasangan elektron) dan saty pada 23 eV (tiga pasangan elektron). Ketidakkonsistenan ini bisa dijelaskan apabila kita menganggap keadaan penggabungan orbital tambahan yang terjadi ketika orbital-orbital sp3 bergabung dengan 4 orbital hidrogen.



Hibrid sp2 Senyawa karbon ataupun molekul yang lain bisa dijelaskan seperti yang dijelaskan pada metana. Misalnya etilena (C2H4) yang memiliki ikatan rangkap dua di selang karbonkarbonnya. Struktur Kekule metilena akan tampak seperti:



Ethene Lewis Structure. Each C bonded to two hydrogens and one double bond between them. Karbon akan melakukan hibridisasi sp2 karena orbtial-orbital hibrid hanya akan membentuk ikatan sigma dan satu ikatan pi seperti yang disyaratkan untuk ikatan rangkap dua di selang karbon-karbon. Ikatan hidrogen-karbon memiliki panjang dan kuat ikat yang sama. Hal ini sesuai dengan data percobaan. Dalam hibridisasi sp2, orbital 2s hanya bergabung dengan dua orbital 2p:



membentuk 3 orbital sp2 dengan satu orbital p tersisa. Dalam etilena, dua atom karbon membentuk sebuah ikatan sigma dengan bertumpang tindih dengan dua orbital sp2 karbon yang lain dan setiap karbon membentuk dua ikatan kovalen dengan hidrogen dengan tumpang tindih s-sp2 yang bersudut 120°. Ikatan pi selang atom karbon tegak lurus dengan bidang molekul dan dibuat oleh tumpang tindih 2p-2p (namun, ikatan pi boleh terjadi maupun tidak). Jumlah huruf p tidaklah seperlunya terbatas pada bilangan bulat, yakni hibridisasi seperti sp2.5 juga bisa terjadi. Dalam kasus ini, geometri orbital terdistorsi dari yang seharusnya. Sbg contoh, seperti yang dinyatakan dalam kaidah Bent, sebuah ikatan cenderung untuk memiliki huruf-p yang lebih banyak ketika ditujukan ke substituen yang lebih elektronegatif.



Hibrid sp



Ikatan kimia dalam senyawa seperti alkuna dengan ikatan rangkap tiga dijelaskan dengan hibridisasi sp.



Dalam model ini, orbital 2s hanya bergabung dengan satu orbital-p, menghasilkan dua orbital sp dan menyisakan dua orbital p. Ikatan kimia dalam asetilena (etuna) terdiri dari tumpang tindih sp-sp selang dua atom karbon membentuk ikatan sigma, dan dua ikatan pi tambahan yang dibuat oleh tumpang tindih p-p. Setiap karbon juga berikatan dengan hidrogen dengan tumpang tindih s-sp bersudut 180°.



5. Ikatan rangkap dan kasus spesial benzena Dilihat dari sejarah yang ada bahwa untuk pertama kalinya benzena diisolasi pada tahun 1825 oleh Michael Faraday dari residu berminyak yang tertimbun dalam pipa induk gas di London. Kemudian pada tahun 1834 ditetapkan rumus molekul benzena adalah C6H6. Struktur yang mula-mula diusulkan pada tahun 1865 tidak mengandung ikatan rangkap karena benzena tidak mudah mengalami reaksi adisi seperti pada alkena. Ikatan rangkap pada benzena berbeda dengan ikatan rangkap pada alkena. Ikatan rangkap pada alkena dapat mengalami reaksi adisi, sedangkan ikatan rangkap pada benzena tidak dapat diadisi, tetapi benzena dapat bereaksi secara substitusi. Contoh: Reaksi adisi : C2H4 + Cl2 → C2H4Cl2 Reaksi substitusi : C6H6 + Cl2 → C6H5Cl + HCl Agar tidak menyalahi tetravelensi karbon, pada tahun 1872 Friedrich August Kekule mengusulkan bahwa benzena mengandung tiga ikatan tunggal dan tiga ikatan rangkap yang berselang-seling. Berikut rumus struktur Benzena:



Rumus struktur dapat disederhanakan penulisannya menjadi:



Menurut Friedrich August Kekule, keenam atom karbon pada benzena tersusun secara siklik membentuk segienam beraturan dengan sudut ikatan masing-masing 120°. Ikatan antaratom karbon adalah ikatan rangkap dua dan tunggal bergantian (terkonjugasi). Analisis sinar-X terhadap struktur benzena menunjukkan bahwa panjang ikatan antaratom karbon dalam benzena sama, yaitu 0,139 nm. Adapun panjang ikatan rangkap dua C=C adalah 0,134 nm dan panjang ikatan tunggal C–C adalah 0,154 nm. Jadi, ikatan karbonkarbon pada molekul benzena berada di antara ikatan rangkap dua dan ikatan tunggal. Hal ini menggugurkan struktur dari Kekule. Berdasarkan hasil analisis sinar-X maka diusulkan bahwa ikatan rangkap pada molekul benzena tidak terlokalisasi pada karbon tertentu melainkan dapat berpindah-pindah (terdelokalisasi). Gejala ini dinamakan resonansi. Teori resonansi dapat menerangkan mengapa benzena sukar mengalami reaksi adisi. Sebab, ikatan rangkap dua karbon-karbon dalam benzena terdelokalisasi dan membentuk cincin yang kuat terhadap reaksi kimia sehingga tidak mudah diganggu. Pada suhu kamar, benzena berwujud cair dengan bau yang khas, tidak berwarna, bersifat racun, dan mudah terbakar. Titik didih benzena 80 °C dan titik bekunya 5,5 °C. Ikatan karbon-karbon pada benzena terdiri atas ikatan sigma ( σ ) dan ikatan phi ( π ). Menurut teori ini ikatan valensi orbital molekul terbentuk dari tumpang tindih orbital-orbital atom. Ikatan kovalen yang terbentuk dari tumpang tindih ujung dengan ujung disebut ikatan sigma ( σ ), sedangkan ikatan kovalen yang terbentuk dari tumpang tindih sisi dengan sisi disebut ikatan phi ( π ).



6. Teori ikatan valensi pada kompleks Teori ini menyatakan bahwa ikatan antara ligan dengan logam merupakan ikatan kovalen koordinasi, dengan pasangan elektron bebas yang disumbangkan oleh ligan. Logam pusat menyediakan orbital-orbital kosong yang telah mengalami hibridisasi untuk ditempati oleh PEB dari ligan. Jenis hibridisasi orbital menentukan bentuk geometris senyawa kompleks yang



terbentuk. Pembentukan ikatan dalam senyawa kompleks juga dapat ditinjau sebagai reaksi Asam-Basa Lewis, dimana ligan merupakan Basa Lewis yang memberikan PEB. Asumsi dari teori ikatan valensi: 1. Ion logam harus menyediakan jumlah orbital yang sama dengan bilangan koordinasinya untuk menyesuaikan elektron-elektron dari ligan 2. Ion logam menggunakan orbital hibrida s, p, dan d untuk menerima elektron dari ligan 3. Pembentukan ikatan п oleh donasi elektron dari orbital dxy, dyz, dan dz2 atom logam, tertuju dari aksis ke arah atom ligan yang memiliki orbital d kosong. 4. Aturan Hund diaplikasikan pada elektron dalam orbital nonbonding, kehadiran elektron yang tidak berpasangan pada kompleks menyebabkan paramagnetisme. • Jika dalam hibridisasi orbital d yang dilibatkan adalah orbital d yang berada di luar kulit dari orbital s dan p yang berhibridisasi, maka kompleks yang terbentuk disebut sebagai kompleks orbital luar, atau outer orbital complex. • Sebaliknya, jika dalam hibridisasi yang dilibatkan adalah orbital d di dalam kulit orbital s dan p yang berhibridisasi, maka kompleks tersebut dinamakan kompleks orbital dalam atau inner orbital complex.



Pembentukan ikatan melibatkan beberapa tahapan, meliputi promosi elektron; pembentukan orbital hibrida; dan pembentukan ikatan antara logam dengan ligan melalui overlap antara orbital hibrida logam yang kosong dengan orbital ligan yang berisi pasangan elektron bebas. Pada hibridisasi yang melibatkan orbital d, ada dua macam kemungkinan hibridisasi. Jika dalam hibridisasi orbital d yang dilibatkan adalah orbital d yang berada di luar kulit dari orbital s dan p yang berhibridisasi, maka kompleks yang terbentuk disebut sebagai kompleks orbital luar, atau outer orbital complex. Sebaliknya, jika dalam hibridisasi yang dilibatkan adalah orbital d di dalam kulit orbital s dan p yang berhibridisasi, maka kompleks tersebut dinamakan kompleks orbital dalam atau inner orbital complex. Umumnya kompleks orbital dalam lebih



stabil dibandingkan kompleks orbital luar, karena energi yang dilibatkan dalam pembentukan kompleks orbital dalam lebih kecil dibandingkan energi yang terlibat dalam pembentukan kompleks orbital luar. Untuk menghibridisasi orbital d yang berada di dalam orbital s dan p diperlukan energi yang lebih kecil, karena tingkat energinya tidak terlalu jauh. Contoh :  [Ni(CO)4]; memiliki struktur geometris tetrahedral Ni28



: [Ar] 3d8 4s2



: [Ar] 3d8



4s2



4p0



 Elektron pada orbital 4s mengalami promosi ke orbital 3d, sehingga orbital 4s kosong dan dapat mengalami hibridisasi dengan orbital 4p membentuk orbital hibrida sp3.



Ni28



: [Ar] 3d8



4s



4p



hibridisasi sp3



 Orbital hibrida sp3 yang telah terbentuk kemudian digunakan untuk berikatan dengan 4 ligan CO yang masing-masing menyumbangkan pasangan elektron bebas



[Ni(CO)4] : [Ar] 3d10



sp3



 Karena semua elektron berpasangan, maka senyawa bersifat diamagnetik  [Fe(CN)6]3-; memiliki bentuk geometris oktahedral Fe26



: [Ar] 3d6 4s2



Fe3+



: [Ar] 3d5 4s0



: [ Ar] 3d5



4s1



4p0



 Dua buah elektron pada orbital d yang semula tidak berpasangan dipasangkan dengan elektron lain yang ada pada orbital d tersebut, sehingga 2 orbital d yang



semula ditempati oleh kedua elektron tersebut kosong dan dapat digunakan untuk membentuk orbital hibridal d2sp3 Fe3+



: [Ar] hibridisasi d2sp3



 Karena orbital d yang digunakan dalam hibridisasi ini berasal dari orbital d yang berada disebelah dalam orbital s dan p, maka kompleks dengan orbital hibrida semacam ini disebut sebagai kompleks orbital dalam (inner orbital complex) [Fe(CN)6]3-



: [Ar] 3d6



d2sp3



 Orbital hibrida d2sp3 yang terbentuk diisi oleh pasangan elektron bebas dari ligan CN Dalam kompleks terdapat satu elektron yang tidak berpasangan, sehingga kompleks bersifat paramagnetik.  [Ni(CN)4]2-, memiliki bentuk geometris segiempat planar Ni28



: [Ar] 3d8 4s2



: [Ar] 3d8



Ni2+



4s2



4p0



: [Ar] membentuk orbital hibrida dsp3



 Salah satu elektron pada orbital d yang tidak berpasangan dipasangkan dengan elektron lain, sehingga salah satu orbital d kosong dan dapat digunakan untuk membentuk orbital hibrida dsp3 [Ni(CN4)]2-



: [Ar] 3d8



dsp3



 Semua elektron dalam kompleks ini berpasangan sehingga kompleks bersifat diamagnetik



Sebagian besar kompleks lebih memilih konfigurasi kompleks orbital dalam, karena energi yang diperlukan saat hibridisasi untuk melibatkan orbital d sebelah dalam lebih kecil dibandingkan energi yang diperlukan untuk melibatkan orbital d sebelah luar. Meskipun demikian, jika dilihat dari pengukuran momen magnetnya, beberapa kompleks ternyata berada dalam bentuk kompleks orbital luar. Contoh :  Ion [FeF6]3-, memiliki bentuk geometris oktahedral. Jika diasumsikan kompleks ini merupakan kompleks orbital dalam dengan hanya satu elektron yang tidak berpasangan, maka seharusnya momen magnet senyawa adalah sebesar 1,73 BM. Menurut hasil pengukuran, momen magnet ion [FeF6]3- adalah sebesar 6,0 BM, yang akan sesuai jika terdapat lima elektron tidak berpasangan. Berarti ion Fe 3+ dalam kompleks mengalami hibridisasi sp3d2 dengan melibatkan orbital d sebelah luar, dan disebut sebagai kompleks orbital luar (outer orbital complex). Fe26: [Ar] 3d6 4s2 Fe3+: [Ar] 3d5 4s0 : [Ar] 3d5



4s1



4p0



4d0



membentuk orbital hibrida sp3d2



Elektronetralitas dan Backbonding Dalam TIV, reaksi pembentukan kompleks merupakan reaksi Asam Basa Lewis. Atom logam sebagai asam Lewis mendapatkan elektron dari ligan yang bertindak sebagai basa Lewis, sehingga mendapatkan tambahan muatan negatif. Dengan demikian densitas elektron pada atom logam akan menjadi semakin besar sehingga kompleks menjadi semakin tidak stabil. Pada kenyataannya senyawa kompleks merupakan senyawa yang stabil, sehingga diasumsikan walaupun mendapatkan tambahan muatan negatif dari PEB yang didonorkan oleh ligan, atom pusat memiliki muatan yang mendekati nol atau hampir netral. Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menerangkan hal ini : (1) Elektronetralitas Ligan donor umumnya merupakan atom dengan elektronegativitas yang tinggi, sehingga atom ligan tidak memberikan keseluruhan muatan negatifnya, sehingga elektron ikatan tidak terdistribusi secara merata antara logam dengan ligan (2) Backbonding



Pada atom logam dengan tingkat oksidasi yang rendah, kerapatan elektron diturunkan melalui pembentukan ikatan balik (backbonding) atau resonansi ikatan partial. Ionpusat memberikan kembali pasangan elektron kepada ligan melalui pembentukan ikatan phi (π).



7. Struktur senyawa kompleks Senyawa kompleks merupakan senyawa yang tersusun dari ion logam dengan satu atau lebih ligan. Interaksi antara logam dengan ligan - ligan dapat diibaratkan seperti reaksi asam-basa lewis, di mana basa lewis merupakan zat yang mampu memberikan satu atau lebih pasangan elektron (ligan). 



Ion/atom pusat :



Ion/atom bagian dari senyawa koordinasi yang berada di pusat (bagian tengah) baik dalam keadaan netral ataupun bermuatan positif bertindak sebagai penerima pasangan elektron (Asam Lewis), umumnya berupa logam (terutama logam-logam transisi).Logam transisi memiliki subkulit d atau f yang tidak terisi penuh atau mudah membentuk ion-ion dengan subkulit d atau f yang tidak terisi penuh. Ini menyebabkan beberapa sifat khas, yaitu: • Memiliki warna yg unik • Pembentukan senyawa paramagnetik • Aktivitas katalitik • Cenderung membentuk ion kompleks ikatan yang terjadi antara logan dengan ligan umumnya merupakan ikatan kovalen koordinat, sehingga senyawa kompleks disebut juga senyawa koordinasi. Sifat logam transisi blok d sangat berbeda antara logam deret pertama (3d) dan deret kedua (4d), walaupun perbedaan deret kedua dan ketiga (5d) tidak terlalu besar. Jari-jari logam dari skandium sampai tembaga (166 sampai 128 pm) lebih kecil daripada jari-jari itrium, Y, sampai perak, Ag, (178 sampai 144 pm) atau jari-jari, lantanum, sampai emas (188 sampau 146 pm). Lebih lanjut,senyawa logam transisi deret pertama jarang yang berkoordinasi 7, sementara logam transisi deret kedua dan ketiga dapat berkoordiasi 7-9. Logam transisi deret kedua dan ketiga berbilangan oksida lebih tinggi lebih stabil dari pada keadaan oksidasi tinggi logam transisi deret pertama. Contohnya meliputi tungsten heksakhlorida, WCl6, osmium tetroksida, OsO4, dan platinum heksafluorida, PtF6. Senyawa logam transisi deret pertama dalam bilangan oksidasi tinggi adalah oksidator kuat dan oleh karena itu mudah direduksi. Sifat logam transisi blok d tidak berbeda tidak hanya dalam posisi atas dan bawah di tabel periodik tetapi juga di golongan kiri dan kanan. Golongan 3 sampai 5 sering dirujuk sebagai logam transisi awal dan logam-logam ini biasanya oksofilik dan halofilik. Dengan tidak hadirnya ligan jembatan, pembentukan ikatan



logam-logam sukar untuk unsur-unsur ini. Senyawa organologam logam-logam ini diketahui sangat kuat mengaktifkan ikatan C-H dalam hidrokarbon. Logam transisi akhir dalam golongan-golongan sebelah kanan sistem periodik biasanya lunak dan memiliki keaktifan besar pada belerang atau selenium. Logam transisi blok d yang memiliki orbital s, p, dan d dan yang memiliki n elektron di orbital d disebut dengan ion berkonfigurasi dn. Misalnya, Ti3+ adalah ion d1, dan Co3+ adalah ion d6 (Saito, T.1996). 



Ligan (gugus pelindung) :



atom/ion bagian dari senyawa koordinasi yang terikat langsung dengan atom pusat dikenal sebagai atom donor,contoh: nitrogen dalam ion kompleks [Cu(NH3)4]2+ merupakan atom donor. Deret spektrokimia : Ligan kuat



Ligan sedang



Ligan lemah



CO, CN- > phen > NO2- > en > NH3 > NCS- > H2O > F- > RCOO- > OH- > Cl- > Br- > I-



Senyawa-Senyawa kompleks memiliki bilangan koordinasi yang dapat diartikan sebagai bilangan yang dapat menunjukkan jumlah atom donor diseputar atom logam pusat dalam ion kompleks.Ion-ion kompleks memiliki bilangan koordinat yang bermacam – macam Contoh : Ion Kompleks Bilangan Koordinasi Ag [NH3]+ 2 [Sn Cl3]- 3 [Fe Cl4]- 4 [Ni(CN)5]3- 5 [Fe(CN)6]3- 6



Ion dengan bilangan koordinasi 2 dan lebih besar dari 6 seperti 7,8 sangat jarang ditemukan.Yang paling umum dibahas adalah ion kompleks yang bilangan koordinasi 4 dan 6.



Kestabilan Ion Kompleks Reaksi kompleks diklasifikasikan kedalam reaksi substitusi ligan, reaksi konversi ligan dan reaksi redoks logam. Tetapi dalam hal ini yang dibahas adalah reaksi substitusi ligan. Ion logam mengalami reaksi pertukaran (substitusi) ligan dalam larutan yang secara umum dapat ditulis dalam bentuk persamaan : Ln Mx + Y → Ln My + X Laju reaksi ini sangat beragam, tergantung pada jenis ion logam dan ligannya.



Stabilitas Ion Kompleks Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas ion kompleks (ditinjau dari aspek ion pusatnya) antara lain : a. Rapat muatan (perbandingan muatan dengan jari-jari atom) Stabilitas ion kompleks bertambah jika rapat muatan ion pusat bertambah b. CFSE (energi psntabilan medan ligan) Stabilitas ion kompleks bertambah dengan adanya CFSE, karena CFSE pada dasarnya merupakan energi penstabilan tambahan yang diakibatkan oleh terjadinya splitting orbital d. CFSE dihitung dengan pedoman penambahan CFSE sebesar 0,4∆o untuk setiap penempatan 1 e pada orbital t2g dan pengurangan CFSE sebesar 0,6∆o untuk setiap penempatan 1 e pada orbital eg. c. Polarisabilitas Ion-ion logam klas a (asam keras) yaitu yang memiliki muatan tinggi dan ukuran kecil akan membentuk kompleks ysng stabil jika ligannya berasal dari basa keras, yaitu yang elektronegatifitasya besar dan berukuran kecil



8. Teori medan kristal dan sifat kemagnetan Teori medan kristal (Crystal Field Theory) adalah sebuah model yang menjelaskan struktur elektronik dari senyawa logam transisi yang semuanya dikategorikan sebagai kompleks koordinasi. CFT dikembangkan oleh fisikawan yang bernama Hans Bethe dan John Hasbrouck van Vleck pada tahun 1930-an. Dalam Teori Medan Kristal, berlaku beberapa anggapan berikut : • Ligan dianggap sebagai suatu titik muatan • Tidak ada interaksi antara orbital logam dengan orbital ligan • Orbital d dari logam kesemuanya terdegenerasi dan memiliki energi yang sama, akan tetapi, jika terbentuk kompleks, maka akan terjadi pemecahan tingkat energi orbital d tersebut akibat adanya tolakan dari elektron pada ligan, pemecahan tingkat energi orbital d ini tergantung orientasi arah orbital logam dengan arah datangnya ligan.



Ikatan pada Senyawa Koordinasi Teori Medan Kristal (CFT) Kelima orbital d tidak identik, dan dapat dibagi menjadi dua kelompok; orbital t2g dan eg. • Orbital-orbital t2g –dxy; dxz; dan dyz – memiliki bentuk yang sama dan memiliki orientasi arah di antara sumbu x, y, dan z. • Orbital-orbital eg –dx 2- y2 dan dz 2– memiliki bentuk yang berbeda dan terletak di sepanjang sumbu.



Bentuk orbital d



• Orbital dxy, dxz, dan dyz disebut dengan orbital t2g • Orbital dx2-y2 dan dz2 disebut dengan orbital eg • Perbedaan tingkat energi diantara dua kelompok orbital dinyatakan dengan 10Dq atau ∆0. • P (pair energy) adalah energi pemasangan spin elektron • Tingkat energi rata-rata 5 orbital d disebut barycenter • Energi yang terlibat pada penstabilan suatu kompleks disebut dengan energi penstabilan medan kristal (CFSE, Crystal Field Stabilization Energy)



Kompleks Oktahedral



• Pada kompleks oktahedral, logam berada di pusat oktahedron dengan ligan di setiap sudutnya. • Akibatnya terjadi splitting, yakni kenaikan tingkat energi orbital t2g lebih tinggi dibanding kenaikan tingkat energi orbital eg



Sifat Magnetik Kompleks Oktahedral • Besarnya harga ∆0 ditentukan oleh jenis ligan yang terikat dengan logam pusat. • Untuk ligan medan lemah (weak field ligand), perbedaan selisih energi antara orbital t2g dan eg yang terjadi dalam splitting sangat kecil, dengan demikian elektron-elektron akan mengisi kelima orbital tanpa berpasangan terlebih dahulu. Kompleks dengan ligan medan lemah semacam ini disebut sebagai kompleks spin tinggi (high spin complex). Contoh: [Fe(H2O)6]3+ dan [Fe(CN)6]3- →paramagnetik



Medan kuat Ion kompleks dengan spin rendah



Medan lemah Ion kompleks dengan spin tinggi • Pada kompleks oktahedral, kompleks dengan atom yang sama dapat berada pada medan kuat dan medan lemah sehingga memiliki sifat magnetik yang berbeda. Contoh atom pusat Co3+: [CoF6]3- dan [Co(NH3)6]3+



Medan lemah, paramagnetik



Medan kuat, diamagnetik



Kompleks Tetrahedral



• Pada kompleks tetrahedral, empat ligan mendekati atom pusat melalui pojok-pojok kubus. • Interaksi ligan dengan orbital e lebih kuat dibanding dengan orbital t2



• Akibatnya terjadi splitting, dimana kenaikan tingkat energi orbital eg lebih tinggi dibanding kenaikan tingkat energi orbital t2g • Karena interaksi tidak langsung antara empat ligan dengan orbital- orbital d atom pusat menyebabkan medan tetrahedral yang dihasilkan merupakan medan lemah. • Contoh: • [FeCl4]2-



Kompleks Bujur Sangkar • Kompleks bujur sangkar dapat dianggap sebagai turunan dari kompleks oktahedral. Kompleks ini terjadi apabila 2 buah ligan yang posisinya berlawanan sepanjang sumbu z dijauhkan dari atom pusat sampai jarak tak berhingga.



• Semua orbital atom pusat yang mengandung komponen z yaitu orbital-orbital dxz, dyz, dan dz2 tingkat energinya berkurang atau mengalami penstabilan, relatif bila dibandingkan dengan tingkat energi pada medan oktahedral. Sebaliknya, orbital-orbital yang tidak memiliki komponen z yaitu orbital dxy dan dx2-y2 tingkat energinya bertambah atau mengalami pentidakstabilan • Pada umumnya kompleks bujur sangkar memiliki medan kuat sehingga pemisahan energi dz2 dengan dx2-y2 adalah besar dan mengakibatkan kompleks spin rendah (low spin).



• Contoh: Kompleks [Ni(CN)4]2• Kompleks ini memiliki atom pusat Ni2+ dengan konfigurasi elektron Ni2+ = [Ar] 3d8. Kompleks ini berwarna kuning, memiliki struktur bujursangkar, bersifat diamagnetik. • Pada pengisian elektron ke orbital-orbital d, elektron kelima tidak ditempatkan pada orbital dx2-y2 karena harga 10Dq>P. Sifat diamagnetik adalah karena semua elektron pada orbital berpasangan.



Deret Spektrokimia Deret spektrokimia (spectrochemical series) adalah urutan yang dihasilkan untuk sejumlah ligan dari yang terlemah sampai yang terkuat. Pengukuran sifat magnetik dan spektrum absorpsi dari kompleks logam transisi dapat memberi peringkat ligan dari yang paling lemah



berinteraksi dengan ion logam (dengan demikian memberikan pembelahan medan kristal terkecil) sampai yang berinteraksi paling kuat dan memberikan pembelahan paling besar.



Telah ditemukan melalui studi eksperimen mengenai spektra sejumlah besar kompleks yang mengandung berbagai ion logam dan berbagai ligan, bahwa ligan-ligan dapat ditata dalam deret menurut kapasitasnya untuk menyebabkan pemisahan orbital d . Deret tersebut bagi ligan-ligan yang umum, adalah I- < Br - < Cl - < F - < OH - < C2O4 2- < H2O < - NCS - < py < NH3 < en < bipy < o-phen < NO2- < CN -. Gagasan dari deret tersebut adalah bahwa pemisahan orbital d, dan karenanya frekuensi-frekuensi relatif pita-pita serapan sinar tampak bagi dua kompleks yang mengandung ion logam sama tetapi ligan yang berbeda, dapat diramalkan dari deret tersebut, apa pun ion logam tertentu tadi. Tentu saja tidak dapat di harapkan aturan sederhana dan berguna itu dapat diterapkan secara menyeluruh. Persyaratan berikut perlu diingat dalam menerapkannya.



Deret didasarkan atas data bagi ion-ion logam dalam tingkat oksidasi yang umum. Karena sifat alami interaksi logam-logam dalam tingkat oksidasi logam yang luar biasa tinggi atau luar biasa rendah, dalam beberapa hal mungkin berbeda dari interaksi tersebut dalam logam dengan tingkat, oksidasi normal, pelanggaran yang menyolok dari urutan yang diperlihatkan bisa terjadi bagi kompleks-kompleks dalam tingkat oksidasi yang tidak biasa. Bahkan bagi ion-ion logam dalam tingkat oksidasi normal kadang-kadang ditemukan suatu pembalikan urutan dari anggota yang bersebelahan, atau hampir bersebelahan dalam deret.



Teori VSEPR Dalam penentuan bentuk atau geometri molekul, perlu diperhitungkan keberadaan elektron takberikatan dan elektron valensi ketika pembentukan ikatan. Teori ini disebut juga teori domain elektron, suatu pengembangan dari teori VSEPR (Valence Shell Electron Pair Repulsion).



Pada teori ini terdapat dua jenis domain, yaitu domain elektron bebas untuk pasangan elektron bebas dan domain elektron ikatan untuk elektron dalam ikatan, dimana satu pasang elektron bebas dianggap satu domain elektron.



Satu ikatan baik itu tunggal, rangkap dua maupun tiga juga dianggap satu domain elektron. Dari jumlah total domain inilah didapatkan bentuk-bentuk dasar untuk berbagai molekul seperti berikut:



A. Prinsip-prinsip dasar dari teori domain elektron Selain itu prinsip-prinsip dasar dari teori domain elektron adalah sebagai berikut 



Antardomain elektron pada kulit luar atom pusat saling tolak-menolak, sehingga domain elektron akan mengatur diri sedemikian rupa untuk meminimalisir gaya tolakmenolak ini.







Pasangan elektron bebas (PEB) mempunyai gaya tolak yang sedikit lebih kuat daripada pasangan elektron ikatan.



Hal itu terjadi karena pasangan elektron bebas hanya terikat pada satu atom, sehingga gerakannya lebih leluasa. Urutan kekuatan tolak-menolak diantara pasangan elektron adalah sebagai berikut. Tolakan antar PEB > tolakan antara PEB dan pasangan elektron ikatan > tolakan antar pasangan elektron ikatan



B. Menentukan geometri molekul Untuk menentukan geometri molekul ikuti langkah-langkah berikut ini: 1.



Menentukan tipe molekul. Atom pusat dilambangkan dengan A, elektron ikatan dengan X dan setiap domain elektron



bebas



dinyatakan



dengan



E.



Caranya



berbeda



tergantung



jenis



molekul/senyawanya. a. Senyawa biner berikatan tunggal, maka setiap ikatan hanya menggunakan satu elektron dari atom pusat. Maka, jumlah PEB (E) dapat ditentukan: E=



(𝐸𝑉−𝑋) 2



Dimana EV = jumlah elektron valensi atom pusat X = jumlah atom yang terikat pada atom pusat b. Senyawa biner berikatan rangkap atau kovalen koordinat E=



𝐸𝑉−𝑋′ 2



Dimana X’ : jumlah elektron yang digunakan atom pusat 2.



Menentukan geometri domain-domain elektron di sekitar atom pusat yang memberi tolakan minimum



3. 4.



Menetapkan domain elektron terikat dengan menuliskan lambang atom yang bersangkutan Menentukan geometri molekul setelah mempertimbangkan pengaruh pasangan elektron bebas



Bentuk molekul Sehingga bila dirangkum, berikut bentuk molekul dengan adanya PEB : Untuk jumlah domain 2 hingga 4



Berikut bentuk molekul dengan adanya PEB untuk jumlah domain 2 hingga 4



Untuk jumlah domain 5 dan 6 : Berikut bentuk molekul dengan adanya PEB untuk jumlah domain 5 hingga 6