Makalah Immunoserologi: Imunologi Tranplantasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH IMUNOSEROLOGI : IMUNOLOGI TRANSPLANTASI Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Immunoserologi II Dosen Pengampu : Suryata Efrida Pakpahan, S.KM., M.Si



Disusun oleh : Kelompok 3 Novita laelasari



3120070



Reza Maulana



3120076



Silka Muslimati A.



3120080



PROGRAM STUDI DIII ANALIS KESEHATAN FAKULTAS KESEHATAN INSTITUT KESEHATAN RAJAWALI BANDUNG 2020/2021



KATA PENGANTAR Puji syukur mari kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya makalah ini. Di dalam makalah ini membahas ”Imunologi Transplantasi” Materi dan urutan penyajian makalah ini dibuat ringkas tetapi berisi, sehingga makalah ini dapat digunakan sebagai bahan menambah ilmu kita mengenai Imunologi transplantasi. Dalam pembahasan makalah ini tidak lepas dari bimbingan berbagai pihak. Kami ucapkan terimakasih kepada : 1. Allah SWT berkat kelimpahan akal pikiran dan kesehatan, kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. 2. Dosen pembingbing mata kuliah Immunoserologi, Suryata Efrida Pakpahan, SKM., M.Si yang telah membingbing. 3. Tak lupa juga kepada kedua orangtua yang selalu memberikan dukungan kepada kami agar dapat menyelesaiakan tugas dengan baik. 4. Semua teman kelompok yang telah membantu memberikan pendapat untuk tersusunnya makalah ini. Demikian pula dengan makalah ini, masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membaca, tentu juga untuk diri sendiri.



Bandung, 22 Maret 2022



Penyusun



DAFTAR ISI



Kata Pengantar ........................................................................................................................... i Daftar Isi ..................................................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ..................................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................... 1 1.3 Tujuan Makalah ................................................................................................................... 1 BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................ 2 2.1 2.2 2.3 2.4



Definisi Imunologi Transplantasi......................................................................................... 2 Jenis-Jenis Transplantasi...................................................................................................... 2 Mekanisme Penolakan.......................................................................................................... 3 Jenis Pemeriksaan Uji Labolatorium.................................................................................... 9



BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 3.1 Kesimpulan ..................................................................................................................... 3.2 Saran ................................................................................................................................ DAFTAR PUSTAKA



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transplantasi adalah tindakan mentransfer sel, jaringan, atau organ dari satu tempat ke tempat lain, biasanya antara individu yang berbeda. Dan kerusakan pada sistem organ dapat diperbaiki dengan transplantasi organ. Akan tetapi, sistem kekebalan tubuh kerap menjadi pertimbangan karena organ transplantasi bisa dianggap sebagai agen asing dan hal ini menjadi penghalang untuk transplantasi sebagai perawatan medis. Respon imun terhadap organ yang ditransplantasikan terdiri dari mekanisme seluler (diperantai limfosit) dan humoral (diperantai antibodi). Meskipun jenis sel lain juga terlibat, sel T adalah pusatnya penolakan cangkok. Mekanisme penolakan cangkok ini terdiri dari beberapa tahapan dan jalur yang diakhiri dengan apoptosis. Tahapan klinis penolakan, dibagi menjadi 3 tahapan yaitu tahapan penolakan hiperakut, yang mana jaringan yang ditranslantasikan ditolak dalam beberapa menit hingga beberapa jam karena vaskularisasi dihancurkan dengan cepat. Lalu ada penolakan akut, yang ditolak setelah 6 bulan pertama dan yang terakhir adalah penolakan kronis. Penolakan terhadap transplantasi dapat sedikit dicegah, dengan cara mengembangkan toleransi kekebalan terhadap transplantasi. Seperti, penghapusan klon dan pengembangan energi pada limfosit spesifik donor, pengembangan limfosit suppressor, atau menurunkan regulasi respon imun terhadap cangkok dan pencocokan silang yang dilakukan sebelum transplantasi untuk menilai kompatibilitas donor-penerima untuk antigen leukosit manusia dan golongan darah ABO, tes ini dilakukan dengan beberapa tahapan. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan Imunologi Transplansi? 2. Apa saja Jenis-Jenis Transplansi? 3. Bagaimana Mekanisme Penolokan? 4. Apa saja Jenis uji labolatorium? 1.3 Tujuan Makalah 1. Untuk mengetahui Definisi Imunologi transplantasi 2. Untuk mengetahui apa saja Jenis-Jenis Tranplantasi 3. Untuk mengetahui Mekanisme Penolakan 4. Untuk mengetahui Jenis Uji Labolatorium



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Imunologi Transplantasi Transplantasi adalah tindakan mentransfer sel, jaringan, atau organ dari satu tempat ke tempat lain, biasanya antara individu yang berbeda. Kerusakan sistem organ dapat diperbaiki dengan transplantasi organ (misalnya, ginjal, hati, jantung, paru-paru, atau pankreas) dari donor. 2.2 Jenis-Jenis Transplantasi Derajat respon imun terhadap cangkok sebagian bergantung pada derajat disparitas genetik antara organ cangkok dan pejamu. 1. Xenografts (Xenogeneic). Proses pemindahan jaringan/organ antarindividu yang berbeda spesies (Shetty 2005). Proses pemindahan ini memiliki perbedaan paling besar dan memperoleh respon imun maksimal yang mengalami penolakan yang cepat. 2. Autografts (Autologous Graft). Proses pencangkokan dari satu bagian tubuh ke bagian lain (misalnya, cangkok kulit), yang berasal dari suatu individu dan digunakan untuk dirinya sendiri sehingga tidak menimbulkan penolakan. 3. Isograft (Isogeneic Graft). Proses pencangkokan antara individu yang identik secara genetik (misalnya, kembar identik). Proses ini juga tidak mengalami penolakan. 4. Allografts(Allogenic Grafts). Proses pencangkokan antara anggota spesies yang sama akan tetapi berbeda secara genetik. Ini adalah bentuk transplantasi yang paling umum. Derajat penolakan alograf sebagian bergantung pada derajat kemiripan atau histokompatibilitas antara donor dan penerima.



Gambar 1. Tipe transplantasi (Burmester & Pezzuto, 2003) Derajat dan jenis respons juga bervariasi dengan jenis transplantasi. Beberapa tempat, seperti mata dan otak, memiliki keistimewaan imunologis (yaitu, mereka memiliki sel sistem kekebalan minimal atau tidak sama sekali dan bahkan dapat mentolerir cangkok yang tidak cocok). Cangkok kulit pada awalnya tidak mengalami vaskularisasi sehingga tidak menunjukkan penolakan sampai suplai darah berkembang. Jantung, ginjal, dan hati adalah organ yang sangat vaskular dan transplantasi menyebabkan respons yang diperantarai sel yang kuat pada pejamu. 2.3 Mekanisme penolakan Jaringan/Organ Histocompatibility adalah kesesuaian suatu jaringan pada jaringan/organ tertentu untuk ditransplantasikan dari pendonor ke resipien. Gen yang menyandikan antigen, yang mengatur penyesuaian suatu pemindahan jaringan/organ untuk bertahan dalam tubuh resipien, terletak dalam daerah Major Histocompability Complex (MHC). Pada manusia, MHC terletak pada lengan pendek kromosom enam. Letak gen spesifik pada kromosom yang mengode antigen histocompatibility disebut histocompability locus. Pada manusia, histocompability loci disebut HLA (Human Leukocyte Antigen). MHC class I dan II berperan penting dalam transplantasi jaringan, semakin besar kecocokan antara donor dan resipien, semakin besar pula kemungkinan tandur untuk bertahan ditubuh pendonor. Reaksi imun yang dapat menimbulkan penolakan terhadap transplan bersifat spesifik yang disertai dengan memori. Contohnya adalah allograft pertama pada kulit ditolak dalam 10–14 hari, maka allograft kedua dari individu yang sama dicangkokkan lagi maka resipien akan menolak lebih cepat lagi yaitu dalam 5-7 hari (Baratawidjaja, 1991) Reaksi penolakan ditimbulkan oleh sel T helper resipien yang mengenal antigen MHC alllogeneic. Sel tersebut akan menolong sel T sitotoksik yang juga



mengenal antigen MHC allogeneic dan membunuh sel sasaran. Kemungkinan lain yaitu makrofag menuju tempat transplan atas perintah limfokin dari sel T helper sehingga menimbulkan kerusakan. Reaksi penolakan disebut juga Graft versus Host Reaction (Baratawidjaja 1991). Rekasi penolakan tersebut antara lain: 1. Penolakan hiperakut. Pada penolakan hiperakut, jaringan yang ditransplantasikan ditolak dalam beberapa menit hingga beberapa jam karena vaskularisasi dihancurkan dengan cepat. Penolakan hiperakut dimediasi secara humoral dan terjadi karena penerima memiliki antibodi yang sudah ada sebelumnya terhadap cangkok, yang dapat diinduksi oleh transfusi darah sebelumnya, kehamilan ganda, transplantasi sebelumnya, atau xenograft yang sudah memiliki antibodi pada manusia. Kompleks antigen-antibodi mengaktifkan sistem komplemen, menyebabkan trombosis masif di kapiler yang mencegah vaskularisasi cangkok. 2. Penolakan akut. Penolakan akut dapat terjadi beberapa hari dan umumnya dalam 6 bulan pertama setelah transplantasi. Merupakan penolakan umum yang terjadi pada resipien yang menerima transplan yang mismatch (tidak cocok) atau yang menerima allograft dan pengobatan imunosupresif yang tidak efisien dalam usaha mencegah penolakan. Penolakan dapat terjadi secara : a. Penolakan humoral. Penolakan humoral adalah bentuk cedera allograft dan disfungsi, terutama yang dimediasi oleh antibodi dan komplemen. b. Penolakan selular. Penolakan seluler akut dimediasi oleh limfosit yang telah diaktifkan terhadap antigen donor, terutama di jaringan limfoid penerima. Sel dendritik donor (juga disebut leukosit penumpang) memasuki sirkulasi dan berfungsi sebagai antigenpresenting cell (APCs). Penolakan akut dapat dihambat dengan cara imunosupresi oleh serum antilimfosit, steroid, dan lainnya. 3. Penolakan kronik. Penolakan yang dapat terjadi pada transplantasi allograft beberapa bulan sesudah organ berfungsi normal dan disebabkan oleh sensitivitas yang timbul terhadap antigen transplan. Jika terdapat infeksi maka akan mempermudah timbulnya penolakan kronik. Contoh dari penolakan kronik adalah gagal ginjal yang terjadi perlahan-lahan dan progresif karena terjadi prolifersai sel inflamasi pada pembuluh darah kecil dan penebalan membran glomerulus basal. Pengobatan dengan imunosupresi tidak banyak berguna karena kerusakan sudah terjadi. 4. Reaksi allograft. Transplantasi organ atau jaringan dari donor syngeneic (isograft) dengan cepat diterima resipien dan berfungsi normal. Transplan organ dari donor allogeneic akan diterima untuk sementara waktu dan mengalami vaskularisasi. Penolakan tergantung pada derjat



inkompabilitasnya. Reaksi penolakan umumnya terjadi sesuai respons CMI. Reaksi yang terjadi adalah invasi transplan oleh limfosit dan monosit melalui pembuluh darah dan menimbulkan kerusakan pembuluh darah dan nekrosis. 5. Penyakit Graft versus Host (GvHD). Merupakan keadaan yang terjadi jika sel yang imunokompeten asal donor mengenal dan memberikan respon imun terhadap jaringan resipien. Jika sel T yang matang dan imuokompeten ditransfusikan kepada resipien yang allogeneic dan tidak ada yang menolaknya maka sel tersebut bereaksi dengan hospes dan menimbulkan reaksi CMI diberbagai tempat. Sel-sel yang diserang adalah sel MHC kelas II. Gejala dari reaksi GvH adalah pembesaran kelenjar limfoid, limpa, hati, diare, radang kulit, rambut rontok, berat badan menurun, dan meninggal. Kematian disebabkan oleh kerusakan sel penjamu (punya antigen MHC kelas II) dan jaringan akibat respons CMI yang berlebih. Reaksi GvH dapat terjadi akibat transplantasi sumsum tulang kepada resipien dengan supresi sistem imun atau akibat transfusi darah segar kepada neonatus yang imunodefisien. Hal tersebut mudah terjadi jika sebelum transplantasi atau transfusi, usaha menghilangkan sel T matang yang imunokompeten tidak maksimal. Oleh karena itu penolakan normal oleh resipien terhadap limfosit yang ditransfusikan tidak terjadi (Baratawidjaja 1991) Imunobiologi Penolakan Respon imun terhadap organ yang ditransplantasikan terdiri dari mekanisme seluler (diperantarai limfosit) dan humoral (diperantarai antibodi). Meskipun jenis sel lain juga terlibat, sel T merupakan pusat penolakan cangkok. Reaksi penolakan terdiri dari tahap sensitisasi dan tahap efektor. A. Tahap sensitisasi Pada tahap ini, sel T CD4 dan CD8, melalui reseptor sel T, mengenali aloantigen yang diekspresikan pada sel cangkok asing. Dua sinyal diperlukan untuk pengenalan antigen; yang pertama disediakan oleh interaksi reseptor sel T dengan antigen yang disajikan oleh molekul MHC, yang kedua oleh interaksi reseptor/ligan kostimulatori pada permukaan sel T/APC. Dari banyak jalur kostimulatori, interaksi CD28 pada permukaan sel T dengan ligan permukaan APC-nya, B7-1 atau B7-2 (umumnya dikenal sebagai CD80 atau CD86, masing-masing), telah dipelajari paling banyak.[7] Selain itu, antigen-4 terkait limfosit T sitotoksik (CTLA4) juga mengikat ligan ini dan memberikan sinyal penghambatan. Molekul kostimulatori lainnya termasuk CD40 dan ligannya CD40L (CD154).



Biasanya, heliks molekul MHC membentuk alur pengikatan peptida dan ditempati oleh peptida yang berasal dari protein seluler normal. Mekanisme toleransi timus atau sentral (penghapusan klon) dan mekanisme toleransi perifer (misalnya, anergi) memastikan bahwa kompleks MHC selfpeptida ini tidak dikenali oleh sel T, sehingga mencegah respons autoimun. Setidaknya ada 2 jalur alorekognisi yang berbeda, tetapi tidak harus eksklusif satu sama lain: jalur langsung dan tidak langsung. Masing-masing mengarah ke generasi set yang berbeda dari klon sel T allospesifik. 1. Jalur langsung. Pada jalur langsung, sel T inang mengenali molekul alloMHC yang utuh pada permukaan sel donor atau stimulator. Secara mekanis, sel T inang melihat molekul allo-MHC + allo-peptida sebagai bentuk yang setara dengan self-MHC + peptida asing dan, karenanya, mengenali jaringan donor sebagai benda asing. Jalur ini mungkin merupakan jalur dominan yang terlibat dalam respon aloimun awal. Organ yang ditransplantasikan membawa sejumlah variabel APC penumpang dalam bentuk sel dendritik interstisial. APC tersebut memiliki kepadatan molekul allo-MHC yang tinggi, dan mampu secara langsung merangsang sel T penerima. Jumlah relatif sel T yang berproliferasi pada kontak dengan sel alogenik atau sel donor luar biasa tinggi dibandingkan dengan jumlah klon yang menargetkan antigen yang disajikan oleh selfAPC. Dengan demikian, jalur ini penting dalam alorejeksi akut. 2. Jalur tidak langsung. Pada jalur tidak langsung, sel T mengenali aloantigen yang diproses yang disajikan sebagai peptida oleh self-APC. Respon sekunder seperti yang terjadi pada penolakan akut kronis atau lanjut dikaitkan dengan respons proliferasi sel T terhadap repertoar yang lebih bervariasi, termasuk peptida yang sebelumnya diam secara imunologis. Perubahan pola respons sel T seperti itu disebut peralihan atau penyebaran epitop. Hubungan antara sel T self-MHC + allopeptide-primed dan perkembangan penolakan tipe vaskular akut telah dibuktikan sebagian dimediasi oleh percepatan produksi alloantibody. Selain itu, vaskulopati allograft kronis dapat dimediasi oleh sel T yang diprakarsai oleh jalur tidak langsung 3. Mekanisme molekuler aktivasi sel T. Selama aktivasi sel T, fosfolipid inositol yang terikat membran dihidrolisis menjadi diasilgliserol (DAG) dan IP3. Hal ini meningkatkan kalsium sitoplasma. Peningkatan kalsium mendorong pembentukan kompleks kalsium-kalmodulin yang



mengaktifkan sejumlah kinase serta protein fosfatase IIB atau kalsineurin. Calcineurin mendefosforilasi faktor inti sitoplasma sel T teraktivasi (NFAT), memungkinkan translokasi ke nukleus, di mana ia mengikat urutan promotor IL-2 dan kemudian merangsang transkripsi IL-2 mRNA. Banyak peristiwa intraseluler lainnya, termasuk aktivasi protein kinase C (PKC) oleh DAG dan aktivasi faktor nuklir kappa B (NFkB) juga terjadi pada tingkat molekuler.



B. Tahap efektor Faktor-faktor yang bergantung pada aloantigen dan independen berkontribusi pada mekanisme efektor. Awalnya, "respons cedera" nonimunologis (iskemia) menginduksi respons inflamasi nonspesifik. Karena itu, presentasi antigen ke sel T meningkat saat ekspresi molekul adhesi, MHC kelas II, kemokin, dan sitokin diregulasi. Ini juga mendorong pelepasan molekul MHC yang utuh dan larut yang dapat mengaktifkan jalur alorekognisi tidak langsung. Setelah aktivasi, sel T CD4-positif memulai respons hipersensitivitas tipe lambat (DTH) yang dimediasi makrofag dan memberikan bantuan kepada sel B untuk produksi antibodi. Berbagai sel T dan sitokin turunan sel T seperti IL-2 dan IFN-γ diregulasi lebih awal setelah transplantasi. Kemudian, -kemokin seperti RANTES (diatur saat aktivasi, sel T normal diekspresikan dan disekresikan), IP-10, dan MCP-1 diekspresikan, dan ini mendorong infiltrasi makrofag yang intens dari allograft. IL-6, TNF-α, inducible nitric oxide synthase (iNOS) dan faktor pertumbuhan, juga berperan dalam proses ini. Faktor pertumbuhan, termasuk TGF-ß dan endotelin, menyebabkan proliferasi otot polos, penebalan intima, fibrosis interstisial, dan, dalam kasus ginjal, glomerulosklerosis. Sel endotel yang diaktifkan oleh sitokin dan makrofag yang diturunkan dari sel T mengekspresikan MHC kelas II, molekul adhesi, dan molekul kostimulatori. Ini dapat menyajikan antigen dan dengan demikian merekrut lebih banyak sel T, memperkuat proses penolakan. Sel T CD8-positif memediasi reaksi sitotoksisitas yang dimediasi sel baik dengan memberikan "pukulan mematikan" atau, sebagai alternatif, dengan menginduksi apoptosis. 1. Apoptosis Jalur umum terakhir untuk proses sitolitik adalah memicu apoptosis pada sel target. Setelah aktivasi CTLs, mereka membentuk butiran sitotoksik yang mengandung perforin dan granzymes. Pada saat identifikasi dan keterlibatan sel target, butiran ini menyatu dengan membran sel efektor dan mengeluarkan isinya ke dalam sinaps imunologis. Dengan mekanisme yang belum diketahui, granzim dimasukkan ke dalam sitoplasma sel target di mana granzim B dapat memicu apoptosis melalui beberapa mekanisme yang berbeda, termasuk pembelahan langsung procaspase-3 dan aktivasi tidak langsung dari procaspase-9. Ini telah terbukti memainkan peran dominan dalam induksi apoptosis pada penolakan allograft.



Atau, CTL CD8-positif juga dapat menggunakan jalur yang bergantung pada Fas untuk menginduksi sitolisis dan apoptosis. Jalur Fas juga penting dalam membatasi proliferasi sel T sebagai respons terhadap stimulasi antigenik; ini dikenal sebagai pembunuhan saudara antara CTL yang diaktifkan. Sitotoksisitas yang dimediasi sel telah terbukti memainkan peran penting dalam penolakan allograft akut, meskipun tidak kronis. 2. Peran sel pembunuh alami Sel pembunuh alami (NK) penting dalam transplantasi karena kemampuannya untuk membedakan sel alogenik dari dirinya sendiri dan mekanisme efektor sitolitiknya yang kuat.[9] Sel-sel ini dapat meningkatkan respons efektor maksimal tanpa sensitisasi imun sebelumnya. Tidak seperti sel T dan B, sel NK diaktifkan oleh tidak adanya molekul MHC pada permukaan sel target (hipotesis "diri yang hilang"). Pengenalan ini dimediasi oleh berbagai reseptor penghambat NK yang dipicu oleh alel spesifik antigen MHC kelas I pada permukaan sel. Selain itu, mereka juga memiliki reseptor stimulasi, yang dipicu oleh antigen pada sel nonself. Respon efektor ini mencakup pelepasan sitokin dan toksisitas langsung yang dimediasi melalui perforin, granzymes, Fas ligand (FasL), dan TNF-related apoptosis-inducing ligand (TRAIL). Melalui mode aktivasi "negatif ganda" ini, mereka dianggap berperan dalam penolakan sumsum tulang dan limfoma yang dapat ditransplantasikan pada model hewan. Sel NK juga memberikan bantuan untuk sel T host CD28-positif, sehingga mendorong penolakan allograft.[10] Pentingnya mereka di bidang transplantasi sumsum tulang telah diakui selama bertahun-tahun. Pada manusia, alloresponse graft-versus-host mereka telah digunakan untuk efek graft-versus-leukemia yang kuat dan telah berkontribusi pada peningkatan tingkat remisi berkelanjutan pada pasien dengan leukemia myelogenous akut. Sel NK sekarang diakui sebagai peserta aktif dalam penolakan akut dan kronis dari cangkok jaringan padat. Studi terbaru menunjukkan bahwa sel NK hadir dan diaktifkan setelah infiltrasi ke dalam allograft organ padat.[9] Mereka mungkin mengatur hasil allograft jantung. Penelitian juga menunjukkan bahwa manusia dengan reseptor mirip imunoglobulin sel pembunuh yang dihambat oleh MHC donor memiliki penurunan risiko penolakan transplantasi hati. Dalam kasus transplantasi ginjal, sel-sel ini tidak ditekan oleh rejimen imunosupresif saat ini. 3. Peran kekebalan bawaan



Meskipun sel T memiliki peran penting dalam penolakan akut, peningkatan regulasi mediator proinflamasi dalam allograft sekarang diketahui terjadi sebelum respon sel T; peradangan awal setelah pencangkokan ini disebabkan oleh respons bawaan terhadap cedera jaringan yang tidak bergantung pada sistem kekebalan adaptif. Beberapa penelitian terbaru telah meneliti peran agonis Toll-like receptor (TLR) dan sinyal TLR dalam alorekognisi dan penolakan. Mekanisme bawaan ini saja tampaknya tidak cukup untuk menyebabkan penolakan cangkok itu sendiri. Namun, mereka penting untuk respons imun adaptif yang optimal terhadap cangkok dan mungkin memainkan peran utama dalam resistensi terhadap induksi toleransi. Pengembangan metode untuk menumpulkan respons imun bawaan, yang memiliki implikasi potensial untuk berbagai macam penyakit, kemungkinan juga memiliki dampak signifikan pada transplantasi. 2.5 Jenis Pemeriksaan uji Labolatorium 1. Uji Histokompatibilitas (Histocompability testing) adalah uji untuk menentukan dari tipe MHC class I dan class II pada jaringan/organ yang akan ditransplantasi, baik pada donor maupun resipien. 2. HLA tissue typing adalah indentifikasi dari antigen Kompleks Histokompabilitas Mayor (MHC) kelas I dan II pada limfosit dengan teknik serologis dan selular. Class-I typing melibatkan reaksi antara sel limfosit yang ingin diuji dengan antisera dari HLA yang telah diketahui spesifitasnya dengan kehadiran komplemen. Class-II typing mendeteksi antigen HLA-DR mengunakan preparasi sel B yang telah dipurifikasi. Pengujian tersebut didasarkan pada disrupsi membran sel limfosit yang antibody-specific dan complement-dependent (Cruse, dkk 2004). 3. Prinsip dari pengujian secara serologis adalah microlymphocytotoxicity menggunakan piring mikrotiter (microtiter plate) yang didalamnya terdapat predispensed antibody dengan spesifitas terhadap HLA dari limfosit yang akan diuji, dan ditambah dengan komplemen kelinci dan pewarna vital. Metode ini digunakan untuk pengujian organ transplan seperti allotransplantasi ginjal. Pada transplantasi sumsum tulang (bone-marrow), prosedur yang digunakan disebut Mixed Lymphocyte Reaction. Prosedur ini digunakan untuk mengukur derajat relatif dari histokompabilitas antara pendonor dan resipien (Cruse & Lewis 2003) 4. Tes cross-match (Cross-matching test) adalah salah satu metode pengujian yang digunakan untuk mendeteksi kehadiran dari antibody preformed (presensitization) pada antigen HLA pendonor menggunakan serum dari pasien dan sel limfosit pendonor. Hasil tes cross-match yang positif menjadi kontraindikasi terhadap transplantasi, hal ini karena hasil dari tes cross-match dapat diasosiasikan dengan



episode penolakan yang tak terkontrol, yang berujung pada kehilangan jaringan permanen (irreversible graft loss) (Suthanthiran, dkk 2001). 5. Imunosupresan dapat digunakan untuk mengontrol penolakan tandur dengan cara menekan respon imun tubuh resipien. Obat-obatan yang digunakan untuk menekan penolakan antara lain : Obat



Mekanisme imunosupresi Mencegah migrasi neutrophil Mencegah produksi IL-1, IL-2 dan IL6



Kortikosteroid Prednison Sitotoksik Azatioprin Metoreksat



Membunuh sel yang membelah



Siklofosfamide Imunofilin Siklosporin A FK506 Rapamisin



Mencegah produksi IL-2 dan/atau respon terhadap IL-2



Tabel 1. Jenis Imunosupresan dan Mekanismenya 2.6 Imunotranspalntasi pada organ hati (Contoh kasus) Laporan kasus berbasis bukti : Efektivitas Granulocyte Stimulating Factor untuk anak dengan Acute on Chronic Liver Failure. 1. Latar belakang Gagal hati akut pada penyakit hati kronik (acute on chronic liver failure/ACLF) memiliki angka mortalitas tinggi dan saat ini terapi utamanya ialah transplantasi hati. Terapi dengan granulocyte colony stimulating factor (GCSF) bermanfaat bagi perbaikan fungsi hati dan mengurangi angka kematian yang cepat pada dewasa dengan ACLF. 2. Tujuan Melakukan telaah kritis efektivitas GCSF pada pasien anak dengan ACLF untuk memperbaiki fungsi hati. 3. Metode. Penelusuran literatur melalui database Pubmed/Medline, Cochrane, Google Scholar, serta Paediatrica Indonesiana, dan Sari Pediatri 29 Juni 2020. Pertanyaan klinis (PICO) Patient (P) akut



: Pasien anak 17 tahun dengan gagal hati pada penyakit hati kronik(ACLF)



Intervention (I)



:Injeksi granulocyte-colony stimulating



factor Comparison (C)



: Tanpa intervensi/plasebo



Outcome (O)



: Perbaikan fungsi hat



4. Kasus. Seorang anak laki-laki usia 17 tahun datang dengan keluhan buang air besar cair hingga 5 kali sehari dan demam sejak tiga hari sebelum masuk RS. Pasien kemudian mendapat terapi untuk diare dan dilakukan evaluasi focus infeksi lain, termasuk evaluasi infeksi SARS CoV-2. Anak ini diketahui terdapat infeksi saluran kemih dan infeksi bakterial saluran cerna sehingga pasien kemudian diobati dengan antibiotik. Pada hari perawatan ketiga, tampak kuning dan asites, tanpa ada penurunan kesadaran, serta hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan bilirubin, amoniak, enzim hati, faktor koagulasi, dan penurunan albumin. Pasien disimpulkan terdapat gagal hati akut tanpa penurunan kesadaran. Diketahui menderita Penyakit Wilson dan sudah mengalami kemunduran neurologis yang menetap sejak didiagnosis tahun 2016. Selama ini telah mendapat terapi penisilamin dan zink, pernah mengalami perdarahan akibat pecah varises esofagus, tetapi dalam pemantauan satu tahun terakhir tidak pernah ada keadaan perdarahan saluran cerna lagi. Sudah ada splenomegali sebelumnya dan saat ini disertai pula dengan hepatomegali, ikterik, asites, dan venektasi yang semakin bertambah. Sejak awal masuk rumah sakit, pasien diketahui terdapat pansitopenia, dengan neutropenia yang bertambah berat. Pada hari perawatan ke-20, terdapat demam kembali disertai neutropenia, peningkatan prokalsitonin, dan penurunan fungsi hati yang semakin buruk, pasien diberikan filgrastim yang merupakan granulocyte-colony stimulating factor selama 5 hari dengan dosis 225 mcg per hari (5 mcg/kg/hari). Di pemeriksaan selanjutnya, leukosit tidak meningkat dan fungsi hati tidak perbaikan. Saat akan dilanjutkan pemberiannya, pasien pulang paksa karena keadaan klinis semakin memburuk. Pasien dengan ACLF pada penyakit Wilson seperti ini terindikasi untuk transplantasi hati, tetapi pengaruh penyakit Wilson pada sistem neurologisnya yang memang sejak awal mengalami penurunan disertai penolakan keluarga, memperberat kemungkinan masuk dalam daftar transplantasi dan membutuhkan terapi lain untuk membantu memperbaiki hati yang rusak yaitu GCSF. Dalam konsensus terakhir mengenai ACLF di tahun 2014 disebutkan potensi pemberian GCSF



yang diikuti beberapa studi acak pada kelompok dewasa. Efeknya pada anak juga belum dipelajari sehingga perlu diketahui apakah GCSF dapat diberikan pada pasien anak dengan ACLF sejak awal gejalanya muncul 5. Hasil. Terdapat satu studi acak yang sahih dengan subjek penelitian anak yang menunjukkan perbedaan skor Child-Pugh dan Pediatric Endstage Liver Disease (PELD) di hari ke-14 pemberian injeksi GCSF, tetapi tidak ada perbedaan skor di hari ke-30 dan 60. Skor PELD pada penelitian dipakai untuk anak usia kurang dari 12 tahun, sementara untuk anak lebih besar seperti pada kasus seharusnya memakai skor Model for End-stage Liver Disease (MELD) yang ditunjukkan studi pada kelompok dewasa. 6. Kesimpulan. Terapi GCSF subkutan pada pasien anak dengan ACLF berpotensi efektif memperbaiki fungsi hati yang dinilai dengan skor Child-Pugh dan MELD atau PELD. Untuk dapat menjaga efektifitas terapi lebih lama, dapat dipertimbangkan untuk memperpanjang durasi pemberian GCSF dan memberikannya lebih dini



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Transplantasi adalah tindakan mentransfer sel, jaringan, atau organ dari satu tempat ke tempat lain dan berdasarkan hubungan antara donor dan resipien, pemindahan jaringan/organ terbagi atas empat tipe yaitu Autograft (Autologous Graft) adalah proses pemindahan jaringan/organ yang berasal dari suatu individu dan digunakan untuk dirinya sendiri. Allograft (Allogeneic Graft) / Allogeneic adalah proses pemindahan jaringan/organ antarindividu dimana individu-individu tersebut masih satu spesies. Isograft (Isogeneic Graft) / Syngeneic adalah proses pemindahan jaringan/organ antarindividu yang secara genetic kembar identik. Dan Xenograft / Xenogeneic adalah proses pemindahan jaringan/organ antarindividu yang berbeda spesies. Histocompatibility adalah kesesuaian suatu jaringan pada jaringan/organ tertentu untuk ditransplantasikan dari pendonor ke resipien dan reaksi imun dapat menimbulkan penolakan terhadap transplan bersifat spesifik yang disertai dengan memori. Reaksi penolakan disebut juga Graft versus Host Reaction, yang terdiri dari penolakan iperakut, penolakan akut, penolakan kronis, reaksi allograft dan penyakit Graft versus Host (GvHD). Dalam pencegahan terhadap penolakan jaringan/organ dapat dilakukan beberapa pemeriksaan, seperti uji histokompabilitas, HLA tissue typing, tes cross-match dan mengkonsumsi imunosupresan yang berfungsi untuk mengontrol penolakan tandur dengan cara menekan respon imun tubuh resipien.



DAFTAR PUSTAKA 1. Malhotra,P.2019.Immunology of transplant Rejection. Immunology of Transplant



Rejection:



Overview,



History,



Types



of



Grafts



(medscape.com). 2. Baldwin WM 3rd, Valujskikh A, Fairchild RL. Mechanisms of antibodymediated acute and chronic rejection of kidney allografts. Curr Opin Organ Transplant. 2016 Feb. 21 (1):7-14. [QxMD MEDLINE Link]. 3. Lin CM, Gill RG. Direct and indirect allograft recognition: pathways dictating graft rejection mechanisms. Curr Opin Organ Transplant. 2016 Feb. 21 (1):40-4. [QxMD MEDLINE Link]. 4. Boix F, Millan O, San Segundo D, Mancebo E, Miras M, Rimola A, et al. Activated



Regulatory



T



Cells



Expressing



CD4(+)CD25(high)CD45RO(+)CD62L(+) Biomarkers Could Be a Risk Factor in Liver Allograft Rejection. Transplant Proc. 2015 Oct. 47 (8):2380-1. [QxMD MEDLINE Link]. 5. Wiley,J.sons.2015.immunologytransplant.https;//scholar.google.com./ scholar=transplant+Immunology. 6. Davis,CL.2004.transplant:immunology



and



treatment



of



rejection.american journal of kidney diseases 43 (6),1116-1134. 7. Koshiba,T.Liying.Takemura,M.Wu,Y.sakaguchi,S.Minato,n.2007.Clinical ,immunological,and pathological aspects of operational tolerance after pediatric



living



donor



liver



transplantation.



https;//scholar.google.com./scholar?=transplant+Immunology. 8. Choudhary,NS.Saigal,S.Bansal,RK.Saraf,N.Gautam,D.Arvinder,S.2017.a cute and chronic rejection after liver transplantation:what a clinician needs to know. 9. Muiesan,p.vergani,D.Mielivergani,G.2007.liver transplantation in childen. 10. Hayati,Z.Maulina,N.Ka pranata,RM A.2022.dasar-dasar immunologi dan infeksi. https;//scholar.google.com./scholar?imunologi+transplantasi.



11. Mawardi,m.Warouw,SM.Salendu,PM.2011.kolestasis ektrahepatik etcausa atresia bilier pada seorang bayi. https://scholar.google.com./scholar?=imunologi+Transplantasi+hati. 12. Ismadi,BS.2015.pengaturan transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia di Indonesia. 13. Jurnalis,YD.sayoeti,Y.moriska,M.2015.kelainan hati akibat penggunaan antipiretik. 14. Alatas,sf.Nasution,K.Kadim,M.2021.laporan



kasus



berbasis



bukti



efektivitas granulocyte colony stimulating factor untuk anak dengan acute on chronic liver failure. 15. Rahayatri,atah.akristo,B.Siahaan.Arhea P.ulima,stephanie,M.Oswari,H.2019.evaluasi pasien praopera transplantasi hati anak di RSUPN dr.Cipto mangunkusumo. 16. Bratawijaya, KG & Rengganis, I. 2009. Imunologi Dasar.  17. Burmester, G. R & A. Pezzuto. 2003. Color Atlas of Immunology.  18. Cruse, M. J. dkk. 2004. Immunology Guidebook.  19. Cruse, M. J. & Lewis, R. E. 2003. Illustrated Dictionary of Immunology 2nd ed.  20. Roitt, I. M & P. J. Delves. 2001. Roitt’s Essential Immunology 10th ed.  21. Shetty, Nandini. 2005. Immunology: Introductory Textbook.  22. Suthanthiran, Manikkam, dkk. 2001. Clinical Transplantation in Medical Immunology, 10th ed.