Makalah Jadi Muhammad Bin Abdul Wahab [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB. I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Sebagaimana yang disebut dalam sejarah Islam, muncul periode untuk pembabakan waktu menurut ciri dan karakteristik setiap periode. Secara garis besar sejarah islam dapat dibagi ke dalam tiga periode besar, yaitu klasik, pertengahan, dan modern. Pada periode klasik keadaan islam sedang dalam perkembangan yang sangat pesat dalam segi wilayah kekuasaan. Pada masa pertengahan awal, terjadi kemajuan di 3 dinasti besar islam (Utsmani, Syafawi, Mughal), sedangkan pada masa pertengahan akhir, 3 dinasti ini mengalami kemunduran. Utsmani dipukul Eropa, Syafawi diserang suku bangsa Afghan, dan Mughal diperkecil wilayahnya karena gangguan raja-raja Hindustan. Akibat dari keterpurukan tersebut, kondisi umat islam menjadi mundur dan statis. Sampai akhirnya banyak lahir pembaharu islam yang membawa islam menuju periode modern.[1] Di jazirah Arab sendiri sebagai wilayah kekuasaan Utsmaniyah juga terjadi hal serupa. Keadaan masyarakat Arab saat itu terdiri atas kabilah-kabilah, dan tidak ada hubungan antara mereka kecuali hubungan permusuhan. Jalan-jalan tidak aman, dan perampokan terjadi dimanamana. Kekuasaan Istanbul saat itu tidak terasa sama sekali, kecuali hanya nama.[2] Kenyataan itulah yang membuat umat islam saat itu jauh dari agama dan cenderung melakukan Taklid, Bid’ah, dan Khurafat. Di tengah kondisi umat islam yang seperti itu, muncul ditengah-tengah mereka seorang pembaharu. Bukan mencetuskan pemikiran berkaitan pembenahan perpolitikan dunia Islam, namun mambawa perubahan menyikapi tercemarnya Tauhid dalam masyarakat Arab.[3] Pembaharu ini ialah Muhammad bin Abdul Wahab, yang dalam buku Fazlur Rahman berjudul Islam pengikut ajarannya disebut sebagai ‘Gerkan Wahabi’.



B. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, kami selaku penyusun makalah menyajikan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana latar belakang pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab? 2. Apa pemikiran yang diusung Muhammad bin Abdul Wahab? 3. Bagaimana respon dan pengaruh pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab terhadap umat Islam?



C. Tujuan



1. Mengetahui latar belakang pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab 2. Mengetahui pemikiran yang diusung Muhammad bin Abdul Wahab 3. Mengetahui respon dan pengaruh pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab terhadap umat Islam



BAB. II PEMBAHASAN A. Biografi Muhammad Bin Abdul Wahab Muhammad bin ‘Abd Al-Wahhab memiiki nama lengkap Muhammad bin ‘Abd al Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at Tamimi al-Hambali an-Najdi.[1] Muhammad Bin Abdul Wahab berasal dari Qabilah Banu Tamim.[2] Ia lahir tahun 1115 Hijriah (1703 Masehi) dan wafat tahun 1206 Hijriah (1792 Masehi). Beliau wafat di usia yang sangat tua, dengan umur sekitar 91 tahun. Muhammad bin Abdul Wahab belajar ilmu agama dasar bermazhab hambali dari ayahnya yang juga seorang qadhi (hakim). Pernah juga ia mengaji kepada beberapa guru agama Makkah dan Madinah.[3] Di antara gurunya di Makkah terdapat nama Syeikh Muhammad Sulaiman al Kurdi, Syeikh Abdul Wahab (bapaknya sendiri) dan kakaknya Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab. Guru-gurunya semua termasuk bapak dan kakaknya adalah ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini dapat dibaca dalam buku “As Shawa’iqul Ilahiyah firraddi al Wahabiyah” (Petir yang membakar untuk menolak paham Wahabi), karangan kakaknya, Sulaiman bin Abdul Wahab. Menurut Ustadz Hazan Khazbyk dalam suatu karangannya dikatakan, bahwa Muhammad bin Abdul Wahab ketika mudanya banyak membaca, buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan lainlain pemuka yang tersesat.[4] Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb merupakan seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi. Bin ʿAbd al-Wahhāb memiliki nama lengkap Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi. Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama yang berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni. Para pendukung pergerakan ini sesungguhnya menolak disebut Wahabbi, karena pada dasarnya ajaran Ibnu Wahhab menurut mereka adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun yang berarti "satu Tuhan".[5]



1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)



B. Pemikiran Yang Diusung Muhammad Bin Abdul Wahab Garis besar pemikiran Muhammad Bin Abdul Wahab berhubungan dengan pemurnian Tauhid, yaitu kembali pada dua ajaran pokok islam (Al-Qur’an dan Hadits).[15] Paham ini juga menolak qiyas sebagai metode untuk memutuskan hukum dalam islam.[16] Selain itu ia juga terfokus pada upaya memerangi bid’ah.[17] Berikut adalah pokok-pokok pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab: Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah, dan orang yang yang menyambah selain-Nya adalah musyrik. Meminta pertolongan bukan dari Allah, tetapi dari syeikh atau wali dan kekuatan ghaib adalah syirik Menyebut nama nabi, syaikh, atau malaikat sebagai perantara doa adalah syirik. Meminta syafaat selain dari Allah adalah syirik Bernazar atas nama selain Allah adalah syirik Memperoleh pengetahuan selain dari Al-Qur’an dan Hadits adalah kufur Tidak percaya kepada qada dan qadar adalah kufur Menafsirkan Al-Qur’an dengan ta’wil adalah kufur.[18] Salah satu pelopor pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah suatu aliran yang bernama Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19. Wahabiyah adalah suatu bagian dari firqah Islamiyah, dibangun oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1702 M – 1787 M).[6] Paham atau Madzhab Wahabi pada hakikatnya adalah kelanjutan dari mazhab Salafiyyah yang dipelopori Ahmad Ibnu Taimiyyah. Muhammad bin Abdul Wahab mendalami ilmu-ilmu syariat dengan berkeliling ke wilayahwilayah islam, seperti Basrah, Baghdad, Hamadzan, Ashfaham, Qum, dan Kairo. Setelah itu ia berkeliling mendakwahkan pahamnya yang tak jauh berbeda dengan paham Ibnu taimiyyah dan mayoritas penganut mazhab Hambali. Abdul Wahab mengadakan pembaruan dengan memperketat beberapa masalah yang tidak dilakukan oleh guru-gurunya. Ia mengharamkan rokok, melarang membangun kuburan, meskipun sekedar dengan membuat gundukan tanah, melarang tashwir (foto atau gambar makhuk bernyawa). Ia juga melarang berbagai adat kebiasaan.[7] Hal terpenting yang sangat diperhatikannya adalah masalah tauhid yang menjadi tiang agama; yang terkristalisasi dalam ungkapan la ilah illa Allah. Menurutnya, tauhid telah dirasuki berbagai hal yang hampir menyamai syirik, seperti mengunjungi para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu mendatangkan keuntungan atau kesusahan, mengunjungi kuburan mereka dikunjungi oleh orang dari berbagai penjuru dunia dan di usap-usap. Seakan-akan Allah sama dengan penguasa dunia yang dapat didekati melalui para tokoh mereka, dan orang-orang dekat-Nya. Bahkan manusia telah melakukan syirik apabila mereka percaya bahwa pohon kurma, pepohonan yang lain, sandal atau juru kunci makam dapat diambil berkahnya, dengan tujuan agar mereka dapat memperoleh keuntungan. Bagaimana menyelamatkan dari keyakinan-keyakinan seperti ini? Menurutnya, Allah swt semata-mata Pembuat Syariat dan akidah. Allah-lah yang menghalalkan dan mengharamkan. Ucapan seseorang tidak dapat dijadikan hujah dalam agama,



1. 2. 3. 1. 2.



3.



4. 5. 6.



selain Kalamullah dan Rasulullah. Adapun pendapat para teolog tentang akidah serta pendapat para ahli fikih dalam masalah halal dan haram bukanlah hujah. Setiap orang yang telah memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad berhak melakukannya. Bahkan dia wajib melakukannya. Menutup pintu ijtihad merupakan sebuah bencana atas kaum muslim, karena hal itu dapat menghilangkan kepribadian dan kemampuan mereka untuk memahami dan menentukan hukum. Menutupi pintu ijtihad berarti membekukan pemikiran dan menjadikan umat hanya mengikuti pendapat atau fatwa yang tertera dalam buku-buku orang yang di ikutinya.[8] Gerakan kedua dari usaha pemurnian aqidah yang dilakukan Wahabi adalah pemberantasan bid’ah, misalnya perayaan Maulid, keluarnya kaum wanita ikut mengiringi jenazah, perayaanperayaan spiritual, haul untuk memperingati kematian wali, acara-acara yang lazim dilakukan para pengikut aliran sufi untuk mengenang kematian guru atau nenek moyang mereka. Di samping itu, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, beberapa kebiasaan, seperti merokok, berlebihan minum kopi, laki-laki yang memakai kain sutera, mencukur jenggot, dan memakai perhiasan emas, juga dianggap bid’ah.[9] Tauhid, menurut Ibnu Abdul Wahhab, pada dasarnya adalah pengabdian (ibadah) hanya kepada Allah dengan cara yang benar-benar mengesakan-NYA. Ia membagi tauhid menjadi 3, yaitu : Tauhid Rububiah, berkenaan tentang pengesaan Allah sebagai maha pencipta segala sesuatu yang terlepas dari segala macam pengaruh dan sebab. Tauhid Asma wa sifat , berhubungan dengan pengesaan nama dan sifat-sifat Allah yang berbeda dengan Makhluk-NYA. Tauhid Ilahiyah, berkaitan dengan pengesaan Allah sebagai Tuhan yang di sembah.[10] Di antara ajaran Muhammad bin Abdul Wahab yang berkenaan dengan tauhid adalah : Zat yang boleh disembah hanyalah Allah semata, dan orang yang menyembah kepada selain Allah telah menjadi musyrikdan boleh dibunuh. Kebanyakan umat islam bukan lagi penganut tauhid yang murni karena mereka meminta pertolongan bukan lagi kepada Allah, tetapi kepada para wali dan orang saleh. Muslim seperti ini telah menjadi musyrik. Termasuk perbuatan musyrik adalah memberikan dan menyebutkan “gelar dan sebutan kehormatan” kepada nabi, wali atau malaika, terutama dalam shalat, misalnya kata sayyidina, habibuna, atau syafi’una. Memperoleh dan menetapkan ilmu yang tidak didasarkan kepada Al Qur’an dan Sunnah merupakan kekufuran. Menafsirkan Al Qur’an dengn takwil merupakan kekufuran. Pintu ijtihad selalu terbuka dan wajib dilaksanakan oleh orang yang mampu.[11] Itulah dasar dakwah Muhammad bin Abd al-Wahhab. Dia mengikuti ajaran Ibn Taimiyah. Atas dasar itu pula dibangunlah hal-hal yang parsial. Menurutnya, manusia bebas berpikir tentang batas-batas yang telah ditetapkan oleh al-qur’an dan sunah. Dia memerangi segala macam bentuk bid’ah, dan mengarahkan orang agar beribadah dan berdo’a hanya untuk Allah, bukan untuk para wali, syeikh, atau kuburan. Menurutnya, kita harus kembali pada islam pada zaman awal, yang suci dan bersih. Dia berkeyakinan bahwa kelemahan kaum Muslim hari ini terletak pada akidah mereka yang tidak benar. Jika akidah mereka bersih seperti akidah para pendahulunya yang menjunjung tinggi kalimat la ilah illa Allah (yang berarti tidak menganggap hal-hal lain sebagai Tuhan selain Allah,



tidak takut mati, atau tidak takut miskin dijalan yang benar), maka kaum Muslim pasti dapat meraih kembali kemuliaan dan kehormatan yang pernah diraih oleh para pendahulu mereka.[12] Seperti dalam sub-bab sebelumnya, cara ia berdakwah secara terang-terangan telah membuatnya dimusuhi dan akhirnya keluar dari kampung halamannya sendiri. Pelariannya ini justru yang membawa Muhammad bin Abdul Wahab bertemu dengan penguasa Dar’iyah, Amir Muhammad bin Saud. Amir Muhammad bin Sa’ud merasa cocok dengan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab dan akhirnya menjadi pengikutnya. Muhammad bin Abdul Wahab pun diberi perlindungan dalam kerajaan. Mereka berdua mulai mengajak orang-orang untuk ikut dalam barisannya, yang menolak dan melawan akan dilawan juga dengan pedang. Hubungan antara dua tokoh ini dikuatkan oleh ikatan kekeluargaan saat Muhammad bin Abdul Wahab dijadikan menantu Muhammad bin Sa’ud.[19] Hubungan antara Muhammd bin Abdul Wahab dengan Amir Muhammad bin Sa’ud makin erat. Amir Muhammad yang setuju dengan dakwah Muhammad bin Abdul Wahab kemudian membantu dengan semaksimal mungkin. Mereka bersepakat untuk menyiarkan ajaran itu ke seluruh jazirah Arab dengan lisan (bagi yang menerimanya), dan dengan pedang (bagi yang menolaknya). Dakawahnya menuai keberhasilan sedikit demi sedikit, orang mulai banyak menerimanya, termasuk beberapa Amir menerima pula, mungkin takut akan ancaman.[20] Setelah Muhammad bin Abdul Wahab wafat akhir abad 18, pengikutnya juga dengan mudah merebut pengaruh keagamaan di wilayah Mekkah dan Madinah di awal abad 19, lalu memanfaatkan musim haji untuk menyebarkan pahamnya.[21] Kemajuan-kemajuan yang mereka peroleh membuat Istanbul cemas. Sultan Mahmud II memerintahkan Muhammad Ali dari Mesir supaya mematahkan gerakan wahabiyah itu. Akhirnya 1813 Mekkah Madinah dapat direbut kembali,[22] lalu diangkatlah syarif-syarif di dua kota suci oleh Sultan, selain sebagai banteng bagi Wahabi, mereka juga bersifat akomodatif terhadap Utsmani.



C. Respon Dan Pengaruh Pemikiran Muhammad Bin Abdul Wahab Terhadap Umat Islam Demikianlah Muhammad bin Abdul Wahab yang selalu memikirkan tauhid dalam aqidah yang jauh dari syirik, dan tauhid dalam syariah bahwa tidak ada sumber hukum kecuali Al-Qur’an dan Hadits. Itulah pokok dari dakwah Muhammad bin Abdul Wahab, yang pengaruhnya masih bisa kita lihat hingga kini. Secara umum, respon dan pengaruh pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab dapat dibagi menjadi dua yaitu kepada masyarakat Jazirah Arab khususnya, dan Dunia Islam pada umumnya. Berikut adalah penjelasannya: 1) Terhadap Masyarakat Arab Ketika Muhammad bin Abdul Wahab wafat, mazhabnya diteruskan oleh keluarganya yang tersebar di seluruh Jazirah Arab, maka dengan mudah mereka menguasai Mekkah dan Madinah. Penyimpangan-penyimpangan yang ada dilawan oleh mereka. Mereka menghancurkan semua kuburan yang mewah, dan meratakannya. Di kota Mekkah mereka juga menghancurkan kubah-



kubah, diantaranya kubah Aisyah, kubah tempat kelahiran Rasul, kubah Abu Bakar, dan Ali. Begitu juga saat mereka memasuki Madinah, kuburan-kuburan sahabat yang dibangun, segera diratakan dengan tanah dan hanya diberi tanda. Mereka juga hampir saja merusak kuburan Nabi s.a.w. namun mendapat reaksi hebat dari dunia Islam.[23] Muhammad bin Abdul Wahab tidak puas hanya berkhotbah saja, namun ia berkeinginan keras untuk membangun suatu masyarakat dengan kemurnian ajaran Islam dalam keseharian. Hal itulah yang membuat masyarakat Arab yang saat itu hanya mengenal Islam sebagai Syahadat saja, menjadi berubah kehidupan Islamnya ke arah yang lebih baik dan menerapkan syariat. Setiap orang diperintah untuk sholat berjamaah, berpuasa di bulan Ramadhan, dan mengeluarkan zakat. Rokok, cukur jenggot, kopi berlebihan, emas, sutera, dan simbol kehidupan mewah lainnya, dilarang. Pajak yang tak sesuai dengan Islam juga dihapuskan. Untuk pertama kalinya selama sekian abad, tercipta kedamaian dan kemakmuran seperti ini. Konflik antara ulama mazhab yang sengit saat itupun berkurang seiring mereka melakukan sholat berjamaah di Masjid.[24] Salah satu pengaruh tersukses gerakan Muhammad bin Abdul Wahab adalah, keberhasilan menghilangkan kemusyrikan di masayarakat Arab kala itu. Mereka yang meletakkan sesaji di atas makam dan berharap dapat mendatangkan manfaat, meminta petunjuk jodoh melalui pohon kurma, dll. berhasil diluruskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dan pengikutnya.[25]



2) Terhadap Dunia Islam Telah disebutkan pada sub-bab sebelumnya bahwa ajaran Muhammad bin Abdul Wahab selanjutnya dikenal sebagai Wahabiyah. Pengaruhnya makin kuat, hingga pada tahun 1804 Mekkah dikuasai, dan 1806 giliran Madinah juga jatuh ke tangan mereka.[26] Setelah menduduki dua kota penting jazirah Arab, bahkan dua kota penting umat Islam, mereka menjadi lebih mudah untuk menyebarkan ajarannya. Musim haji menjadi momentum tepat bagi mereka untu menyebarluaskan pahamnya keluar Jazirah Arab.[27] Tidak sedikit jamaah haji yang akhirnya tertarik dengan mazhab baru itu, dan membawa pulang paham itu ke negaranya untuk disebarkan.[28] Pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab secara umum mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran di abad 19. Diantara pemikirannya adalah, pertama, mengembalikan ajaran Islam kepada dua sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan Hadits. Kedua, taklid kepada ulama tidak dibenarkan. ketiga, dibukanya lagi pintu ijtihad bagi umat Islam.[29] Wilayah luar Jazirah Arab yang terkena pengaruh ajarannya antara lain: a. India, dibawa oleh Sayyid Ahmad b. Al-Jazair, dibawa oleh imam As-Sanusi c. Mesir, dibawa oleh Muhammad Abduh (Mustofa, 1994: 393) d. Yaman, dibawa oleh Asy-Syaukani (Mukti, 1995: 57)



e. f. g. h.



Sudan, dibawa oleh Utsman Al-Mirghani (Al-Bahiy, 1985: 140) Nigeria, dibawa oleh Utsman Danfodio Guinea, Senegal, dan Mali (Afrika Barat), dibawa oleh Al-Hajj Umar Tal Indonesia, Gerakan Padri dibawa oleh Tuanku Nan Tuo (Nor Huda, 2013: 170) Kerajaan Utsmaniyah merasa terancam, dan akhirnya 1813 berhasil merebut dua kota suci kembali. Pada waktu yang sama Istanbul juga mengirimkan dai-dai ke seluruh dunia Islam agar tidak menerima Wahabiyah. Ulama Islam juga didorong untuk menulis kitab-kitab yang mendustakan gerakan Wahabi. Atas kekalahan mereka secara politik di Mekkah dan Madinah, kekuatan mereka menjadi terpecah. Umumnya masyarakat senang atas kekalahan Wahabi, karena selama ini masyarakat mengenal mereka sebagai gerakan yang keras, sekalipun masyarakat ada yang tak mengerti hakikat dakwahnya.[30]



BAB. III PENUTUP A.Kesimpulan Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M) adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi dan beliau adalah seorang ulama yang berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni. Pemikiran yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Wahab adalah upaya memperbaiki kedudukan umat Islam terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam saat itu. Paham tauhid mereka telah bercampur dengan ajaran-ajaran tarikat yang sejak abad ke-13 tersebar luas di dunia Islam. Masalah tauhid memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatiannya pada persoalan ini. Muhammad bin Abduh Wahab adalah pembaharu Islam yang kental akan mazhab Hanbali dan pemikiran Ibnu Taimiyah. Ia mendasarkan pemikiran pembaharuannya pada pemurnian Tauhid dan membersihkan bid’ah, khurafat, serta takhayul. Keadaan masyarakat jazirah Arab yang saat itu jauh dari Tauhid yang murni menjadi fokus utamanya dalam berdakwah. Seseorang yang Tauhidnya ternoda, dapat dikatakan syirik dan harus diluruskan. Koalisinya dengan Amir Muhammad ibn Sa’ud berhasil melahirkan kekuatan basis agama dan politik untuk selanjutnya menguasai Mekkah dan Madinah. Dakwahnya secara terang-



terangan dan keras membuatnya dibenci oleh sebagian besar masyarakat Arab. Namun dampak yang ditinggalkan untuk masyarakat Jazirah Arab dapat dikatakan positif dengan hilagnya kemusyrikan. Sementara itu pengaruhnya di Mekkah telah membuat ajarannya diminati jamaah haji dan akhirnya dibawa ke Negaranya untuk disebarkan menjadi bibit pembaharuan abad 19.



B.



Saran Terlepas dari pro dan kontra pemikiran dan gerakan Muhammad bin Abdul Wahab, yang jelas ide gerakan pembaharuannya patutlah dihormati dan dihargai sebagai sebuah upaya dari seseorang muslim yang dengan keyakinan pemahaman tauhidnya telah melakukan sesuatu, daripada tidak melakukan sesuatu untuk agama.



Daftar Pustaka Al-Bahiy, Muhammad. 1985. Pemikiran Islam, terj. Bambang Syarif Ma’arif. Bandung: Risalah. Ali, A. Mukti. 1995. Alam Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah. Jakarta: Djambatan. Asy-Syak’ah, Mustofa Ahmad. 1994. Islam Tidak Bermazhab, terj. A. M. Basalamah. Jakarta: Gema Insani Press. Huda, Nor. 2013. Islam Nusantara. Sleman: Ar-Ruzz Media. Jamilah, Maryam. 1993. Para Mujahid Agung, terj. Hamid Luthfi A. B.. Bandung: Mizan. Nasution, Harun. 1992. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang. Rahman, Fazlur. 1994. Islam, terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka. Abbas, Siradjuddin. 2008. I’tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah, Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru. Ahmad Amin, Husayn. 1995. Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Asy-Syak’ah, Mustofa Muhammad. Islam Tidak Bermazhab, Jakarta : Gema Insani Press. Idahram, Syaikh. 2011. Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, Yogyakarta : Pusaka Pesantren. Wahyudi, K. Yudian. 2009. Gerakan Wahabi di Indonesia, Yogyakarta : Pesantren Nawesea Press. http://id.m.wikipedia.org/wiki/Muhammad_bin_Abdul_Wahhab http://zafirint.wordpress.com/tentang-pemikiran-Muhammad-bin-‘abd-al-wahhab/



[1] http://id.m.wikipedia.org/wiki/Muhammad_bin_Abdul_Wahhab [2] K.H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru, 2008), hlm. 353. [3] Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2011), hlm. 30-31. [4] K.H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru, 2008), hlm. 353.