Makalah Kajian Strukturalisme Pada Cerita Anak [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Tugas Kelompok Mata Kuliah



: Sastra Anak



Dosen Pengampu : Prof. Dr. Hj. Djohar Amir, M.Hum



KAJIAN STRUKTURALISME PADA CERITA ANAK



OLEH KELOMPOK 4



NURAMILA



161050101049



DEA ANGRAINI I



161050101053



SAHRIL



161050101065



PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2017



18



PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra adalah karya imajinatif yang menggunakan media bahasa yang khas (konotatif) dengan menonjolkan unsur estetika yang tujuan utamanya berguna dan menghibur. Bentuk-bentuk karya sastra itu biasanya berupa puisi, prosa, dan drama. Semua karya sastra merupakan sesuatu totalitas yang memiliki nilai seni. Keindahan dan kepadatan nilai seni tersebut terkadang membuat pembaca atau penikmat karya sastra mengalami kesulitan dalam memahami dan menangkap makna yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Totalitas tersebut dibangun oleh unsur-unsur pembangun yaitu dari unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik karya sastra yaitu unsur-unsur yang berada dalam karya sastra itu sendiri dan sebagai unsur pembangun dalam tubuh karya sastra itu. Oleh karena itu, untuk memahami dan menangkap makna karya sastra pembaca perlu melakukan kajian atau analisis terhadap karya sastra tersebut. Dalam pengkajian karya sastra ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan, salah satunya dengan menggunakan pendekatan struktural. Analisis struktural karya sastra cerita anak meliputi tema, plot, penokohan, latar, sudut pandang, moral, dan bahasa.



B. Rumusan masalah Adapun pembahasan rumusan masalah dalam makalah ini yaitu: a. Bagaimanakah kajian strukturalisme pada prosa fiksi? b. Bagaimana cara menganalisis strukturalisme pada cerita anak? C. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui tentang kajian strukturalisme pada prosa fiksi. b. Untuk mengetahui analisis strukturalisme pada cerita anak. 18



PEMBAHASAN A. Tentang Kajian Strukturalisme pada Prosa Fiksi Dalam hal ini, apa yang disebut struktur hakikatnya merupakan suatu konstruksi abstrak yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berhubungan dalam susunan tertentu, yang membentuk sebuah dunia. Menurut Piaget (Zaimar, 2002: 17), konsep struktur itu mempunyai tiga ciri penting: 1. Struktur merupakan totalitas (wholenes), jadi unsur struktur tidak dapat berdiri sendiri, melainkan merupakan suatun kesatuan yang utuh. Contoh: dalam bangunan rumah tinggal, misalnya struktur kamar tidak berbeda dengan struktur kamar mandi, dan keduanya tercakup dalam struktur rumah. 2. Struktur dapat mengalami transformasi (transformation), jadi setelah melalui prose, struktur dapat berubah, maka struktur bukanlah sesuatu yang statis. Contoh: apabila atap sebuah rumah diubah menjadi kubah, maka dengan sendirinya akan terjadi transformasi, tiang-tiangnya, misalnya, juga akan berubah sesuai dengan kebutuhan untuk menyangga atap kubah. 3. Struktur mempunyai kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri (self regulation), mempunyai kemampuan otoregulasi. Contoh: apabila atap sebuah rumah diubah menjadi atap kubah, mau tidak mau tiangnya pun harus diubah, kalau tidak atap bisa runtuh. Dengan demikian, mengacu pada perspektif cara pandang strukturalisme di atas, maka karya sastra sebagai “dunia dalam kata” juga merupakan sebuah struktur yang terbentuk dan dibangun oleh unsur-unsur yang menyeluruh, bertransformasi, dan berkemampuan mengatur dirinya sendiri: (1) keseluruhan (wholenes) dalam karya sastra terlihat pada kepaduan yang terjalin antar unsur yang membangun karya sastra, misalnya hubungan antar tokoh, alur, dan



18



latar, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, selalu menyatu dan hadir dalam karya sastra (fiksi) (2) gagasan transformasinya (transformation) terlihat pada perubahannya suatu genre dalam karya sastra yang akan mengakibatkan perubahan unsurunsurnya, misalnya, perubahan genre puisi ke fiksi yang dilakukan dengan parafrase akan menyebabkan perubahan unsur-unsurnya; (3) kemampuan mengatur dirinya sendiri (self regulation), yang dalam karya sastra dapat dilihat bahwa yang menentukan makna keseluruhan karya sastra adalah unsur-unsurnya sendiri, bukan unsur luarnya. Menurut Hartoko (1986: 135), teori strukturalisme adalah sebuah teori pendekatan terhadap karya sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur karya sastra. Unsur-unsur karya sastra tersebut berdiri sendiri, dan hanya akan memperoleh makna dalam relasi unsur-unsurnya, baik relasi asosiasi ataupun relasi aposisi. Penekanan kajian strukturalisme pada karya sastra adalah keotonomian



struktur



yang



saling



berelasi.



Artinya,



kajian



strukturalisme berarti kajian yang hanya membahas karya sastra secara otonom, karya sastra harus dimaknai dengan melepaskan dirinya dari aspek-aspek diluarnya dalam menganalisis setiap unsur dalam relasinya dengan unsur-unsur lainnya. Teeuw (1988: 135-136) menyatakan bahwa pada prinsipnya, analisis struktural ini bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, setetliti, sedetail, dan sedalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh. Analisis struktural bukanlah analisis terhadap unsur secara terpisah atau penjumlahan unsur-unsurnya. Yang terpenting dari analisis struktural adalah menganalisis dalam keterpaduan struktur yang total keseluruhan makna yang unik, yang terkandung dalam karya sastra, dan tugas dan tujuan analisis struktur adalah mengupas sedetail mungkin keseluruhan makna yang padu itu.



18



Model analisis strukturalisme yang ada di sekolah saat mengkaji karya sastra hanya memotong-motong setiap unsur, misalnya tema, alur, plot, dan setting, dengan tanpa merekonstruksinya kembali dan merelasikan antar unsurnya, menjadi kesalahan yang fatal dalam pengajaran sastra. Wellek dan Warren (1956) menyebutkan bahwa unsur yang membangun karya sastra ada dua: unsur estetik (intrinsik), yaitu yang membangun karya sastra dari dalam diri karya sastra itu sendiri, dan unsur ekstraestetik (ekstrinsik), yaitu unsur yang membangun karya sastra dari luar. Oleh karena itu, kajian ini membahas pendekatan strukturalisme dalam rangka uintuk menganalisis karya sastra terutama pada pembahasan ini adalah prosa fiksi. Dalam strukturalisme, unsur-unsur pembangun karya sastra (prosa fiksi) menurut stanton (1964: 11), meliputi fakta cerita (facts) dan tema (theme), dan sarana cerita (literary device). B. Fakta Cerita (Facts) Dalam istilah yang lain, fakta cerita sering disebut sebagai struktur faktual (Stanton, 1964: 12), yang unsur-unsurnya meliputi: tokoh (characters), alur (plot) dan latar (setting). Sebagai fakta cerita, tiga unsur ini juga, yang ada pada hakikatnya, membentuk fakta realita dari kehidupan: manusia sebagai tokoh; ruang dan tempat (latar); dan pergerakan dari satu ruang ke ruang lain (alur). 1. Alur: dalam arti luas, alur adalah keseluruhan sekuen (bagian) peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam cerita, yaitu rangkaian peristiwa yang terbentuk karena proses sebab akibat (klausal) dari peristiwa-peristiwa lainnya (Stanton, 1964: 14). Menurut Stanton (1964: 15), alur dalam prosa fiksi itu memiliki tiga bagian: awal, tengah, dan akhir. a. Bagian awal dalam alur prosa fiksi biasanya mengandung dua hal penting, yaitu eksposisi



dan elemen instabilitas. Eksposisi



18



merupakan istilah yang biasa dipergunakan pengarang untuk memberitahukan dan mendeskripsikan berbagai informasi yang perlu dilakukan dalam pemahaman cerita. b. Bagian tengah dalam cerita ini merupakan bagian yang menghadirkan konflik dan klimaks. Konflik merupakan krusial dalam cerita karena keberadaan keinginan antar tokoh saling berbenturan. Dalam konflik inilah sesuatu yang dramatik terjadi, pertarungan antar dua atau lebih kekuatan pada tokoh sehingga terjadi aksi-aksi balasan (Wellek dan Warren, 1956: 185). Menurut Stanton (1964: 16), konflik dalam cerita berisi konflik internal dan eksternal. Konflik internal merupakan konflik antara dua keinginan dalam diri seorang tokoh (psikologis), sedangkan konflik eksternal merupakan konflik antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lainnya. c. Bagian akhir terdiri dari segala sesuatu yang berasal dari klimaks menuju ke pemecahan (denouement) atau hasil cerita. Kenny (1966) (Nurgiantoro, 2007: 130) menjelaskan bahwa kaidah dalam alur cerita itu meliputi: -



Kemasukakalan



(plausibility);



bahwa



cerita



memiliki



kemasukakalan jika memiliki kebenaran, yakni benar bagi diri cerita itu sendiri (sayuti, 2000: 47), tetapi tidak menutup kemungkinan jika benar juga sesuai dengan kehidupan faktual, sekalipun pada bagian ini tidak mutlak. -



Rasa ingin tahu (suspense) merupakan perasaan semacam kurang



pasti



terhadap



peristiwa-peristiwa



yang



terjadi,



khususnya yang menimpa tokoh yang diberi simpati oleh pembaca (Abrams, 1956). -



Adanya kejutan (surprise); merupakan peristiwa-peristiwa yang berisi kejutan dalam cerita, yang peristiwanya bisa saja diluar dugaan pembaca.



18



-



Kepaduan (unity) menyarankan bahwa berbagai unsur yang ditampilkan dalam alur haruslah memiliki kepaduan. Artinya, mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh, sehingga keberadaan antara unsurnya menentukan keberadaan unsurunsur yang lainnya.



2. Tokoh: tokoh dalam cerita ini merujuk pada orang atau individu yang hadir sebagai pelaku dalam sebuah cerita. -



Tokoh utama



adalah tokoh yang keberadaannya berhubungan



dengan peristiwa dalam cerita (Stanton, 1964: 17). Dengan perkataan lain, tokoh sentral merupakan tokoh yang menjadi pusat perhatian cerita, sehingga mempunyai posisi dominan sebagai tokoh yang banyak terlibat dalam peristiwa cerita atau banyak diceritakan. Biasanya tokoh utama ini hadir dalam dua peran, yaitu sebagai tokoh protagonis, yaitu tokoh yang biasanya menjadi hero (pahlawan), tokoh yang merepresentasikan nilai-nilai dan harapan pembaca, dan tokoh antagonis, yaitu tokoh yang menjadi lawan dari tokoh protagonis, yaitu tokoh yang keberadaannya tidak diharapkan oleh pembaca karena keberadaannya melawan nilainilai yang diperjuangkan oleh tokoh protagkonis. -



Tokoh tambahan adalah kebalikan dari tokoh utama, merupakan tokoh yang keberadaannya hanya sebagai penambah atau pelengkap dari tokoh utama.



3. Latar: menurut Stanton (1964: 18), latar cerita adalah lingkungan, yaitu dunia cerita sebagai tempat terjadinya peristiwa. Latar dalam cerita biasanya akan menyangkut tiga hal; (1) latar tempat, yaitu latarv yang merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dan menunjuk lokasi tertentu secara geografis, nama desa, kota, dan sebagainya; (2) latar waktu, latar waktu ini berkaitan dengan masalah “kapan” ini biasanya berkaitan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah (Nurgiantoro,



18



2007: 230); (3) latar sosial¸ merupakan latar yang merujuk pada kondisi sosial masyarakat ini mencakup; kebiasaan masyarakat dan adat istiadat yang dijadikan sebagai latar cerita.



C. Tema (Theme) Tema adalah gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis, dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko & rahmanto, 1986: 142). Tema merupakan dasar pengembangan seluruh cerita, maka tema bersifat menjiwai seluruh bagian cerita (Nurgiantoro, 2007: 68). Sayuti (2000: 191) menjelaskan bahwa tema adalah makna yang dilepaskan oleh suatu cerita atau makna yang ditemukan oleh dan dalam suatu cerita. Tema merupakan implikasi yang penting bagi suatu cerita secara keseluruhan, bukan sebagian dari suatu cerita yang dapat dipisahkan. Tema dalam fiksi, umumnya diklarifikasikan menjadi lima jenis; (1) tema jasmaniah (physical) yaitu tema yang cenderung berkaitan dengan tubuh manusia sebagai molekul, zat, dan jazad, misalnya di dalam novelnovel populer tentang percintaan remaja; (2) tema moral (organic) merupakan tema yang berhubungan dengan kehidupan manusia, yang wujudnya tentang hubungan antara pria dan wanita; (3) tema sosial (social) merupakan tema yang berada di luar masalah pribadi, misalnya masalah politik, pendidikan, dan propaganda; (4) tema egoik (egoic) merupakan tema yang menyangkut reaksi-reaksi pribadi yang pada umumnya menentang pengaruh sosial; (5) tema ketuhanan (divine) merupakan tema yang berkaitan dengan kondisi dan situasi manusia sebagai mahluk ciptaan tuhan (Sayuti, 2000: 193-194).



18



D. Sarana Cerita (Literaly Device) Sarana cerita merupakan cara-cara yang digunakan pengarang dalam menyeleksi dan menyusun bagian-bagian cerita, sehingga akan tercipta karya sastra yang bermakna. Menurut Stanton (1964), yang termasuk dalam sarana cerita ini meliputi; judul, sudut pandang, gaya dan nada, simbolisme, dan ironi. Akan tetapi, dari jumlah unsur sarana cerita yang banyak itu, pembahasan ini hanya terfokus pada judul dan sudut pandang. -



Judul merupakan elemen lapisan luar dari cerita. Oleh karena itu judul merupakan elemen yang paling dikenali oleh pembaca (Sayuti, 2000: 145), sehingga pembaca selalu berharap bahwa judul dalam cerita itu menjadi acuan sebagai pencerminan dengan isi ceritanya secara keseluruhan (Stanton, 1964: 25).



-



Sudut pandang (point of view), merupakan cara dan/ atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah cerita pada pembaca. Secara garis besar sudut pandang dalam cerita dibedakan menjadi dua: (1) sudut pandang cara bercerita orang pertama (first person) dengan penceritaan menggunakan gaya “aku”; (2) sudut pandang cara bercerita orang ketiga (third person) dengan penceritaan menggunakan gaya “dia”.



E. Analisis Strukturalisme pada Cerita Anak Analisis cerita anak ini menggunakan konsep strukturalisme, yaitu menganalisis secara cermat unsur-unsur yang membangun cerita, dan menjelaskan hubungan antar unsurnya. Adapun unsur-unsur membangun cerita tersebut adalah fakta cerita, tema, sarana cerita, dan nilai moral.



18



Kacamata Persahabatan *Heru Kurniawan “Mading sekolah sudah dipasang hari ini,” kata Bu Guru saat memberi pelajaran di kelasku. “Sehabis pelajaran ini, kalian harus melihatnya. Karena pada mading edisi minggu ini, ada info yang sangat menarik,” lanjut Bu Guru. Info apa, bu?” tanya Puspa dengan antusias. Bu guru tersenyum ramah. Kemudian berkata,” Info yang sangat menarik. Ibu tidak akan memberi tahu. Lebih baik kalian lihat sendiri. Dan siapa tahu, Mading edisi ini memuat karya kalian.” Perkataan Bu Guru benar-benar telah membuat seluruh siswa kelas lima penasaran. “Sudah, sekarang pelajaran dimulai,” kata Bu Guru mengakhiri. Pelajaran hari ini pun dimulai. Seluruh siswaa memperhatikan penjelasan Bu Guru dengan seksama. Sampai bel tanda istirahat berbunyi. Pelajaran selesai. Segera kami menyerbu halaman depan sekolah untuk melihat Mading Edisi minggu ini. Di tempat pemasangan Mading, kami berdesak-desakan. Saat itu, aku melihat Mading bersama Puspa, teman akrabku. Saat kami sedang asik membaca tulisan-tulisan di Mading, tiba-tiba dari belakang ada anak yang mendorongku. Kontan tubuhku menabrak tubuh Puspa yang berdiri di depanku. Dan, kacamata yang dipakai Puspa jatuh. Pecah. Semua siswa diam. Dengan rasa sedih Puspa mengambil pecahan-pecahan kaca yang berserakan di lantai. Aku ikut membantunya, dengan rasa kasihan. “Kasihan Puspa,” kataku dalam hati. Sejak kejadian itu, Puspa berubah. Puspa yang dulu periang, kini jadi pendiam, murung, dan jarang bicara. “Kenapa kamu sekarang berubah, Puspa?” tanyaku pada suatu hari. Sesaat Puspa terdiam. Puspa menatapku dengan tajam. Sebelum akhirnya ia berkata dengan suara yang parau,” aku bingung dengan kacamataku, Nit.” “Apa kamu sudah bilang ke ibumu, kalau kacamatamu pecah?” tanyaku. 18



Puspa menjawabnya dengan gelengan kepala. “Kenapa?” “Aku tidak berani. Kasihan ibu. Ibu pasti sedih bila tahu kacamataku pecah. Ini bisa memberinya beban. Aku tidak berani berterus terang, apalagi sekarang kondisi ibuku sedang sakit.” Aku tertegun. Aku jadi sedih juga dengan jawaban Puspa. “Terus, apa yang akan kamu lakukan, Puspa?” “Aku akan berusaha mengganti kacamataku dengan uangku sendiri.” “Bagaimana caranya? Apakah kamu bisa?” Puspa terdiam, tampak wajahnya menunjukkan kebimbangan yang sangat. “Ya, terus bagaimana caranya agar kau bisa membeli kacamata. Karena dengan keadaan ini, aku sangat sulit untuk membaca. Maklum, kondisi mataku sudah min 3.” Gantian aku yang terdiam. Aku juga bingung. Tiba-tiba aku teringat dengan info yang ada di Mading. Bahwa dalam rangka hari jadi sekolah, sekolah kami akan mengadakan lomba menulis cerpen untuk siswa. Wow, ini kesempatanku untuk membantu sahabatku. Kali ini aku harus ikut lagi lomba menulis cerpen. Siapa tahu bisa juara kembali seperti tahun lalu. Kalau aku menang, maka hadiahnya akan kuberikan buat Puspa. Syukur, aku bisa juara pertama. Jadi, uang hadiahnya cukup untuk membeli kacamata Puspa. “Kenapa kamu jadi melamun. Maafkan aku, bila keadaanku telah membuatmu bingung,” kata Puspa mengagetkan lamunanku. “Ah, tidak, Puspa. Tidak sama sekali.” Aku segera memeluk dan menghibur Puspa, sahabat karibku. Sahabat terbaikku. Sejak saat itu, aku giat menulis cerpen untuk perlombaan di sekolah. Walaupun dengan susah payah, akhirnya aku bisa membuat satu cerpen yang menurutku sangat baik. Cerpen ini kuberi judul “Kacamata Persahabatan”. Pagi harinya, aku mendaftar sebagai peserta lomba. Aku menyerahkan cerpenku pada panitia. Aku sangat berharap bisa memenangkan perlombaan kali ini.



18



Dan, saat aku membaca pengumuman pemenang lomba, jantungku terasa berhenti. Aku tidak menyangka ternyata aku kembali juara pertama. “Selamat ya, kau telah jadi juara,” kata Puspa seraya menjabat tanganku.” “Terima kasih,” jawabku singkat. Aku menatap wajah Puspa dengan tajam.”Ini kemenangan kita, Puspa,” kataku lirih. “Maksud kamu,” Puspa kaget. “Aku ikut lomba ini karena persahabatan kita, Puspa. Aku ingin membantumu membelikan kacamata dengan uang hadiah ini.” Puspa menatapku tajam. Senyum merekah indah dari bibirnya. Puspa memelukku erat-erat. “Terima kasih, Nit.” Seperti yang diungkapkan Teeuw (1988: 135-136), bahwa pada prinsipnya, analisis struktural ini bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, serinci, dan sedalam mungkinketerkaitan dan keterjalinan semua unsur karya sastra, yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh. Dengan demikian kerja analisis strukturalisme ini: (1) memaparkan secermat mungkin unsur-unsur yang membangun karya sastra, diantaranya: fakta cerita, tema, dan sarana sastra; (2) menganalisis hubungan keterjalinan dan keterkaitan antar unsur tersebut agar makna karya sastra dapat diungkap.



F. Analisis Sarana Sastra Hal pertama yang menarik dan membuat penasaran pada cerpen di atas adalah pemilihan judul (sarana sastra), sebagai representasi dari isi “kacamata persahabatan”. Judul tersebut hadir sebagai representasi atas: (1) kacamata sebagai persoalan cerita; (2) kacamata sebagai sarana untuk menanamkan pesan moral: sikap membantu dan rela berkorban demi 18



persahabatan; (3) kacamata sebagai obsesi dari tokoh utama: aku dan puspa; (4) kacamata persahabatan sebagai judul cerpen yang diikutkan dalam lomba demi persahabatan dan cerpen ini membuat aku bisa membantu sahabat terbaiknya, Puspa, untuk mewujudkan impiannya yaitu membeli kacamata baru. G. Analisis Fakta Cerita Plot; alur cerita dalam cerpen di atas, boleh dibilang sederhana, lurus (kronologis) dengan jalinan peristiwa berpusat pada tokoh aku dan puspa, dengan penahapan alurnya meliputi: eksposisi, konflik, klimaks, dan denouement. Kronologis ceritanya adalah sebagai berikut: (1) peristiwa dalam kelas ketika Bu Guru memberi informasi tentang mading sekolah (eksposisi); (2) peristiwa di depan mading yang berdesak-desakan; (3) peristiwa dialog aku dengan puspa pasca pecahnya kacamata puspa; (4) peristiwa usaha keras aku dalam menulis cerpen untuk lomba; (5) peristiwa yang menceritakan perasaan aku saat melihat pengumuman lomba; (6) peristiwa dialog aku dengan puspa tentang kemenangan lomba cerpen dan memberikan hadiahnya kepada puspa untuk membeli kacamata; (7) peristiwa keduanya ke optik untuk membeli kacamata, yang disebutnya sebagai kacamata persahabatan. Dengan demikian, peristiwa yang utama terjadi dalam cerpen di atas, sebenarnya dimulai ketika kacamata puspa pecah (konflik). Sedangkan peristiwa-peristiwa sebelumnya, sekalipun sebagai motif penggerak atau penyebab peristiwa berkembang, tetapi hanya berperan sebagai penghubung atau tambahan yang bersifat eksposisi. Tokoh; Tokoh-tokoh yang hadir dalam cerpen tersebut terdiri atas; tokoh utama, aku dan puspa, dan tokoh tambahan Bu Guru. Selebihnya adalah tokoh-tokoh yang tidak hadir secara persona, melainkan kehadirannya secara situasional. Latar; latar dalam cerpen di atas hanya bertempat di sekolah dan luar sekolah (optik), tetapi penggambaran optik tidak jelas karena optik



18



hanya diberdayakan sebagai latar cerita untuk tujuan membeli kacamata, mengkonkretkan penyelesaian persoalan, dan tidak ada deskripsi tentang optik ini secara jelas. Sementara itu, latar sekolah dengan fokus di luar ruangan kelas yang nyata, dideskripsikan dengan jelas saat di depan mading sekolah. Selebihnya latar ruang sekolah tidak dijelaskan. Akan tetapi dari penjelasan di atas, latar utama dari cerpen ini adalah sekolah dengan keadaan sosialnya, yaitu kumpulan siswa yang saling berinteraksi dalam rangka untuk belajar. H. Analisis Tema Aspek tema sebagai makna cerita dalam cerita anak, memang tidak serumit dalam cerita orang dewasa. Demikian juga dalam cerpen tersebut, setelah dibaca dan dipahami, meskipun belum menelaah keterjalinan antar unsur, tema cerpen tersebut secara umum adalah “persahabatan atau pertemanan” yaitu tema moral (organic), menyangkut hubungan moral yang harmonis antar tokoh. Dalam cerpen tersebut, moral ini menyangkut persahabatan yang terjalin antara aku dengan puspa, yang merupakan siswa sekolah dasar kelas lima. I. Analisis Relasi Antar Unsur Tema persahabatan sebagai moral (organic), seperti yang telah dijelaskan di atas, merupakan tema cerpen ini, kemudian haruslah dicari relasinya dengan unsur-unsur lainnya, sehingga kebulatan tema sebagai makna cerita bisa diungkap. Hal ini didasarkan pada paradigma strukturalisme, yang memandang bahwa makna cerita bisa diungkap dengan



memaparkan



secara



detail



jalinan



unsur-unsur



yang



membangunnya. Tema sebagai makna yang tersirat sesungguhnya bisa diungkap setelah memahami hubungan antar unsur dalam cerita. Oleh karena itu,



18



tema persahabatan yang bisa diungkap harus diteruskan dengan analisis yang rinci dalam kaitannya dengan keberadaan unsur-unsur yang lainnya. Dengan demikian, penentuan tema awal tersebut masih bersifat pemahaman, karena tema diungkap baru pada pembacaan. Seperti yang telah dijelaskan di atas, judul kacamata persahabatan menyiratkan dua fungsi: kacamata sebagai “persoalan” dan kacamata sebagai “persahabatan”. Dengan kacamata sebagai persoalan inilah maka jalinan peristiwa dalam hubungan kualitasnya bergerak membentuk cerita. Cerita dimulai dari peristiwa Bu Guru yang memberikan informasi tentang Majalah Dinding Sekolah Edisi Minggu ini. Dalam peristiwa ini, pelibatan unsur; (1) tokoh: aku dan puspa sebagai tokoh utama, Bu Guru sebagai tokoh tambahan, dan siswa sebagai tokoh penggambaran situasional; (2) latar yang menunjukkan pada sekolah (dalam ruangan kelas) siang atau pagi hari, dengan situasi sekolah sebagai tempat berkumpulnya siswa untuk proses belajar dan mengajar; dideskripsikan. Persoalan baru hadir pada peristiwa yang ke dua, yang terjadi di luar ruangan (kelas), saat siswa-siswi kelas lima sedang melihat majalah dinding dengan berdesak-desakan. Alasan peristiwa ini menjadi motif utama peristiwa karena: 1. Cerita mulai terbentuk, dalam peristiwa ini dengan kejadian pecahnya kacamata puspa. Pecahnya kacamata puspa inilah yang menjadi persoalan dalam cerita, sehingga pada peristiwa-peristiwa selanjutnya bersangkut-paut dengan persoalan kacamata. Artinya, sebenarnya seluruh peristiwa dalam cerita ini terjalin dan diorganisasi dari peristiwa pecahnya kacamata puspa. 2. Efek-efek empati sebagai dampak dari penggunaan cara bercerita orang pertama dengan aku tokoh utama sebagai pencerita mulai terbentuk. Di sisi lain, dilihat dari aspek latarnya, peristiwa ini menunjukkan adanya pergeseran latar dari dalam ruangan (kelas)



18



dengan efek-efek suasana dari formal ke informal, dari tertib ke tidak tertib, dan dari harmoni ke disharmoni. Peristiwa selanjutnya menunjukkan alur ke arah klimaks, yaitu setelah peristiwa pecahnya kacamata puspa, peristiwa selanjutnya yang hadir adalah: (1) dialog antara aku dengan puspa tentang keprihatinan, kesedihan, dan keputusan yang membahas perubahan negatif puspa setelah kacamatanya pecah. Perubahan negatif murung, sedih, dan ketidakberdayaan puspa inilah yang membangkitkan naluri aku sebagai



sahabat



untuk



membantunya.



Keadaan



inilah



yang



menciptakan peristiwa (2) aku berusaha keras untuk membuat cerpen yang bagus untuk diikutsertakan dalam lomba. Harapannya jika menang, hadiah uangnya akan diberikan ke puspa untuk membeli kacamata. Pada peristiwa ini, terjadi perpindahan suasana peristiwa, dari suasan sedih berubah menjadi suasana optimistis. Puspa sebagai teman akrab aku bahagia karena menjadi juara pertama pada lomba mengarang cerpen; sedangkan aku sebagai teman puspa, bahagia karena dengan kemenangannnnya itu ia bisa membantu puspa membeli kacamata. Di sinilah suasana persahabatan sebagai tema cerita terbentuk. Nilai moral yang bisa dipetik dari peristiwa klimaks ini adalah persahabatan yang sejati harus didasari pada sikap saling membantu dan tolong-menolong. Peristiwa selanjutnya, menunjukkan denouement, yaitu tahap penyelesaian dengan menghadirkan peristiwa pencarian kacamata di optik yang dilakukan aku dan puspa. Akhirnya peristiwa ini menjawab pertanyaan mendasar mengenai kacamata persahabatan. Dalam hal ini, terlihat bahwa hubungan antar unsur dalam cerpen di atas begitu padu, antara fakta cerita, tema, dan sarana cerita. Unsur-unsur ini membentuk satu bangunan makna yang kokoh dengan penyampaian nilai moral yang baik sebagai ciri khas dari karya sastra anak.



18



PENUTUP Strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi unsur dalam suatu karya sastra. Dalam menganalisis strukturalisme suatu karya sastra, hanya memusatkan perhatian pada unsur intrinsik sebagai unsur pembangun karya sastra. Unsur intrinsik, yaitu tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa dan amanat. Kajian strukturalisme hanya memperhatikan



unsur



intrinsik,



karena



strukturalisme



tergolong



pendekatan objektif dalam teori kritik sastra. Analisis cerita anak ini menggunakan konsep strukturalisme, yaitu menganalisis secara cermat unsur-unsur yang membangun cerita, dan menjelaskan hubungan antar unsurnya. Adapun unsur-unsur membangun cerita tersebut adalah fakta cerita, tema, sarana cerita, dan nilai moral.



18



DAFTAR PUSTAKA



Kurniawan, Heru. 2013. Sastra Anak: dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga Penulisan Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak : Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Rokhmansyah, Alfian. 2010. Pendekatan Struktural dalam Penelitian Sastra. [Online] Diakses pada 25 April 2017 http://phianzsotoy.blogspot.co.id/2010/05/pendekatan-struktural-dalampenelitian.html Rajieb, Toehsin. Analisis Strukturalisme Puisi Anak dan Cerita Anak. [Online] Diakses pada 25 April 2017 http://utakatikituk.blogspot.co.id/2013/03/analisis-strukturalisme-puisianak-dan.html



18