11 0 666 KB
Strukturalisme Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sosiologi
Portal
Teori dan Sejarah
Positivisme · Antipositivisme Fungsionalisme · Teori konflik Strukturalisme · Interaksionisme · Jarak menengah · Matematis Teori kritis · Sosialisasi Struktur dan agen
Metode penelitian Kuantitatif · Kualitatif Komputasional · Etnografi
Topik dan Cabang agama · budaya · demografi ekonomi · hukum · ilmu · industri internet · jejaring sosial · jenis kelamin kejahatan · kelas · keluarga kesehatan · kota · lingkungan pendidikan · pengetahuan · penyimpangan psikologi sosial · medis
mobilitas · politik · ras & etnisitas rasionalisasi · sekularisasi · stratifikasi Kategori dan daftar [tampilkan]
l
b
s
Dalam sosiologi, antropologi dan linguistik, strukturalisme adalah metodologi yang unsur budaya manusia harus dipahami dalam hal hubungan mereka dengan yang lebih besar, sistem secara menyeluruh atau umum disebut struktur. Ia bekerja untuk mengungkap struktur yang mendasari semua hal yang manusia lakukan, pikirkan, rasakan, dan merasa. Atau, seperti yang dirangkum oleh filsuf Simon Blackburn, strukturalisme adalah "keyakinan bahwa fenomena kehidupan manusia yang tidak dimengerti kecuali melalui keterkaitan mereka. Hubungan ini merupakan struktur, dan belakang variasi lokal dalam fenomena yang muncul di permukaan ada hukum konstan dari budaya abstrak".[1] Strukturalisme di Eropa dikembangkan di awal tahun 1900-an, di bidang linguistik struktural dari Ferdinand de Saussure berikutnya Praha,[2] sekolah Moskow[2] dan Copenhagen linguistik. Pada akhir 1950-an dan awal 60-an, ketika linguistik struktural menghadapi tantangan serius dari orang-orang seperti Noam Chomsky dan dengan demikian memudar di pentingnya, array sarjana di humaniora meminjam konsep Saussure untuk digunakan dalam bidang masing-masing studi. Antropolog Prancis Claude Levi-Strauss dikatakan sebagai ilmuwan pertama, memicu minat yang luas dalam hal Strukturalisme.[1] Model strukturalis penalaran telah diterapkan dalam berbagai bidang, termasuk antropologi, sosiologi, psikologi, kritik sastra, ekonomi dan arsitektur. Pemikir yang paling menonjol terkait dengan strukturalisme termasuk Levi-Strauss, ahli linguistik Roman Jakobson, dan psikoanalis Jacques Lacan. Sebagai gerakan intelektual, strukturalisme awalnya dianggap menjadi pewaris eksistensialisme. Namun, pada 1960-an, banyak dari prinsip dasar strukturalisme diserang dari gelombang baru intelektual terutama dari Perancis seperti filsuf dan sejarawan Michel Foucault, filsuf dan komentator sosial Jacques Derrida, filsuf Marxis Louis Althusser, dan kritikus sastra Roland Barthes.[2] Meskipun unsur pekerjaan mereka selalu berhubungan dengan strukturalisme dan diinformasikan oleh itu, teori ini umumnya disebut sebagai post-strukturalis. Pada 1970-an, strukturalisme dikritik karena kekakuan dan ahistorisme. Meskipun demikian, banyak pendukung strukturalisme, seperti Lacan, terus menegaskan pengaruh pada filsafat kontinental dan banyak asumsi dasar dari beberapa kritikus strukturalis bahwa pasca-strukturalis adalah kelanjutan dari strukturalisme.[3]
Daftar isi
1 Tujuan
2 Masa Strukturalisme
3 Ciri-ciri Strukturalisme
4 Tokoh-tokoh dan sumbangan bidang strukturalisme
5 Referensi
6 Bibliografi
7 Bacaan lanjutan
Tujuan Tujuan Strukturalisme adalah mencari struktur terdalam dari realitas yang tampak kacau dan beraneka ragam di permukaan secara ilmiah (obyektif, ketat dan berjarak).[4] Ciri-ciri itu dapat dilihat strukturnya:
Bahwa yang tidak beraturan hanya dipermukaan, namun sesungguhnya di balik itu terdapat sebuah mekanisme generatif yang kurang lebih konstan.[4]
Mekanisme itu selain bersifat konstan, juga terpola dan terpola dan terorganisasi, terdapat blok-blok unsur yang dikombinasikan dan dipakai untuk menjelaskan yang dipermukaan.[4]
Para peneliti menganggap obyektif, yaitu bisa menjaga jarak terhadap yang sebenarnya dalam penelitian mereka.[4]
Pendekatan dengan memakai sifat bahasa, yaitu mengidentifikasi unsur-unsur yang bersesuaian untuk menyampaikan pesan.[4] Seperti bahasa yang selalu terdapat unsurunsur mikro untuk menandainya, salah satunya adalah bunyi atau cara pengucapan.[4] [5]
Strukturalisme dianggap melampaui humanisme, karena cenderung mengurangi, mengabaikan bahkan menegasi peran subjek.[4]
Masa Strukturalisme Tahun 1966 digambarkan oleh Francois Dosse dalam bukunya Histoire du Structuralisme sebagai tahun memancarnya strukturalisme di Eropa, khususnya di Prancis.[5][6] Perkembangan strukturalisme pada tahun 1967-1978 digambarkan sebagai masa penyebaran gagasan strukturalisme dan penerangan tentang konsep strukturalisme serta perannya dalam ilmu pengetahuan.[6]
Ciri-ciri Strukturalisme
Struktur Diamond, Keteraturan yang indah Ciri-ciri strukturalisme adalah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual objek melalui penyelidikan, penyingkapan tabiat, sifat-sifat yang terkait dengan suatu hal melalui pendidikan.[7] Ciri-ciri itu bisa dilihat dari beberapa hal; hirarki, komponen atau unsur-unsur, terdapat metode, model teoritis yang jelas dan distingsi yang jelas.[7] Para ahli strukturalisme menentang eksistensialisme dan fenomenologi yang mereka anggap terlalu individualistis dan kurang ilmiah.[4] Salah satu yang terkenal adalah pandangan Maurice Merleau-Ponty yang menentang fenomenologi dan eksistensialisme tubuh manusia. [5] Merleau-Ponty menekankan bahwa hal yang fundamental dalam identitas manusia adalah bahwa kita adalah objek-objek fisik yang masing-masing memiliki kedudukan yang berbedabeda dan unik dalam ruang dan waktu.[5]
Tokoh-tokoh dan sumbangan bidang strukturalisme
Ferdinand De Saussure dalam linguistik.[7]
Sebagai penemu stuktur bahasa, Saussure berargumen dengan melawan para sejarawan yang menang dalam pendekatan filologi.[8] Dia mengajukan pendekatan ilmiah, yang didekati dari sistem terdiri dari elemen dan peraturannya dalam pembuatannya yang bertujuan menolong komnunikasi dalam masyarakat.[8] Dipengaruhi oleh Emile Durkheim dalam sebuah social fact, yang berdasar pada objektivitas di mana psikologi dan tatanan sosial dipertimbangkan.[8] Saussure memandang bahasa sebagai gudang (lumbung) dari tanda tanda diskusif yand dibagikan oleh sebuah komunitas.[8] Bahasa bagi Saussure adalah modal interpretasi utama dunia, dan menuntut suatu ilmu yang disebut semiologi.[7]
Levi-Strauss dalam masyarakat.[7]
Metode Strauss adalah anthropologi dan linguistik secara serempak.[7] Unsur-unsur yang digelutinya adalah mengenai mitos, adat-istiadat, dan masyarakatnya sendiri.[7] Dalam proses analisisnya, manusia kemudian dipandang sebagai suatu porsi dari struktur, yang tidak
dikonstitusikan oleh analisis itu, melainkan dilarutkan dengan analisis.[7] Perubahan penekanan dari manusia ke struktur merupakan ciri umum pemikiran strukturalis.[7]
Lev Vygotsky, Jacques Lacan dan Jean Piaget dalam psikologi.[7]
Jacques Lacan (Freudian) dalam psikologi menggambarkan pekerjaan Saussure dan LeviStrauss untuk menekankan pendapat Sigmund Freud dengan bahasa dan argumen yang, sebagai sebuah tatanan kode, bahasa dapat mengungkapkan ketidaksadaran orang itu.[8] Hal ini masalah, bahwa bahasa selalu bergerak dan dinamis, termasuk metafora, metonomi, kondensasi serta pergeserannya.[8] Jean Piaget sendiri menggambarkan strukturalismenya sebagai sebuah struktur yang terpadu, yaitu yang unsur-unsurnya adalah anggota dari sistem di luar struktur itu sendiri.[6] Sistem itu ditangkap melalui kognisi anggota masyarakat sebagai kesadaran kolektif.[6]
Frege, Hillbert dalam meta-logika meta-matematika.[7]
Roland Berthes menerapkan analis strukturalis pada kritik sastra dengan menganggap berbagai macam ekspresi atau analisis bahasa sebagai bahasa yang berbeda-beda.[7] Tugas kritik sastra adalah terjemahan, yaitu mengekspresikan sistem formal yang telah dibentangkan penulisnya dengan suatu bahasa.[7] Hal ini terkait dengan kondisi zamannya.[7]
Michel Foucault dalam filsafat.
Strukturalisme modern atau poststrukturalisme dalam bidang filsafat adalah dengan mendekati subjektivitas dari generasi dalam berbagai wacana epistemik dari tiruan maupun pengungkapannya.[8] Sebagaimana peran isntitusional dari pengetahuan dan kekausaan dalam produksi dan pelestarian disiplin tertentu dalam lingkungan dan ranah sosial juga berlaku pendekatan itu.[8] Dalam disiplin ini, Focault menyarankan, di dalam perubahan teori dan praktik dari kegilaan, kriminalitas, hukuman, seksualitas, kumpulan catatan itu dapat menormalisasi setiap individu dalam pengertian mereka.[8]
Guenther Schiwy dalam kekristenan
Strukturalisme terkait kekristenan dalam atemporal sturkturalisme sebenarnya cocok dengan penekanan eternalistik kekristenan.[7] TEORI-TEORI STRUKTURALISME 1. Pendahuluan Teori sastra, khususnya sejak awal abad ke-20 berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan ini dengan sendirinya sejajar dengan terjadinya kompleksitas kehidupan manusia, yang kemudian memicu perkembangan
genre sastra.
Kemajuan dalam bidang teknologi informasi menopang sarana dan prasarana penelitian yang secara keseluruhan membantu memberikan kemudahan dalam
proses pelaksanaannya. Fungsi utama karya sastra adalah untuk melukiskan, mencerminkan kehidupan manusia, sedangkan kehidupan manusia itu sendiri selalu mengalami perkembangan. Dalam hubungan inilah diperlukan genre yang berbeda, dalam hubungan ini pula diperlukan teori yang berbeda untuk memahaminya. Hubungan karya sastra dengan masyarakat, dengan teknologi informasi yang menyertainya,
minat
masyarakat
terhadap
manfaat
penelitian
interdisiplin,memberikan pengaruh terhadap perkembangan teori sastra selanjutnya. Strukturalisme, yang telah berhasil untuk memasuki hampir seluruh bidang kehidupan manusia, dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa
manusia
pada
pemahaman
secara
maksimal.
Secara
historis,
perkembangan strukturalisme terjadi melalui dua tahap, yaitu: formalisme dan strukturalisme dinamik. Meskipun demikian, dalam perkembangan tersebut juga terkandung ciri-ciri khas dan tradisi intelektual yang secara langsung merupakan akibat perkembangan strukturalisme. Oleh karena itulah, pada bagian berikut juga akan
dibicarakan
prinsip-prinsip
antarhubungan,
strukturalisme
semiotik,
strukturalisme genetik, dan strukturalisme naratologi.
2.Pengertian Strukturalisme Secara definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antar hubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur (unsur) dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman, tetapi juga negatif, seperti konflik dan pertentangan. Istilah struktur sering dikacaukan dengan sistem. Definisi dan ciri-ciri sruktur sering disamakan dengan definisi dan ciri-ciri sistem. Secara etimologis struktur berasal dari kata structura (Latin), berati bentuk, bangunan, sedangkan sistem berasal dari kata systema (Latin), berarti cara. Struktur dengan demikian menunjuk pada kata benda, sedangkan sistem menunjuk pada kata kerja. Pengertian-pengertian struktur yang telah digunakan untuk menunjuk unsur-unsur yang membentuk totalitas pada dasarnya telah mengimplikasikan keterlibatan sistem. Artinya, cara kerja sebagaimana ditunjukan oleh mekanisme antar hubungan
sehingga terbentuk totalitas adalah sistem. Dengan kalimat lain, tanpa keterlibatan sistem maka unsur-unsur hanyalah agregasi. Sejak ditemukannya hukum-hukum formal yang berhubungan dengan hakikat karya sekitar tahun 1940-an, bahkan sejak formalisme awal abad ke-20, model analisis terhadap karya sastra telah membawa hasil yang gilang-gemilang. Bahasa sebagai sistem model pertama telah dieksploitasi semaksimal mungkin dalam rangka menemukan aspek-aspek estetikanya. Ciri-ciri kesastraan, cara-cara pembacaan mikroskopi, analisis intristik, dan sebagainya, yang secara keseluruhan mmberikan intensitas terhadap kedudukan karya sastra secara mandiri, karya sastra sebagai ergon, selama hampir setengah abad merupakan tujuan utama penelitian. Analisis ‘Les Chats’ karya Baudelaire oleh Roman Jakobson dan Levi-Strauss, Sarrasine karya Balzac oleh Roland Barthes, dongeng-dongeng Rusia oleh Propp, dianggap sebagai puncak keberhasilan strukturalisme. Berbagai analisis yang dilakukan oleh mazhab Rawamangun, khususnya penelitian yang dilakukan oleh A.Teeuw, Umar Junus, Rachmat Djoko Pradopo, dan Made Sukada, termasuk skripsi, tesis, disertasi yang belum terbit yang masih tersimpan di perpustakaan, merupakan hasil strukturalisme. Perkembangan ilmu pengetahuan, setelah mencapai klimaks akan mengalami stagnasi sebab akan timbul konsep dan paradigma baru, sesuai dengan perkembangan masyarakat yang mendukungnya. Klimaks strukturalisme dianggap sebagai
involusi,
tidak
memberikan
arti
yang
memadai
terhadap
hakikat
kemanusiaan. Strukturalisme dinggap sebagai mementingkan objek, dengan konsekuensi menolak,bahkan ‘mematikan’ sebjek pencipta. Oleh karena itulah, strukturalisme dianggap sebagai antihumanis. Strukturalisme juga dianggap melepaskan karya dari sejarah sastra dan sosial budaya yang justru merupakan asal-usulnya. Lahirnya
strukturalisme
dinamik
didasarkan
atas
kelemahan-kelemahan
strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan kemudian formalisme di atas. Strukturalisme dinamik dimaksudkansebagai penyempurnaan strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsik, yang dengan senirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamis mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky dan Felik Vodicka (Fokkema,
1977: 31). Menurutnya, karya sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda, struktur, dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda yang memperoleh makna dalam kedadaran pembaca. Oleh karena itulah, karya seni harus dikembalikan pada kompetensi penulis, masyarakat yang menghasilkannya, dan pembaca sebagai penerima. Secara definitif strukturalisme memberikan perhatian terhadap analisis unsur-unsur karya. Setiap karya sastra, baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda, memiliki unsur-unsur yang berbeda. Di samping sebagai akibat ciri-ciri inheren tersebut, perbedaan unsur juga terjadi sebagai akibat dari perbedaan proses resepsi pembaca. Dalam hubungan inilah karya sastra dikatakan sebagai memiliki ciri-ciri yang khas, otonom, tidak bisa digeneralisasikan. Setiap penilaian akan memberikan hasil yang berbeda. Meskipun demikian perlu dikemukakan unsurunsur pokok yang terkandung dalam ketiga jenis karya, yaitu: prosa, puisi, dan drama. Unsur-unsur prosa, diantaranya: tema, peristiwa atau kejadian, latar atau seting, penokohan atau perwatakan, alut atau plot, sudut pandang, dan gaya bahasa. Unsur-unsur puisi, diantaranya: teema, stilistika atau gaya bahasa, imajinasi atau daya bayang, ritme atau irama, rima atau persajakan, diksi atau pilihan kata, simbol, nada, dan enjambemen. Unsur-unsur drama, dalam hubungan ini drama teks, di antaranya: tema, dialog, peristiwa Secara persis sama sebagaimana dikemukakan oleh para penemunya. Teori pun dapat
ditafsirkan
sesuai
dengan
kemampuan
peneliti.
Teori
adalah
alat,
kapasitasnya berfungsi untuk mengarahkan sekaligus membantu memahami objek secara maksimal. Teori memiliki fungsi statis sekaligus dinamis. Aspek statisnya adalah konsep-konsep dasar yang membangun sekaligus membedakan suatu teori dengan teori yang lain. Dalam strukturalisme, misalnya, konsep-konsep dasarnya adalah unur-unsur, anatrhubungan, dan totalitasnya. Aspek-aspek dinamisnya adalah konsep-konsep dasar itu sendiri sesudah dikaitkan dengan hakikat objeknya. Konsep inilah yang berbah secara terus-menerus, sehingga penelitian yang satu berbeda dengan penelitian yang lain. Selama lebih kurang setengah abad perkembangan strukturalime telah memberikan hasil yang memadai yang meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sebagai suatu cara pemahaman, baik sebagai teori maupun metode, ciri-ciri yang cukup
menonjol adalah lahirnya berbagai kerangka dan model analisis, khususnya analisis fiksi. Dalam kerangka strukturalisme, di mana diperlukan adanya suatu keteraturan, suatu pusat yang pada gilirannya akan melahirkan saluran-saluran komunikasi, kerangka dan model-model analisis yang dikemukakan oleh para kritikus sastra, sesuai dengan tujuannya masing-masing, dapat diterima secara positif. Sebaliknya, dalam kerangka analisis sastra kontemporer jelas model yang dimaksudkan tidak sesuai dan tidak diperlukan sebab prinsip-prinsip postrukturalisme memprasyaratkan pemahaman yang tidak harus dilakukan melalui suatu kerangka analisis yang sudah baku. A. Prinsip-prinsip Antarhubungan Dalam strukturalisme konsep fungsi memegang peranan penting. Artinya, unsurunsur sebagai ciri khas teori tersebut dapat berperanan secara maksimal sematamata dengan adanya fungsi, yaitu dalam rangka menunjukan antarhubungan unsurunsur yang terlibat. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa struktur lebih dari sekedar unsur-unsur dan totalitasnya, karya sastra lebih dari sekedar pemahaman bahasa sebagai medium, karya sastra lebih dari sekedar penjumlahan bentuk dan isinya. Antarhubungan dengan demikian merupakan kualitas energetis unsur. Unsur-unsur memiliki fungsi yang berbeda-beda, dominasinya tergantung pada jenis, konvensi, dan tradisi sastra. Unsur-unsur pada gilirannya memiliki kapasitas untuk melakukan reorganisasi dan regulasi diri, membentuk dan membina hubungan antarunsur. Sesuai dengan proposisi Durkheim (Johnson, 1988: 168) mengenai masyarakat, maka dalam karya, totalitas selalu lebih besar dan lebih berarti dari jumlah unsurnya. Kualitas karya dinilai dalam totalitasnya, bukan akumulasi unsurnya. Unsur tidak memiliki arti dalam dirinya sendiri, unsur dapat dipahami semata-mata dalam proses antarhubungannya. Makna total setiap entitas dapat dipahami hanya dalam integritasnya terhadap totalitasnya. Dunia kehidupan merupakan totalitas fakta sosial, buka totalitas benda. Antarhubungan mengandaikan pergeseran nilainilai substansial ke arah struktural, nilai dengan kualitas bagian ke arah kualitas totalitas. Hubungan yang terbentuk tidak semata-mata bersifat positif, melainkan juga negatif, seperti konflik dan pertentangan. Menurut Craib (1994: 177), variasi unsur dalam suatu komunitas hubungan bisa sama, tetapi variasi hubungan akan menghasilkan sesuatu yang sama sekali berbeda.
Sebagai kualitas totalitas, antar hubungan merupakan energi, motivator terjadinya gejala yang baru, mekanisme yang baru, yang pada gilirannya menampilkan maknamakna yang baru. Tanpa antarhubungan sesungguhnya unsur tidak berarti, tanpa antarhubungan unsur-unsur hanya
berfungsi sebagai agregasi. Mekanisme
antarhubungan di atas dianggap sebagai pergeseran yang signifikan dan fundamental, yaitu dari struktur yang otonom ke arah relevansi fungsi karya sebagai sistem komunikasi. Karya dengan demikian tidak dipahami melalui ergon yang terisolasi, melainkan selalu dalam kaitannya dengan perubahan realitas sosial. Karya tidak dapat diisolasi, karya mesti dikondisikan sebagai fakta kemanusiaan sehingga memungkinkan untuk mengoperasikan secara maksimal berbagai saluran komunikasi yang terkandung di dalamnya. Melalui tradisi formalis, khususnya tradisi strukturalisme, ciri-ciri antarhubungan memperoleh tempat yang memadai. Teori-teori poststrukturalisme, baik sebagai negasi maupun afirmasi terhadap prinsip-prinsip strukturalisme jelas memanfaatkan secara maksimal kualitas antarhubungan tersebut. Antarhubungan merupakan sistem jaringan yang mengikat sekaligus memberikan makna terhadap gejala-gejala yang ditangkap. Dalam mekanisme antarhubungan dievokasi pola-pola yang memungkinkan terjadinya kualitas estetis. Suatu cerita menjadi menarik, misalnya, salah satu cara yang dilakukan oleh pengarang adalah dengan mempercepat, atau sebaliknya memperlambat terjadinya suatu peristiwa, meningkatkan atau sebaliknya menurunkan frekuensi pemanfaatan kata-kata tertentu, sehingga merangsang keingintahuan pembaca. Kehidupan praktis sehari-hari jelas didominasi oleh konsep hubungan. Setiap orang mengenal dirinya sendiri atas dasar perbedaanya dengan orang lain di sekitarnya. Proses dan sistem komunikasi didasarkan atas terjadinya berbagai bentuk hubungan, baik dalam ruang maupun waktu. Perubahan status perana disadarkan atas perubahan pola-pola hubungan sosial. Dinamika dan dengan demikian keberlangsungan kehidupan itu sendiri pun diakibatkan melalui terjadinya perubahan hubungan. Sebagai replika kehidupan, jelas karya sastra memanfaatkan energi antarhubungan dalam membangun totalitas. Melalui medium bahasa, pengarang hanya menyajikan unsur-unsur fisik, sebagai fabula. Antarhubunganlah, yaitu melalui imajinasi pembaca, yang mengubah crita sehingga menyerupai kehidupan, dalam
bentuk plot. Antarhubungan mengimplikasikan unsur-unsur kebudayaan, artinya antarhubungan merupakan indikator penyebarluasan unsur-unsur kebudayaan sehingga khazanah suatu kebudayaan dapat dipahami oleh komunitas yang lain. Keberhasilan sebuah karya sastra dengan demikian juga ditentukan oleh kemampuan penulis dalam menyajikan keberagaman antarhubungan. Dengan mengambil analogi dalam bidang bahasa, sebagai hubungan sintagmatis dan paradigmatis, maka karya sastra dapat dianalisis dengan dua cara. Pertama, menganalisis
unsur-unsur
yang
terkandung
dalam
karya
sastra.
Kedua,
menganalisis karya melalui perbandingannya dengan unsur-unsur di luarnya, yaitu kebudayaan pada umumnya. Mekanisme tata hubungan sintagmatis memberikan pemahaman dalam kaitannya dengan jumlah unsur dalam karya, sedangkan mekanisme tata hubungan paradigmatis memberikan pemahaman dalam kaitan karya dengan masyarakat yang menghasilkannya. Analisis pertama dilakukan melalui pendekatan interistik, sedangkan analisis yang kedua dilakukan melalui pendekatan ekstrinsik. Sastra bandingan, sosiologi sastra, dan psikologi sastra, dilakukan atas dasar antarhubungan yang kedua. Studi mengenai struktur dan fungsi, khususnya dalam teori-teori sosiologi kontemporer menghantarkan manusia pada pemahaman mendasar terhadap nilainilai kehidupan secara keseluruhan. Struktur mengacu pada seperangkat unit sosial yang relatif stabil dan berpola, sedangkan fungsi mengacu pada proses dinamis yang terjadi dalam struktur tersebut. Fungsi-fungsi mengandaikan terjadinya antarhubungan, sebaliknya, antarhubungan mengevokasi perubahan fungsi. Pada dasarnya struktur sudah mengimplikasikan antarhubungan sekaligus fungsi. Menurut Poloma (1987: 23-26), asal usul sosiologisnya adalah sosiolog Perancis Emile Durkheim yang kemudian dilanjutkan oleh Auguste Comte dengan konsep masyarakat sebagai struktur dan fungsi, masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri atas bagian-bagian yang saling tergantung satu dengan yang lain. Pada umumnya para sosiolog mengambil analogi organisme hidup, dengan pertimbangan bahwa baik masyarakat maupun organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan, setiap bagian memiliki fungsi yang berbeda, sehingga setiap perubahan pada bagian tertentu akan berpengaruh terhadap bagian-bagian yang lain. Konsep Durkheim
kemudian dilanjutkan juga oleh Malinowski dan Radcliffe-Brown, termasuk Talcot Parsons. Relevansi prinsip-prinsip antarhubungan dalam analisis karya sastra, di satu pihak mengarahkan peneliti agar secara terus-menerus memperhatikan setiap unsur sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan unsur-unsur yang lain. Di pihak lain, antarhubunganlah yang menyebabkan sebuah karya sastra, suatu masyarakat, dan gejala apa saja agar memiliki arti yang sesungguhnya. Kesalahpahaman mengenai fungsi-fungsi antarhubungan menyebabkan peneliti hanya meneliti salah satu unsur tertentu, yang pada gilirannya berarti memperkosa hakikat suatu totalitas. Analisis terhadap penokohan, misalnya, tidak mungkin dilakukan secara terpisah dari unsurunsur yang lain. Dengan kalimat lain, penokohan tidak dapat dipahami tanpa menghubungkannya dengan unsur-unsur yang lain, seperti kejadian, latar, plot, dan sebagainya. B. Teori Formalisme Sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kelahiran formalisme dipicu oleh paling sedikit tiga faktor, sebagai berikut. Formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas, dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi biografi. Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, dimana terjadinya pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis. Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan psikologi. Dikaitkan dengan tradisi keilmuan secara luas, Ian Craib (1994: 156-157) menunjuk beberapa disiplin yang dianggap sebagai awal perkembangan formalisme. Bidang filsafat, melalui Emmanuel Kant (1724-1808), mulai mempertimbangkan kemampuan manusia untuk memahami keteraturan dunia. Melalui aliran kritisisme, Kant memadukan rasionalisme dengan empirisme. Artinya, di satu pihak Kant mempertahankan kualitas objektivitas dan keniscayaan penegrtian, di pihak yang
lain juga menerima pengertian yang bertolak dari gejala-gejala. Sudut pandang yang lain (Scholes, 1977: 7) menganggap konsep unsur terkandung dalam hermeneutika, khususnya melalui paradigma Schleiermacher dan Dilthey, dengan anggapan bahwa sebuah karya seni harus dipahami melaui hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhannya. Di samping itu, analisis unsur-unsur dengan hermeneutika, sebagai teori dan metode, diharapkan akan menampilkan mekanisme yang saling melengkapi sebab keduanya memiliki objek yang sama, yaitu teks. Struktur tes yang berlapis-lapis dan mengandung ruang-ruang kosong merupakan medan makna dari hermeneutika. Dalam bidang antropologi budaya yang dipelopori oleh Emile Durkheim (1858-1917), dengan ide solidaritas dan integrasi sosial, memandang hubungan individu dengan masyarakat sebagai suatu sistem, dalam struktur sosial. Paradigma baru dari ilmu bahasa, sebagaimana dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure yang lahir di Swis (1857-1913), khususnya melalui karyanya yang berjudul Cours de linguistque generale (1916), yang selanjutnya dianggap sebagai bapak strukturalisme, menampilkan pergeseran yang radikal untuk menganalisis bahasa sebagai sistem, makna hanya dapat dipahami melalui mekanisme relasionalnya. Perkembangannya
yang
sangat
pesat,
bahkan
juga
sesudah
menjadi
poststrukturalisme terjadi di Perancis sekitar tahun 1960-an, dengan ciri-ciri tersendiri, yang dipelopori oleh Clude Levi-Strauss, Roland Barthes, Tzvetan Todorov, A.J Greimas, Claude Bremond, Gerard Genette, Julia Kristeva, Michel Foucault, Jacques Derrida, dan sebagainya. Melalui tradisi intelektual linguistik inilah kemudian berkembang ke disiplin lain, seperti Antropologi (Levi-Strauss), Christian Metz (kritik film), Michel Foucault (sejarah pemikiran), Roland Barthes (kritik sastra), Jacques Lacan (psikologi), Jacques Derida (filsafat). Dengan adanya divergensi subjek kreator, maka formalisme dengan demikian juga menolak karya sastra sebagai ungkapan pandangan hidup, sekaligus perbedaan secara dikotomis antara bentuk dan isi. Sebagai kandungan, masalah-masalah yang berkaitan dengan isi dapat dipahami dengan kaitanya dengan fungsi. Formalisme juga menolak peranan karaya satra semata-mata sebagai sarana untuk memahami hakikat kebudayaan yang lebih luas. Sebagai sistem komunikasi, berbeda dengan bahasa sehari-hari yang menyampaikan informasi melalui sarana-sarana di luar bahasa, formalisme menyampaikannya melalui tanda-tanda bahasa itu sendiri. Secara etimologis formalisme berasal dari kata forma (latin), yang berarti bentuk
atau wujud. Formalisme mengutamakan pola-pola suara dan kata-kata formal, bukan isi, olehkarena itulah, cara kerjanya disebut metode formal. Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis Rusia, yang terdiri atas para pakar sastra dan linguistik. Ada dua pusat kegiatan, yaitu: a) Lingkaran Linguistik Moskow yang didirikan tahun 1915 oleh Roman Jakobson, Petr Bogatyrev, dan Grigorii Vinokur, dan b) Mazhab Opojaz (Masyarakat Studi Puitika Bahasa) Leningrad yang didirikan tahun 1916 oleh Boris Eichenbaum, Victor Sklovski, Osip Brik, dan Lev laukubinskii (Nina Kolesnikoff dalam Irena R Makaryk, ed, 1993: 53). Tujuan pokok formalisme adalah studi ilmiah tentang sastra, dengan cara meneliti unsur-unsur kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi, dan sebagainya. Metode yang digunakan, baik dalam tradisi formalisme maupun sesudah menjadi strukturalisme, bahkan sesudah strukturalisme, adalah metode formal. Metode formal tidak merusak teks, juga tidak mereduksi, melainkan merekonstruksi dengan cara memaksimalkan konsep
fungsi,
sehingga
menjadikanteks
sebagai
suatu
kesatuan
yang
terorganisasikan. Prinsip dan sarana inilah yang mengarahkannya pada konsep sistem dan akhirnya ke konsep struktur. Oleh karena itulah, menurut Luxemburg, dkk. (1984: 35) formalisme dianggap sebagai peletak dasar ilmu sastra modern. Sekitar tahun 1930-an, sebagai akibat situasi politik, dengan alasan bahwa modelmodel pendekatan formal bertentangan dengan ajaran Marxis, formalisme dilarang di Rusia tetapi berkembang di Praha (Cekoslovakia), melalui tokoh-tokoh Roman Jakobson, Mukarovsky, Rene Wellek, dan Felix Vodicka, formalisme Praha justru mengkritik formalisme Rusia yang dianggap tidak menopang perkembangan sastra sebab terlalu banyak memberikan perhatian pada bentuk, sehingga sama sekali mengabaikan isi. Setelah memperoleh kritik formalisme Praha ini, maka formalisme pada umumnya dianggap sudah menjadi strukturalisme,. Oleh karena situsi politik yang terus berlanjut, yaitu sebagai campur tangan Nazisme, tokoh-tokoh strukturalisme, di antaranya Rene Wellek dan Roman Jakobson, sekitar tahun 1940an meninggalkan Cekoslovakia dan pergi ke Amerika, yang sekaligus melairkan mazhab Kritik Baru. Masalah pendekatan, teori, dan metode, demikian juga konsep-konsep berfikir liannya, tidak bisa dibatasi secara pasti, kapan kelahirannya, demikian juga kapan kematiannya.
Konsep struktur pada dasarnya sudah ada sejak Aristoteles, tetapi menjadi teori modern
sesudah
melalui
perkembangan
formalisme
di
atas.
Melalui
perkembangannya yang sangat pesat tersebut, konsep strukturalisme tampil secara berbeda-beda, meliputi berbagai disiplin, seperti: matematika, logika, biologi, fisika, psikologi, antropologi, linguistik, dan ilmu-ilmu humaniora lainnya. Meskipun demikian, persamaan pokok yang ditunjukan adalah peranan unsur-unsur dalam membentuk totalitas, kaitan secara fungsional
antara unsur-unsur tersebut,
sehingga totalitas tidak dengan sendirinya sama dengan jumlah unsur-unsurnya. Menurut Jean Piaget, ada tiga dasar strukturalisme, yaitu: a) kesatuan, sebagai koherensi internal, b) transformasi, sebagai pembentukan bahan-bahan baru secara terus-menerus, dan c) regulasi diri, yaitu mengadakan perubahan dengan kekuatan dari dalam. Penerapan strukturalisme dalam disiplin linguistik yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure, melalui mazhab Jenewa, merupakan langkah yang sangat maju dalam rangka mengarahkan teori tersebut sebagai teori modern selanjutnya. Konsep dasar yang ditawarkan adalah perbedaan yang jelas, dikotomi antara a) signifiant (bentuk, bunyi, lambang, penanda) dan signifie (yang diartikan, yang ditandakan, yang dilambangkan, petanda), b) paroie (tuturan, penggunaan bahasa individual) dan langue (bahasa yang hukum-hukumnya telah disepakati bersama), dan c) sinkroni (analisis karya-karya sezaman) dan diakroni (analisis karya dalam perkembangan kesejarahannya). Saussure (Gertz, 2001: 178-179) menolak pemahaman bahasa secara historis yang terjadi abad ke-19, pemahaman kata-kata dan ekspresi (parole) sepanjang sejarah. Menurutnya, pemahaman yang benar adalah pemahaman antihistoris, bahasa sebagai sistem internal (langue). Menurut Saussure, bahasa diumpamakan sebagai karya musik, untuk memahaminya kita harus memperhatikan keutuhannya, bukan pada permainan individual. Menurut Saussure (Norris, 1983: 25) linguistik modern dengan demikian dapat berkembang semata-mata dengan cara: a) memberikan prioritas terhadap penelitian sinkronis sekaligus meninggalkan model-model penelitian diakronis abad ke-19, dan b) memberikan prioritas terhadap bahasa sebagai sistem (langue) sebab sistem inilah yang mendasari ranah bahasa tuturan. Makna hanya bisa dihasilkan atas dasar aturan-aturan yang baku. Studi bahasa sinkronik adalah studi terhadap fakta-fakta sosial sebab bahasa adalah gejala sosial. Ahli bahasa mengamati kebiasaan-kebiasaan bahasa pada waktu
tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkannilai dalam sistem tersebut. Pada saat ini pada dasarnya strukturalisme sudah melahirkan semiologi. Di samping dalam bidang linguistik juga berkembang dalam antropologi (Claude Levi-Strauss), filsafat (Foucault, Althusser), psikoanalisis (Lacan), analisis puisi (Roman Jakobson), dan analisis cerita (Genete). Sejumlah istilah dan konsep yang secara khas disumbangkan oleh kelompok formalisme, diantaranya: kesastraan, bentuk dan isi, fabula dan sjuzet, otomatisasi dan defamiliarisasi. Hakikat kesastraan (literariness) merupakan ciri-ciri umum kelompok formalis. Menurutnya, meskipun pada dasarnya tidak ada perbedaan secara intristik antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari, tetapi dengan cara mengadakan penyusunan kembali, dengan mempertimbangkan fungsinya dalam suatu struktur, maka bahasa sastra akan berbeda dengan bahasa biasa. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa bahasa sastra adalah bahasa yang diciptakan, aspek-aspek kesastraanlah yang membuat karya tertentu sebagai karya sastra. Intensitas terhadap bahasa sastra pada gilirannya menghilangkan perbedaan bentuk dan isi. Karya sastra dengan demikian adalah bentuk sekaligus isi, isi hadir hanya melalui medium bentuk. Dengan kalimat lain, isi adalah struktur itu sendiri. Fabula dan sjuzet merupakan konsep formalis yang paling terkenal. Cerita dan penceritaan, cerita dan plot, dianggap sebagai konsep kunci dalam membedakan karya sastra, khususnya sastra naratif, dengan sejarah dan peristiwa sehari-hari. Fabula adalah bahan kasar, kejadian yang tersusun secara kronologis, oleh karena itu fabula disebut juga konstituten plot. Sjuzet mengorganisasikan keseluruhan kejadian kedalam struktur penceritaan. Dalam puisi, energi organisatoris ini dipegang oleh ritme. Semata-mata dalam struktur penceritaan inilah, sebagai kualitas yang dibangun, sebagai struktur yang diciptakan, terkandung kualitas estetis sebuah karya sastra. Konsep lain yang juga sangat terkenal, yang dikemukakan oleh Sklovsky (baca Selden, 6-15), adalah otomatisasi yang defamiliarisasi. Otomatisasi adalah
pemakaian
bahasa
yang
sudah
biasa,
otomatis.
Defamiliarisasi
(pengasingan) membuat yang sudah biasa menjadi luar biasa, menjadi baru, menjadi aneh, menyimpang, misalnya, dengan cara memperlambat, menunda, dan menyisipi. Dalam sastra naratif, defamiliarisasi biasanya diperoleh mekanisme pemplotan dengan cara mengubah susunan kejadian. Otomatisasi mirip dengan
reifikasi menurut pemahaman Berger dan Luckmann (1973: 106-107) dan ada sesejajaran denga estetika persamaan dan estetika pertentangan menurut pemahaman Lotman (baca Teeuw, 1988: 360). Pada dasarnya evolusi sastra adalah proses pengasingan secara terus-menerus. Usaha maksimal kelompok formalis dalam rangka menemukan hakikat karya sastra dengan cara megeksploitasi sarana bahasa telah mencapai klimaksnya. Meskipun demikian, penemuan tersebut justru mngarahkan pada paradigma baru, karya tidak bisa dipahami secara terisolasi semata-mata melalui akumulasi perngkat-perangkat intrinsiknya, tetapi juga harus melibatkan keseluruhan faktor yang membentuknya. Pergeseran perhatian dari masalah-masalah teknis, khususnya sebagaiimana digemari oleh kelompok formalisme awal, ke arah pemahaman sastra secara lebih luas, melahirkan strukturalisme. Formalisme memiliki dampak atas strukturalisme Perancis, yang kemudian memicu penelitian Todorov, Roland Barthes, dan Gerarld Genette. Formalisme juga memegang peranan dalam perkembangan strukturalisme Rusia tahun 1960-an, mempengaruhi kelompok Tartu-Moskow, termasuk Lotman, Alexander Zholkovsky, dan Boris Uspensij. Sebagai asal-usul teori modern dalam bidang sastra relevansi formalisme seperti telah dijelaskan di atas adalah pergeseran pandangan dari unsur-unsur di luar sastra ke sastra itu sendiri. Pergeseran yang dimaksudkan membawa implikasi langsung pada pandangan bahwa yang terpenting dalam analisis adalah karya, dalam hubungan ini medium bahasa dan aspek-aspek kesastraan dengan berbagai problematikanya. Sesuai dengan perkembangan formalisme, pada tahap permulaan karya sastra yang memperoleh perhatian adalah puisi yang kemudian dilanjutkan dengan jenis fiksi. Pada perkembangan yang terakhir inilah dikemukakan konsepkonsep yang relevan dalam analisis novel, seperti perbedaan antara cerita dengan penceritaan. Pada dasarnya keseluruhan unsur fikis dimanifestasikan dalam penceritaan, yang pada umumnya disebut plot. Teks dan wacana, dua istilah yang menduduki posisi yang sangat penting dalam teori sastra kontemporer pada dasarnya juga dieksploitasi melalui mekanisme penceritaan tersebut. Melalui relasi oposisi fabula dan sjuzet, formalisme membawa ilmu sastra pada pemahaman baru, sastra sebagai energi untuk menjadikan segala sesuatu seolah-olah terlihat untuk pertama kali.
C. Teori Strukturalisme Dinamik Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang berari bentuk atau bangunan. Asal-muasal strukturalisme, seperti sudah dikemukakan di atas, dapat dilacak dalam Poetica Aristoteles, dalam kaitannya dengan tragedi, lebih khusus lagi dalam pembicaraanya mengenai plot. Konsep plot harus memiliki ciri-ciri yang terdiri atas kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan (Teeuw, 1988: 121-134). Perubahan paradigma yang sangat mendasar baru terjadi dua puluh lima abad kemudian, yaitu dengan memberikan prioritas pada karya sastra itu sendiri. Perkembangan tersebut diawali oleh formalisme Rusia (1915-1930), strukturalime Praha (1930-an), Kritik baru di Amerika Serikat (tahun 1940-an), dan sekitar tahun 1960-an disusul oleh strukturalisme baru di Rusia, strukturalisme Perancis, strukturalisme Inggris, gerakan otonomi di Jerman, strukturalisme di Belanda, dan strukturalisme di Belanda, dan strukturalisme di Indonesia melalui kelompok Rawamangun (1960-an). Menurut Teeuw (1988: 131), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme berkembang melalui tradisi formalisme. Artinya, hasil-hasil yang dicapai melalui tradisi formalis sebagian besar dilanjutkan dalam strukturalis. Di satu pihak, para pelopor formalis sebagian besar terlibat dalam mendirikan strukturalis. Di pihak yang lain atas dasar pengalaman formalislah mereka mendirikan strukturalisme. Oleh karena itulah, menurut Mukarovsky (Rene Wellek, 1970: 275-276), strukturalisme sebagaimana yang mulai iperkenalkan tahun 1934, tidak menggunakan nama metode atau teori sebab di satu pihak, teori berarti bidang ilmu pengetahuan tertentu, di pihak yang lain, metode berarti prosedur ilmu yang relatif baku. Pada masa tersebut strukturalisme terbatas sebagai sudut pandang etimologi, sebagai sistem tertentu denga mekanisme antarhubungannya. Oleh karena itu pulalah, Robert Scholes (1977) menjelaskan keberadaan strukturalisme menjadi tiga tahap, yaitu: sebagai pergeseran paradigma berfikir, sebagai metode, dan terakhir sebagai teori. Mekanisme seperti itu merupakan cara yang biasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Demikianlah akhirnya strukturalisme disempurnakan kembali dalam strukturalisme genetik, resepsi, interteks, dan akhirnya pascastrukturalisme , khususnya dalam dekonstruksi.
Seperti dijelaskan diatas, secara definitif srtukturalisme mulai dengan lahirnya ketidakpuasan dan berbagai kritik atas formalisme. Sejarah strukturalisme, demikian juga sejarah teori pada umumnya adalah sejarah proses intelektualitas. Menurut Kuhn (1962), sejarah tersebut dibangun atas dasar kekuatan evolusi sekaligus revolusi. Perkembangan teori tidak cukup dibangun atas dasar akumulasi konsep, metode, dan berbagai pandangan dunia lainnya, melainkan juga memerlukan perubahan secara radikal yang pada gilirannya memicu proses percepatan lahirnya teori-teori yang baru. Hal yang senada juga dikemukakan oleh Saussure dalam menjelaskan bahasa, di mana bahasa bukanlah tumpukan kata yang berfungsi untuk menjelaskan benda-benda. Simbol tidak berhubungan dengan rujukan, tetapi terdiri atas penanda dan petanda dan semata-mata berfungsi dalam sistem, sebagaimana makna tanda-tanda lampu lalu lintas. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, meskipun strukturalisme berhubungan erat dengan formalisme Rusia, aliran Praha, dan strukturalisme Polandia, strukturalisme pada umumnya diasosiasikan dengan pemikiran Perancis tahun 1960-an, yang sebagian besar dihubungkan dengan etnografi Levi-Strauss, demikian juga pemikiran Roland Barthes, Michel Foucault, Gerard Genette, Louis Althusser, Jaques Lacan, J. Greimas, dan Jean Piaget. Sebagaian dari mereka memasuki era baru dalam teori postsrukturalis. Ilmu pengetahuan, khususnya ilmu humaniora, tidak berkembang secara garis lurus dan tidak searah, melainkan berada dalam kondisi saling mempengaruhi, saling melengkapi sehingga lebih banyak bergerak sebagai kualitas dialektis. Apabila dalam ilmu sastra strukturalisme dianggap sebagai perkembangan kemudia dari formalisme, dalam sosiologi, menurut Marvin Haris (1979: 166-167), asal-usul strukturalisme adalah ide sebagaimana dikemukakan oleh Durkheim. Sejajar dengan penjelasannya mengenai hakikat suatu masyarakat, totalitas yang tediri atas kesadaran
kolektif,
maka
pikiran
pun
terdiri
atas
cetakan-cetakan
yang
memungkinkan untuk memahami totalitas benda-benda. Dengan cara yang sama maka setiap kebudayaan terdiri atas pola-pola, dengan isi yang berbeda-beda. Di sinilah tugas analisis struktur yaitu membongkar unsur-unsur yang tersembunyi yang berada di baliknya. Berbeda dengan paradigma sosiologi sebelumnya yang disebut sebagai teori-teori individualistis, yang menyatakan masyarakat dibentuk oleh individu,
sebaliknya,
menurut
Durkheim,
justru
individulah
yang
dibentuk
masyarakat. Sejajar dengan konsep ini, naka dalam strukturalisme, unsur memiliki arti hanya dalam totalitasnya. Tokoh-tokoh
penting
strukturalisme,
di
antaranya:
Roman
Jakobson,
Jan
Mukarovsky, Felix Vodicka, Rene Wellek, Jonathan Culler, Robert Scheles, dan sebagainya. Jakobson sekaligus merupakan tokoh formalis, strukturalisme Ceko, strukturalisme di Amerika Serikat, dan strukturalisme modern pada umumnya. Teori Jakobson (Teeuw, 1988: 53), yang terdiri atas enam faktor (addresser, addesse, context, message, contact, dan code) dengan enam fungsi (emotive, conative, reverential, poetic, phatic, dan metalingual), meskipun banyak ditolak, tetapi sangat relevan dalam kaitannyadengan pemahaman fungsi-fungsi puitika bahasa. Bersama Levi-Strauss, teori tersebut diterapkan dalam menganalisis puisi Charles Baudelaire yang berjudul ‘Les Chats’. Meskipun demikian, buku yang paling berwibawa mengenai konsep strukturalisme adalah Theory of Literature yang ditulis oleh Rene Wellek dan Austin Warren, terbit pertama kali tahun 1942. buku tersebut merupakan perpaduan antara strukturalisme Ceko dengan Kritik Baru.(1) Aspek Ekstrinsik (historis, sosiologis, psikologis, filosofis, religius),(2)Aspek Intristik Elemen-elemen cipta sastra (a)insiden, (b)plot, (c) karakterisasi,(d)teknik cerita,(e) komposisi cerita, dan (f) gaya bahasa. D. Teori Semiotika Secara definitif, menurut Paul Cobley (2002) Semiotika berasal dari kata seme,bahasa Yunani yang artinya penafsir tanda.Literatur lain semiotika berasal dari kata semeion yang berarti tanda. Dalam pengertian yang luas sebagai teori semeotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interprestasi tanda, bagaimana cara kerjanya,apa manfaatnya
terhadapa kehidupan manusia .
Kehidupan manusi dipenuhi oleh tanda, dengan perantaraan tanda-tanda proses kehidupan menjadi lebih efesien,dengan perantaran tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi degan sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia, dengan demikian manusia adalah homo semioticus. Buku Saussure yang terkenal berjudul Cours d Linguistique Generale, yang terbit tahun 1916 dianggap sebagai asal-muasal teori strukturalisme sekaligus sebagai teori bahasa,yaitu linguistik sebagai bagian integral teori komunikasi dan keseluruhan
hubungan sosial.Apabila konsep-konsep Saussure bersisi ganda,sebagai diadik, maka konsep Peirce bersisi tiga sebagai triadik.Diadik Saussure ditandai oleh ciri-ciri kesatuan internal,sedangkan triadik ditandai oleh dinamisme internal..Dilihat dari cara kerjanya , maka terdapat (a) semiotika sintaksis yaitu studi dengan memberikan intensitas hubungan antara tanda dengan tanda-tanda yang lain.(b)semantik semiotika,studi yang memberikan perhatian hubungan tanda dengan acuannya , dan (c) pragmatik semiotika, yaitu studi yang memberikan perhatian antara pengirim dan penerima. Dilihat dari faktor yang menentukan tanda, maka tanda dibedakan menjadi (1) representamen,ground tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum qualisigns (terbentuk oleh kualitas),sinsigns (terbentuk melalui realitas fisik),dan
(c)
legisigns
types
(berupa
hukum).
(2)
object( designatum,denotatum,referent) yaitu apa yang diacu: ikon hubungan antara tanda dengan obyek karena serupa,indeks hubungan tanda dengan objek karena sebab akibat, simbol adalah hubungan tanda dengan obyek karena kesepakatan, (3) interpretan yaitu tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima seperti : rheme tanda
sebagai
kemungkinan
(konsep),dicisigns,dicent
signs
tanda
sebagai
fakta(pernyataan deskripsi), argument tanda tampak sebagai nalar(proposisi). Diantara representament,obyect, dan interpretant yang paling banyak diulas adalah obyect. 3. Impilikasi Strukturalisme dalam Pembelajaran Sastra Dalam strukturalisme bahwa sastra merupakan suatu konstruk yang dapat dianalisis dan bukannya produk inspirasi yang keramat. Strukturalisme membuat sebuah mekanisme sastra yang aksesibel bagi semuanya, termasuk bagi para siswa. Konvensi literer atau kode dapat dibuat eksplisit dan dapat dipikirkan. Semua siswa sudah dapat menginternalisasikan banyak kode dan oleh tanda itu, mereka memiliki kompetensi literer yang potensial. Akan tetapi, yang mereka miliki sering tidak dimanfaatkan karena mereka tidak tahu bahwa mereka memilikinya, atau tidak tahu cara menggunakanya. Sebab sebagai guru, kita bertanggung jawab untuk membantunya agar mereka menyadari hal itu. Di samping itu, kita juga bertanggung jawab untuk mengajari mereka sesuatu yang lain, sehingga mereka dapat mengendalikan dan menggunakanya guna mencapai tujuan-tujuan mereka dalam membaca dan menulis.
Pengajaran kita seharusnyabertujuan memberikan kepada siswa suatu penguasaan keterampilan dan konvensi-konvensi membaca dan menulis, dan bukanya mengajarkan eksplisikasi teks khusus secara autoritatif. Penyususn cerita dan puisi sendiri, membuat siswa lebih sadar bahwa puisi dan cerita orang lain merupakan konstruk,produk pilihan dan mekanisme linguistik yang dimanipulasikan untuk mencapai tujuan-tujuan penulisnya. Dalam strukturalisme bahwa realitas bukanlah sesuatu yang diberikan melalui refleksi bahasa, melainkan dihasilkan oleh bahasa, strukturalisme menghancurkan mitos mengenai teks sastra kaum realis-ekspresif, yaqitu mitos bahawa teks sastra merupakan jendela kebenaran.Walaupun demikian,penolakan terhadap realitas dan intensi-intensi manusia di luar bahasa merupakan sesuatu yang bersifat reduktif dan over-deterministic.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hartoko.Dick. 1984. Pengantar Ilmu Sastra, PT.Gramedia: Jakarta 2. Kutha.R.Nyoman ,2004, Teori dan Metode, dan Praktik Penelitian Sastra .Pustaka Pelajar : Jogjakarta. 3. Teeuw,A. 1988. Sastra dan Ilmu Satra, Teori pengantar Sastra .Pustaka Jaya : Jakarta 4. Wellek,Rene,dan Austin Warren. 1992.Theory of Leterature, A Harvest Book Harcourt,Barce & Word,Inc: New York
Teori Strukturalisme A. Pendahuluan Tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan teori yang masuk akal dan dapat dipercaya. Hanya dengan berteori, pertanyaanpertanyaan dasar mengenai situasi social yang ada di dalam kehidupan manusia dapat dijawab. Karena itu, sebelum berbicara tentang teori teori sosiologi, maka ada baiknya kita uraikan secara singkat terlebih dahulu tentang pengertian teori, fungsi teori serta pengklasifikasian teori sosiologi.
B. Pengertian Teori Menurut Turner teori merupakan proses mental untuk membangun ide sehingga ilmuwan dapat menjelaskan mengapa peristiwa itu terjadi (Sunarto, 2000: 225). Sedangkan Kornblum mengemukakan bahwa teori merupakan seperangkat jalinan konsep untuk mencari sebab terjadinya gejala yang diamati. Dalam proses pencarian sebab ini, ara ilmuwan membedakan antara faktor yang dijelaskan dengan faktor penyebab. Menurut Soerjono Soekanto (2000: 27), suatu teori pada hakikatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut caracara tertentu. Fakta merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris. Oleh sebab itu dalam bentuk yang paling sederhana, teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya. Bagi seseorang yang belajar sosiologi, teori mempunyai kegunaan antara lain untuk (Zamroni, 1992: 4): 1. sistematisasi pengetahuan; 2. menjelaskan, meramalkan, dan melakukan kontrol social 3. mengembangkan hipotesa C. Teori Sosiologi Dalam sosiologi ditempuh berbagai cara untuk mengklasifikasikan teori. Ritzer dalam buku Teori Sosiologi Modern Edisi ke6 (2006) meskipun tidak menyebutkan secara eksplisit, namun dalam karyanya itu dapat dilihat klasifikasi berdasarkan pada urutan waktu lahirnya teori sosiologi. Klasifikasi yang hampir sama juga dilakukan oleh Doyle Paul Johnson (1986)
dalam bukunya Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Ritzer dalam bukunya membagi sebagai berikut: 1) Teori Sosiologi Klasik (Sosiologi TahunTahun Awal) Periode ini ditandai oleh munculnya aliran Sosiologi Perancis dengan tokohtokoh: Saint Simon, Auguste Comte, dan Emile Durkheim. Sosiologi Jerman dengan tokohtokoh: Karl Marx, Max Weber, dan Georg Simmel. Sosiologi Inggris yang dipelopori oleh Herbert Spencer. Serta Sosiologi Italia dengan tokoh Vilfredo Pareto. 2) Teori Sosiologi Modern. Teoriteori ini merupakan pengembangan dari aliranaliran Sosiologi Klasik. Aliranaliran utama dalam teori sosiologi modern ini meliputi: Sosiologi Amerika, Fungsionalisme, Teori Konflik, Teori NeoMarxis, Teori Sistem, Interaksionisme Simbolik, Etnometodologi, Fenomenologi, Teori Pertukaran, Teori Jaringan, Teori Pilihan Rasional, Teori Feminis Modern, Teori Modernitas Kontemporer, Strukturalisme, dan PostStrukturalisme 3) Teori Sosial PostModern. Aliran teori ini merupakan kritik atas masyarakat modern yang dianggap gagal membawa kemajuan dan harapan bagi masa depan. Para teoritisi yang tergabung dalam aliran ini antara lain: Michael Foucoult, Jean Baudrillard, Jacques Derrida, Jean Francois Lyotard, Jacques Lacan, Gilles Deleuze, Felix Guattari, Paul Virilio, Anthony Giddens, Ulrich Beck, Jurgen Habermas, Zygmunt Bauman, David Harvey, Daniel Niel Bell, Fredric Jameson. D. Strukturalisme Teori Strukturalisme termasuk teori Sosiologi Modern dan juga Post Modern, karena dalam perkembangannya, teori ini terus dikembangkan dan menjadi teori Post Strukturalisme. Walaupun teori ini jelas memusatkan perhatiannya pada struktur, tetapi tidak sepenuhnya sama dengan struktur yang menjadi sasaran perhatian teoritisi Fungsionalisme Struktural (salah satu teori Sosiologi klasik). Perbedaanya pada tekanannya, yaitu Fungsionalisme Struktural memusatkan perhatiannya pada struktur sosial, sedangkan Teori Strukturalisme memusatkan pada struktur linguistik (Ritzer, 2004 : 603). Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap. Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifatsifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan
penetapan hubungan antara fakta atau unsurunsur sistem tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsurunsur pada setiap tingkat) (Bagus, 1996: 1040) Gagasangagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi interdisipliner tentang gejalagejala budaya, dan dalam mendekatkan ilmuilmu kemanusiaan dengan ilmuilmu alam. Akan tetapi introduksi metode struktural dalam bermacam bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang siasia untuk mengangkat strukturalisme pada status sistem filosofis. (Bagus, 1996: 1040) a. Ferdinand de Saussure Untuk mengenal lebih lanjut tentang strukturalisme maka ada baiknya untuk menyimak pemikiran Ferdinand de Saussure yang banyak disebut orang sebagai bapak strukturalisme, walaupun bukan orang pertama yang mengungkapkan strukturalisme. Banyak hal yang menunjukkan Ferdinand de Saussure adalah bapak strukturalisme. Selain ia sebagai bapak strukturalisme ia juga sebagai bapak linguistik yang ditunjukkan dengan mengadakan perubahan besarbesaran di bidang lingustik. Ia yang pertama kali merumuskan secara sistematis cara menganalisa bahasa, yang juga dapat dipergunakan untuk menganalisa sistem tanda atau simbol dalam kehidupan masyarakat, dengan menggunakan analisis struktural. Ia mengatakan bahwa linguistik adalah ilmu yang mandiri, karena bahan penelitiannya, yaitu bahasa, juga bersifat otonom. Bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap. Menurutnya ada kemiskinan dalam sistem tanda lainnya, sehingga untuk masuk ke dalam analisis semiotik, sering digunakan pola ilmu bahasa. De Saussure mengatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapkan gagasan, dengan demikian dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad orangorang bisu tuli, upacara simbolik, bentuk sopan santun, tanda tanda kemiliteran dan lain sebagainya. Bahasa hanyalah yang paling penting dari sistem sistem ini. Jadi kita dapat menanamkan benih suatu ilmu yang mempelajari tandatanda di tengahtengah kehidupan kemasyarakatan; ia akan menjadi bagian dari psikologi umum, yang nantinya dinamakan oleh de saussure sebagai semiologi. Ilmu ini akan mengajarkan kepada kita, terdiri dari apa saja tandatanda itu, kaidah mana yang mengaturnya. Karena ilmu ini belum ada, maka kita belum dapat mengatakan bagaimana ilmu ini, tetapi ia berhak hadir, tempatnya telah ditentukan lebih dahulu. Linguistik hanyalah sebahagian dari ilmu umum itu,
kaidahkaidah yang digunakan dalam semiologi akan dapat digunakan dalam linguistik dan dengan demikian linguistik akan terikat pada suatu bidang tertentu dalam keseluruhan fakta manusia. Gagasan yang paling mendasar dari de Saussure adalah sebagai berikut: 1. Diakronis dan sinkronis: penelitian suatu bidang ilmu tidak hanya dapat dilakukan secara diakronis (menurut perkembangannya) melainkan juga secara sinkronis (penelitian dilakukan terhadap unsurunsur struktur yang sezaman) 2. Langue dan parole: langue adalah penelitian bahasa yang mengandung kaidahkaidah, telah menjadi milik masyarakat, dan telah menjadi konvensi. Sementara parole adalah penelitian terhadap ujaran yang dihasilkan secara individual. 3. Sintagmatik dan Paradikmatik (asosiatif): sintagmatik adalah hubungan antara unsur yang berurutan (struktur) dan paradikmatik adalah hubungan antara unsur yang hadir dan yang tidak hadir, dan dapat saling menggantikan, bersifat asosiatif (sistem). 4. Penanda dan Petanda: Saussure menampilkan tiga istilah dalam teoi ini, yaitu tanda bahasa (sign), penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurutnya setiap tanda bahasa mempunyai dua sisi yang tidak terpisahkan yaitu penanda (imaji bunyi) dan petanda (konsep). Sebagai contoh kalau kita mendengan kata rumah langsung tergambar dalam pikiran kita konsep rumah. Strukturalisme termasuk dalam teori kebudayaan yang idealistik karena strukturalisme mengkaji pikiranpikiran yang terjadi dalam diri manusia. Strukturalisme menganalisa proses berfikir manusia dari mulai konsep hingga munculnya simbolsimbol atau tandatanda (termasuk didalmnya upacaraupacara, tandatanda kemiliteran dan sebagainya) sehingga membentuk sistem bahasa. Bahasa yang diungkapkan dalam percakapan seharihari juga mengenai proses kehidupan yang ada dalam kehidupan manusia, dianalisa berdasarkan strukturnya melalui petanda dan penanda, langue dan parole, sintagmatik dan paradikmatik serta diakronis dan sinkronis. Semua relaitas sosial dapat dianalisa berdasarkan analisa struktural yang tidak terlepas dari kebahasaan. Dalam memahami kebudayaan kita tidak bisa terlepas dari prinsipprinsip dasarnya. de Saussure merumuskan setidaknya ada tiga prinsip dasar yang penting dalammemahami kebudayaan, yaitu: 1. Tanda (dalam bahasa) terdiri atas yang menandai (signifiant, signifier, penanda) dan yang ditandai (signifié, signified, petanda). Penanda adalah citra bunyi sedangkan petanda adalah
gagasan atau konsep. Hal ini menunjukkan bahwa setidaknya konsep bunyi terdiri atas tiga komponen (1) artikulasi kedua bibir, (2) pelepasan udara yang keluar secara mendadak, dan (3) pita suara yang tidak bergetar. 2. Gagasan penting yang berhubungan dengan tanda menurut Saussure adalah tidak adanya acuan ke realitas obyektif. Tanda tidak mempunyai nomenclature. Untuk memahami makna maka terdapat dua cara, yaitu, pertama, makna tanda ditentukan oleh pertalian antara satu tanda dengan semua tanda lainnya yang digunakan dan cara kedua karena merupakan unsur dari batin manusia, atau terekam sebagai kode dalam ingatan manusia, menentukan bagaimana unsurunsur realitas obyektif diberikan signifikasi atau kebermaknaan sesuai dengan konsep yang terekam. 3. Permasalahan yang selalu kembali dalam mengkaji masyarakat dan kebudayaan adalah hubungan antara individu dan masyarakat. Untuk bahasa, menurut Saussure ada langue dan parole (bahasa dan tuturan). Langue adalah pengetahuan dan kemampuan bahasa yang bersifat kolektif, yang dihayati bersama oleh semua warga masyarakat; parole adalah perwujudan langue pada individu. Melalui individu direalisasi tuturan yang mengikuti kaidahkaidah yang berlaku secara kolektif, karena kalau tidak, komunikasi tidak akan berlangsung secara lancar. Gagasan kebudayaan, baik sebagai sistem kognitif maupun sebagai sistem struktural, bertolak dari anggapan bahwa kebudayaan adalah sistem mental yang mengandung semua hal yang harus diketahui individu agar dapat berperilaku dan bertindakj sedemikian rupa sehingga dapat diterima dan dianggap wajar oleh sesama warga masyarakatnya.
b. Pierre Bourdieu Bourdieu pada awalnya menghasilkan karyakarya yang memaparkan sejumlah pengaruh teoritis, termasuk fungsionalisme, strukturalisme dan eksistensialisme, terutama pengaruh Jean Paul Sartre dan Louis Althusser. Pada tahun 60an ia mulai mengolah pandanganpandangan tersebut dan membangun suatu teori tentang model masyarakat. Gabungan antara pendekatan teori obyektivis dan teori subyektivis sosial yang dituangkan dalam buku yang berjudul ”outline of a theory of practice” dimana didalamnya ia memiliki posisi yang unik karena berusaha mensintesakan kedua pendekatan metodologi dan epistemologi tersebut.
Dalam karyanya ini ia menyerang pemahaman kaum strukturalis yang menciptakan obyektivisme yang menyimpang dengan memposisikan ilmuwan sosial sebagai pengamat. Menurutnya pemahaman ini mengabaikan peran pelaku dan tindakantindakan praktis dalam kehidupan sosial. Kelebihan Bourdieu adalah menghasilkan cara pandang dan metode baru yang mengatasi berbegai pertentangan di antara penjelasanpenjelasan sebelumnya. Pemikirannya bukan hanya menjawab pertanyaan tentang asal usul dan seluk beluk masyarakat tetapi lebih pada menjawab persoalanpersoalan baru yang diturunkan dari pemikiranpemikiran terdahulu. Terdapat 3 konsep penting dalam pemikiran Bourdieu yaitu Habitus, Field dan Modal. Berikut ini akan dibahas ketiga konsep tersebut dan akan dijelaskan interaksi ketiga konsep ini dalam masyarakat. Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Setiap aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Melalui polapola itulah aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektis habitus adalah ”produk internalisasi struktur” dunia sosial. Atau dengan kata lain habitus dilihat sebagai ”struktur sosial yang diinternalisasikan yang diwujudkan”. Habitus mencerminkan pembagian obyektif dalam struktur kelas seperti umur, jenis kelamin, kelompok dan kelas sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan sosial diduduki. Habitus berbedabeda pada setiap orang tergantung pada wujud posisi seseorang dalam kehidupan sosial; tidak setiap orang sama kebiasaannya; orang yang menduduki posisi yang sama dalam kehidupan sosial, cenderung mempunyai kebiasaan yang sama. Habitus lebih didasarkan pada keputusan impulsif, dimana seorang individu bereaksi secara efisien dalam semua aspek kehidupan. Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Disatu pihak habitus adalah struktur yang menstruktur artinya habitus adalah sebuah struktur yang menstruktur kehidupan sosial. Dilain pihak habitus adalah struktur yang terstruktur, yaitu habitus adalah struktur yang distruktur oleh dunia sosial. Habitus menjadi konsep penting baginya dalam mendamaikan ide tentang struktur dengan ide tentang praktek. Ia berusaha mengkonsepkan kebiasaan dalam berbagai cara, yaitu:
1. Sebagai kecenderungankecenderungan empiris untuk bertindak dalam caracara yang
khusus (gaya hidup) 2. Sebagai motivasi, preferensi, cita rasa atau perasaan (emosi) 3. Sebagai perilaku yang mendarah daging 4. Sebagai suatu pandangan tentang dunia (kosmologi) 5. Sebagai keterampilan dan kemampuan sosial praktis 6. Sebagai aspirasi dan harapan berkaitan dengan perubahan hidup dan jenjang karier.
Habitus membekali seseorang dengan hasrta. Motivasi, pengetahuan, keterampilan, rutinitas dan strategi untuk memproduksi status yang lebih rendah. Bagi Bourdieu keluarga dan sekolah merupakan lembaga penting dalam membentuk kebiasaan yang berbeda. Field bagi Bourdieu lebih bersifat relasional ketimbang struktural. Field adalah jaringan hubungan antar posisi obyektif di dalamnya. Keberadaan hubungan ini terlepas dari kesadaran dan kemauan individu. Field bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan bukanlah intersubyektif antara individu. Penghubi posisi mungkin agen individual atau lembaga, dan penghubi posisi ini dikendalikan oleh struktur lingkungan. Bourdieu melihat field sebagai sebuah arena pertarungan. Struktur Field lah yang menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri. Field adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan. Lingkungan adalah lingkungan politik (kekuasaan) yang sangat penting; hirarki hubungan kekuasaan di dalam lingkungan politik membantu menata semua lingkungan yang lain. Bourdieu menyusun 3 langkah proses untuk menganalisa lingkungan, pertama, menggambarkan keutamaan lingkungan kekuasaan (politik). Langkah kedua, menggambarkan struktur obyektif hubungan antar berbagai posisi di dalam lingkungan tertentu, ketiga, analis harus mencoba menetukan ciriciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan. Dengan kata lain, Field adalah wilayah kehidupan sosial, seperti seni, industri, hukum, pengobatan, politik dan lain sebagainya, dimana para pelakunya berusaha untuk memperoleh kekuasaan dan status.
Bourdieu menganggap bahwa modal memainkan peranan yang penting, karena modallah yang memungkinkan orang untuk mengendalikan orang untuk mengendalikan nasibnya sendiri maupun nasib orang lain. Ada 4 modal yang berperan dalam masyarakat yang menentukan kekuasaan sosial dan ketidaksetaraan sosial, pertama modal ekonomis yang menunjukkan sumber ekonomi. Kedua, modal sosial yang berupa hubunganhubungan sosial yang memungkinkan seseorang bermobilisasi demi kepentingan sendiri. Ketiga, modal simbolik yang berasal dari kehormatan dan prestise seseorang. Dan keempat adalah modal budaya yang memiliki beberapa dimensi, yaitu: 1. Pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya 2. Cita rasa budaya (cultural taste) dan preferensi 3. Kualifikasikualifikasi formal (seperti gelasgelar universitas) 4. Kemampuankemampuan budayawi dan pengetahuan praktis. 5. Kemampuan untuk dibedakan dan untuk membuat oerbedaan antara yang baik dan buruk.
Modal kultural ini terbentuk selama bertahuntahun hingga terbatinkan dalam diri seseorang. Setelah dibahas tentang ketiga konsep diatas maka akan dijelaskan hubungan ketiga konsep tersebut. Habitus dan ranah merupakan perangkat konseptual utama yang krusial bagi karya Bourdieu yang ditopang oleh sejumlah ide lain seperti kekuasaan simbolik, strategi dan perbuatan beserta beragan jenis modal. Seperti telah diungkapkan diatas bahwa habitus adalah struktur kognitif yang menghubungkan individu dan realitas sosial. Habitus merupakan struktur subyektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur obyektif yang ada dalam ruang sosial. Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu, dengan kata lain habitus adalah hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas bermain, dan juga pendidikan masyarakat. Pembelajaran ini berjalan secara halus sehingga individu tidak menyadari hal ini terjadi pada dirinya, jadi habitus bukan pengetahuan bawaan. Habitus mendasari field yang merupakan jaringan relasi antar posisiposisi obyektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran individu. Field semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisiposisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakatyang terbentuk secara spontan.
Habitus memungkinkan manusia hidup dalam keseharian mereka secara spontan dan melakukan hubungan dengan pihakpihak diluar dirinya. Dalam proses interaksi dengan pihak luar tersebut terbentuklah Field. Dalam suatu Field ada pertarungan kekuatankekuatan antara individu yang memiliki banyak modal dengan individu yang tidak memiliki modal. Diatas sudah di singgung bahwa modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam field dimana di dalam setiap field menuntut untuk setiap individu untuk memiliki modal gara dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya. Secara ringkas Bourdieu menyatakan rumusan generatif yang menerangkan praktis sosial dengan rumus setiap relasi sederhana antara individu dan struktur dengan relasi antara habitus dan ranah yang melibatkan modal. c. Levi Strauss Dalam konsep Strukturalisme LeviStrauss, struktur adalah modelmodel yang dibuat oleh ahli Antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri (Ahimsa, 2006; 60). Meskipun bertolak pada linguistik, fokus strukturalisme LeviStrauss sebenarnya bukan pada makna kata, tetapi lebih menekankan pada bentuk (pattern) dari kata itu. Bentukbentuk kata ini menurut LeviStrauss berkaitan erat dengan bentuk atau susunan sosial masyarakat. Oleh sebab itu Sarah Schmitt (1999) menyatakan, “LeviStrauss derived structuralism from school of linguistics whose focus was not on the meaning of the word, but the patterns that the words form.” Strukturalisme LeviStrauss juga bertolak dari konsep oposisi biner (binary opposition). Konsep ini dianggap sama dengan organisasi pemikiran manusia dan juga kebudayaannya. Seperti katakata hitam dan putih. Hitam sering dikaitkan dengan kegelapan, keburukan, kejahatan, sedangkan putih dihubungkan dengan kesucian, kebersihan, ketulusan dan lain lain. Contoh lain adalah kata rasional dan emosional. Rasional dianggap lebih istimewa dan diasosiasikan dengan lakilaki. Sementara emosional dianggap inferior yang diasosiasikan dengan perempuan. Semua konsep mengenai struktur bahasa tersebut di atas, dikaitkan dengan persoalan persoalan yang ada dalam kehidupan sosial. Untuk membuktikan adanya keterkaitan atau beberapa kesamaan antara bahasa dan budaya, LeviStrauss mengembangkan teorinya dalam analisis mitos. LeviStrauss sangat tertarik pada logika mitologi. Itu sebabnya ia mulai
dengan mitos, menggabungkan fungsifungsi hanya secara vertikal, dan mencoba menerangkan paradigmatik mereka yang tumpahtindih dengan varianvarian mitos. Model strukturalnya tidak linier (Meletinskij, 1969 dalam Fokkema, 1978). Untuk mengetahui makna struktur dalam bidang Antropologi LeviStrauss, perlu diketahui terlebih dahulu prinsip dasar dari struktur itu sendiri. Prinsip dasar struktur yang dimaksud disini adalah bahwa struktur sosial tidak berkaitan dengan realitas empiris, melainkan dengan model model yang dibangun menurut realitas empiris tersebut (LeviStrauss, 1958; 378). Bangunan dari modelmodel itu yang akan membentuk struktur sosial. Menurut LeviStrauss (1958) ada empat syarat model agar terbentuk struktur sosial; 1. Sebuah struktur menawarkan sebuah karakter sistem. Struktur terdiri atas elemenelemen seperti sebuah modifikasi apa saja, yang salah satunya akan menyeret modifikasi seluruh elemen lainnya. 2. Seluruh model termasuk dalam sebuah kelompok transformasi, di mana masingmasing berhubungan dengan sebuah model dari keluarga yang sama, sehingga seluruh transformasi ini membentuk sekelompok model. 3. Sifatsifat yang telah ditunjukan sebelumnya tadi memungkinkan kita untuk memperkirakan dengan cara apa model akan beraksi menyangkut modifikasi salah satu dari sekian elemennya. 4. Model itu harus dibangun dengan cara sedemikian rupa sehingga kegunaannya bisa bertanggung jawab atas semua kejadian yang diobservasi. Lahirnya konsep Strukturalisme LeviStrauss merupakan akibat dari ketidakpuasan Levi Strauss terhadap fenomenologi dan eksistensialisme (Fokkema, 1978). Masalahnya para ahli Antropologi pada saat ini tidak pernah mempertimbangkan peranan bahasa yang sesungguhnya sangat dekat dengan kebudayaan manusia itu sendiri. Dalam bukunya yang berjudul ”Trites Tropique” (1955) ia menyatakan bahwa penelaahan budaya perlu dilakukan dengan model linguistik seperti yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, bukan seperti yang dikembangkan oleh Bergson. Karena bagi Bergson tanda linguistik dianggap sebagai hambatan, yaitu sesuatu yang merusak impressi kesadaran individual yang halus, cepat berlalu, dan mudah rusak (Fokkema, 1978). Bagi LeviStrauss telaah Antropologi harus meniru apa yang dilakukan oleh para ahli linguistik. LeviStrauss memandang bahwa apa yang ada di dalam kebudayaan atau perilaku manusia tidak pernah lepas dari apa yang terefleksikan dalam bahasa yang digunakan. Oleh karena itu akan terdapat kesamaan konsep
antara bahasa dan budaya manusia. Singkatnya LeviStrauss berkeyakinan bahwa untuk mempelajari kebudayaan atau perilaku suatu masyarakat dapat dilakukan melalui bahasa. Istilah kekerabatan, seperti halnya fonem, merupakan unsur makna; dan seperti fonem, kekerabatan memperoleh maknanya hanya dari posisi yang mereka tempati dalam suatu sistem. Kesimpulannya adalah bahwa “meskipun mereka berasal dari tatanan relitas yang lain, fenomena kekerabatan merupakan tipe yang sama dengan fenomena linguistik (Levi Strauss, 1972 dalam Fokkema, 1978). Ahimsa (2006: 2425) menyebutkan bahwa ada beberapa pemahaman mengenai keterkaitan bahasa dan budaya menurut LeviStrauss. Pertama, bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat merupakan refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Kedua, menyadari bahwa bahasa merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Karena bahasa merupakan unsur dari kebudayaan, maka bahasa adalah bagian dari kebudayaan itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat juga pendapat para pakar kebudayaan yang selalu menyertakan bahasa sebagai unsur budaya yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Untuk itu jika kita membahas mengenai kebudayaan, kita tidak pernah bisa lepas dari pembahasan bahasa (lihat, Koentjaraningrat, 1987). Ketiga, menyatakan bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Dengan kata lain melalui bahasa manusia mengetahui kebudayaan suatu masyarakat yang sering disebut dengan kebudayaan dalam arti diakronis. Dengan bahasa manusia menjadi makhluk sosial yang berbudaya. Berikutnya, bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material yang digunakan untuk membangun bahasa pada dasarnya memiliki kesamaan jenis atau tipe dengan apa yang ada pada kebudayaan itu sendiri. Hubungan atau korelasi bahasa dan budaya terjadi pada tingkat struktur (mathematical models) dan bukan pada statistical models (Ahimsa, 2006). Model model matematis pada bahasa dapat berbeda pada tingkatan dengan model matematis yang ada pada kebudayaan. Seperti yang disebutkan oleh LeviStrauss (1963), korelasi sistem kekerabatan orangorang Indian di Amerika Utara dengan mitosmitos mereka, dan dalam cara orang Indian mengekspresikan konsep waktu mereka. Korelasi semacam ini sangat mungkin terdapat pada kebudayaan lain. Antropologi mengalami perkembangan pesat setelah dikembangkan dengan model linguistik, terutama setelah diakuinya bidang Fonologi atau ilmu tentang bunyi dalam bahasa (Fokkema, 1978). Namun demikian, perlu juga diperhatikan beberapa perbedaan mendasar antara sifat keilmuan Fonologi dengan apa yang ada dalam Antropologi/Sosiologi. Levi
strauss mengakui bahwa analisis yang benarbenar ilmiah harus nyata, sederhana, dan bersifat menjelaskan (LeviStrauss, 1972, dalam Fokkema, 1978).Tetapi hal itu agak berbeda dengan apa yang ada dalam Antropologi. Antropologi/Sosiologi bukan bergerak dari halhal yang kongkret, analisis Antropolgi justru maju ke arah yang berlawanan, manjauhi yang kongkret, sistemnya lebih rumit daripada data observasi dan akhirnya hipotesisnya tidak menawarkan penjelasan bagi fenomena maupun asalusul sistem itu sendiri. Antropologi/Sosiologi berurusan dengan sistem kekerabatan pada titik persilangan dua tatanan realitas yang berbeda, sistem “terminologi” dan sistem “sikap”. Fonologi bisa diterangkan secara ekskulsif dalam sistem persitilahan; ia tidak perlu memperhitungkan segala “sikap” sumber sosial atau sumber psikologis, tetapi bagaimana manusia mengucapkan vokal. Asumsi dasar nalar manusia (human mind) adalah sistem relasi (system of relation). Kebudayaan dan bahasa berposisi sejajar karena keduanya merupakan hasil dari nalar manusia. Antropolog LeviStrauss bertujuan menemukan model bahasa dan budaya melalui strukturnya. Pemahaman terhadap pikiran dan perilaku kehidupan manusia, serta relasi manusia dengan tradisi sangat penting. Kebudayaan adalah produk atau hasil aktifitas nalar manusia yang memiliki kesejajaran dengan bahasa dan tradisi. Tradisi adalah sebuah jalan bagi masyarakat untuk memformulasikan dan memperlakukan faktafakta dasar dari eksistensi kehidupan manusia. Tradisi adalah tatanan transendental sebagai pengabsah tindakan dan juga sesuatu yg imanen dalam situasi aktual dan bersesuaian dengan konteks bersifat dinamis (J.C. Hastermann). sebagai contoh: Konsensus manusia tentang persoalan kehidupan dan kematian merupakan suatu tradisi yang penuh dengan simbul dan tradisi, oleh karena itu selalu dengan upacara yang berbeda menurut pemahaman suatu suku atau pemeluk agama tertentu. Di Bali, misalnya ketika persiapan menguburkan mayat, selalu daiadakan pesta dan upacara kematiannya penuh dengan kegembiraan, apalagi ketika upacara pembakaran mayat, sedangkan upacara kemaian pada pemeluk Islam, dipenuhi dengan kesedian dan bahkan dilarang sama sekali memasak makanan pada komunitas Islam tertentu. Dalam hal ini pengaruh pemikiran tokohtokoh terhadap strukturalisme LeviStrauss cukup besar. LeviStrauss Strauss belajar metode komparasi tentang geologi masyarakat (Marx) untuk menemukan geologi psikis (Freud) dan bagaimana pola umum objek dalam menjelaskan gejala yang tersembunyi. Kajiannya berupa relasi antara keilmuan yang inderawi dan yang linguistik rasional yang dilakukan oleh Fredinand de Saussure (1857 1913), ahli bahasa Swiss yang membangun Strukturalisme dari sudut ilmu bahasa struktural yg akhirnya menjadi teori Strukturalisme itu. Bahasa adalah sistem tanda (sign). Suara dapat dikatakan sebagai bahasa jika dapat mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan ide atau pengertian tertentu. Elemen dasarnya adalah katakata. Jadi ide tidak ada sebelum
adanya katakata. Suara yang muncul dari sebuah kata adalah ”penanda” (signifier), konsep suara tersebut adalah ”tinanda” (signified). Contoh: Jaran, kuda, horse adalah ”penanda”. Sedangkan ”binatang berkaki 4 (empat) & berlari kencang adalah ”tinanda”. Hubungan antara penanda & tinanda disebut ”arbiter”. Tinanda dari sebuah penanda dapat berupa apa saja, tergantung dari relasinya. Menurut Fredinand de Saussure konsep bentuk (form) dan isi (content) penanda dan tinanda selalu memiliki bentuk dan isi. Isi bisa berubah, namun bentuknya tidak. Untuk dapat mengetahui kekhasan bentuk (distinctive form) ialah dengan mengenali perbedaan satu kata dengan kata yang lain (differensiasi sistematis). Sebagai contoh: babu, tabu, sabu, jelas sekali walaupun fonemnya hampir sama, tetapi artinya sangat berbeda, karena perbedaan sistimatis tersebut. Saussure juga membedakan antara konsep “langue” & “parole”. Langue adalah sistem tata bahasa formal; sistem elemen phonic yg hubungannya ditentukan oleh hukum yg tetap. Sedangkan parole adalah percakapan sebenarnya, yaitu cara pembicara mengungkapkan bahasa untuk dirinya sendiri dalam rangka berkomunikasi dengan orang lain. Adanya langue menyebabkan adanya parole. Bandung, Cindya Hendriyana
Mei
2011
Teori struktural?atau biasa disebut saja dengan?strukturalisme, adalah sebuah aliran pemikiran yang berpengaruh dalam khazanah pemikiran Barat. Dekade 60an dianggap sebagai masa pergolakan intelektual dengan pesatnya perkembangan teori strukturalisme. Bersamaan dengan beberapa teori lain seperti eksistensialisme, dan madzhab kritis (aliran Frankfurt). Pada masa ini pula nama?Herbert Marcuse?(salah satu tokoh madzhab frankfurt) menjadi semacam ikon pergerakan intelektual yang sedang naik daun saat itu. Tokoh inilah yang nantinya mengembangkan sayap?teori struktural?melalui pendekatan?fungsionalisme struktural. Strukturalisme?adalah bagian dari disiplin ilmu-ilmu sosial, yang perkembangnnya diawali di Perancis melalui tokoh?Ferdinand de Saussure. Saussure adalah ahli filsafat kebahasaan berkebangsaan Swiss (1857-1913). Pada pengantar ini teori struktural akan sedikit banyak memberikan gambaran pada?strukturalisme linguistik dan sosiologis antropologis.
Saussure memahami bahwa bahasa mempunyai struktur dan peraturan-peraturannya yang sistematik (Charles E Bressler, 1999:89). Teori inilah yang mampu mengimbangi pemikiran Marxisme yang sedang menjadi trend pemikiran di Perancis pada saat itu. Istilah strukturalisme sendiri diperkenalkan pertamakali oleh Roman Jakobson seorang ahli linguistik Russia. Kajian kebahasaan sebelum Saussure, hanyalah berkutat pada kondisi linguistik semata, yakni pada bentuk aturan kebahasaan yang disepakati, seperti grammar, ilmu nahwu, ilmu sharaf, dll. Saussure menyebutkan bahwa dalam bahasa terdiri dari sekumpulan tanda-tanda. Tanda bahasa mempunyai hubungan dengan tanda yang lain. Hubungan antar tanda tersebut adalah relasi keberbedaan, yakni hubungan saling membeda antar tanda, dan karena inilah setiap tanda dapat dipahami. Hubungan keberbedaan ini kemudian dikenal dengan istilah?oposisi biner (binary opposition). Pemahaman lebih jauh pada relasi-relasi antar tanda kemudian secara khusus disebut dengan ilmu semiotika atau semiologi.
Semiotika dan Munculnya Relasi Oposisi Biner
Semiotika?sendiri secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu semieon, yang artinya adalah ?tanda?. Berdasarkan pendapatnya mengenai oposisi biner, Saussure mengembangkan semiotika ke dalam beberapa aturan pokok yang mengatur sistem tanda bahasa, sehingga dari sinilah kemudian lahir strukturalisme. Pertama, dalam pendapat Saussure, sebuah tanda khususnya tanda kebahasaan, merupakan entitas psikologis yang bersisi dua atau berdwimuka, terdiri dari unsur ?penanda? (signifier) dan ?petanda? (signified). Kedua, elemen tanda-tanda itu menyatu dan saling tergantung satu sama lain. Kombinasi dari keduanya inilah yang kemudian menghasilkan ?tanda? (sign). Penanda adalah aspek fisik dari tanda bahasa, sedangkan petanda adalah aspek mental dari tanda bahasa. Relasi antara penanda dengan petanda?terjadi begitu saja dan arbitrer. Karena itu kita perlu mengetahui kode-kode yang menyatakan kepada kata apa yang dimaknakan oleh tandatanda. Kode (code) adalah satu sistem dari konvensi-konvensi yang memungkinkan kepada seseorang untuk mendeteksi arti dalam tanda-tanda karena hubungan (Berger, 2000 : 219 ). Kedua adalah langue dan parole. Langue dimaksudkan sebagai penggunaan tanda bahasa secara umum atau oleh publik yang menyepakatinya, sedangkan parole adalah pemakaian tanda bahasa di tangan individu. Inilah yang membedakan kajian strukturalisme yang dikembangkan oleh Saussure dengan pendekatan linguistik yang lain, di mana pendekatan linguistik yang lain hanya berhenti pada tataran langue (Bertens, 2001 : 182).
Saussure memberikan contoh sederhana untuk memahami langue dan parole. Ketika bermain catur, seorang pemain harus mengikuti struktur aturan yang telah ada. Bidak ?benteng? memiliki gerak lurus, dalam konsep bahasa dianggap sebagai langue dari sebuah sistem struktur. Pemain yang menggerakkan bidak ?benteng? baik ke kiri, ke kanan, ke atas atau ke bawah dianggap sebagai parole. Kebebasan pemain catur dalam menggerakkan bidak ? benteng? tidak bisa keluar dari struktur sistem aturan permainan catur.
Perluasan Teori Struktural Oleh Levi Strauss Teori Struktural?menjadi semakin kuat setelah?Levi Strauss?mengembangkannya ke ranah yang lebih luas. Sebagai seorang antropolog, pandangannya pada konsep-konsep linguistik banyak dipengaruhi oleh antropologi. Kita dapat melihatnya pada konsep oposisi biner. Oposisi biner yang oleh Saussure hanya berkutat pada sistem keberbedaan tanda dengan tanda lainnya, menjadi lebih luas di tangan Levi Strauss. Oposisi biner adalah?the essence of sense making, yaitu struktur yang mengatur sistem pemaknaan kita terhadap budaya dan dunia tempat kita hidup. Strauss memandang bahwa cara pandang seseorang di dihasilkan dari proses kategorisasi. Sebuah kategori tidak dapat eksis tanpa berhubungan dengan kategori yang lain (tanpa adanya relasi dengan kategri lain). Sebagai contoh sederhana, kita berpandangan seseorang itu waras, karena berbanding dengan kategori yang lain, yakni kegilaan. Kita mengetahui sesuatu itu baik karena berbanding dengan ategori buruk, dan begitulah seterusnya. Terbentuknya struktur merupakan akibat dari adanya relasi-relasi dari beberapa elemen. Oleh karena itu struktur juga oleh Levi-Strauss diartikan sebagai?relations of relations?atau? system of relation?(sistim relasi). Oposisi biner, sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Strauss, merupakan hasil kebudayaan. Karena produksi budaya, sistem tanda yang saling ber-oposisi tersebut akan selalu berubah. Oposisi biner berfungsi untuk memberikan batasan, logika, dan struktur pada persepsi, melalui penggolongan dan pemaknaan. Karena itulah persepsi seseorang akan berbeda-beda tergantung dengan sistem tanda yang dipahami. Selain?the essence of sense making, bahwa oposisi biner mengatur sistem pemaknaan terhadap cara pandang (seseorang terhadap dunia luar), Strauss juga menyebut oposisi biner sebagai?the second stage of the sense-making process, yakni?penggunaan kategori-kategori sesuatu yang hanya eksis di dunia alamiah (sesuatu yang kongkret) untuk menjelaskan kategori-kategori konsep kultural yang abstrak. John Fiske (1994) memberikan ilustrasi mengenai hal ini: konsep oposisi biner?angin badai? dan?angin tenang?(kongkret) misalnya, bisa disejajarkan dengan oposisi biner?alam yang kejam?dan?alam yang tenang(abstrak). Proses transisi metafor dari sesuatu yang abstrak dalam sesuatu yang kongkret ini dinamakan Strauss sebagai?the logic of concrete.
Masalah Ambigu (Anomali) dalam Teori Struktural Sebagaimana konsepsi oposisi biner dalam teori struktural, bahwa oposisi biner saling berhubungan antar satu dengan yang lain, oposisi biner juga bisa ditransformasikan dalam sistem oposisi biner yang lain. Hubungan dan transformasi oposisi biner ini tentu selalu vis-avis, akan tetapi senyatanya, dalam oposisi biner ditemukan hal-hal yang tidak bisa di kategorikan dalam sistem struktural tersebut. Strauss menyebutnya dengan anomalous?
category, sebagian yang lain menyebutnya dengan ?kategori ambigu?. Contoh; gay (tidak laki-laki juga tidak perempuan), remaja (tidak anak-anak juga tidak dewasa), dst. Posisi yang berada diluar dua kategori sistem oposisi biner ini menganggu stabilitas struktur oposisi biner. Selain oposisi biner, yang perlu menjadi perhatian dalam teori strukturalisme adalah masalah perubahan yang terjadi dalam sebuah struktur. Perubahan ini disebut dengan transformasi. Transformasi adalah proses perubahan namun tidak secara keseluruhan, ada bagian-bagian tertentu dari suatu struktur yang mengalami perubahan sedangkan elemen-elemen yang lama masih ada.
Melakukan Pendekatan Menggunakan Teori Struktural Teori struktural banyak digunakan untuk melakukan penelitian, untuk objek umum seperti kelompok masyarakat atau individu. Namun yang paling signifikan adalah penggunaannya untuk penelitian sastra. Dalam penelitian sastra, teori ini difungsikan untuk mengurai berbagai hubungan atau relasi antar tanda yang tertuang dalam teks sastra. Dalam melakukan?kritik sastra melalui pendekatan struktural, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan; 1. prinsip keseluruhan, yakni melihat hubungan antar struktur secara keseluruhan. 2. prinsip hubungan keterkaitan, yakni setiap satu stkrutur berkait dengan sturktur yang lain. Makna teks hanya akan dapat didapatkan manakala berhubungan dengan struktur lain. 3. transformasi; Makna teks dihasilkan dari adanya perubahan-perubahan struktur yang terjadi. 4. regulasi diri; Makna teks dihasilkan dari dalam teks itu sendiri beserta hubungannya dengan teks lain, dan tidak dipengaruhi oleh pengarang. 5. oposisi biner; Makna dihasilkan dari tanda-tanda yang saling beroposisi.
Kritik Pada Teori Struktural (Poststrukturalisme) Saat ini teori struktural banyak mendapat kritik karena dianggap ahistoris dan lebih menguatkan keujudan struktur dalam masyarakat. Ketimpangan sosial dan ketidak kuasaan subordinan terhadap dominan dianggap sebagai efek dari konsep struktur. Mereka yang memberikan kritik terhadap teori struktural ini kemudian dikelompokkan sebagai?poststrukturalisme, atau yang secara tumpang tindih ada mengatakan sebagai kelompokpostmodernisme. Para tokohnya banyak yang dahulunya adalah tokoh struktural, seperti?Roland Barthes,?Michel Foucault,?Jaques Derrida. Pada bagian lain, bila memungkinkan saya akan sedikit mengulas tentang apa dan bagaimana teori post-struktural ini.
Sedikit Tentang Fungsionalisme Struktural
Bagian ini dikutip dari Wikipedia. Teori fungsionalisme struktural?adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagianbagian yang saling berhubungan.?Fungsionalisme?menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian masyarakat ini sebagai ?organ? yang bekerja demi berfungsinya seluruh ? badan? secara wajar. Dalam arti paling mendasar, istilah ini menekankan ?upaya untuk menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, adat, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif.? Bagi Talcott Parsons, ?fungsionalisme struktural? mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam pengembangan metodologis ilmu sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.Kritik Takcott Parsons ini memang ada benarnya, merujuk pada posisi fungsionalisme yang memang hanya melakukan deskripsi pada objek tertentu dalam penelitian ilmu sosial. Demikianlah sedikit?pengantar mengenai teori struktural.?Kafeilmu?berharap pembaca bisa saling melengkapi sehingga ilmu linguistik kita semakin luas. Semoga bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai bahan diskusi kebahasaan.?Sedikit pengantar ini saya sarikan dari berbagai sumber rujukan, seperti materi kuliah, wikipedia, dan buku-buku linguistik.