Strukturalisme [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Strukturalisme Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas



Sosiologi



Portal



Teori dan Sejarah



Positivisme · Antipositivisme Fungsionalisme · Teori konflik Strukturalisme · Interaksionisme · Jarak menengah · Matematis Teori kritis · Sosialisasi Struktur dan agen



Metode penelitian Kuantitatif · Kualitatif Komputasional · Etnografi



Topik dan Cabang agama · budaya · demografi ekonomi · hukum · ilmu · industri internet · jejaring sosial · jenis kelamin kejahatan · kelas · keluarga kesehatan · kota · lingkungan pendidikan · pengetahuan · penyimpangan psikologi sosial · medis



mobilitas · politik · ras & etnisitas rasionalisasi · sekularisasi · stratifikasi Kategori dan daftar [tampilkan]







l







b







s



Dalam sosiologi, antropologi dan linguistik, strukturalisme adalah metodologi yang unsur budaya manusia harus dipahami dalam hal hubungan mereka dengan yang lebih besar, sistem secara menyeluruh atau umum disebut struktur. Ia bekerja untuk mengungkap struktur yang mendasari semua hal yang manusia lakukan, pikirkan, rasakan, dan merasa. Atau, seperti yang dirangkum oleh filsuf Simon Blackburn, strukturalisme adalah "keyakinan bahwa fenomena kehidupan manusia yang tidak dimengerti kecuali melalui keterkaitan mereka. Hubungan ini merupakan struktur, dan belakang variasi lokal dalam fenomena yang muncul di permukaan ada hukum konstan dari budaya abstrak".[1] Strukturalisme di Eropa dikembangkan di awal tahun 1900-an, di bidang linguistik struktural dari Ferdinand de Saussure berikutnya Praha,[2] sekolah Moskow[2] dan Copenhagen linguistik. Pada akhir 1950-an dan awal 60-an, ketika linguistik struktural menghadapi tantangan serius dari orang-orang seperti Noam Chomsky dan dengan demikian memudar di pentingnya, array sarjana di humaniora meminjam konsep Saussure untuk digunakan dalam bidang masing-masing studi. Antropolog Prancis Claude Levi-Strauss dikatakan sebagai ilmuwan pertama, memicu minat yang luas dalam hal Strukturalisme.[1] Model strukturalis penalaran telah diterapkan dalam berbagai bidang, termasuk antropologi, sosiologi, psikologi, kritik sastra, ekonomi dan arsitektur. Pemikir yang paling menonjol terkait dengan strukturalisme termasuk Levi-Strauss, ahli linguistik Roman Jakobson, dan psikoanalis Jacques Lacan. Sebagai gerakan intelektual, strukturalisme awalnya dianggap menjadi pewaris eksistensialisme. Namun, pada 1960-an, banyak dari prinsip dasar strukturalisme diserang dari gelombang baru intelektual terutama dari Perancis seperti filsuf dan sejarawan Michel Foucault, filsuf dan komentator sosial Jacques Derrida, filsuf Marxis Louis Althusser, dan kritikus sastra Roland Barthes.[2] Meskipun unsur pekerjaan mereka selalu berhubungan dengan strukturalisme dan diinformasikan oleh itu, teori ini umumnya disebut sebagai post-strukturalis. Pada 1970-an, strukturalisme dikritik karena kekakuan dan ahistorisme. Meskipun demikian, banyak pendukung strukturalisme, seperti Lacan, terus menegaskan pengaruh pada filsafat kontinental dan banyak asumsi dasar dari beberapa kritikus strukturalis bahwa pasca-strukturalis adalah kelanjutan dari strukturalisme.[3]



Daftar isi 



1 Tujuan







2 Masa Strukturalisme







3 Ciri-ciri Strukturalisme







4 Tokoh-tokoh dan sumbangan bidang strukturalisme







5 Referensi







6 Bibliografi







7 Bacaan lanjutan



Tujuan Tujuan Strukturalisme adalah mencari struktur terdalam dari realitas yang tampak kacau dan beraneka ragam di permukaan secara ilmiah (obyektif, ketat dan berjarak).[4] Ciri-ciri itu dapat dilihat strukturnya: 



Bahwa yang tidak beraturan hanya dipermukaan, namun sesungguhnya di balik itu terdapat sebuah mekanisme generatif yang kurang lebih konstan.[4]







Mekanisme itu selain bersifat konstan, juga terpola dan terpola dan terorganisasi, terdapat blok-blok unsur yang dikombinasikan dan dipakai untuk menjelaskan yang dipermukaan.[4]







Para peneliti menganggap obyektif, yaitu bisa menjaga jarak terhadap yang sebenarnya dalam penelitian mereka.[4]







Pendekatan dengan memakai sifat bahasa, yaitu mengidentifikasi unsur-unsur yang bersesuaian untuk menyampaikan pesan.[4] Seperti bahasa yang selalu terdapat unsurunsur mikro untuk menandainya, salah satunya adalah bunyi atau cara pengucapan.[4] [5]







Strukturalisme dianggap melampaui humanisme, karena cenderung mengurangi, mengabaikan bahkan menegasi peran subjek.[4]



Masa Strukturalisme Tahun 1966 digambarkan oleh Francois Dosse dalam bukunya Histoire du Structuralisme sebagai tahun memancarnya strukturalisme di Eropa, khususnya di Prancis.[5][6] Perkembangan strukturalisme pada tahun 1967-1978 digambarkan sebagai masa penyebaran gagasan strukturalisme dan penerangan tentang konsep strukturalisme serta perannya dalam ilmu pengetahuan.[6]



Ciri-ciri Strukturalisme



Struktur Diamond, Keteraturan yang indah Ciri-ciri strukturalisme adalah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual objek melalui penyelidikan, penyingkapan tabiat, sifat-sifat yang terkait dengan suatu hal melalui pendidikan.[7] Ciri-ciri itu bisa dilihat dari beberapa hal; hirarki, komponen atau unsur-unsur, terdapat metode, model teoritis yang jelas dan distingsi yang jelas.[7] Para ahli strukturalisme menentang eksistensialisme dan fenomenologi yang mereka anggap terlalu individualistis dan kurang ilmiah.[4] Salah satu yang terkenal adalah pandangan Maurice Merleau-Ponty yang menentang fenomenologi dan eksistensialisme tubuh manusia. [5] Merleau-Ponty menekankan bahwa hal yang fundamental dalam identitas manusia adalah bahwa kita adalah objek-objek fisik yang masing-masing memiliki kedudukan yang berbedabeda dan unik dalam ruang dan waktu.[5]



Tokoh-tokoh dan sumbangan bidang strukturalisme 



Ferdinand De Saussure dalam linguistik.[7]



Sebagai penemu stuktur bahasa, Saussure berargumen dengan melawan para sejarawan yang menang dalam pendekatan filologi.[8] Dia mengajukan pendekatan ilmiah, yang didekati dari sistem terdiri dari elemen dan peraturannya dalam pembuatannya yang bertujuan menolong komnunikasi dalam masyarakat.[8] Dipengaruhi oleh Emile Durkheim dalam sebuah social fact, yang berdasar pada objektivitas di mana psikologi dan tatanan sosial dipertimbangkan.[8] Saussure memandang bahasa sebagai gudang (lumbung) dari tanda tanda diskusif yand dibagikan oleh sebuah komunitas.[8] Bahasa bagi Saussure adalah modal interpretasi utama dunia, dan menuntut suatu ilmu yang disebut semiologi.[7] 



Levi-Strauss dalam masyarakat.[7]



Metode Strauss adalah anthropologi dan linguistik secara serempak.[7] Unsur-unsur yang digelutinya adalah mengenai mitos, adat-istiadat, dan masyarakatnya sendiri.[7] Dalam proses analisisnya, manusia kemudian dipandang sebagai suatu porsi dari struktur, yang tidak



dikonstitusikan oleh analisis itu, melainkan dilarutkan dengan analisis.[7] Perubahan penekanan dari manusia ke struktur merupakan ciri umum pemikiran strukturalis.[7] 



Lev Vygotsky, Jacques Lacan dan Jean Piaget dalam psikologi.[7]



Jacques Lacan (Freudian) dalam psikologi menggambarkan pekerjaan Saussure dan LeviStrauss untuk menekankan pendapat Sigmund Freud dengan bahasa dan argumen yang, sebagai sebuah tatanan kode, bahasa dapat mengungkapkan ketidaksadaran orang itu.[8] Hal ini masalah, bahwa bahasa selalu bergerak dan dinamis, termasuk metafora, metonomi, kondensasi serta pergeserannya.[8] Jean Piaget sendiri menggambarkan strukturalismenya sebagai sebuah struktur yang terpadu, yaitu yang unsur-unsurnya adalah anggota dari sistem di luar struktur itu sendiri.[6] Sistem itu ditangkap melalui kognisi anggota masyarakat sebagai kesadaran kolektif.[6] 



Frege, Hillbert dalam meta-logika meta-matematika.[7]







Roland Berthes menerapkan analis strukturalis pada kritik sastra dengan menganggap berbagai macam ekspresi atau analisis bahasa sebagai bahasa yang berbeda-beda.[7] Tugas kritik sastra adalah terjemahan, yaitu mengekspresikan sistem formal yang telah dibentangkan penulisnya dengan suatu bahasa.[7] Hal ini terkait dengan kondisi zamannya.[7]







Michel Foucault dalam filsafat.



Strukturalisme modern atau poststrukturalisme dalam bidang filsafat adalah dengan mendekati subjektivitas dari generasi dalam berbagai wacana epistemik dari tiruan maupun pengungkapannya.[8] Sebagaimana peran isntitusional dari pengetahuan dan kekausaan dalam produksi dan pelestarian disiplin tertentu dalam lingkungan dan ranah sosial juga berlaku pendekatan itu.[8] Dalam disiplin ini, Focault menyarankan, di dalam perubahan teori dan praktik dari kegilaan, kriminalitas, hukuman, seksualitas, kumpulan catatan itu dapat menormalisasi setiap individu dalam pengertian mereka.[8] 



Guenther Schiwy dalam kekristenan



Strukturalisme terkait kekristenan dalam atemporal sturkturalisme sebenarnya cocok dengan penekanan eternalistik kekristenan.[7] TEORI-TEORI STRUKTURALISME 1. Pendahuluan Teori sastra, khususnya sejak awal abad ke-20 berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan ini dengan sendirinya sejajar dengan terjadinya kompleksitas kehidupan manusia, yang kemudian memicu perkembangan



genre sastra.



Kemajuan dalam bidang teknologi informasi menopang sarana dan prasarana penelitian yang secara keseluruhan membantu memberikan kemudahan dalam



proses pelaksanaannya. Fungsi utama karya sastra adalah untuk melukiskan, mencerminkan kehidupan manusia, sedangkan kehidupan manusia itu sendiri selalu mengalami perkembangan. Dalam hubungan inilah diperlukan genre yang berbeda, dalam hubungan ini pula diperlukan teori yang berbeda untuk memahaminya. Hubungan karya sastra dengan masyarakat, dengan teknologi informasi yang menyertainya,



minat



masyarakat



terhadap



manfaat



penelitian



interdisiplin,memberikan pengaruh terhadap perkembangan teori sastra selanjutnya. Strukturalisme, yang telah berhasil untuk memasuki hampir seluruh bidang kehidupan manusia, dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa



manusia



pada



pemahaman



secara



maksimal.



Secara



historis,



perkembangan strukturalisme terjadi melalui dua tahap, yaitu: formalisme dan strukturalisme dinamik. Meskipun demikian, dalam perkembangan tersebut juga terkandung ciri-ciri khas dan tradisi intelektual yang secara langsung merupakan akibat perkembangan strukturalisme. Oleh karena itulah, pada bagian berikut juga akan



dibicarakan



prinsip-prinsip



antarhubungan,



strukturalisme



semiotik,



strukturalisme genetik, dan strukturalisme naratologi.



2.Pengertian Strukturalisme Secara definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antar hubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur (unsur) dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman, tetapi juga negatif, seperti konflik dan pertentangan. Istilah struktur sering dikacaukan dengan sistem. Definisi dan ciri-ciri sruktur sering disamakan dengan definisi dan ciri-ciri sistem. Secara etimologis struktur berasal dari kata structura (Latin), berati bentuk, bangunan, sedangkan sistem berasal dari kata systema (Latin), berarti cara. Struktur dengan demikian menunjuk pada kata benda, sedangkan sistem menunjuk pada kata kerja. Pengertian-pengertian struktur yang telah digunakan untuk menunjuk unsur-unsur yang membentuk totalitas pada dasarnya telah mengimplikasikan keterlibatan sistem. Artinya, cara kerja sebagaimana ditunjukan oleh mekanisme antar hubungan



sehingga terbentuk totalitas adalah sistem. Dengan kalimat lain, tanpa keterlibatan sistem maka unsur-unsur hanyalah agregasi. Sejak ditemukannya hukum-hukum formal yang berhubungan dengan hakikat karya sekitar tahun 1940-an, bahkan sejak formalisme awal abad ke-20, model analisis terhadap karya sastra telah membawa hasil yang gilang-gemilang. Bahasa sebagai sistem model pertama telah dieksploitasi semaksimal mungkin dalam rangka menemukan aspek-aspek estetikanya. Ciri-ciri kesastraan, cara-cara pembacaan mikroskopi, analisis intristik, dan sebagainya, yang secara keseluruhan mmberikan intensitas terhadap kedudukan karya sastra secara mandiri, karya sastra sebagai ergon, selama hampir setengah abad merupakan tujuan utama penelitian. Analisis ‘Les Chats’ karya Baudelaire oleh Roman Jakobson dan Levi-Strauss, Sarrasine karya Balzac oleh Roland Barthes, dongeng-dongeng Rusia oleh Propp, dianggap sebagai puncak keberhasilan strukturalisme. Berbagai analisis yang dilakukan oleh mazhab Rawamangun, khususnya penelitian yang dilakukan oleh A.Teeuw, Umar Junus, Rachmat Djoko Pradopo, dan Made Sukada, termasuk skripsi, tesis, disertasi yang belum terbit yang masih tersimpan di perpustakaan, merupakan hasil strukturalisme. Perkembangan ilmu pengetahuan, setelah mencapai klimaks akan mengalami stagnasi sebab akan timbul konsep dan paradigma baru, sesuai dengan perkembangan masyarakat yang mendukungnya. Klimaks strukturalisme dianggap sebagai



involusi,



tidak



memberikan



arti



yang



memadai



terhadap



hakikat



kemanusiaan. Strukturalisme dinggap sebagai mementingkan objek, dengan konsekuensi menolak,bahkan ‘mematikan’ sebjek pencipta. Oleh karena itulah, strukturalisme dianggap sebagai antihumanis. Strukturalisme juga dianggap melepaskan karya dari sejarah sastra dan sosial budaya yang justru merupakan asal-usulnya. Lahirnya



strukturalisme



dinamik



didasarkan



atas



kelemahan-kelemahan



strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan kemudian formalisme di atas. Strukturalisme dinamik dimaksudkansebagai penyempurnaan strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsik, yang dengan senirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamis mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky dan Felik Vodicka (Fokkema,



1977: 31). Menurutnya, karya sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda, struktur, dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda yang memperoleh makna dalam kedadaran pembaca. Oleh karena itulah, karya seni harus dikembalikan pada kompetensi penulis, masyarakat yang menghasilkannya, dan pembaca sebagai penerima. Secara definitif strukturalisme memberikan perhatian terhadap analisis unsur-unsur karya. Setiap karya sastra, baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda, memiliki unsur-unsur yang berbeda. Di samping sebagai akibat ciri-ciri inheren tersebut, perbedaan unsur juga terjadi sebagai akibat dari perbedaan proses resepsi pembaca. Dalam hubungan inilah karya sastra dikatakan sebagai memiliki ciri-ciri yang khas, otonom, tidak bisa digeneralisasikan. Setiap penilaian akan memberikan hasil yang berbeda. Meskipun demikian perlu dikemukakan unsurunsur pokok yang terkandung dalam ketiga jenis karya, yaitu: prosa, puisi, dan drama. Unsur-unsur prosa, diantaranya: tema, peristiwa atau kejadian, latar atau seting, penokohan atau perwatakan, alut atau plot, sudut pandang, dan gaya bahasa. Unsur-unsur puisi, diantaranya: teema, stilistika atau gaya bahasa, imajinasi atau daya bayang, ritme atau irama, rima atau persajakan, diksi atau pilihan kata, simbol, nada, dan enjambemen. Unsur-unsur drama, dalam hubungan ini drama teks, di antaranya: tema, dialog, peristiwa Secara persis sama sebagaimana dikemukakan oleh para penemunya. Teori pun dapat



ditafsirkan



sesuai



dengan



kemampuan



peneliti.



Teori



adalah



alat,



kapasitasnya berfungsi untuk mengarahkan sekaligus membantu memahami objek secara maksimal. Teori memiliki fungsi statis sekaligus dinamis. Aspek statisnya adalah konsep-konsep dasar yang membangun sekaligus membedakan suatu teori dengan teori yang lain. Dalam strukturalisme, misalnya, konsep-konsep dasarnya adalah unur-unsur, anatrhubungan, dan totalitasnya. Aspek-aspek dinamisnya adalah konsep-konsep dasar itu sendiri sesudah dikaitkan dengan hakikat objeknya. Konsep inilah yang berbah secara terus-menerus, sehingga penelitian yang satu berbeda dengan penelitian yang lain. Selama lebih kurang setengah abad perkembangan strukturalime telah memberikan hasil yang memadai yang meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sebagai suatu cara pemahaman, baik sebagai teori maupun metode, ciri-ciri yang cukup



menonjol adalah lahirnya berbagai kerangka dan model analisis, khususnya analisis fiksi. Dalam kerangka strukturalisme, di mana diperlukan adanya suatu keteraturan, suatu pusat yang pada gilirannya akan melahirkan saluran-saluran komunikasi, kerangka dan model-model analisis yang dikemukakan oleh para kritikus sastra, sesuai dengan tujuannya masing-masing, dapat diterima secara positif. Sebaliknya, dalam kerangka analisis sastra kontemporer jelas model yang dimaksudkan tidak sesuai dan tidak diperlukan sebab prinsip-prinsip postrukturalisme memprasyaratkan pemahaman yang tidak harus dilakukan melalui suatu kerangka analisis yang sudah baku. A. Prinsip-prinsip Antarhubungan Dalam strukturalisme konsep fungsi memegang peranan penting. Artinya, unsurunsur sebagai ciri khas teori tersebut dapat berperanan secara maksimal sematamata dengan adanya fungsi, yaitu dalam rangka menunjukan antarhubungan unsurunsur yang terlibat. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa struktur lebih dari sekedar unsur-unsur dan totalitasnya, karya sastra lebih dari sekedar pemahaman bahasa sebagai medium, karya sastra lebih dari sekedar penjumlahan bentuk dan isinya. Antarhubungan dengan demikian merupakan kualitas energetis unsur. Unsur-unsur memiliki fungsi yang berbeda-beda, dominasinya tergantung pada jenis, konvensi, dan tradisi sastra. Unsur-unsur pada gilirannya memiliki kapasitas untuk melakukan reorganisasi dan regulasi diri, membentuk dan membina hubungan antarunsur. Sesuai dengan proposisi Durkheim (Johnson, 1988: 168) mengenai masyarakat, maka dalam karya, totalitas selalu lebih besar dan lebih berarti dari jumlah unsurnya. Kualitas karya dinilai dalam totalitasnya, bukan akumulasi unsurnya. Unsur tidak memiliki arti dalam dirinya sendiri, unsur dapat dipahami semata-mata dalam proses antarhubungannya. Makna total setiap entitas dapat dipahami hanya dalam integritasnya terhadap totalitasnya. Dunia kehidupan merupakan totalitas fakta sosial, buka totalitas benda. Antarhubungan mengandaikan pergeseran nilainilai substansial ke arah struktural, nilai dengan kualitas bagian ke arah kualitas totalitas. Hubungan yang terbentuk tidak semata-mata bersifat positif, melainkan juga negatif, seperti konflik dan pertentangan. Menurut Craib (1994: 177), variasi unsur dalam suatu komunitas hubungan bisa sama, tetapi variasi hubungan akan menghasilkan sesuatu yang sama sekali berbeda.



Sebagai kualitas totalitas, antar hubungan merupakan energi, motivator terjadinya gejala yang baru, mekanisme yang baru, yang pada gilirannya menampilkan maknamakna yang baru. Tanpa antarhubungan sesungguhnya unsur tidak berarti, tanpa antarhubungan unsur-unsur hanya



berfungsi sebagai agregasi. Mekanisme



antarhubungan di atas dianggap sebagai pergeseran yang signifikan dan fundamental, yaitu dari struktur yang otonom ke arah relevansi fungsi karya sebagai sistem komunikasi. Karya dengan demikian tidak dipahami melalui ergon yang terisolasi, melainkan selalu dalam kaitannya dengan perubahan realitas sosial. Karya tidak dapat diisolasi, karya mesti dikondisikan sebagai fakta kemanusiaan sehingga memungkinkan untuk mengoperasikan secara maksimal berbagai saluran komunikasi yang terkandung di dalamnya. Melalui tradisi formalis, khususnya tradisi strukturalisme, ciri-ciri antarhubungan memperoleh tempat yang memadai. Teori-teori poststrukturalisme, baik sebagai negasi maupun afirmasi terhadap prinsip-prinsip strukturalisme jelas memanfaatkan secara maksimal kualitas antarhubungan tersebut. Antarhubungan merupakan sistem jaringan yang mengikat sekaligus memberikan makna terhadap gejala-gejala yang ditangkap. Dalam mekanisme antarhubungan dievokasi pola-pola yang memungkinkan terjadinya kualitas estetis. Suatu cerita menjadi menarik, misalnya, salah satu cara yang dilakukan oleh pengarang adalah dengan mempercepat, atau sebaliknya memperlambat terjadinya suatu peristiwa, meningkatkan atau sebaliknya menurunkan frekuensi pemanfaatan kata-kata tertentu, sehingga merangsang keingintahuan pembaca. Kehidupan praktis sehari-hari jelas didominasi oleh konsep hubungan. Setiap orang mengenal dirinya sendiri atas dasar perbedaanya dengan orang lain di sekitarnya. Proses dan sistem komunikasi didasarkan atas terjadinya berbagai bentuk hubungan, baik dalam ruang maupun waktu. Perubahan status perana disadarkan atas perubahan pola-pola hubungan sosial. Dinamika dan dengan demikian keberlangsungan kehidupan itu sendiri pun diakibatkan melalui terjadinya perubahan hubungan. Sebagai replika kehidupan, jelas karya sastra memanfaatkan energi antarhubungan dalam membangun totalitas. Melalui medium bahasa, pengarang hanya menyajikan unsur-unsur fisik, sebagai fabula. Antarhubunganlah, yaitu melalui imajinasi pembaca, yang mengubah crita sehingga menyerupai kehidupan, dalam



bentuk plot. Antarhubungan mengimplikasikan unsur-unsur kebudayaan, artinya antarhubungan merupakan indikator penyebarluasan unsur-unsur kebudayaan sehingga khazanah suatu kebudayaan dapat dipahami oleh komunitas yang lain. Keberhasilan sebuah karya sastra dengan demikian juga ditentukan oleh kemampuan penulis dalam menyajikan keberagaman antarhubungan. Dengan mengambil analogi dalam bidang bahasa, sebagai hubungan sintagmatis dan paradigmatis, maka karya sastra dapat dianalisis dengan dua cara. Pertama, menganalisis



unsur-unsur



yang



terkandung



dalam



karya



sastra.



Kedua,



menganalisis karya melalui perbandingannya dengan unsur-unsur di luarnya, yaitu kebudayaan pada umumnya. Mekanisme tata hubungan sintagmatis memberikan pemahaman dalam kaitannya dengan jumlah unsur dalam karya, sedangkan mekanisme tata hubungan paradigmatis memberikan pemahaman dalam kaitan karya dengan masyarakat yang menghasilkannya. Analisis pertama dilakukan melalui pendekatan interistik, sedangkan analisis yang kedua dilakukan melalui pendekatan ekstrinsik. Sastra bandingan, sosiologi sastra, dan psikologi sastra, dilakukan atas dasar antarhubungan yang kedua. Studi mengenai struktur dan fungsi, khususnya dalam teori-teori sosiologi kontemporer menghantarkan manusia pada pemahaman mendasar terhadap nilainilai kehidupan secara keseluruhan. Struktur mengacu pada seperangkat unit sosial yang relatif stabil dan berpola, sedangkan fungsi mengacu pada proses dinamis yang terjadi dalam struktur tersebut. Fungsi-fungsi mengandaikan terjadinya antarhubungan, sebaliknya, antarhubungan mengevokasi perubahan fungsi. Pada dasarnya struktur sudah mengimplikasikan antarhubungan sekaligus fungsi. Menurut Poloma (1987: 23-26), asal usul sosiologisnya adalah sosiolog Perancis Emile Durkheim yang kemudian dilanjutkan oleh Auguste Comte dengan konsep masyarakat sebagai struktur dan fungsi, masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri atas bagian-bagian yang saling tergantung satu dengan yang lain. Pada umumnya para sosiolog mengambil analogi organisme hidup, dengan pertimbangan bahwa baik masyarakat maupun organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan, setiap bagian memiliki fungsi yang berbeda, sehingga setiap perubahan pada bagian tertentu akan berpengaruh terhadap bagian-bagian yang lain. Konsep Durkheim



kemudian dilanjutkan juga oleh Malinowski dan Radcliffe-Brown, termasuk Talcot Parsons. Relevansi prinsip-prinsip antarhubungan dalam analisis karya sastra, di satu pihak mengarahkan peneliti agar secara terus-menerus memperhatikan setiap unsur sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan unsur-unsur yang lain. Di pihak lain, antarhubunganlah yang menyebabkan sebuah karya sastra, suatu masyarakat, dan gejala apa saja agar memiliki arti yang sesungguhnya. Kesalahpahaman mengenai fungsi-fungsi antarhubungan menyebabkan peneliti hanya meneliti salah satu unsur tertentu, yang pada gilirannya berarti memperkosa hakikat suatu totalitas. Analisis terhadap penokohan, misalnya, tidak mungkin dilakukan secara terpisah dari unsurunsur yang lain. Dengan kalimat lain, penokohan tidak dapat dipahami tanpa menghubungkannya dengan unsur-unsur yang lain, seperti kejadian, latar, plot, dan sebagainya. B. Teori Formalisme Sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kelahiran formalisme dipicu oleh paling sedikit tiga faktor, sebagai berikut. Formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas, dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi biografi. Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, dimana terjadinya pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis. Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan psikologi. Dikaitkan dengan tradisi keilmuan secara luas, Ian Craib (1994: 156-157) menunjuk beberapa disiplin yang dianggap sebagai awal perkembangan formalisme. Bidang filsafat, melalui Emmanuel Kant (1724-1808), mulai mempertimbangkan kemampuan manusia untuk memahami keteraturan dunia. Melalui aliran kritisisme, Kant memadukan rasionalisme dengan empirisme. Artinya, di satu pihak Kant mempertahankan kualitas objektivitas dan keniscayaan penegrtian, di pihak yang



lain juga menerima pengertian yang bertolak dari gejala-gejala. Sudut pandang yang lain (Scholes, 1977: 7) menganggap konsep unsur terkandung dalam hermeneutika, khususnya melalui paradigma Schleiermacher dan Dilthey, dengan anggapan bahwa sebuah karya seni harus dipahami melaui hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhannya. Di samping itu, analisis unsur-unsur dengan hermeneutika, sebagai teori dan metode, diharapkan akan menampilkan mekanisme yang saling melengkapi sebab keduanya memiliki objek yang sama, yaitu teks. Struktur tes yang berlapis-lapis dan mengandung ruang-ruang kosong merupakan medan makna dari hermeneutika. Dalam bidang antropologi budaya yang dipelopori oleh Emile Durkheim (1858-1917), dengan ide solidaritas dan integrasi sosial, memandang hubungan individu dengan masyarakat sebagai suatu sistem, dalam struktur sosial. Paradigma baru dari ilmu bahasa, sebagaimana dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure yang lahir di Swis (1857-1913), khususnya melalui karyanya yang berjudul Cours de linguistque generale (1916), yang selanjutnya dianggap sebagai bapak strukturalisme, menampilkan pergeseran yang radikal untuk menganalisis bahasa sebagai sistem, makna hanya dapat dipahami melalui mekanisme relasionalnya. Perkembangannya



yang



sangat



pesat,



bahkan



juga



sesudah



menjadi



poststrukturalisme terjadi di Perancis sekitar tahun 1960-an, dengan ciri-ciri tersendiri, yang dipelopori oleh Clude Levi-Strauss, Roland Barthes, Tzvetan Todorov, A.J Greimas, Claude Bremond, Gerard Genette, Julia Kristeva, Michel Foucault, Jacques Derrida, dan sebagainya. Melalui tradisi intelektual linguistik inilah kemudian berkembang ke disiplin lain, seperti Antropologi (Levi-Strauss), Christian Metz (kritik film), Michel Foucault (sejarah pemikiran), Roland Barthes (kritik sastra), Jacques Lacan (psikologi), Jacques Derida (filsafat). Dengan adanya divergensi subjek kreator, maka formalisme dengan demikian juga menolak karya sastra sebagai ungkapan pandangan hidup, sekaligus perbedaan secara dikotomis antara bentuk dan isi. Sebagai kandungan, masalah-masalah yang berkaitan dengan isi dapat dipahami dengan kaitanya dengan fungsi. Formalisme juga menolak peranan karaya satra semata-mata sebagai sarana untuk memahami hakikat kebudayaan yang lebih luas. Sebagai sistem komunikasi, berbeda dengan bahasa sehari-hari yang menyampaikan informasi melalui sarana-sarana di luar bahasa, formalisme menyampaikannya melalui tanda-tanda bahasa itu sendiri. Secara etimologis formalisme berasal dari kata forma (latin), yang berarti bentuk



atau wujud. Formalisme mengutamakan pola-pola suara dan kata-kata formal, bukan isi, olehkarena itulah, cara kerjanya disebut metode formal. Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis Rusia, yang terdiri atas para pakar sastra dan linguistik. Ada dua pusat kegiatan, yaitu: a) Lingkaran Linguistik Moskow yang didirikan tahun 1915 oleh Roman Jakobson, Petr Bogatyrev, dan Grigorii Vinokur, dan b) Mazhab Opojaz (Masyarakat Studi Puitika Bahasa) Leningrad yang didirikan tahun 1916 oleh Boris Eichenbaum, Victor Sklovski, Osip Brik, dan Lev laukubinskii (Nina Kolesnikoff dalam Irena R Makaryk, ed, 1993: 53). Tujuan pokok formalisme adalah studi ilmiah tentang sastra, dengan cara meneliti unsur-unsur kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi, dan sebagainya. Metode yang digunakan, baik dalam tradisi formalisme maupun sesudah menjadi strukturalisme, bahkan sesudah strukturalisme, adalah metode formal. Metode formal tidak merusak teks, juga tidak mereduksi, melainkan merekonstruksi dengan cara memaksimalkan konsep



fungsi,



sehingga



menjadikanteks



sebagai



suatu



kesatuan



yang



terorganisasikan. Prinsip dan sarana inilah yang mengarahkannya pada konsep sistem dan akhirnya ke konsep struktur. Oleh karena itulah, menurut Luxemburg, dkk. (1984: 35) formalisme dianggap sebagai peletak dasar ilmu sastra modern. Sekitar tahun 1930-an, sebagai akibat situasi politik, dengan alasan bahwa modelmodel pendekatan formal bertentangan dengan ajaran Marxis, formalisme dilarang di Rusia tetapi berkembang di Praha (Cekoslovakia), melalui tokoh-tokoh Roman Jakobson, Mukarovsky, Rene Wellek, dan Felix Vodicka, formalisme Praha justru mengkritik formalisme Rusia yang dianggap tidak menopang perkembangan sastra sebab terlalu banyak memberikan perhatian pada bentuk, sehingga sama sekali mengabaikan isi. Setelah memperoleh kritik formalisme Praha ini, maka formalisme pada umumnya dianggap sudah menjadi strukturalisme,. Oleh karena situsi politik yang terus berlanjut, yaitu sebagai campur tangan Nazisme, tokoh-tokoh strukturalisme, di antaranya Rene Wellek dan Roman Jakobson, sekitar tahun 1940an meninggalkan Cekoslovakia dan pergi ke Amerika, yang sekaligus melairkan mazhab Kritik Baru. Masalah pendekatan, teori, dan metode, demikian juga konsep-konsep berfikir liannya, tidak bisa dibatasi secara pasti, kapan kelahirannya, demikian juga kapan kematiannya.



Konsep struktur pada dasarnya sudah ada sejak Aristoteles, tetapi menjadi teori modern



sesudah



melalui



perkembangan



formalisme



di



atas.



Melalui



perkembangannya yang sangat pesat tersebut, konsep strukturalisme tampil secara berbeda-beda, meliputi berbagai disiplin, seperti: matematika, logika, biologi, fisika, psikologi, antropologi, linguistik, dan ilmu-ilmu humaniora lainnya. Meskipun demikian, persamaan pokok yang ditunjukan adalah peranan unsur-unsur dalam membentuk totalitas, kaitan secara fungsional



antara unsur-unsur tersebut,



sehingga totalitas tidak dengan sendirinya sama dengan jumlah unsur-unsurnya. Menurut Jean Piaget, ada tiga dasar strukturalisme, yaitu: a) kesatuan, sebagai koherensi internal, b) transformasi, sebagai pembentukan bahan-bahan baru secara terus-menerus, dan c) regulasi diri, yaitu mengadakan perubahan dengan kekuatan dari dalam. Penerapan strukturalisme dalam disiplin linguistik yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure, melalui mazhab Jenewa, merupakan langkah yang sangat maju dalam rangka mengarahkan teori tersebut sebagai teori modern selanjutnya. Konsep dasar yang ditawarkan adalah perbedaan yang jelas, dikotomi antara a) signifiant (bentuk, bunyi, lambang, penanda) dan signifie (yang diartikan, yang ditandakan, yang dilambangkan, petanda), b) paroie (tuturan, penggunaan bahasa individual) dan langue (bahasa yang hukum-hukumnya telah disepakati bersama), dan c) sinkroni (analisis karya-karya sezaman) dan diakroni (analisis karya dalam perkembangan kesejarahannya). Saussure (Gertz, 2001: 178-179) menolak pemahaman bahasa secara historis yang terjadi abad ke-19, pemahaman kata-kata dan ekspresi (parole) sepanjang sejarah. Menurutnya, pemahaman yang benar adalah pemahaman antihistoris, bahasa sebagai sistem internal (langue). Menurut Saussure, bahasa diumpamakan sebagai karya musik, untuk memahaminya kita harus memperhatikan keutuhannya, bukan pada permainan individual. Menurut Saussure (Norris, 1983: 25) linguistik modern dengan demikian dapat berkembang semata-mata dengan cara: a) memberikan prioritas terhadap penelitian sinkronis sekaligus meninggalkan model-model penelitian diakronis abad ke-19, dan b) memberikan prioritas terhadap bahasa sebagai sistem (langue) sebab sistem inilah yang mendasari ranah bahasa tuturan. Makna hanya bisa dihasilkan atas dasar aturan-aturan yang baku. Studi bahasa sinkronik adalah studi terhadap fakta-fakta sosial sebab bahasa adalah gejala sosial. Ahli bahasa mengamati kebiasaan-kebiasaan bahasa pada waktu



tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkannilai dalam sistem tersebut. Pada saat ini pada dasarnya strukturalisme sudah melahirkan semiologi. Di samping dalam bidang linguistik juga berkembang dalam antropologi (Claude Levi-Strauss), filsafat (Foucault, Althusser), psikoanalisis (Lacan), analisis puisi (Roman Jakobson), dan analisis cerita (Genete). Sejumlah istilah dan konsep yang secara khas disumbangkan oleh kelompok formalisme, diantaranya: kesastraan, bentuk dan isi, fabula dan sjuzet, otomatisasi dan defamiliarisasi. Hakikat kesastraan (literariness) merupakan ciri-ciri umum kelompok formalis. Menurutnya, meskipun pada dasarnya tidak ada perbedaan secara intristik antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari, tetapi dengan cara mengadakan penyusunan kembali, dengan mempertimbangkan fungsinya dalam suatu struktur, maka bahasa sastra akan berbeda dengan bahasa biasa. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa bahasa sastra adalah bahasa yang diciptakan, aspek-aspek kesastraanlah yang membuat karya tertentu sebagai karya sastra. Intensitas terhadap bahasa sastra pada gilirannya menghilangkan perbedaan bentuk dan isi. Karya sastra dengan demikian adalah bentuk sekaligus isi, isi hadir hanya melalui medium bentuk. Dengan kalimat lain, isi adalah struktur itu sendiri. Fabula dan sjuzet merupakan konsep formalis yang paling terkenal. Cerita dan penceritaan, cerita dan plot, dianggap sebagai konsep kunci dalam membedakan karya sastra, khususnya sastra naratif, dengan sejarah dan peristiwa sehari-hari. Fabula adalah bahan kasar, kejadian yang tersusun secara kronologis, oleh karena itu fabula disebut juga konstituten plot. Sjuzet mengorganisasikan keseluruhan kejadian kedalam struktur penceritaan. Dalam puisi, energi organisatoris ini dipegang oleh ritme. Semata-mata dalam struktur penceritaan inilah, sebagai kualitas yang dibangun, sebagai struktur yang diciptakan, terkandung kualitas estetis sebuah karya sastra. Konsep lain yang juga sangat terkenal, yang dikemukakan oleh Sklovsky (baca Selden, 6-15), adalah otomatisasi yang defamiliarisasi. Otomatisasi adalah



pemakaian



bahasa



yang



sudah



biasa,



otomatis.



Defamiliarisasi



(pengasingan) membuat yang sudah biasa menjadi luar biasa, menjadi baru, menjadi aneh, menyimpang, misalnya, dengan cara memperlambat, menunda, dan menyisipi. Dalam sastra naratif, defamiliarisasi biasanya diperoleh mekanisme pemplotan dengan cara mengubah susunan kejadian. Otomatisasi mirip dengan



reifikasi menurut pemahaman Berger dan Luckmann (1973: 106-107) dan ada sesejajaran denga estetika persamaan dan estetika pertentangan menurut pemahaman Lotman (baca Teeuw, 1988: 360). Pada dasarnya evolusi sastra adalah proses pengasingan secara terus-menerus. Usaha maksimal kelompok formalis dalam rangka menemukan hakikat karya sastra dengan cara megeksploitasi sarana bahasa telah mencapai klimaksnya. Meskipun demikian, penemuan tersebut justru mngarahkan pada paradigma baru, karya tidak bisa dipahami secara terisolasi semata-mata melalui akumulasi perngkat-perangkat intrinsiknya, tetapi juga harus melibatkan keseluruhan faktor yang membentuknya. Pergeseran perhatian dari masalah-masalah teknis, khususnya sebagaiimana digemari oleh kelompok formalisme awal, ke arah pemahaman sastra secara lebih luas, melahirkan strukturalisme. Formalisme memiliki dampak atas strukturalisme Perancis, yang kemudian memicu penelitian Todorov, Roland Barthes, dan Gerarld Genette. Formalisme juga memegang peranan dalam perkembangan strukturalisme Rusia tahun 1960-an, mempengaruhi kelompok Tartu-Moskow, termasuk Lotman, Alexander Zholkovsky, dan Boris Uspensij. Sebagai asal-usul teori modern dalam bidang sastra relevansi formalisme seperti telah dijelaskan di atas adalah pergeseran pandangan dari unsur-unsur di luar sastra ke sastra itu sendiri. Pergeseran yang dimaksudkan membawa implikasi langsung pada pandangan bahwa yang terpenting dalam analisis adalah karya, dalam hubungan ini medium bahasa dan aspek-aspek kesastraan dengan berbagai problematikanya. Sesuai dengan perkembangan formalisme, pada tahap permulaan karya sastra yang memperoleh perhatian adalah puisi yang kemudian dilanjutkan dengan jenis fiksi. Pada perkembangan yang terakhir inilah dikemukakan konsepkonsep yang relevan dalam analisis novel, seperti perbedaan antara cerita dengan penceritaan. Pada dasarnya keseluruhan unsur fikis dimanifestasikan dalam penceritaan, yang pada umumnya disebut plot. Teks dan wacana, dua istilah yang menduduki posisi yang sangat penting dalam teori sastra kontemporer pada dasarnya juga dieksploitasi melalui mekanisme penceritaan tersebut. Melalui relasi oposisi fabula dan sjuzet, formalisme membawa ilmu sastra pada pemahaman baru, sastra sebagai energi untuk menjadikan segala sesuatu seolah-olah terlihat untuk pertama kali.



C. Teori Strukturalisme Dinamik Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang berari bentuk atau bangunan. Asal-muasal strukturalisme, seperti sudah dikemukakan di atas, dapat dilacak dalam Poetica Aristoteles, dalam kaitannya dengan tragedi, lebih khusus lagi dalam pembicaraanya mengenai plot. Konsep plot harus memiliki ciri-ciri yang terdiri atas kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan (Teeuw, 1988: 121-134). Perubahan paradigma yang sangat mendasar baru terjadi dua puluh lima abad kemudian, yaitu dengan memberikan prioritas pada karya sastra itu sendiri. Perkembangan tersebut diawali oleh formalisme Rusia (1915-1930), strukturalime Praha (1930-an), Kritik baru di Amerika Serikat (tahun 1940-an), dan sekitar tahun 1960-an disusul oleh strukturalisme baru di Rusia, strukturalisme Perancis, strukturalisme Inggris, gerakan otonomi di Jerman, strukturalisme di Belanda, dan strukturalisme di Belanda, dan strukturalisme di Indonesia melalui kelompok Rawamangun (1960-an). Menurut Teeuw (1988: 131), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme berkembang melalui tradisi formalisme. Artinya, hasil-hasil yang dicapai melalui tradisi formalis sebagian besar dilanjutkan dalam strukturalis. Di satu pihak, para pelopor formalis sebagian besar terlibat dalam mendirikan strukturalis. Di pihak yang lain atas dasar pengalaman formalislah mereka mendirikan strukturalisme. Oleh karena itulah, menurut Mukarovsky (Rene Wellek, 1970: 275-276), strukturalisme sebagaimana yang mulai iperkenalkan tahun 1934, tidak menggunakan nama metode atau teori sebab di satu pihak, teori berarti bidang ilmu pengetahuan tertentu, di pihak yang lain, metode berarti prosedur ilmu yang relatif baku. Pada masa tersebut strukturalisme terbatas sebagai sudut pandang etimologi, sebagai sistem tertentu denga mekanisme antarhubungannya. Oleh karena itu pulalah, Robert Scholes (1977) menjelaskan keberadaan strukturalisme menjadi tiga tahap, yaitu: sebagai pergeseran paradigma berfikir, sebagai metode, dan terakhir sebagai teori. Mekanisme seperti itu merupakan cara yang biasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Demikianlah akhirnya strukturalisme disempurnakan kembali dalam strukturalisme genetik, resepsi, interteks, dan akhirnya pascastrukturalisme , khususnya dalam dekonstruksi.



Seperti dijelaskan diatas, secara definitif srtukturalisme mulai dengan lahirnya ketidakpuasan dan berbagai kritik atas formalisme. Sejarah strukturalisme, demikian juga sejarah teori pada umumnya adalah sejarah proses intelektualitas. Menurut Kuhn (1962), sejarah tersebut dibangun atas dasar kekuatan evolusi sekaligus revolusi. Perkembangan teori tidak cukup dibangun atas dasar akumulasi konsep, metode, dan berbagai pandangan dunia lainnya, melainkan juga memerlukan perubahan secara radikal yang pada gilirannya memicu proses percepatan lahirnya teori-teori yang baru. Hal yang senada juga dikemukakan oleh Saussure dalam menjelaskan bahasa, di mana bahasa bukanlah tumpukan kata yang berfungsi untuk menjelaskan benda-benda. Simbol tidak berhubungan dengan rujukan, tetapi terdiri atas penanda dan petanda dan semata-mata berfungsi dalam sistem, sebagaimana makna tanda-tanda lampu lalu lintas. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, meskipun strukturalisme berhubungan erat dengan formalisme Rusia, aliran Praha, dan strukturalisme Polandia, strukturalisme pada umumnya diasosiasikan dengan pemikiran Perancis tahun 1960-an, yang sebagian besar dihubungkan dengan etnografi Levi-Strauss, demikian juga pemikiran Roland Barthes, Michel Foucault, Gerard Genette, Louis Althusser, Jaques Lacan, J. Greimas, dan Jean Piaget. Sebagaian dari mereka memasuki era baru dalam teori postsrukturalis. Ilmu pengetahuan, khususnya ilmu humaniora, tidak berkembang secara garis lurus dan tidak searah, melainkan berada dalam kondisi saling mempengaruhi, saling melengkapi sehingga lebih banyak bergerak sebagai kualitas dialektis. Apabila dalam ilmu sastra strukturalisme dianggap sebagai perkembangan kemudia dari formalisme, dalam sosiologi, menurut Marvin Haris (1979: 166-167), asal-usul strukturalisme adalah ide sebagaimana dikemukakan oleh Durkheim. Sejajar dengan penjelasannya mengenai hakikat suatu masyarakat, totalitas yang tediri atas kesadaran



kolektif,



maka



pikiran



pun



terdiri



atas



cetakan-cetakan



yang



memungkinkan untuk memahami totalitas benda-benda. Dengan cara yang sama maka setiap kebudayaan terdiri atas pola-pola, dengan isi yang berbeda-beda. Di sinilah tugas analisis struktur yaitu membongkar unsur-unsur yang tersembunyi yang berada di baliknya. Berbeda dengan paradigma sosiologi sebelumnya yang disebut sebagai teori-teori individualistis, yang menyatakan masyarakat dibentuk oleh individu,



sebaliknya,



menurut



Durkheim,



justru



individulah



yang



dibentuk



masyarakat. Sejajar dengan konsep ini, naka dalam strukturalisme, unsur memiliki arti hanya dalam totalitasnya. Tokoh-tokoh



penting



strukturalisme,



di



antaranya:



Roman



Jakobson,



Jan



Mukarovsky, Felix Vodicka, Rene Wellek, Jonathan Culler, Robert Scheles, dan sebagainya. Jakobson sekaligus merupakan tokoh formalis, strukturalisme Ceko, strukturalisme di Amerika Serikat, dan strukturalisme modern pada umumnya. Teori Jakobson (Teeuw, 1988: 53), yang terdiri atas enam faktor (addresser, addesse, context, message, contact, dan code) dengan enam fungsi (emotive, conative, reverential, poetic, phatic, dan metalingual), meskipun banyak ditolak, tetapi sangat relevan dalam kaitannyadengan pemahaman fungsi-fungsi puitika bahasa. Bersama Levi-Strauss, teori tersebut diterapkan dalam menganalisis puisi Charles Baudelaire yang berjudul ‘Les Chats’. Meskipun demikian, buku yang paling berwibawa mengenai konsep strukturalisme adalah Theory of Literature yang ditulis oleh Rene Wellek dan Austin Warren, terbit pertama kali tahun 1942. buku tersebut merupakan perpaduan antara strukturalisme Ceko dengan Kritik Baru.(1) Aspek Ekstrinsik (historis, sosiologis, psikologis, filosofis, religius),(2)Aspek Intristik Elemen-elemen cipta sastra (a)insiden, (b)plot, (c) karakterisasi,(d)teknik cerita,(e) komposisi cerita, dan (f) gaya bahasa. D. Teori Semiotika Secara definitif, menurut Paul Cobley (2002) Semiotika berasal dari kata seme,bahasa Yunani yang artinya penafsir tanda.Literatur lain semiotika berasal dari kata semeion yang berarti tanda. Dalam pengertian yang luas sebagai teori semeotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interprestasi tanda, bagaimana cara kerjanya,apa manfaatnya



terhadapa kehidupan manusia .



Kehidupan manusi dipenuhi oleh tanda, dengan perantaraan tanda-tanda proses kehidupan menjadi lebih efesien,dengan perantaran tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi degan sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia, dengan demikian manusia adalah homo semioticus. Buku Saussure yang terkenal berjudul Cours d Linguistique Generale, yang terbit tahun 1916 dianggap sebagai asal-muasal teori strukturalisme sekaligus sebagai teori bahasa,yaitu linguistik sebagai bagian integral teori komunikasi dan keseluruhan



hubungan sosial.Apabila konsep-konsep Saussure bersisi ganda,sebagai diadik, maka konsep Peirce bersisi tiga sebagai triadik.Diadik Saussure ditandai oleh ciri-ciri kesatuan internal,sedangkan triadik ditandai oleh dinamisme internal..Dilihat dari cara kerjanya , maka terdapat (a) semiotika sintaksis yaitu studi dengan memberikan intensitas hubungan antara tanda dengan tanda-tanda yang lain.(b)semantik semiotika,studi yang memberikan perhatian hubungan tanda dengan acuannya , dan (c) pragmatik semiotika, yaitu studi yang memberikan perhatian antara pengirim dan penerima. Dilihat dari faktor yang menentukan tanda, maka tanda dibedakan menjadi (1) representamen,ground tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum qualisigns (terbentuk oleh kualitas),sinsigns (terbentuk melalui realitas fisik),dan



(c)



legisigns



types



(berupa



hukum).



(2)



object( designatum,denotatum,referent) yaitu apa yang diacu: ikon hubungan antara tanda dengan obyek karena serupa,indeks hubungan tanda dengan objek karena sebab akibat, simbol adalah hubungan tanda dengan obyek karena kesepakatan, (3) interpretan yaitu tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima seperti : rheme tanda



sebagai



kemungkinan



(konsep),dicisigns,dicent



signs



tanda



sebagai



fakta(pernyataan deskripsi), argument tanda tampak sebagai nalar(proposisi). Diantara representament,obyect, dan interpretant yang paling banyak diulas adalah obyect. 3. Impilikasi Strukturalisme dalam Pembelajaran Sastra Dalam strukturalisme bahwa sastra merupakan suatu konstruk yang dapat dianalisis dan bukannya produk inspirasi yang keramat. Strukturalisme membuat sebuah mekanisme sastra yang aksesibel bagi semuanya, termasuk bagi para siswa. Konvensi literer atau kode dapat dibuat eksplisit dan dapat dipikirkan. Semua siswa sudah dapat menginternalisasikan banyak kode dan oleh tanda itu, mereka memiliki kompetensi literer yang potensial. Akan tetapi, yang mereka miliki sering tidak dimanfaatkan karena mereka tidak tahu bahwa mereka memilikinya, atau tidak tahu cara menggunakanya. Sebab sebagai guru, kita bertanggung jawab untuk membantunya agar mereka menyadari hal itu. Di samping itu, kita juga bertanggung jawab untuk mengajari mereka sesuatu yang lain, sehingga mereka dapat mengendalikan dan menggunakanya guna mencapai tujuan-tujuan mereka dalam membaca dan menulis.



Pengajaran kita seharusnyabertujuan memberikan kepada siswa suatu penguasaan keterampilan dan konvensi-konvensi membaca dan menulis, dan bukanya mengajarkan eksplisikasi teks khusus secara autoritatif. Penyususn cerita dan puisi sendiri, membuat siswa lebih sadar bahwa puisi dan cerita orang lain merupakan konstruk,produk pilihan dan mekanisme linguistik yang dimanipulasikan untuk mencapai tujuan-tujuan penulisnya. Dalam strukturalisme bahwa realitas bukanlah sesuatu yang diberikan melalui refleksi bahasa, melainkan dihasilkan oleh bahasa, strukturalisme menghancurkan mitos mengenai teks sastra kaum realis-ekspresif, yaqitu mitos bahawa teks sastra merupakan jendela kebenaran.Walaupun demikian,penolakan terhadap realitas dan intensi-intensi manusia di luar bahasa merupakan sesuatu yang bersifat reduktif dan over-deterministic.



DAFTAR PUSTAKA



1. Hartoko.Dick. 1984. Pengantar Ilmu Sastra, PT.Gramedia: Jakarta 2. Kutha.R.Nyoman ,2004, Teori dan Metode, dan Praktik Penelitian Sastra .Pustaka Pelajar : Jogjakarta. 3. Teeuw,A. 1988. Sastra dan Ilmu Satra, Teori pengantar Sastra .Pustaka Jaya : Jakarta 4. Wellek,Rene,dan Austin Warren. 1992.Theory of Leterature, A Harvest Book Harcourt,Barce & Word,Inc: New York



Teori Strukturalisme  A.   Pendahuluan Tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan teori yang masuk akal dan dapat dipercaya. Hanya dengan berteori, pertanyaan­pertanyaan dasar mengenai situasi social yang ada di dalam kehidupan manusia dapat dijawab. Karena itu, sebelum berbicara tentang teori­ teori   sosiologi,   maka   ada   baiknya   kita   uraikan   secara   singkat   terlebih   dahulu   tentang pengertian teori, fungsi teori serta pengklasifikasian teori sosiologi.



B. Pengertian Teori Menurut Turner teori merupakan proses mental untuk membangun ide sehingga ilmuwan dapat menjelaskan mengapa peristiwa itu terjadi (Sunarto, 2000: 225). Sedangkan Kornblum mengemukakan   bahwa   teori   merupakan   seperangkat   jalinan   konsep   untuk   mencari   sebab terjadinya gejala yang diamati. Dalam proses pencarian sebab ini, ara ilmuwan membedakan antara faktor yang dijelaskan dengan faktor penyebab. Menurut Soerjono Soekanto (2000: 27), suatu teori pada hakikatnya merupakan hubungan antara   dua   fakta   atau   lebih,   atau   pengaturan   fakta   menurut   cara­cara   tertentu.   Fakta merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris. Oleh sebab itu dalam bentuk yang paling sederhana, teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya. Bagi seseorang yang belajar sosiologi, teori mempunyai kegunaan antara lain untuk  (Zamroni, 1992: 4): 1.      sistematisasi pengetahuan; 2.      menjelaskan, meramalkan, dan melakukan kontrol social 3.      mengembangkan hipotesa C.   Teori Sosiologi Dalam sosiologi ditempuh berbagai cara untuk mengklasifikasikan teori. Ritzer dalam buku Teori   Sosiologi   Modern   Edisi   ke­6   (2006)  meskipun   tidak   menyebutkan   secara   eksplisit, namun dalam karyanya itu dapat dilihat klasifikasi berdasarkan pada urutan waktu lahirnya teori sosiologi. Klasifikasi yang hampir sama juga dilakukan oleh Doyle Paul Johnson (1986)



dalam bukunya Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Ritzer dalam bukunya membagi sebagai berikut: 1)        Teori Sosiologi Klasik (Sosiologi Tahun­Tahun Awal) Periode ini ditandai oleh munculnya aliran Sosiologi Perancis dengan tokoh­tokoh: Saint­ Simon, Auguste Comte, dan Emile Durkheim. Sosiologi Jerman dengan tokoh­tokoh: Karl  Marx, Max Weber, dan Georg Simmel. Sosiologi Inggris yang dipelopori oleh Herbert  Spencer. Serta Sosiologi Italia dengan tokoh Vilfredo Pareto.  2)      Teori Sosiologi Modern. Teori­teori ini merupakan pengembangan dari aliran­aliran Sosiologi Klasik. Aliran­aliran  utama dalam teori sosiologi modern ini meliputi: Sosiologi Amerika, Fungsionalisme, Teori  Konflik, Teori Neo­Marxis, Teori Sistem, Interaksionisme Simbolik, Etnometodologi,  Fenomenologi, Teori Pertukaran, Teori Jaringan, Teori Pilihan Rasional, Teori Feminis  Modern, Teori Modernitas Kontemporer, Strukturalisme, dan Post­Strukturalisme 3)      Teori Sosial Post­Modern. Aliran teori ini merupakan kritik atas masyarakat modern yang dianggap gagal membawa  kemajuan dan harapan bagi masa depan. Para teoritisi yang tergabung dalam aliran ini antara  lain: Michael Foucoult, Jean Baudrillard, Jacques Derrida, Jean Francois Lyotard, Jacques  Lacan, Gilles Deleuze, Felix Guattari, Paul Virilio, Anthony Giddens, Ulrich Beck, Jurgen  Habermas, Zygmunt Bauman, David Harvey, Daniel Niel Bell, Fredric Jameson. D.   Strukturalisme Teori Strukturalisme termasuk teori Sosiologi Modern dan juga Post Modern, karena dalam perkembangannya,   teori   ini   terus   dikembangkan   dan   menjadi   teori   Post   Strukturalisme. Walaupun teori ini jelas memusatkan perhatiannya pada struktur, tetapi tidak sepenuhnya sama   dengan   struktur   yang   menjadi   sasaran   perhatian   teoritisi   Fungsionalisme   Struktural (salah   satu   teori   Sosiologi   klasik).   Perbedaanya   pada   tekanannya,   yaitu   Fungsionalisme Struktural memusatkan perhatiannya pada struktur sosial, sedangkan Teori Strukturalisme memusatkan pada struktur linguistik (Ritzer, 2004 : 603).  Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap. Ciri   khas   strukturalisme   ialah   pemusatan   pada   deskripsi   keadaan   aktual   obyek   melalui penyelidikan,   penyingkapan   sifat­sifat   instrinsiknya   yang   tidak   terikat   oleh   waktu   dan



penetapan   hubungan   antara   fakta   atau   unsur­unsur   sistem   tersebut   melalui   pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur­unsur pada setiap tingkat) (Bagus, 1996: 1040) Gagasan­gagasan   strukturalisme   juga   mempunyai   metodologi   tertentu   dalam   memajukan studi   interdisipliner   tentang   gejala­gejala   budaya,   dan   dalam   mendekatkan   ilmu­ilmu kemanusiaan   dengan   ilmu­ilmu   alam.   Akan   tetapi   introduksi   metode   struktural   dalam bermacam   bidang   pengetahuan   menimbulkan   upaya   yang   sia­sia   untuk   mengangkat strukturalisme pada status sistem filosofis. (Bagus, 1996: 1040)  a.                Ferdinand de Saussure Untuk mengenal lebih lanjut tentang strukturalisme maka ada baiknya untuk menyimak pemikiran Ferdinand de Saussure yang banyak disebut orang sebagai bapak strukturalisme, walaupun bukan orang pertama yang mengungkapkan strukturalisme. Banyak   hal   yang   menunjukkan   Ferdinand   de   Saussure   adalah   bapak   strukturalisme. Selain ia  sebagai  bapak strukturalisme  ia juga  sebagai bapak  linguistik yang  ditunjukkan dengan   mengadakan   perubahan   besar­besaran   di   bidang   lingustik.   Ia   yang   pertama   kali merumuskan secara sistematis cara menganalisa bahasa, yang juga dapat dipergunakan untuk menganalisa sistem tanda atau simbol dalam kehidupan masyarakat, dengan menggunakan analisis struktural. Ia mengatakan bahwa linguistik adalah ilmu yang mandiri, karena bahan penelitiannya, yaitu bahasa, juga bersifat otonom. Bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap.  Menurutnya ada kemiskinan dalam sistem tanda lainnya, sehingga untuk masuk ke dalam analisis semiotik, sering digunakan pola ilmu bahasa. De Saussure mengatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapkan gagasan, dengan demikian dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad orang­orang bisu tuli, upacara simbolik, bentuk sopan santun, tanda­ tanda kemiliteran dan lain sebagainya. Bahasa hanyalah yang paling penting dari sistem­ sistem ini. Jadi kita dapat menanamkan benih suatu ilmu yang mempelajari tanda­tanda di tengah­tengah kehidupan kemasyarakatan; ia akan menjadi bagian dari psikologi umum, yang nantinya dinamakan oleh de saussure sebagai semiologi. Ilmu ini akan mengajarkan kepada kita, terdiri dari apa saja tanda­tanda itu, kaidah mana yang mengaturnya. Karena ilmu ini belum ada, maka kita belum dapat mengatakan bagaimana ilmu ini, tetapi ia berhak hadir, tempatnya telah ditentukan lebih dahulu. Linguistik hanyalah sebahagian dari ilmu umum itu,



kaidah­kaidah yang digunakan dalam semiologi akan dapat digunakan dalam linguistik dan dengan demikian linguistik akan terikat pada suatu bidang tertentu dalam keseluruhan fakta manusia. Gagasan yang paling mendasar dari de Saussure adalah sebagai berikut: 1.         Diakronis dan sinkronis: penelitian suatu bidang ilmu tidak hanya dapat dilakukan secara  diakronis (menurut perkembangannya) melainkan juga secara sinkronis (penelitian dilakukan  terhadap unsur­unsur struktur yang sezaman) 2.         Langue dan parole: langue adalah penelitian bahasa yang mengandung kaidah­kaidah, telah  menjadi milik masyarakat, dan telah menjadi konvensi. Sementara parole adalah penelitian  terhadap ujaran yang dihasilkan secara individual. 3.         Sintagmatik dan Paradikmatik (asosiatif): sintagmatik adalah hubungan antara unsur yang  berurutan (struktur) dan paradikmatik adalah hubungan antara unsur yang hadir dan yang  tidak hadir, dan dapat saling menggantikan, bersifat asosiatif (sistem). 4.         Penanda dan Petanda: Saussure menampilkan tiga istilah dalam teoi ini, yaitu tanda bahasa  (sign), penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurutnya setiap tanda bahasa  mempunyai dua sisi yang tidak terpisahkan yaitu penanda (imaji bunyi) dan petanda  (konsep). Sebagai contoh kalau kita mendengan kata rumah langsung tergambar dalam  pikiran kita konsep rumah.  Strukturalisme termasuk dalam teori kebudayaan yang idealistik karena strukturalisme  mengkaji pikiran­pikiran yang terjadi dalam diri manusia. Strukturalisme menganalisa proses  berfikir manusia dari mulai konsep hingga munculnya simbol­simbol atau tanda­tanda  (termasuk didalmnya upacara­upacara, tanda­tanda kemiliteran dan sebagainya) sehingga  membentuk sistem bahasa. Bahasa yang diungkapkan dalam percakapan sehari­hari juga  mengenai proses kehidupan yang ada dalam kehidupan manusia, dianalisa berdasarkan  strukturnya melalui petanda dan penanda, langue dan parole, sintagmatik dan paradikmatik  serta diakronis dan sinkronis. Semua relaitas sosial dapat dianalisa berdasarkan analisa  struktural yang tidak terlepas dari kebahasaan. Dalam memahami kebudayaan kita tidak bisa terlepas dari prinsip­prinsip dasarnya. de  Saussure merumuskan setidaknya ada tiga prinsip dasar yang penting dalammemahami  kebudayaan, yaitu: 1.         Tanda (dalam bahasa) terdiri atas yang menandai (signifiant, signifier, penanda) dan yang  ditandai (signifié, signified, petanda). Penanda adalah citra bunyi sedangkan petanda adalah 



gagasan atau konsep. Hal ini menunjukkan bahwa setidaknya konsep bunyi terdiri atas tiga  komponen (1) artikulasi kedua bibir, (2) pelepasan udara yang keluar secara mendadak, dan  (3) pita suara yang tidak bergetar. 2.          Gagasan penting yang berhubungan dengan tanda menurut Saussure adalah tidak adanya acuan ke realitas obyektif. Tanda tidak mempunyai nomenclature. Untuk memahami makna maka terdapat dua cara, yaitu, pertama, makna tanda ditentukan oleh pertalian antara satu tanda dengan semua tanda lainnya yang digunakan dan cara kedua karena merupakan unsur dari   batin   manusia,   atau   terekam   sebagai   kode   dalam   ingatan   manusia,   menentukan bagaimana   unsur­unsur   realitas   obyektif   diberikan   signifikasi   atau   kebermaknaan   sesuai dengan konsep yang terekam. 3.          Permasalahan   yang   selalu   kembali   dalam   mengkaji   masyarakat   dan   kebudayaan   adalah hubungan antara individu dan masyarakat. Untuk bahasa, menurut Saussure ada langue dan parole  (bahasa   dan   tuturan).  Langue  adalah   pengetahuan   dan   kemampuan   bahasa   yang bersifat   kolektif,   yang   dihayati   bersama   oleh   semua   warga   masyarakat;  parole  adalah perwujudan  langue  pada   individu.   Melalui   individu   direalisasi   tuturan   yang   mengikuti kaidah­kaidah   yang   berlaku   secara   kolektif,   karena   kalau   tidak,   komunikasi   tidak   akan berlangsung secara lancar.  Gagasan kebudayaan,  baik sebagai sistem  kognitif  maupun sebagai sistem  struktural, bertolak dari anggapan bahwa kebudayaan adalah sistem mental yang mengandung semua hal yang   harus   diketahui   individu   agar   dapat   berperilaku   dan   bertindakj   sedemikian   rupa sehingga dapat diterima dan dianggap wajar oleh sesama warga masyarakatnya. 



b.      Pierre Bourdieu Bourdieu pada awalnya menghasilkan karya­karya yang memaparkan sejumlah pengaruh teoritis,   termasuk   fungsionalisme,   strukturalisme   dan   eksistensialisme,   terutama   pengaruh Jean Paul Sartre dan Louis Althusser. Pada   tahun   60an   ia   mulai   mengolah   pandangan­pandangan   tersebut   dan   membangun suatu teori tentang model masyarakat. Gabungan antara pendekatan teori obyektivis dan teori subyektivis   sosial   yang   dituangkan   dalam   buku   yang   berjudul   ”outline   of   a   theory   of practice” dimana didalamnya ia memiliki posisi yang unik karena   berusaha mensintesakan kedua pendekatan metodologi dan epistemologi tersebut.



Dalam   karyanya   ini   ia   menyerang   pemahaman   kaum   strukturalis   yang   menciptakan obyektivisme yang menyimpang dengan memposisikan ilmuwan sosial sebagai pengamat. Menurutnya pemahaman ini mengabaikan peran pelaku dan tindakan­tindakan praktis dalam kehidupan sosial. Kelebihan Bourdieu adalah menghasilkan cara pandang dan metode baru yang mengatasi berbegai   pertentangan   di   antara   penjelasan­penjelasan   sebelumnya.   Pemikirannya   bukan hanya menjawab pertanyaan tentang asal usul dan seluk beluk masyarakat tetapi lebih pada menjawab persoalan­persoalan baru yang diturunkan dari pemikiran­pemikiran terdahulu. Terdapat 3 konsep penting dalam pemikiran Bourdieu yaitu Habitus, Field dan Modal. Berikut ini akan dibahas ketiga konsep tersebut dan akan dijelaskan interaksi ketiga konsep ini dalam masyarakat. Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Setiap aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan   yang   mereka   gunakan   untuk   merasakan,   memahami,   menyadari,   dan menilai dunia sosial. Melalui pola­pola itulah aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektis habitus adalah ”produk internalisasi struktur” dunia sosial. Atau dengan   kata   lain   habitus   dilihat   sebagai   ”struktur   sosial   yang   diinternalisasikan   yang diwujudkan”.  Habitus   mencerminkan   pembagian   obyektif   dalam   struktur   kelas   seperti   umur,   jenis kelamin, kelompok dan kelas sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan sosial diduduki. Habitus berbeda­beda pada setiap orang tergantung pada wujud posisi seseorang dalam kehidupan sosial; tidak setiap orang sama kebiasaannya; orang yang menduduki posisi yang sama dalam kehidupan sosial, cenderung mempunyai kebiasaan yang sama. Habitus  lebih   didasarkan   pada  keputusan   impulsif,   dimana   seorang  individu  bereaksi secara   efisien   dalam   semua   aspek   kehidupan.   Habitus   menghasilkan   dan   dihasilkan   oleh kehidupan   sosial.   Disatu   pihak   habitus   adalah   struktur   yang   menstruktur   artinya   habitus adalah   sebuah   struktur   yang   menstruktur   kehidupan   sosial.   Dilain   pihak   habitus   adalah struktur yang terstruktur, yaitu habitus adalah struktur yang distruktur oleh dunia sosial. Habitus   menjadi   konsep   penting   baginya   dalam   mendamaikan   ide   tentang   struktur dengan   ide   tentang   praktek.   Ia   berusaha   mengkonsepkan   kebiasaan   dalam   berbagai   cara, yaitu:



1.     Sebagai kecenderungan­kecenderungan empiris untuk bertindak dalam cara­cara yang 



khusus (gaya hidup) 2.     Sebagai motivasi, preferensi, cita rasa atau perasaan (emosi) 3.     Sebagai perilaku yang mendarah daging 4.     Sebagai suatu pandangan tentang dunia (kosmologi) 5.     Sebagai keterampilan dan kemampuan sosial praktis 6.     Sebagai aspirasi dan harapan berkaitan dengan perubahan hidup dan jenjang karier. 



Habitus membekali seseorang dengan hasrta. Motivasi, pengetahuan, keterampilan,  rutinitas dan strategi untuk memproduksi status yang lebih rendah. Bagi Bourdieu keluarga  dan sekolah merupakan lembaga penting dalam membentuk kebiasaan yang berbeda. Field bagi Bourdieu lebih bersifat relasional ketimbang struktural. Field adalah jaringan  hubungan antar posisi obyektif di dalamnya. Keberadaan hubungan ini terlepas dari  kesadaran dan kemauan individu. Field bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan bukanlah  intersubyektif antara individu. Penghubi posisi mungkin agen individual atau lembaga, dan  penghubi posisi ini dikendalikan oleh struktur lingkungan. Bourdieu   melihat   field   sebagai   sebuah   arena   pertarungan.   Struktur   Field   lah   yang menyiapkan   dan   membimbing   strategi   yang   digunakan   penghuni   posisi   tertentu   yang mencoba   melindungi   atau   meningkatkan   posisi   mereka   untuk   memaksakan   prinsip penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri. Field adalah sejenis   pasar   kompetisi   dimana   berbagai   jenis   modal   (ekonomi,   kultur,   sosial,   simbolik) digunakan dan disebarkan. Lingkungan adalah lingkungan politik (kekuasaan) yang sangat penting; hirarki hubungan kekuasaan di dalam lingkungan politik membantu menata semua lingkungan yang lain. Bourdieu   menyusun   3   langkah   proses   untuk   menganalisa   lingkungan,   pertama, menggambarkan   keutamaan   lingkungan   kekuasaan   (politik).   Langkah   kedua, menggambarkan   struktur   obyektif   hubungan   antar   berbagai   posisi   di   dalam   lingkungan tertentu, ketiga, analis harus mencoba menetukan ciri­ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan. Dengan kata lain, Field adalah wilayah kehidupan sosial, seperti seni, industri, hukum, pengobatan, politik dan lain sebagainya, dimana para pelakunya berusaha untuk memperoleh kekuasaan dan status.



Bourdieu menganggap bahwa modal memainkan peranan yang penting, karena modallah yang   memungkinkan   orang   untuk   mengendalikan   orang   untuk   mengendalikan   nasibnya sendiri maupun nasib orang lain. Ada 4 modal yang berperan dalam masyarakat yang menentukan kekuasaan sosial dan ketidaksetaraan sosial, pertama modal ekonomis yang menunjukkan sumber ekonomi. Kedua, modal   sosial   yang   berupa   hubungan­hubungan   sosial   yang   memungkinkan   seseorang bermobilisasi   demi   kepentingan   sendiri.   Ketiga,   modal   simbolik   yang   berasal   dari kehormatan   dan   prestise   seseorang.   Dan   keempat   adalah   modal   budaya   yang   memiliki beberapa dimensi, yaitu: 1.          Pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya 2.          Cita rasa budaya (cultural taste) dan preferensi 3.          Kualifikasi­kualifikasi formal (seperti gelas­gelar universitas) 4.          Kemampuan­kemampuan budayawi dan pengetahuan praktis. 5.          Kemampuan untuk dibedakan dan untuk membuat oerbedaan antara yang baik dan buruk. 



Modal kultural ini terbentuk selama bertahun­tahun hingga terbatinkan dalam diri  seseorang. Setelah dibahas tentang ketiga konsep diatas maka akan dijelaskan hubungan  ketiga konsep tersebut.   Habitus dan ranah merupakan perangkat konseptual utama yang krusial bagi karya  Bourdieu yang ditopang oleh sejumlah ide lain seperti kekuasaan simbolik, strategi dan  perbuatan beserta beragan jenis modal. Seperti telah diungkapkan diatas bahwa habitus adalah struktur kognitif yang  menghubungkan individu dan realitas sosial. Habitus merupakan struktur subyektif yang  terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan  struktur obyektif yang ada dalam ruang sosial. Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk  setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu,  dengan kata lain habitus adalah hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas bermain, dan  juga pendidikan masyarakat. Pembelajaran ini berjalan secara halus sehingga individu tidak  menyadari hal ini terjadi pada dirinya, jadi habitus bukan pengetahuan bawaan. Habitus mendasari field yang merupakan jaringan relasi antar posisi­posisi obyektif  dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran individu. Field semacam  hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi­posisi individu dan kelompok  dalam tatanan masyarakatyang terbentuk secara spontan.



Habitus memungkinkan manusia hidup dalam keseharian mereka secara spontan dan  melakukan hubungan dengan pihak­pihak diluar dirinya. Dalam proses interaksi dengan  pihak luar tersebut terbentuklah Field. Dalam suatu Field ada pertarungan kekuatan­kekuatan antara individu yang memiliki  banyak modal dengan individu yang tidak memiliki modal. Diatas sudah di singgung bahwa  modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di  dalam field dimana di dalam setiap field menuntut untuk setiap individu untuk memiliki  modal gara dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya. Secara ringkas Bourdieu menyatakan rumusan generatif yang menerangkan praktis sosial dengan rumus setiap relasi sederhana antara individu dan struktur dengan relasi antara habitus dan ranah yang melibatkan modal.  c.       Levi Strauss Dalam  konsep  Strukturalisme  Levi­Strauss,  struktur  adalah  model­model  yang  dibuat oleh   ahli   Antropologi   untuk   memahami   atau   menjelaskan   gejala   kebudayaan   yang dianalisisnya,  yang  tidak  ada  kaitannya  dengan  fenomena  empiris  kebudayaan  itu  sendiri (Ahimsa, 2006; 60). Meskipun bertolak pada linguistik, fokus strukturalisme Levi­Strauss sebenarnya bukan pada makna kata, tetapi lebih menekankan pada bentuk (pattern) dari kata itu. Bentuk­bentuk kata ini menurut Levi­Strauss berkaitan erat dengan bentuk atau susunan sosial masyarakat. Oleh sebab itu  Sarah Schmitt (1999) menyatakan, “Levi­Strauss derived structuralism from school of linguistics whose focus was not on the meaning of the word, but the patterns that the words form.” Strukturalisme Levi­Strauss juga bertolak dari konsep oposisi biner (binary opposition). Konsep ini dianggap sama dengan organisasi pemikiran manusia dan juga kebudayaannya. Seperti   kata­kata   hitam   dan   putih.   Hitam   sering   dikaitkan   dengan   kegelapan,   keburukan, kejahatan, sedangkan putih dihubungkan dengan kesucian, kebersihan, ketulusan dan lain­ lain. Contoh lain adalah kata rasional dan emosional. Rasional dianggap lebih istimewa dan diasosiasikan dengan laki­laki. Sementara emosional dianggap inferior yang diasosiasikan dengan perempuan. Semua konsep mengenai struktur bahasa tersebut di atas, dikaitkan dengan persoalan­ persoalan yang ada dalam kehidupan sosial. Untuk membuktikan adanya keterkaitan atau beberapa kesamaan antara bahasa dan budaya, Levi­Strauss mengembangkan teorinya dalam analisis   mitos.   Levi­Strauss   sangat   tertarik   pada   logika   mitologi.   Itu   sebabnya   ia   mulai



dengan   mitos,   menggabungkan   fungsi­fungsi   hanya   secara   vertikal,   dan   mencoba menerangkan paradigmatik mereka yang tumpah­tindih dengan varian­varian mitos. Model strukturalnya   tidak   linier   (Meletinskij,   1969   dalam   Fokkema,   1978).   Untuk   mengetahui makna   struktur   dalam   bidang   Antropologi   Levi­Strauss,   perlu   diketahui   terlebih   dahulu prinsip dasar dari struktur itu sendiri. Prinsip dasar struktur yang dimaksud disini adalah bahwa   struktur   sosial   tidak   berkaitan   dengan   realitas   empiris,   melainkan   dengan   model­ model yang dibangun menurut realitas empiris tersebut (Levi­Strauss, 1958; 378). Bangunan dari model­model itu yang akan membentuk struktur sosial. Menurut Levi­Strauss (1958) ada empat syarat model agar terbentuk struktur sosial; 1.         Sebuah struktur menawarkan sebuah karakter sistem. Struktur terdiri atas elemen­elemen  seperti sebuah modifikasi apa saja, yang salah satunya akan menyeret modifikasi seluruh  elemen lainnya. 2.         Seluruh model termasuk dalam sebuah kelompok transformasi, di mana masing­masing  berhubungan dengan sebuah model dari keluarga yang sama, sehingga seluruh transformasi  ini membentuk sekelompok model. 3.         Sifat­sifat yang telah ditunjukan sebelumnya tadi memungkinkan kita untuk memperkirakan  dengan cara apa model akan beraksi menyangkut modifikasi salah satu dari sekian  elemennya. 4.         Model itu harus dibangun dengan cara sedemikian rupa sehingga kegunaannya bisa  bertanggung jawab atas semua kejadian yang diobservasi. Lahirnya konsep Strukturalisme Levi­Strauss merupakan akibat dari ketidakpuasan Levi­ Strauss terhadap fenomenologi dan eksistensialisme (Fokkema, 1978). Masalahnya para ahli Antropologi   pada   saat   ini   tidak   pernah   mempertimbangkan   peranan   bahasa   yang sesungguhnya sangat dekat dengan kebudayaan manusia itu sendiri. Dalam bukunya yang berjudul ”Trites Tropique” (1955) ia menyatakan bahwa penelaahan budaya perlu dilakukan dengan   model   linguistik   seperti   yang   dikembangkan   oleh   Ferdinand   de   Saussure,   bukan seperti yang dikembangkan oleh Bergson. Karena bagi Bergson tanda linguistik dianggap sebagai hambatan, yaitu sesuatu yang merusak impressi kesadaran individual yang halus, cepat berlalu, dan mudah rusak (Fokkema, 1978). Bagi Levi­Strauss telaah Antropologi harus meniru apa yang dilakukan oleh para ahli linguistik. Levi­Strauss memandang bahwa apa yang   ada   di   dalam   kebudayaan   atau   perilaku   manusia   tidak   pernah   lepas   dari   apa   yang terefleksikan dalam bahasa yang digunakan. Oleh karena itu akan terdapat kesamaan konsep



antara   bahasa   dan   budaya   manusia.   Singkatnya   Levi­Strauss   berkeyakinan   bahwa   untuk mempelajari   kebudayaan   atau   perilaku   suatu  masyarakat   dapat  dilakukan   melalui  bahasa. Istilah   kekerabatan,   seperti   halnya   fonem,   merupakan   unsur   makna;   dan   seperti   fonem, kekerabatan   memperoleh   maknanya   hanya   dari   posisi   yang   mereka   tempati   dalam   suatu sistem. Kesimpulannya adalah bahwa “meskipun mereka berasal dari tatanan relitas  yang lain, fenomena kekerabatan merupakan tipe yang sama dengan fenomena linguistik (Levi­ Strauss, 1972 dalam Fokkema, 1978). Ahimsa   (2006:   24­25)   menyebutkan   bahwa   ada   beberapa   pemahaman   mengenai keterkaitan bahasa dan budaya menurut Levi­Strauss. Pertama, bahasa yang digunakan oleh suatu   masyarakat   merupakan   refleksi   dari   keseluruhan   kebudayaan   masyarakat   yang bersangkutan.  Kedua,   menyadari   bahwa   bahasa   merupakan   salah   satu   unsur   dari kebudayaan. Karena bahasa merupakan unsur dari kebudayaan,  maka bahasa adalah bagian dari kebudayaan itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat juga pendapat para pakar kebudayaan yang selalu menyertakan bahasa sebagai unsur budaya yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Untuk itu jika kita membahas mengenai kebudayaan, kita tidak pernah bisa lepas dari pembahasan bahasa (lihat, Koentjaraningrat, 1987). Ketiga, menyatakan bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Dengan kata lain melalui bahasa manusia mengetahui kebudayaan suatu masyarakat yang sering disebut dengan kebudayaan dalam arti diakronis. Dengan   bahasa   manusia   menjadi   makhluk   sosial   yang   berbudaya.   Berikutnya,   bahasa merupakan   kondisi   bagi   kebudayaan   karena   material   yang   digunakan   untuk   membangun bahasa   pada   dasarnya   memiliki   kesamaan   jenis   atau   tipe   dengan   apa   yang   ada   pada kebudayaan   itu   sendiri.   Hubungan   atau   korelasi   bahasa   dan   budaya   terjadi   pada   tingkat struktur (mathematical models) dan bukan pada  statistical models  (Ahimsa, 2006). Model­ model matematis pada bahasa dapat berbeda pada tingkatan dengan model matematis yang ada   pada   kebudayaan.   Seperti   yang   disebutkan   oleh   Levi­Strauss   (1963),   korelasi   sistem kekerabatan orang­orang Indian di Amerika Utara dengan mitos­mitos mereka, dan dalam cara   orang   Indian   mengekspresikan   konsep   waktu   mereka.   Korelasi   semacam   ini   sangat mungkin terdapat pada kebudayaan lain. Antropologi   mengalami   perkembangan   pesat   setelah   dikembangkan   dengan   model linguistik, terutama setelah diakuinya bidang Fonologi atau ilmu tentang bunyi dalam bahasa (Fokkema, 1978). Namun demikian, perlu juga diperhatikan beberapa perbedaan mendasar antara   sifat   keilmuan   Fonologi   dengan   apa   yang   ada   dalam   Antropologi/Sosiologi.   Levi­



strauss mengakui bahwa analisis yang benar­benar ilmiah harus nyata, sederhana, dan bersifat menjelaskan (Levi­Strauss, 1972, dalam  Fokkema, 1978).Tetapi hal itu agak berbeda dengan apa yang ada dalam Antropologi. Antropologi/Sosiologi bukan bergerak dari hal­hal yang kongkret, analisis Antropolgi justru maju ke arah yang berlawanan, manjauhi yang kongkret, sistemnya lebih rumit daripada data observasi dan akhirnya hipotesisnya tidak menawarkan penjelasan   bagi   fenomena   maupun   asal­usul   sistem   itu   sendiri.   Antropologi/Sosiologi berurusan   dengan   sistem   kekerabatan   pada   titik   persilangan   dua   tatanan   realitas   yang berbeda, sistem “terminologi” dan sistem “sikap”. Fonologi bisa diterangkan secara ekskulsif dalam sistem persitilahan; ia tidak perlu memperhitungkan segala “sikap” sumber sosial atau sumber   psikologis,   tetapi   bagaimana   manusia   mengucapkan   vokal. Asumsi   dasar   nalar   manusia   (human   mind)   adalah   sistem   relasi   (system   of   relation).   Kebudayaan   dan   bahasa   berposisi   sejajar   karena   keduanya   merupakan   hasil   dari   nalar manusia. Antropolog  Levi­Strauss bertujuan menemukan model bahasa  dan  budaya melalui strukturnya.   Pemahaman   terhadap   pikiran   dan   perilaku   kehidupan   manusia,   serta   relasi manusia dengan tradisi sangat penting.  Kebudayaan  adalah produk atau hasil aktifitas nalar manusia yang memiliki kesejajaran dengan bahasa dan  tradisi. Tradisi  adalah sebuah jalan bagi   masyarakat   untuk   memformulasikan   dan   memperlakukan   fakta­fakta   dasar   dari eksistensi   kehidupan   manusia.   Tradisi   adalah   tatanan   transendental   sebagai   pengabsah tindakan  dan  juga sesuatu yg imanen dalam situasi aktual dan bersesuaian dengan konteks bersifat dinamis (J.C. Hastermann). sebagai contoh: Konsensus manusia tentang persoalan kehidupan   dan   kematian merupakan suatu tradisi yang penuh dengan simbul dan tradisi, oleh karena itu selalu dengan upacara yang berbeda menurut pemahaman suatu suku atau pemeluk   agama   tertentu.   Di   Bali,   misalnya   ketika   persiapan   menguburkan   mayat,   selalu daiadakan pesta dan upacara kematiannya penuh dengan kegembiraan, apalagi ketika upacara pembakaran   mayat,   sedangkan   upacara   kemaian   pada   pemeluk   Islam,   dipenuhi   dengan kesedian dan bahkan dilarang sama sekali memasak makanan pada komunitas Islam tertentu. Dalam hal ini pengaruh pemikiran tokoh­tokoh terhadap  strukturalisme Levi­Strauss  cukup besar. Levi­Strauss Strauss belajar   metode komparasi tentang geologi masyarakat (Marx)  untuk   menemukan   geologi   psikis   (Freud)   dan   bagaimana   pola   umum   objek   dalam  menjelaskan   gejala   yang   tersembunyi.   Kajiannya   berupa   relasi   antara   keilmuan   yang inderawi   dan   yang linguistik rasional yang dilakukan oleh   Fredinand de Saussure (1857­ 1913),  ahli bahasa Swiss yang membangun Strukturalisme dari sudut ilmu bahasa struktural yg akhirnya menjadi  teori Strukturalisme itu.  Bahasa adalah sistem tanda (sign). Suara dapat dikatakan sebagai bahasa jika dapat  mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan ide atau   pengertian   tertentu.   Elemen   dasarnya   adalah   kata­kata.   Jadi   ide   tidak   ada   sebelum



adanya kata­kata. Suara yang muncul dari sebuah kata adalah ”penanda” (signifier), konsep suara tersebut adalah ”tinanda” (signified). Contoh:  Jaran, kuda, horse adalah ”penanda”. Sedangkan   ”binatang   berkaki   4   (empat)   &   berlari   kencang   adalah   ”tinanda”.   Hubungan antara penanda & tinanda disebut ”arbiter”.  Tinanda dari sebuah penanda dapat berupa apa saja, tergantung dari relasinya. Menurut  Fredinand de Saussure  konsep bentuk (form) dan isi (content)   penanda   dan   tinanda   selalu   memiliki   bentuk   dan   isi.   Isi   bisa   berubah,   namun bentuknya tidak. Untuk dapat mengetahui kekhasan bentuk (distinctive form) ialah dengan mengenali   perbedaan   satu   kata   dengan   kata   yang   lain   (differensiasi   sistematis).   Sebagai contoh: babu, tabu, sabu, jelas sekali walaupun fonemnya hampir sama, tetapi artinya sangat berbeda,   karena   perbedaan   sistimatis   tersebut.   Saussure   juga   membedakan   antara   konsep “langue” & “parole”. Langue adalah sistem tata bahasa formal; sistem elemen  phonic  yg hubungannya   ditentukan   oleh   hukum   yg   tetap.   Sedangkan  parole   adalah   percakapan sebenarnya, yaitu cara pembicara mengungkapkan bahasa untuk dirinya sendiri dalam rangka berkomunikasi   dengan   orang   lain.   Adanya   langue   menyebabkan   adanya   parole. Bandung,   Cindya Hendriyana 



Mei  



2011



Teori struktural?atau biasa disebut saja dengan?strukturalisme, adalah sebuah aliran pemikiran yang berpengaruh dalam khazanah pemikiran Barat. Dekade 60an dianggap sebagai masa pergolakan intelektual dengan pesatnya perkembangan teori strukturalisme. Bersamaan dengan beberapa teori lain seperti eksistensialisme, dan madzhab kritis (aliran Frankfurt). Pada masa ini pula nama?Herbert Marcuse?(salah satu tokoh madzhab frankfurt) menjadi semacam ikon pergerakan intelektual yang sedang naik daun saat itu. Tokoh inilah yang nantinya mengembangkan sayap?teori struktural?melalui pendekatan?fungsionalisme struktural. Strukturalisme?adalah bagian dari disiplin ilmu-ilmu sosial, yang perkembangnnya diawali di Perancis melalui tokoh?Ferdinand de Saussure. Saussure adalah ahli filsafat kebahasaan berkebangsaan Swiss (1857-1913). Pada pengantar ini teori struktural akan sedikit banyak memberikan gambaran pada?strukturalisme linguistik dan sosiologis antropologis.



Saussure memahami bahwa bahasa mempunyai struktur dan peraturan-peraturannya yang sistematik (Charles E Bressler, 1999:89). Teori inilah yang mampu mengimbangi pemikiran Marxisme yang sedang menjadi trend pemikiran di Perancis pada saat itu. Istilah strukturalisme sendiri diperkenalkan pertamakali oleh Roman Jakobson seorang ahli linguistik Russia. Kajian kebahasaan sebelum Saussure, hanyalah berkutat pada kondisi linguistik semata, yakni pada bentuk aturan kebahasaan yang disepakati, seperti grammar, ilmu nahwu, ilmu sharaf, dll. Saussure menyebutkan bahwa dalam bahasa terdiri dari sekumpulan tanda-tanda. Tanda bahasa mempunyai hubungan dengan tanda yang lain. Hubungan antar tanda tersebut adalah relasi keberbedaan, yakni hubungan saling membeda antar tanda, dan karena inilah setiap tanda dapat dipahami. Hubungan keberbedaan ini kemudian dikenal dengan istilah?oposisi biner (binary opposition). Pemahaman lebih jauh pada relasi-relasi antar tanda kemudian secara khusus disebut dengan ilmu semiotika atau semiologi.



Semiotika dan Munculnya Relasi Oposisi Biner



Semiotika?sendiri secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu semieon, yang artinya adalah ?tanda?. Berdasarkan pendapatnya mengenai oposisi biner, Saussure mengembangkan semiotika ke dalam beberapa aturan pokok yang mengatur sistem tanda bahasa, sehingga dari sinilah kemudian lahir strukturalisme. Pertama, dalam pendapat Saussure, sebuah tanda khususnya tanda kebahasaan, merupakan entitas psikologis yang bersisi dua atau berdwimuka, terdiri dari unsur ?penanda? (signifier) dan ?petanda? (signified). Kedua, elemen tanda-tanda itu menyatu dan saling tergantung satu sama lain. Kombinasi dari keduanya inilah yang kemudian menghasilkan ?tanda? (sign). Penanda adalah aspek fisik dari tanda bahasa, sedangkan petanda adalah aspek mental dari tanda bahasa. Relasi antara penanda dengan petanda?terjadi begitu saja dan arbitrer. Karena itu kita perlu mengetahui kode-kode yang menyatakan kepada kata apa yang dimaknakan oleh tandatanda. Kode (code) adalah satu sistem dari konvensi-konvensi yang memungkinkan kepada seseorang untuk mendeteksi arti dalam tanda-tanda karena hubungan (Berger, 2000 : 219 ). Kedua adalah langue dan parole. Langue dimaksudkan sebagai penggunaan tanda bahasa secara umum atau oleh publik yang menyepakatinya, sedangkan parole adalah pemakaian tanda bahasa di tangan individu. Inilah yang membedakan kajian strukturalisme yang dikembangkan oleh Saussure dengan pendekatan linguistik yang lain, di mana pendekatan linguistik yang lain hanya berhenti pada tataran langue (Bertens, 2001 : 182).



Saussure memberikan contoh sederhana untuk memahami langue dan parole. Ketika bermain catur, seorang pemain harus mengikuti struktur aturan yang telah ada. Bidak ?benteng? memiliki gerak lurus, dalam konsep bahasa dianggap sebagai langue dari sebuah sistem struktur. Pemain yang menggerakkan bidak ?benteng? baik ke kiri, ke kanan, ke atas atau ke bawah dianggap sebagai parole. Kebebasan pemain catur dalam menggerakkan bidak ? benteng? tidak bisa keluar dari struktur sistem aturan permainan catur.



Perluasan Teori Struktural Oleh Levi Strauss Teori Struktural?menjadi semakin kuat setelah?Levi Strauss?mengembangkannya ke ranah yang lebih luas. Sebagai seorang antropolog, pandangannya pada konsep-konsep linguistik banyak dipengaruhi oleh antropologi. Kita dapat melihatnya pada konsep oposisi biner. Oposisi biner yang oleh Saussure hanya berkutat pada sistem keberbedaan tanda dengan tanda lainnya, menjadi lebih luas di tangan Levi Strauss. Oposisi biner adalah?the essence of sense making, yaitu struktur yang mengatur sistem pemaknaan kita terhadap budaya dan dunia tempat kita hidup. Strauss memandang bahwa cara pandang seseorang di dihasilkan dari proses kategorisasi. Sebuah kategori tidak dapat eksis tanpa berhubungan dengan kategori yang lain (tanpa adanya relasi dengan kategri lain). Sebagai contoh sederhana, kita berpandangan seseorang itu waras, karena berbanding dengan kategori yang lain, yakni kegilaan. Kita mengetahui sesuatu itu baik karena berbanding dengan ategori buruk, dan begitulah seterusnya. Terbentuknya struktur merupakan akibat dari adanya relasi-relasi dari beberapa elemen. Oleh karena itu struktur juga oleh Levi-Strauss diartikan sebagai?relations of relations?atau? system of relation?(sistim relasi). Oposisi biner, sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Strauss, merupakan hasil kebudayaan. Karena produksi budaya, sistem tanda yang saling ber-oposisi tersebut akan selalu berubah. Oposisi biner berfungsi untuk memberikan batasan, logika, dan struktur pada persepsi, melalui penggolongan dan pemaknaan. Karena itulah persepsi seseorang akan berbeda-beda tergantung dengan sistem tanda yang dipahami. Selain?the essence of sense making, bahwa oposisi biner mengatur sistem pemaknaan terhadap cara pandang (seseorang terhadap dunia luar), Strauss juga menyebut oposisi biner sebagai?the second stage of the sense-making process, yakni?penggunaan kategori-kategori sesuatu yang hanya eksis di dunia alamiah (sesuatu yang kongkret) untuk menjelaskan kategori-kategori konsep kultural yang abstrak. John Fiske (1994) memberikan ilustrasi mengenai hal ini: konsep oposisi biner?angin badai? dan?angin tenang?(kongkret) misalnya, bisa disejajarkan dengan oposisi biner?alam yang kejam?dan?alam yang tenang(abstrak). Proses transisi metafor dari sesuatu yang abstrak dalam sesuatu yang kongkret ini dinamakan Strauss sebagai?the logic of concrete.



Masalah Ambigu (Anomali) dalam Teori Struktural Sebagaimana konsepsi oposisi biner dalam teori struktural, bahwa oposisi biner saling berhubungan antar satu dengan yang lain, oposisi biner juga bisa ditransformasikan dalam sistem oposisi biner yang lain. Hubungan dan transformasi oposisi biner ini tentu selalu vis-avis, akan tetapi senyatanya, dalam oposisi biner ditemukan hal-hal yang tidak bisa di kategorikan dalam sistem struktural tersebut. Strauss menyebutnya dengan anomalous?



category, sebagian yang lain menyebutnya dengan ?kategori ambigu?. Contoh; gay (tidak laki-laki juga tidak perempuan), remaja (tidak anak-anak juga tidak dewasa), dst. Posisi yang berada diluar dua kategori sistem oposisi biner ini menganggu stabilitas struktur oposisi biner. Selain oposisi biner, yang perlu menjadi perhatian dalam teori strukturalisme adalah masalah perubahan yang terjadi dalam sebuah struktur. Perubahan ini disebut dengan transformasi. Transformasi adalah proses perubahan namun tidak secara keseluruhan, ada bagian-bagian tertentu dari suatu struktur yang mengalami perubahan sedangkan elemen-elemen yang lama masih ada.



Melakukan Pendekatan Menggunakan Teori Struktural Teori struktural banyak digunakan untuk melakukan penelitian, untuk objek umum seperti kelompok masyarakat atau individu. Namun yang paling signifikan adalah penggunaannya untuk penelitian sastra. Dalam penelitian sastra, teori ini difungsikan untuk mengurai berbagai hubungan atau relasi antar tanda yang tertuang dalam teks sastra. Dalam melakukan?kritik sastra melalui pendekatan struktural, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan; 1. prinsip keseluruhan, yakni melihat hubungan antar struktur secara keseluruhan. 2. prinsip hubungan keterkaitan, yakni setiap satu stkrutur berkait dengan sturktur yang lain. Makna teks hanya akan dapat didapatkan manakala berhubungan dengan struktur lain. 3. transformasi; Makna teks dihasilkan dari adanya perubahan-perubahan struktur yang terjadi. 4. regulasi diri; Makna teks dihasilkan dari dalam teks itu sendiri beserta hubungannya dengan teks lain, dan tidak dipengaruhi oleh pengarang. 5. oposisi biner; Makna dihasilkan dari tanda-tanda yang saling beroposisi.



Kritik Pada Teori Struktural (Poststrukturalisme) Saat ini teori struktural banyak mendapat kritik karena dianggap ahistoris dan lebih menguatkan keujudan struktur dalam masyarakat. Ketimpangan sosial dan ketidak kuasaan subordinan terhadap dominan dianggap sebagai efek dari konsep struktur. Mereka yang memberikan kritik terhadap teori struktural ini kemudian dikelompokkan sebagai?poststrukturalisme, atau yang secara tumpang tindih ada mengatakan sebagai kelompokpostmodernisme. Para tokohnya banyak yang dahulunya adalah tokoh struktural, seperti?Roland Barthes,?Michel Foucault,?Jaques Derrida. Pada bagian lain, bila memungkinkan saya akan sedikit mengulas tentang apa dan bagaimana teori post-struktural ini.



Sedikit Tentang Fungsionalisme Struktural



Bagian ini dikutip dari Wikipedia. Teori fungsionalisme struktural?adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagianbagian yang saling berhubungan.?Fungsionalisme?menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian masyarakat ini sebagai ?organ? yang bekerja demi berfungsinya seluruh ? badan? secara wajar. Dalam arti paling mendasar, istilah ini menekankan ?upaya untuk menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, adat, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif.? Bagi Talcott Parsons, ?fungsionalisme struktural? mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam pengembangan metodologis ilmu sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.Kritik Takcott Parsons ini memang ada benarnya, merujuk pada posisi fungsionalisme yang memang hanya melakukan deskripsi pada objek tertentu dalam penelitian ilmu sosial. Demikianlah sedikit?pengantar mengenai teori struktural.?Kafeilmu?berharap pembaca bisa saling melengkapi sehingga ilmu linguistik kita semakin luas. Semoga bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai bahan diskusi kebahasaan.?Sedikit pengantar ini saya sarikan dari berbagai sumber rujukan, seperti materi kuliah, wikipedia, dan buku-buku linguistik.