Makalah - Kel 4 - Proses Termal [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH REKAYASA PROSES PANGAN “PROSES TERMAL DALAM PENGAWETAN PANGAN”



Dosen Pengampu : Dr. Sholahuddin, S.T.P., M.S. Disusun oleh : Kelompok 4 1. Devi Nur Fitriyani



C1061181026



2. Disti Cahya Namira



C1061181031



3. Bella Aulya Walanda



C1061181035



4. Dina Leoni Savitri



C1061181039



PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2021



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI ............................................................................................................ i BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 A. Latar Belakang ................................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 2 C. Tujuan ............................................................................................................. 2 BAB II DEFINISI DAN TUJUAN ......................................................................... 3 A. Definisi ........................................................................................................... 3 B. Tujuan ............................................................................................................. 4 BAB III KLASIFIKASI METODE ........................................................................ 5 A. Blansir............................................................................................................. 5 B. Sterilisasi......................................................................................................... 5 C. Pasteurisasi ..................................................................................................... 6 D. Hot filling ....................................................................................................... 7 BAB IV PRINSIP DAN MEKANISME KERJA ................................................... 8 A. Prinsip Termal ................................................................................................ 8 B. Mekanisme Kerja Termal ............................................................................... 8 BAB V PERALATAN .......................................................................................... 13 BAB VI KESIMPULAN ...................................................................................... 25 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 26



i



RINGKASAN Kehidupan sehari-hari, sering ditemukan penyebab kerusakan bahan pangan baik akibat mikroorganisme maupun akibat proses oksidasi. Pada prinsipsinya pengolahan lebih lanjut atau pengawetan makan food preservatives dibedakan atas lama penyimpanan makanan tersebut sebelum digunakan. Pada mulanya proses thermal dalam pengolahan dan pengawetan bahan pangan dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi aktivitas biologis yang tidak diinginkan dalam bahan pangan, seperti aktivitas enzim dan mikrobiologis. Ternyata selama proses thermal berlangsung, terjadi juga secara simultan kerusakan zat gizi seperti vitamin dan faktor- faktor yang mempengaruhi mutu bahan pangan seperti warna, tekstur dan cita rasa. Adanya kenyataan ini menyebabkan proses thermal berkembang menjadi suatu proses optimasi yang bertujuan bukan hanya untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan dalam wadah tertutup, tetapi juga sedapat mungkin berusaha agar proses ini masih dapat mempertahankan zat gizi serta mutu bahan pangan seoptimal mungkin. Proses termal selama waktu tertentu lazim diaplikasikan pada proses pengolahan dan pengawetan pangan contoh pada unit operasi blanching, pengorengan, pemanggangan ataupun sterilisasi. Penerapan proses termal bertujuan antaralain inaktivasi enzim, mematikan spora dan bakteri pathogen. Efektivitas proses termal pada proses pengolahan dan pengawetan pangan tergantung intensitas panas dan lama pemanasan. Makin tinggi suhu yang digunakan, makin singkat waktu pemanasan yang digunakan untuk mematikan mikroba (Kusnandar, 2006). Proses termal pula menjadi metode yang dapat digunakan sebagai langkah pengawetan produk daging yang dapat mematikan mikroorganisme toksigenik dalam daging ataupun pada daging yang sudah mengalami proses pengolahan. Ada beberapa faktor yang menjadi dasar dalam proses termal; Pertama, banyaknya jumlah panas yang diperlukan untuk mematikan mikroorganisme harus dapat diketahui pada setiap produk yang lebih spesifik. Kedua, menentukan kebutuhan panas yang spesifik pada produk agar tidak merusak produk secara langsung. Proses thermal dapat menyebabkan perubahan organoleptik suatu produk bahan pangan, seperti kerusakan protein dan lemak, pelelehan, dan gelatinisasi pati yang semuanya itu dapat mengakibatkan perubahan pada tekstur dan cita rasa, warna dan flavor yang mempengaruhi terhadap sifat organoleptik produk. Beberapa jenis proses pemanasan yang sering digunakn dan diterapkan dalam proses pengalengan pangan, yaitu proses blansir, sterilisasi, pasteurisasi dan juga hot filling. Adapun prinsip dari proses thermal di antaranya adalah mematikan mikroba penyebab kebusukan dan membahayakan makanan, meminimalkan penurunan gizi makanan akibat dari pengolahan suhu tinggi, dan mempertahankan faktor faktor inderawi atau organoleptik seperti cita rasa. Beberapa peralatan yang dapat digunakan dalam proses termal ialah autoclave, blancher, heat exchanger, exhauster, double seamer, dan retort



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan sehari-hari, sering ditemukan penyebab kerusakan bahan pangan baik akibat mikroorganisme maupun akibat proses oksidasi. Pada prinsipsinya pengolahan lebih lanjut atau pengawetan makan food preservatives dibedakan atas lama penyimpanan makanan tersebut sebelum digunakan. Pada makanan yang segera diolah atau dikonsumsi, sebaiknya bahan makanan tersebut dibiarkan dalam keadaan segar dan hidup. Jika tidak memungkinkan dan menginginkan makanan lebih tahan lama bisa dengan cara melakukan pengawetan makanan secara kimia serta dengan perlakuan pengawetan makanan pada suhu rendah, suhu tinggi, pengawetan dengan teknik thermal dan non thermal. Pada mulanya proses thermal dalam pengolahan dan pengawetan bahan pangan dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi aktivitas biologis yang tidak diinginkan dalam bahan pangan, seperti aktivitas enzim dan mikrobiologis. Ternyata selama proses thermal berlangsung, terjadi juga secara simultan kerusakan zat gizi seperti vitamin dan faktor- faktor yang mempengaruhi mutu bahan pangan seperti warna, tekstur dan cita rasa. Adanya kenyataan ini menyebabkan proses thermal berkembang menjadi suatu proses optimasi yang bertujuan bukan hanya untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan dalam wadah tertutup, tetapi juga sedapat mungkin berusaha agar proses ini masih dapat mempertahankan zat gizi serta mutu bahan pangan seoptimal mungkin. Proses termal selama waktu tertentu lazim diaplikasikan pada proses pengolahan dan pengawetan pangan contoh pada unit operasi blanching, pengorengan, pemanggangan ataupun sterilisasi. Penerapan proses termal bertujuan antaralain inaktivasi enzim, mematikan spora dan bakteri pathogen. Efektivitas proses termal pada proses pengolahan dan pengawetan pangan tergantung intensitas panas dan lama pemanasan. Makin tinggi suhu yang digunakan, makin singkat waktu pemanasan yang digunakan untuk mematikan mikroba (Kusnandar, 2006). 1



B. Rumusan Masalah 1. Apa tujuan dari proses termal pada bahan hasil pertanian dan pangan ? 2. Bagaimana metode termal yang digunakan dalam bahan hasil pertanian dan pangan ? 3. Bagaimana prinsip dan mekanisme kerja termal pada bahan hasil pertanian dan pangan ? 4. Apa saja alat yang digunakan dalam proses termal pada bahan hasil pertanian dan pangan ?



C. Tujuan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu: 1. Agar dapat mengetahui tujuan dari prose termal dalam penanganan bahan hasil pertanian terutama bahan pangan. 2. Dapat menjelaskan metode termal yang digunakan dalam bahan hasil pertanian dan pangan. 3. Untuk mengetahui prinsip dan mekanisme kerja termal pada bahan hasil pertanian dan pangan. 4. Agar dapat mengetahui alat yang digunakan dalam proses termal pada bahan hasil pertanian dan pangan.



2



BAB II DEFINISI DAN TUJUAN A. Definisi Proses termal atau yang disebut thermal process merupakan proses yang termasuk ke dalam proses pengawetan yang memanfaatkan energi panas. Tujuan utama proses termal antara lain mampu mematikan mikroorganisme yang menyebabkan penyakit serta menimbulkan kebusukan pada sebuah produk yang telah dilakukan pengemasan dengan kemasan yang hermetic seperti kaleng, retort pouch, atau gelas jar. Proses termal seendiri adalah salah satu proses yang sangat penting sebagai upaya pengawetan pangan untuk mendapatkan produk dengan kualitas yang jauh lebih baik dan tentu dengan umur simpan yang lebih panjang. Proses termal pula menjadi metode yang dapat digunakan sebagai langkah pengawetan produk daging yang dapat mematikan mikroorganisme toksigenik dalam daging ataupun pada daging yang sudah mengalami proses pengolahan. Ada beberapa faktor yang menjadi dasar dalam proses termal; Pertama, banyaknya jumlah panas yang diperlukan untuk mematikan mikroorganisme harus dapat diketahui pada setiap produk yang lebih spesifik. Kedua, menentukan kebutuhan panas yang spesifik pada produk agar tidak merusak produk secara langsung. Proses thermal dapat menyebabkan perubahan organoleptik suatu produk bahan pangan, seperti kerusakan protein dan lemak, pelelehan, dan gelatinisasi pati yang semuanya itu dapat mengakibatkan perubahan pada tekstur dan cita rasa, warna dan flavor yang mempengaruhi terhadap sifat organoleptik produk. Selain 5 itu, respon yang terjadi pada saat dilakukan proses termal yaitu terjadinya reaksi Maillard serta Karamelilsasi yang mempengaruhi terhadap perubahan cita rasa produk. Proses thermal juga dapat menurunkan nutrisi yang menyebabkan kehilangan zat gizi mencapai 40% terhadap mineral dan vitamin C, gula sebanyak 35%, dan protein sebanyak 20%, dan juga asam amino. Selain nutrisi, senyawa toksik juga menurun baik disebabkan oleh larut air pemblansing maupun inaktif akibat panas. Oleh karena itu, pemilihan jenis proses thermal harus sesuai dengan bahan atau alat yang digunakan. Seperti produk susu yang tidak tahan terhadap suhu panas yang harus dilakukan proses pasteurisasi.



3



B. Tujuan Tujuan utama dari proses pengolahan dengan suhu tinggi ini adalah untuk memperpanjang daya awet produk pangan yang mudah rusak dan meningkatkan keamanannya selama disimpan dalam jangka waktu tertentu.



4



BAB III KLASIFIKASI METODE Beberapa jenis proses pemanasan yang sering digunakn dan diterapkan dalam proses pengalengan pangan, yaitu proses blansir, sterilisasi, pasteurisasi dan juga hot filling. A. Blanching (Blansir) Blansir merupakan sebuah proses perlakuan panas yang sering dilaksanakan dalam pengalengan sebuah produk makanan buah dan sayuran yang bertujuan memperbaiki mutu produk atau bahan pangan sebelum dilakukan proses selanjutnya. Blansir juga dikatakan sebagai proses pemanasan pertama pada bahan pangan dengan menggunakan perlakukan suhu tinggi dalam waktu yang singkat (Fennema, 1976). Melalui cara seperti ini diharapkan dapat mengurangi keberadaan mikroba pada pada bahan pangan yang akan diolah dan menghambat penetrasi pembentukan lapisan keras dan mengurangi kadar air pada bada bahan yang memilki kadar air tinggi seperti daging yang merupakan pendukung perkembangan mikroba. Blansir dengan perlakuan suhu tinggi dapat mengurangi kerja enzim – enzim baik pada mikroba baik yang ada pada daging sehingga dapat menyebabkan perubahan pada kadar warna, pembusukan, flafor, dan pH. Akan tetapi daging yang diblansir masih bisa terjadi kontaminasi, sehingga harus dilakukan penanganan lebih lanjut dengan cara penyimpanan pada suhu rendah atau disebut dengan proses pendinginan (cooling). Proses blansir pada daging dengan lama waktu 3 menit pada suhu 80oC selama penyimpanan selama 12 hari pada suhu refregensi (40C) dapat membantu menjaga kualitas produk sebelum dilakukan pengolahan lebih lanjut. B. Sterilisasi Metode sterilisasi proses pemanasan menggunakan suhu di atas 100oC, pada umumnya dilakukan pada suhu sekitar 121,1o C dengan menggunakan uap air selama waktu tertentu dengan tujuan untuk membunuh spora bakteri patogen termasuk spora bakteri Clostridium botulinum. Prose pemanasan sterilisasi sering digunakan pada bahan 5



pangan yang sifatnya tidak asam atau sering dikenal dengan bahan pangan memiliki asam yang rendah. Bahan pangan yang memiliki asam yang rendah sekitar pH > 4,5 contohnya seluruh bahan pangan hewani diantaranya daging, susu, telur, ikan dan beberapa sayuran seperti jagung dan buncis. Maka dari 8 itu, sterilisasi komersial hanya dapat digunakan untuk pengolahan bahan pangan yang memiliki asam rendah yang dikemas dalam kaleng seperti kornet, sosis dan sayuran dalam kaleng. Produk pangan yang telah mengalami proses sterilisasi komersial akan mempunyai umur daya simpan yang cukup tinggi, bisa beberapa bulan sampai bertahun-tahun. Menurut FDA Sterilitas komersial merupakan kondisi bebas dari mikroba yang dapat berkembang biak dalam makanan pada kondisi penyimpanan. Pada proses sterilisasi yang berbahan baku pangan, kondisinya steril absolut yang sangat sulit untuk dicapai, oleh karena itu menggunakan istilah sterilisasi komersial atau disebut juga dengan sterilisasi praktikal. Istilah sterilisasi komersial merupakan merupakan metode dalam suatu kondisi yang menggunakan suhu tinggi dalam pengeolahan pangan dalam periode waktu yang tertentu sampai tidak ada lagi mikroorganisme hidup. C. Pasteurisasi Pemanasan dengan metode pasteurisasi berasal dari nama seorang ahli mikrobiologi yang berasal dari Perancis, bernama Louis Pasteur. Pada awalnya metode ini diciptakan sebagai upaya untuk mencari metode dalam pengawetan produk minuman wine (anggur). Louis Pasteur ingin menunjukan bahwa dalam proses pembusukan pada minuman anggur dapat dihindari atau dicegah dengan cara anggur tersebut dipanaskan pada suhu tertentu. Metode pasteurisasi memberikan sedikit pengaruh dalam memperpanjang umur simpan pada produk pangan dengan cara membunuh atau menghilangkan semua mikroorganisme patogen penyebab penyakit dan mikroorganisme pembusuk dengan proses pemanasan. Namun karena 7 tidak semua mikroorganisme pembusuk dapat mati dengan proses pasteurisasi, maka agar dapat memperpanjang umur simpan, produk yang telah dipasteurisasi harus disimpan di suhu



6



rendah atau refrigerasi. Metode pasteurisasi merupakan suatu proses dengan memanfaatkan pemanasan yang suhunya relatif cukup rendah yang umum pemanasan dilakukan pada suhu di bawah 100oC. D. Hot filling Hot filling merupakan salah satu proses termal yang sudah banyak dimanfaatkan untuk produk pangan berbentuk cair seperti saus, jam/ selai, dan sambal. berdasarkan tujuan prosesnya, hot-filling sering digunakan pada produk pangan yang memiliki pH rendah atau pangan asam/diasamkan bertujuan untuk pasteurisasi. Secara umum hot filling proses melakukan pengemasan bahan dalam kondisi panas setelah melalui proses pasteurisasi ke dalam kemasan steril seperti botol atau gelas jar, kemudian ditutup rapat atau hermetic selanjutnya dilakukan 9 didinginkan. Biasanya proses hot filling dikombinasikan dengan proses pengawetan, seperti penambahan garam, gula, pengawet atau proses pendinginan. Produk pangan yang dapat diproses dengan hot filling diantaranya sambal, saus, jem, dan sebagainya



7



BAB IV PRINSIP DAN MEKANISME KERJA A. Prinsip Termal Adapun prinsip dari proses thermal di antaranya adalah : 1. Mematikan mikroba penyebab kebusukan dan membahayakan makanan, 2. Meminimalkan penurunan gizi makanan akibat dari pengolahan suhu tinggi, 3. Mempertahankan faktor faktor inderawi atau organoleptik seperti cita rasa. B. Mekanisme Kerja Termal 1. Blanching Terdapat 2 metode blanching yang paling banyak digunakan dalam industry pangan yaitu : a.) Water Blanching Pada metode ini, digunakan air panas (mendidih) untuk menaikkan temperatur bahan pangan, biasanya temperatur operasi berkisar antara 8899ºC selama 1,5-1,2 menit. Metode ini merupakan metode blanching yang paling sederhana dan memerlukan biaya operasi yang murah. Peralatan yang digunakan biasanya blancher yang memiliki penutup, atau panci besar dengan penutup. Kelebihan dari metode ini ialah biaya operasional lebih rendah karena efisiensi panas mencapai 60%, dapat ditambahkan bahan yang diperlukan dalam proses pengolahan untuk mendapatkan karakteristik yang diinginkan. Sedangkan kekurangannya adalah kehilangan komponen larut air seperti vit. B dan vit. C dan rentan kontaminasi mikroba termofilik karena air merupakan media pertukbuhan yang baik bagi mikroba. b.) Steam Blanching Metode ini disarankan untuk hanya beberapa jenis sayuran seperti brokoli, labu, kentang dan inter squash, namun sebenarnya bahan-bahan ini dapat menggunakan metode water blanching. Steam blanching merupakan blanching dengan menggunakan uap air jenuh pada tekanan atmosfer sekitar



8



150 Kn/m2 atau tekanan lebih rendah. Steam blanching membutuhkan waktu 1,5 lebih lama dibandingkan dengan metode water blanching. Kelebihan dari metode ini adalah kehilangan komponen larut air rendah dan volume limbah kecil dan biaya pembuangan limbah rendah disbanding hot water blanching. Sedangkan kekurangan dari metode ini adalah tidak dapat ditambahkan bahan lain yang dapat memepertahankan karakteristik produk pangan dan blancher tidak merata jika produk pangan ditumpuk diatas konveyor 2. Sterilisasi Sterilisasi



merupakan



suatu



proses



menghancurkan



atau



memusnahkan semua mikroorganisme termasuk spora, dari sebuah benda atau lingkungan. Peranan sterilisasi pada pembuatan makanan yaitu berfungsi



untuk



menjamin keamanan terhadap pencemaran oleh



mikroorganisme dan memperpanjang waktu simpan (Purnawijayanti, 2001). Prinsip dasar sterilisasi yaitu memperpanjang umur simpan bahan pangan dengan cara membunuh mikroorganisme yang ada di dalamnya. Mikroorganisme yang tumbuh pada produk pangan biasanya dapat mencemari produk pangan dan membuat makanan lebih cepat basi. Mikroorganisme pembusuk tersebut bisa berupa bakteri, khamir (yeast) dan kapang (jamur) (Hiasinta, 2001). Sterilisasi terbagi menjadi : a.) Sterilisasi Secara Fisik Sterilisasi secara fisik dapat dilakukan dengan pemanasan & pemijaran. 1. Pemijaran (dengan api langsung): membakar alat pada api secara langsung, contoh alat : jarum inokulum, pinset, batang L dan lain-lain. 2. Sterilisasi panas kering : sterilisasi dengan oven umumnya pada suhu 160-1700C selama 1-2 jam. Sterilisasi panas kering cocok untuk sterilisasi serbuk yang tidak stabil terhadap uap air, alat yang terbuat dari kaca



9



misalnya erlenmeyer, tabung reaksi dan lain-lain. Sterilisasi uap panas: konsep ini mirip dengan mengukus. Sterilisasi dengan menggunakan uap panas dibawah tekanan dengan menggunakan autoklaf. Pada sterilisasi ini umumnya dilakukan dalam uap jenuh dalam waktu 15 menit dengan suhu 121ºC. b.) Sterilisasi Kimia Biasanya sterilisasi secara kimiawi menggunakan senyawa desinfektan antara lain alkohol. Antiseptik kimia biasanya dipergunakan dan dibiarkan menguap seperti halnya alkohol. Proses sterilisasi antiseptik kimia ini biasanya dilakukan dengan cara langsung memberikan pada alat atau media yang akan disterilisasi. Pemilihan antiseptik terutama tergantung pada kebutuhan dari tujuan tertentu serta efek yang dikehendaki. c.) Sterilisasi Mekanik (Filtrasi) Sterilisasi secara mekanik (filtrasi) menggunakan suatu saringan yang berpori sangat kecil (0.22 mikron atau 0.45 mikron) sehingga mikroba tertahan pada saringan tersebut. Proses ini ditujukan untuk sterilisasi bahan yang peka panas, misalnya larutan serum, enzim, toksin kuman, ekstrak sel dan lain-lain. (Fauzi, 2013) 3. Pasteurisasi Pasteurisasi merupakan suatu proses pemanasan pada suhu di bawah 100ºC dalam jangka waktu tertentu sehingga dapat mematikan sebagian mikroba susu dengan meminimalisasi kerusakan protein. Proses pasteurisasi yang dilanjutkan dengan pendinginan langsung akan menghambat pertumbuhan mikroba yang tahan terhadap suhu pasteurisasi dan akan merusak



sistem



enzimatis



yang



dihasilkannya



(misalnya



enzim



phosphatase, lipase, dll) sehingga dapat mengurangi kerusakan zat gizi serta memperbaiki daya simpan susu segar. (Fakhrul Ulum, 2009). Proses pendinginan pada proses pasteurisasi juga dapat meminimalisasi terjadinya kerusakan protein (denaturasi protein) pada susu hasil pasteurisasi. Mikroba



10



pembawa penyakit (pathogen) yang terdapat dalam susu adalah bakteri Staphylococcus Aureus, Salmonella sp. dan E. Coli (Widodo, 2010). Pasteurisasi bisa dilakukan dengan dua metode yaitu metode batch dan metode continue. Metode batch digunakan untuk pasteurisasi skala kecil. Tipe pasteurisasi yang digunakan pada metode batch adalah tipe pasteurisasi LTLT (Low Temperature Long Time). Metode continue digunakan untuk pasteurisasi skala menengah sampai besar. Tipe pasteurisasi yang digunakan adalah tipe HTST (High Temperature Short Time), HHST (Higher Heat Short Time), dan UHT (Ultra High Temperature). Untuk waktu dan temperature proses yang digunakan pada tiap tipe pasteurisasi dapat dilihat pada tabel 2.1. Pada pengaplikasiannya di industri, metode pasteurisasi yang umum dipakai adalah metode kontinyu. Metode ini dipilih karena dapat menghasilkan volume susu pasteurisasi yang lebih banyak dengan waktu proses yang lebih singkat, pemakaian listrik yang lebih rendah, dan kerusakan protein yang lebih sedikit karena waktu pemanasan yang lebih singkat. 4. Hot filling



Gambar 1. Tahapan Pengolahan Pangan dengan Teknologi Isi-Panas



11



Sesuai dengan namanya, teknologi isi-panas (hot fill technology) adalah teknik pengolahan dan pengawetan pangan khususnya minuman dengan proses pemanasan, dimana dalam keadaan produk masih panas dilakukan proses pengisian ke dalam wadah atau kemasan akhir (finished containers) lalu segera dilakukan penutupan, kemudian baru dilakukan pendinginan. Secara umum, tahapan proses aplikasi teknologi isi-panas diilustrasikan pada Gambar 1. Karena proses isi panas ini selalu diikuti dengan proses penahanan (holding) wadah tertutup dalam kondisi rebah atau terbalik, maka dalam berbagai pustaka proses ini juga sering disebut sebagai isi-panas-tahan atau “hot-fill-hold”.



12



BAB V PERALATAN A. Autoclave



Gambar 2. Autoclave Salah satu contoh alat untuk melakukan sterilisasi adalah Autoclave. Pada alat Autoclave ini, bahan makanan dipanaskan sampai temperature 121-134°C makanan diproses selama 15 menit, untuk temperature 121°C, atau pada temperatur 134°C selama 3 menit. Setelah pemanasan ini, dilakukan pendinginan secara perlahan untuk menghindari over-boiling ketika tekanan diberikan pada makanan. Untuk memastikan bahwa proses autoclave ini berfungsi untuk mensterilisasi, kebanyakan autolave memiliki meteran dan chart yang menampilan informasi berupa temperature dan tekanan sebagai fungsi dari waktu. Warna pada meteran ataupun chart tersebut akan berubah, jika makanan berapada pada kondisi yang diinginkan.



Selain itu, bioindicator, juga dapat digunakan sebagai indikator untuk menunjukan performansi autoclave. Bioinicator ini harus diletakan pada daerah yang sulit dijangkau oleh steam, untuk memastikan bahwa walaupun daerah tersebut sulit dijangkau, namun steam tetap terdapat proses penetrasi disana. Prouk yang sudah diproses dengan sterilisasi komersial harus disimpan pada kondisi penyimpanan yang normal, yaitu pada suhu kamar. Harus dihindari penyimpanan pada suhu yang lebih tinggi (sekitar 50°C), karena bukan tidak mungkin jika ada spora dari bakteri yang



13



sangat tahan panas masih terdapat di dalam kaleng dapat tumbuh dan berkembang biak di dalamnya dan menyebabkan kebusukan.



B. Blancher



Gambar 3. Blancher Blancher adalah alat yang digunakan untuk melakukan pemanasan atau blanching pada makanan sebelum proses pembekuan, pengeringan atau pengalengan. Proses blanching ini dilakukan pada suhu kurang dari 100ºC selama beberapa menit dengan menggunakan air panas atau uap. Tujuan blanching tergantung dari proses yang akan dilakukan selanjutnya, diantaranya: (1) menginaktivasi enzim, (2) membersihkan bahan mentah dan mengurangi jumlah mikroba awal, (3) menghilangkan gas selular, mengurangi korosi pada kaleng, dan mencapai tingkat kevakuman headspace yang sesuai selama pengalengan, (4) melunakkan bahan sehingga memudahkan pengisian ke dalam wadah, (5) menghilangkan lendir, dan (6) memperbaiki tekstur terutama pada pangan yang didehidrasi. Namun, Blanching juga memiliki beberapa kelemahan, di antaranya dapat merusak vitamin yang tidak tahan terhadap panas dan nutrisi yang larut air. Selain itu, blanching yang berlebihan juga dapat menyebabkan kerusakan tekstur Menurut Brennan et al. (1981), Blanching dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu blanching dengan menggunakan air panas dan blanching dengan menggunakan uap panas. Blanching dengan air panas dapat dilakukan dengan merendam bahan dalam air tersebut. Hal ini dapat dilakukan secara batch maupun kontinyu dengan menggunakan drum yang berotasi pada tangki penampung air, tipe sekrup, atau pipa. Air panas yang



14



digunakan bisa diresirkulasi lagi. Perlakuan blanching dengan air panas ini dapat menyebabkan komponen bahan banyak yang terlarut dalam air sehingga air tersebut dapat mengubah flavor dari bahan. Alat yang digunakan dalam proses ini adalah blancher. Prinsip kerjanya adalah panas yang disuplai oleh boiler dialirkan melalui pipa ke dalam bak yang berfungsi sebagai tempat pemanasan. Pengoperasian blancher yaitu mula-mula kran pada bagian bawah bak blancher ditutup, kemudian bak diisi dengan air sampai melewati pipa aliran panas pada bak. Kran aliran panas pada blancher dibuka. Uap panas dari boiler dialirkan ke dalam blancher dengan cara membuka kran uap panas boiler. Pengaturan suhu dengan mengatur kran aliran panas pada bak dan ditentukan waktu prosesnya (Fellow, 1998). Blanching dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu mempergunakan uap dan air (Frazier, 1998). Masingmasing cara mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri. Blancher uap menjamin kehilangan komponen gizi larut air lebih rendah, limbah sedikit, kemudahan membersihkan alat. Tapi disisi lain memiliki kekurangan, yaitu pembersih produk yang kurang baik, biaya kapital tinggi, kurang homogen, dan kurangnya efisien energi. Sedangkan blancher air mempunyai kelebihan yaitu biayanya lebih murah, efisiensi energi tinggi, tetapi mempunyai kekurangan adalah kemungkinan kehilangan zat gizi terlarut, limbah buangan air banyak, dan resiko kontaminasi terutama oleh bakteri termofilik. Bahan yang akan di blanching dimasukkan ke dalam keranjang bahan dan dimasukkan ke dalam air pada bak blancher. Kran uap panas pada boiler ditutup. Setelah proses selesai, air pada bak dibuang dengan cara membuka kran pada bagian bwah bak. Kran aliran uap panas pada bak blancher ditutup, alat dibersihkan. Fungsi blanching dalam pengalengan adalah untuk melayukan jaringan tanaman agar mudah dikemas, menghilangkan gas dari dalam jaringan (mengusir gelembung udara yang terperangkap dalam bahan), menginaktifkan enzim dan menaikkan suhu awal bahan sebelum disterilisasi. Jika terlalu banyak udara yang tertinggal dalam kaleng, suhu yang diinginkan mungkin tidak tercapai selama proses sterilisasi dan kemungkinan mikroorganisme masih hidup di dalam kaleng.



15



Hampir semua bahan pangan yang berupa sayuran di blanching dengan cara dicelup dalam air mendidih atau diuapi, proses ini biasanya dilakukan dengan cara melewatkan bahan dalam suatu lorong uap dengan injeksi uap ke dalam. Pada beberapa macam sayuran tidak dibutuhkan blanching tetapi kebanyakan bahan pangan memerlukan proses ini. Memang lebih baik dilakukan blanching, tetapi perlu diperhatikan bahwa blanching yang kurang sempurna (underblanching)dapat lebih merusak dari pada tidak dilakukannya blanching. Panas yang diberikan tidak cukup untuk menginaktivasi enzim tetapi lebih merusak jaringan sehingga enzim dan substrat tercampur dan kerusakan enzimatis terjadi. Beberapa jenis enzim yang



dimaksud



antara



lain



lipoksigenase,



polifenoloksidase,



poligalakturonase, dan klorofilase. Juga ada enzim yang tahan panas seperti katalase dan peroksidase. Oleh karena itu harus diperhatikan waktu blanching, ukuran bahan pangan, waktu proses, dan metode pemanasan.



C. Heat Exchanger



Gambar 4. a.) PHE dan b.) THE Alat Penukar Panas (Heat Exchanger) menjadi alat yang paling esensial dalam proses pasteurisasi karena kebutuhan panas yang digunakan untuk pasteurisasi dihasilkan oleh alat penukar panas. Jenis alat penukar panas yang biasa digunakan dalam proses pasteurisasi adalah jenis PHE dan jenis THE.



Pemakaian alat penukar panas pada proses pasteurisasi, baik Plate Heat Exchanger (PHE), maupun Tubular Heat Exchanger (THE) memiliki



16



kelebihan dan kekurangan masing-masing. Alat penukar panas jenis Plate Heat Exchanger (PHE) merupakan alat penukar panas yang paling efektif dan efisien untuk proses pasteurisasi karena memiliki luas permukaan panas yang lebih tinggi dibandingkan Tubular Heat Exchanger (THE). Hal itu juga mengakibatkan efisiensi panas yang dihasilkan oleh alat penukar panas PHE lebih dari 85%. Namun apabila dilihat dari segi investasi yang diperlukan dan skala penggunaan alat tersebut, yaitu laboratorium maka alat jenis THE lebih memiliki keunggulan dibandingkan PHE . 1. Plate Heat Exchanger (PHE) Terdapat 3 komponen yang menyusun PHE, yaitu : a). Lembar baja tahan karat beralur (plate) Alat penukar panas ini terdiri dari lembar (plate) baja tahan karat (stainless steel) yang telah dicetak dengan mesin press berdaya tinggi yang membentuk alur-alur dengan motif tertentu yang dimaksudkan untuk memperbesar luas permukaan lembar baja dan terjadinya turbulensi aliran cairan. Lembar-lembar baja ini disusun dengan jumlah tertentu sesuai kebutuhan dalam suatu kerangka (frame) b). Rangka penyusun (frame) Suatu rangka (frame) yang menjepit seluruh susunan lembar baja. Agar setiap pasangan lembar terdapat celah yang dapat dialiri cairan maka disekeliling lembar terdapat parit guna meletakkan pita karet (gasket) c). Pita karet (gasket) Pita karet (gasket) terbuat dari bahan yang tahan panas/dingin, tahan karat dan non toksis (food grade). Susunan PHE tersebut dapat terdiri dari beberapa bagian (section), misalnya heating, cooling, regeneration, dll.



Pada alat Plate Heat Exchanger terdiri dari 4 bagian yaitu: a.) Cooling section b.) Holding Section c.) Regenerative section (Regenerasi) Panas



yang



digunakan



kembali



dikenal



dengan



“panas



regenerasi”pada produk dingin yang masuk dan secara tidak langsung



17



dipanaskan oleh panas produk yang akan keluar. Dalam hal ini produk yang masuk memerlukan sedikit panas untuk meningkatkan temperaturnya dan produk yang akan keluar memerlukan pendingin untuk menurunkan temperaturnya. Regenerasi penting dalam pasteurissasi karena energi yang digerakkan sekaligus digunakan untuk pendiginan dan pemanasan. d.) Bagian Pemanasan / Heating Section Pemanasan yang berlangsung di dalam alat PHE ini bisa diperoleh dari berbagai sumber panas antara lain: 1. Steam heating : jarang dilakukan karena perbedaan temperatur antara uap dengan susu cukup besar sehingga menyebabkan adanya deposit susu pada plat. Ini berarti operasional PHE ini lebih singkat sebelum dibersihkan dan jarang kurang efisien dalam pemindahan panas melalui plat-plat, tetapi metode ini paling ekonomis dalam penggunaan uap panas. 2. Water heating: pemanasan menggunakan air yang dipanaskan lebih baik, karena perbedaan temperatur antara susu dengan air lebih sedikit sehingga cukup ideal. Setelah melalui regeneration section temperatur susu yang masuk misalnya 54 C. Susu kemudian dipanaskan 72 C yang berarti panas diperlukan dari 54 C sampai 72 C sebanyak 18 C. Jumlah air yang disirkulasikan biasanya 3 x lipat dari susu, berarti air panas yang akan didinginkan sebanyak 6 C (18 C / 3x). Temperatur daari air panas yang masuk 3 C lebih panas dibanding suhu pasteurisasi. Hal ini berarti : Air panas yang didinginkan dari 75 C sampai 69 C = 6 C. Susu yang dipanaskan dari 54 C sampai 72 C = 18 C. Kelemahan dari water heating adalah pemakaian uap panas dan sumber listrik lebih banyak dibandingkan yang digunakan pada heating section. 3. Vacuum steam heating system : Cara ini menjaga temperatur uap sedikit diatas temperatur produk yang didinginkan. Metode ini lebih ekonomis karena perbedaan temperatur dengan steam heating cukup rendah.



18



Pada prinsipnya semua plat di dalam PHE sama, putaran dari setiap 180 derajat diantara plat-plat disebut plat kiri dan plat kanan. Ketebalan plat antara 0.8-1.25 mm sesuai dengan keperluan. Plat tersebut dalam operasinya dibawah tekanan yang tinggi sehingga bentuknya zig-zag bergelombang. Plat-plat memiliki lubang di-empat sudutnya, tergantung bagaimana memasang plat tersebut di dalam PHE. Jika plat dipasang dalam satu rangkaian, maka akan ada plat kanan pertama lalu plat kiri dan kemudian plat kanan lagi dan seterusnya. Bentuk plat yang zigzag bergelombang dalam operasionalnya saling mendukung. Aliran yang melalui dua plat akan tetap menempati bagian yang bersebrangan pada area yang konstan sehingga terbentuk turbulensi yang tetap menyebabkan partikel baru dalam cairan bersentuhan dengan panas yang disebarkan pada permukaan dan panas yang dipakai seragam. Plat dipasang dalam suatu bagan dimana dua cairan yang dipanaskan atau didinginkan akan selalu dipisahkan oleh plat. 2. Tubular Heat Exchanger (THE) Sebelum ditemukan alat penukar panas PHE yang lebih kompak dan dapat diproduksi secara masal , maka alat penukar panas THE telah lebih dahulu digunakan. Perkembangan teknologi THE adalah diperkenalkannya Triple Tube THE dimana pipa terdalam dialiri media pemanas/pendingin, pipa ditengah dialiri produk dan pipa terluar dialiri media pemanas/pendingin lagi. Dengan sistem ini (dikembangkan oleh Stork-Amsterdam) koefisien pemindahan panas THE meningkat. Alat penukar panas ini konstruksinya lebih sederhana, yaitu 1.



Pipa (tunggal atau kelompok pipa) yang dialiri produk



2.



Pipa bagian luar dengan diameter yang lebih besar (jacketed) yang dialiri media pemanas atau pendingin (double tube type THE).



D. Exhauster



19



Gambar 5. Exhauster Exhauster adalah alat yang digunakan untuk membuat kondisi vakum pada headspace kaleng sebelum kaleng ditutup yang disebut dengan exhausting. Proses exhausting ini bertujuan mengurangi kadar oksigen dalam kaleng (terutama pada saat pemanasan dalam retort) sehingga mengurangi korosi, membatasi proses oksidasi oleh makanan, dan mencegah pertumbuhan mikroorganisme aerobic yang akan menurunkan mutu dan keamanan. Exhauster terdiri dari rantai (konveyor belt), pipa yang dilengkapi spreader, kran pengatur aliran uap panas, dan exhaust box. Prinsip kerja dari exhauster adalah dengan mengalirkan uap panas dari boiler melalui pipa yang dilengkapi spreader ke dalam exhaust box. Uap panas ini digunakan untuk mengusir udara pada headspace kaleng yang berjalan pada rel dalam exhauster. Waktu exhausting diset dengan mengatur kecepatan konveyor belt. Sedangkan suhu exhausting di set dengan cara mengatur kran uap pada exhauster. Exhauster memiliki prinsip kerja yaitu uap yang disuplai oleh boiler, dialirkan melalui pipa ke dalam exhaust box. Uap panas ini digunakan untuk mengusir udara pada kaleng yang berjalan pada rel dalam exhauster. Exhauster dioperasikan dengan cara terlebih dahulu menekan tombol on, kecepatan exhausting diatur dengan mengatur kecepatan rel. Selanjutnya uap panas dari boiler dialirkan melalui pipa. Suhu exhauster



20



dapat diatur dengan mengatur kran uap. Bahan yang akan di exhausting dalam kaleng diletakkan pada rantai di bagian luar exhaust box. Tutup wadah kaleng diletakkan di belakang kaleng dan melewati rel bersamasama, setelah keluar dari exhaust box kaleng segera ditutup. Setelah proses selesai aliran uap boiler dihentikan dank ran aliran uap panas ditutup, alat dimatikan dan dibersihkan. E. Double Seamer



Gambar 6. Double Seamer Pengalengan makanan adalah pengemasan yang bersifat hermetis (kedap), yaitu tidak adanya transfer senyawa dari dalam kaleng maupun ke dalam kaleng. Oleh karena itu, penutupan pada proses pengalengan menjadi sangat penting dimana penutupan yang tidak sempurna dapat menjadi sumber kerusakan pada produk. Penutupan kaleng pada percobaan ini dilakukan dengan menggunakan double seamer sehingga terbentuk lipatan ganda antara tutup kaleng dengan badan kaleng yang disebut double seamer. Double seamer adalah alat untuk menutup kaleng setelah melewati proses exhausting. Proses penutupan ini sangat penting karena daya awet produk dalam kaleng sangat tergantung dari keadaan kaleng. Pelipatan kaleng (can seaming) ini dapat dilakukan dengan dua tahap, yaitu tahap pelipatan dengan roll pelipat dan tahap pengepresan untuk merapatkan lipatan. Double seamer terdiri dari bagian-bagian seperti



21



base plate, seaming chuck, dan rollpelipat. Kaleng diletakkan pada base plate dan posisinya diatur sampai seaming chuck menekan tutup atas kaleng. Prinsip kerja alat ini adalah kaleng diletakkan dalam chuck penahan. Roll pelipat akan membentuk lipatan ganda di antara kaleng dengan tutup kaleng. Roll pengepres akan memperkuat lipatan yang telah dibentuk. Tutup kaleng segera dipasang pada kaleng segera setelah kaleng dan tutupnya keluar dari dalam exhausting box. Kaleng lalu dilewatkan pada double seamer, yang akan membengkokkan bagian pinggir tutup dan mulut kaleng bentuk gulungan. Gulungan tersebut kemudian dipipihkan sehingga membentuk suatu sugel tutup yang rapat, dan kedap udara. Setelah proses ini selesai, maka dilakukan proses sterilisasi menggunakan retort. F. Retort



Gambar 7. Retort Retort adalah alat untuk mensterilisai bahan pangan yang sudah dikalengkan. Sterilisasi adalah proses termal yang dilakukan pada suhu tinggi >1000C dengan tujuan utama memusnahkan spora patogen dan pembusuk. Suatu produk dikatakan steril bila tidak ada satupun mikroba yang dapat tumbuh pada produk tersebut. Spora bakteri lebih tahan panas dibandingkan dengan sel vegetatifnya. Prinsip kerja retort yaitu elemen pemanas pada retort akan memanaskan air membentuk uap panas. Uap panas ini akan mengusir udara dari dalam retort, sehingga terbentuk uap panas murni. Uap panas



22



murni tersebut digunakan untuk memanaskan bahan yang terdapat dalam wadah. Jumlah panas yang diperlukan untuk sterilisasi yang memadai tergantung beberapa faktor antara lain ukuran kaleng dan isinya serta pH bahan makanan.Sterilisasi makanan lebih tepat disebut sterilisasi komersial, artinya suatu proses untuk membunuh semua jasad renik yang dapat menyebabkan kebusukan makanan. Pada kondisi penyimpanan renik tahan proses sterilisasi, tetapi tidak mampu berkembang biak pada suhu penyimpanan normal yang ditetapkan untuk makanan tersebut. Sterilisasi komersial mempunyai dua tipe yaitu tipe sterilisasi dalam kemasan (in batch sterilization), dimana bahan dan kemasan disterilisasi bersama-sama setelah bahan dikalengkan, dan tipe aseptic (in flow sterilization), dimana bahan dan kemasan disterilkan secara terpisah kemudian bahan dimasukkan ke dalam kemasan dalam ruangan steril atau kondisi aseptis. Pasteurisasi, sebagaimana halnya blanching adalah proses termal yang dilakukan pada suhu kurang dari 1000C. Waktu yang diperlukan untuk sterilisasi tergantung dari tinggi suhu yang digunakan (Belitz, 1999). Makin tinggi suhu pasteurisasi, makin singkat waktu yang diperlukan untuk pemanasannya. Tujuan utama proses termal dalam pasteurisasi adalah untuk menginaktifkan sel-sel vegetatif dari mikroba pathogen.Alat untuk melakukan pasteursasi adalah pasteurizer yang memiliki prinsip kerja sebagai berikut : bahan berupa cairan dialirkan ke heat exchanger sehingga terjadi pindah panas. Panas melalui plate dipindahkan dari air pemanas ke bahan. Air pemanas berasal dari tangki air yang dipanaskan dengan heat electric, kemudian dialirkan dengan arah yang berlawanan dengan arah aliran bahan. Lama pemanasan pada produk terjadi selama produk mengalir dalam holding tube. Jika proses dianggap kurang, maka bahan akan dikembalikan ke heat exchanger dan holding tube. Bahan keluar dari siklus dan masuk penampung produk jika proses sudah dianggap cukup. Pengaturan aliran dilakukan melalui katup pengatur. Pasteurisasi dapat dilakukan dengan menggunakan air panas yang dialirkan secara terputus (batch) dengan sistem suhu rendah



23



dan waktu yang lama (Low Temperature Long Time), atau dengan menggunakan aliran air panas yang kontinyu dengan sistem suhu tinggi dan waktu yang singkat (High Temperature Short Time). Pada kasus proses sterilisasi dengan retort bertekanan, media pemanas yang digunakan adalah uap jenuh. Perlu dipastikan bahwa seluruh bagian di dalam retort telah terisi dengan uap jenuh, dan tidak ada lagi udara yang terperangkap di dalam retort. Apabila retort masih memiliki kantong-kantong udara, efisiensi pemanasan akan berkurang dan suhu yang terjadi di dalam setiap bagian retort tidak merata, yang pada akhirnya berakibat pada tidak terpenuhinya kecukupan panas yang dialami oleh bahan pangan selama proses sterilisasi. Dalam hal ini, prosedur venting dan jadwal venting serta waktu tercapainya come up time sangat penting diperhatikan. Dengan melakukan prosedur venting yang benar, dapat dijamin bahwa retort telah benar-benar terisi uap jenuh secara merata dan memiliki suhu pemanasan yang sama pada setiap bagian di dalam retort. Dengan melakukan pengujian distribusi panas, akan diketahui profil pemanasan pada setiap bagian retort pada saat proses venting dan pemanasan berlangsung. Sehingga melalui pengujian distribusi panas ini dapat ditentukan waktu venting dan come up time yang mencukupi untuk menjamin distribusi panas yang merata di dalam retort. Terjadinya distribusi panas yang merata dipengaruhi juga oleh faktor-faktor antara lain volume uap jenuh yang disuplai, kondisi bagian penyebar uap (steam spreader), serta kondisi peralatan dan perpipaan lainnya pada retort.



24



BAB VI KESIMPULAN Proses termal atau yang disebut thermal process merupakan proses yang termasuk ke dalam proses pengawetan yang memanfaatkan energi panas. Tujuan utama proses termal antara lain mampu mematikan mikroorganisme yang menyebabkan penyakit serta menimbulkan kebusukan pada sebuah produk yang telah dilakukan pengemasan dengan kemasan yang hermetic seperti kaleng, retort pouch, atau gelas jar. Terdapat beberapa jenis proses pemanasan yang sering digunakan dan diterapkan dalam proses pengalengan pangan, yaitu proses blansir, sterilisasi, pasteurisasi dan juga hot filling. Prinsip dari proses thermal di antaranya adalah mematikan mikroba penyebab kebusukan dan membahayakan makanan, meminimalkan penurunan gizi makanan akibat dari pengolahan suhu tinggi, dan mempertahankan faktor faktor inderawi atau organoleptik seperti cita rasa. Adapun peralatan yang digunakan dalam proses termal yaitu autoclave, blancher, heat exchanger, exhauster, double seamer, dan retort.



25



DAFTAR PUSTAKA



Belitz, H.D. 1999. Food Chemistry. Springer. Germany Fellow, P. J. 1998 Food Processing Technology. Principles and Practise. Ellis Horwood. Newyork Frazier, W.C. 1988. Food Microbiology. Singapore Gaman,P.M.Sherington,K.B.1994.Pengantar



Ilmu



Pangan



Nutrisi



dan



Mikrobiologi.Yogyakarta:Universitas Gajah Mada. Koeswardhani,M.M.,dkk. 2006.Pengantar Teknologi Pangan.Jakarta : Universitas Terbuka. Muchtadi.,Tien R.1999.Teknologi Proses Pengolahan Pangan.Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjend Pendididkkan Tinggi Pusat Institut Pertanian Bogor Setya, A. W. 2012. Teknologi Pengolahan Susu. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Slamet Riyadi. Surakarta. Syarief, Rizal, Sasya Santausa dan St. Isyana B., 1989, Teknologi Pengemasan Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Tjahjadi, C. dan H. Marta. 2011. Pengantar Teknologi Pangan. Universitas Padjajaran. Bandung.



26