MAKALAH KELOMPOK 1 KONSEP DASAR MANAJEMEN BENCANA Woard [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KONSEP DASAR MANAJEMEN BENCANA



DISUSUN OLEH KELOMPOK I (SATU) :  RANDI SAPUTRA  ANDI PURNAMA  IIN MARELINA  DODI KURNIAWAN  YENI ASMARNI  ARI SAPUTRA



PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS DHARMAS INDONESIA DHARMASRAYA TAHUN 2021



KATA PENGANTAR  Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah dengan judul “Konsep dasar manajemen keperawatan bencana”. Makalah ini dibuat untuk menambah wawasan dan penulis dalam penanggulan bencana di Indonesia. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik. Oleh sebab itu, penulis dengan rendah hati menerima saran dan kritik guna penyempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan memberikan referensi yang bermakna bagi para pembaca.



Bangko, 19 maret 2021



Penulis



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR…………………………………………………….. DAFTAR ISI………………………………………………………………. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang…………………………………………………… 1.2 Tujuan Penulisan……………………………………………........ 1.3 Manfaat Penulisan……………………………………………….. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi dan Jenis Bencana……………………………………. 2.2 Tahapan Bencana……………………………………………… 2.3 Definisi Bencana………………………………………………. 2.4 Tahapan dan Kegiatan dalam Manajemen Bencana………….. 2.5 Prinsip-prinsip Penanggulangan Bencana…………………….. 2.6 Asas-asas Penanggulangan bencana………………………….. 2.7 Pertolongan Pertama Pada Korban Bencana………………….. BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan………………………………………………………… 3.2 Saran…………………………………………………………….. DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia berdasar data yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR). Tingginya posisi Indonesia ini dihitung dari jumlah manusia yang terancam risiko kehilangan nyawa bila bencana alam terjadi. Indonesia menduduki peringkat tertinggi untuk ancaman bahaya tsunami, tanah longsor, gunung berapi. Dan menduduki peringkat tiga untuk ancaman gempa serta enam untuk banjir. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) selama Januari 2013 mencatat ada 119 kejadian bencana yang terjadi di Indonesia. BNPB juga mencatat akibatnya ada sekitar 126 orang meninggal akibat kejadian tersebut. kejadian bencana belum semua dilaporkan ke BNPB. Dari 119 kejadian bencana menyebabkan 126 orang meninggal, 113.747 orang menderita dan mengungsi, 940 rumah rusak berat, 2.717 rumah rusak sedang, 10.945 rumah rusak ringan. Untuk mengatasi bencana tersebut, BNPB telah melakukan penanggulangan bencana baik kesiapsiagaan maupun penanganan tanggap darurat. Untuk siaga darurat dan tanggap darurat banjir dan longsor sejak akhir Desember 2012 hingga sekarang, BNPB telah mendistribusikan dana siap pakai sekitar Rp 180 milyar ke berbagai daerah di Indonesia yang terkena bencana. Namun, penerapan manajemen bencana di Indonesia masih terkendala berbagai masalah, antara lain kurangnya data dan informasi kebencanaan, baik di tingkat masyarakat umummaupun di tingkat pengambil kebijakan. Keterbatasan data dan informasi spasial kebencanaan merupakan salah satu permasalahan yang menyebabkan manajemenbencana di Indonesia berjalan kurang optimal. Pengambilan keputusan ketika terjadi bencana sulit dilakukankarena data yang beredar memiliki banyak versi dan sulit divalidasi kebenarannya.



Dari uraian diatas, terlihat bahwa masih terdapat kelemahan dalam sistem manajemen bencana di Indonesia sehingga perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk menghindari atau meminimalisasi dampak bencana yang terjadi. 1.2 Tujuan Penulisan Mahasiswa mengerti tentang sistem manajemen bencanadan dapat menambah wawasan masyarakat secara umum sehingga dapat turut serta dalam upaya penanggulangan bencana. 1.3 Manfaat Penulisan 1. Menambah pengetahuan dan wawasan pembaca dan penulis dalam hal menajemen bencana. 2. Pembaca dapat menerapkan upaya penanggulangan bencana, terutama untuk para petugas kesehatan.



BAB II PEMBAHASAN



2.1 Definisi dan Jenis Bencana Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.Bencana



non



alam



adalah



bencana



yang



diakibatkan



oleh



peristiwaatau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi,gagal modernisasi, epidemi. dan wabah penyakit.Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atauserangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror. 1. TREN BENCANA DI DUNIA DAN INDONESIA A. Trend di Dunia Tahun ini, pandemi virus corona telah menyebabkan kepanikan di seluruh dunia.Wabah juga menyebabkan kerugian besar bagi kehidupan dan perekonomian manusia.Sejak awal tahun, pandemi telah membunuh jutaan orang



di



seluruh



dunia,



dan



mengubah



hidup



semua



orang



sepenuhnya.Hingga Rabu (30/12/2020), menurut data WHO virus corona sudah menjangkit lebih dari 80 juta orang, dengan jumlah kematian hampir 2 juta jiwa di 222 negara dunia. Bahkan majalah ikonik dunia TIME, memberi label 2020 dengan tanda silang merah dalam sampul edisi Desember 2020. Majalah tersebut juga menyebut tahun ini sebagai 'tahun terburuk yang pernah ada. Selain corona virus, ada beberapa lagi bencana yang sudah terjadi di dunia, seperti kebakaran hutan di Australia.Kebakaran hutan Australia yang disebut Black Summer dimulai pada akhir 2019 dan menghancurkan antara 24 hingga 40 juta hektar semak belukar. Setidaknya 33 orang tewas dalam kebakaran itu, dan asap tebal mungkin telah menyebabkan lebih banyak kematian. Menurut laporan dari Komisi Pengaturan Bencana Alam Nasional lebih dari 3.000 rumah hancur.Asap menyelimuti kota-kota terbesar di negara itu termasuk Sydney dan Canberra. Biaya yang diasuransikan akibat kerugian terkait asap diperkirakan mencapai 3,6 miliar dollar AS (Rp 53 triliun), meskipun perkiraan lain menyebutkan total biaya mencapai 70 miliar dollar AS



(Rp



982



triliun).Miliaran



hewan



terbunuh



atau



terpaksa



dipindahkan.Kebakaran ini disebut dapat meningkatkan risiko kepunahan beberapa spesies. Gelombang panas berkepanjangan menyelimuti “Negeri Kangguru” selama kebakaran terjadi.Namun, sebuah studi yang dilakukan oleh kelompok Atribusi Cuaca Dunia yang diterbitkan pada Maret menemukan bahwa perubahan iklim meningkatkan risiko kebakaran hutan setidaknya 30 persen. Meskipun kebakaran merupakan hal yang alami di Australia, namun sekarang terjadi pada frekuensi dan intensitas yang belum pernah terjadi sebelumnya di daerah yang secara historis, belum pernah terbakar.



B. Trend di Indonesia Catatan



Badan



Nasional



Penanggulangan



Bencana



(BNPB)



menunjukkan ada 263 bencana yang terjadi sepanjang Januari 2021.Data tersebut merupakan rangkuman hingga 31 Januari 2021 pukul 15.00 WIB.Kepala



Pusat



Data



Informasi



dan



Komunikasi



Kebencanaan



(Kapusdatinkom) BNPB Raditya Jati menjelaskan, sebagian besar bencana terjadi karena pengaruh kondisi hidrometeorologi."Dari semua kejadian bencana, 98 persen disebabkan karena faktor hidrometeorologi," kata Raditya saat dihubungi Kompas.com, Senin (1/2/2021).Selain jumlah kejadian, laporan ini juga mencakup peta sebaran, dampak bencana, dan kerusakan yang ditimbulkannya. Faktor hidrometeorologi terbagi menjadi dua, yaitu basah dan kering.Pada awal tahun, bencana yang terjadi akibat faktor hidrometeorologi basah. Seperti diberitakan Kompas.com, pada Minggu (24/1/2021), Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat, sebanyak 94 persen dari 342 zona musim di Indonesia, saat ini telah memasuki puncak musim hujan seperti yang telah diprediksikan sejak Oktober tahun lalu. Oleh karena itu diperkirakan, puncak musim hujan akan terjadi pada Januari dan Februari 2021. "Data kami menunjukkan bahwa dari kejadian itu, banjir dan tanah longsor menjadi dominan," ujar Raditya. Adapun data dari BNPB mencatat, bencana alam yang terjadi sepanjang awal tahun berupa banjir sebanyak 167 kejadian, tanah longsor 42 kejadian, dan puting beliung 42 kejadian. Kemudian, disusul 6 gelombang pasang, 5 kejadian gempa bumi, dan 1 karhutla. Sepanjang 2021, dampak bencana alam sudah menelan 191 korban meninggal dunia dan 9 orang hilang.Raditya menjelaskan, korban terbanyak terjadi pada bencana gempa bumi dan longsor."Kalau gempa bumi dapat menimbulkan korban jiwa cukup banyak, karena sampai saat ini belum ada prediksi untuk kapan akan terjadi gempa bumi dan di mana," kata dia. Akan tetapi, untuk gempa bumi, BNPB berupaya untuk menelaah potensi dari



garis sesar.Sejak 2017, Pusat Gempa Nasional menemukan dan mendata garis sesar sebanya 295 titik.Garis sesar tersebut membantu BNPB dalam memetakan potensi kebencanaan.Adapun korban jiwa terbanyak yang terjadi di Sulawesi Barat akibat gempa bumi.Dan beberapa kali tanah longsor di Sumedang yang menelan 40 korban."Korban jiwanya banyak di Sulawesi Barat.Ada 105 yang terdata. Korban lain dari bencana lainnya juga ada, tetapi tersebar di beberapa tempat," kata Raditya. Ia menjelaskan, korban jiwa gempa bumi lebih besar karena adanya reruntuhan. Kerusakan bangunan yang ditimbulkan oleh gempa berpotensi menelan korban jiwa.Adapun jumlah korban luka-luka dari bencana sepanjang Januari 2021, sebanyak 12.042 orang.Sedangkan untuk yang menderita dan mengungsi akibat bencana, tercatat sebanyak 1.548.173 orang.Sementara itu, selain korban jiwa, berbagai bencana pada awal tahun ini mengakibatkan kerusakan bangunan di sejumlah wilayah.Dari rangkaian bencana yang terjadi, total rumah yang rusak sebanyak 36.534 rumah.Kerusakannya beragam, mulai dari ringan sampai rusak berat. Data kerusakan lain,tercatat 124 fasilitas umum rusak. Fasilitas umum tersebut meliputi 76 fasilitas pendidikan, 24 tempat ibadah, 25 fasilitas kesehatan, dan 4 kantor. Peta sebaran bencana terbanyak terjadi di Jawa Tengah sebanyak 46 titik kejadian.Kemudian, disusul Jawa Timur 42 titik dan Jawa Barat 36 titik.Adapun untuk sebaran bencana terluas terjadi di Kalimantan Selatan (Kalsel)."Banjir



di



Kalsel



cakupannya



cukup



luas



itu.Dari



13



kabupaten/kota yang ada di Kalsel, 11 (di antaranya) terdampak semua," kata Raditya. 2.



ASPEK ETIK DAN ISU DALAM KEPERAWATAN BENCANA The American Medical Association telah menciptakan aturan baru yang kuat menangani tugas dokter untuk merawat pasien sejak peristiwa 11 September 2001, namun profesi lainnya belum mengikuti. Sampai saat ini, penyedia layanan kesehatan akan terus dihadapkan pada pembuatan keputusan etis menantang dengan sedikit arah (Grimaldi, 2007).



Berikut ini adalah dari kebijakan yang diadopsi oleh American Medical Association pada tahun 2004: Bencana nasional, regional, dan tanggapan lokal untuk epidemi, serangan teroris dan bencana lainnya memerlukan keterlibatan yang luas dari dokter. Karena komitmen mereka untuk merawat orang sakit dan terluka, dokter individu memiliki kewajiban untuk memberikan perawatan medis darurat selama bencana.kewajiban etis ini berlaku bahkan dalam menghadapi risiko lebih besar dari biasanya untuk mengutamakan keselamatan, kesehatan, atau kehidupan mereka. Tenaga  kerja dokter, bagaimanapun  bukan merupakan sumber daya terbatas, karena itu,



ketika



berpartisipasi



dalam



respon



bencana,



dokter



harus



menyeimbangkan manfaat langsung kepada pasien individu dengan kemampuan untuk merawat pasien di masa depan. Pernyataan terkait pemberian pelayanan keperawatan: Perawat mempromosikan, menganjurkan dan berusaha untuk melindungi kesehatan, keselamatan, dan hak-hak pasien". Dipihak lain perawat berkewajiban menjaga dirinya sendiri. "Perawat berutang tugas yang sama untuk dirinya sebelum merawat orang lain, termasuk tanggung jawab untuk menjaga integritas dan keselamatan, untuk mempertahankan kompetensi dan untuk melanjutkan pertumbuhan pribadi dan profesional. Perlu penyamaan persepsi lebih lanjut terkait pernyataan yang sedikit berlawanan di atas yang menyatakan bahwa perawat memiliki kewajiban untuk memberikan perawatan bagi pasien dan pernyataan bahwa perawat diwajibkan untuk menjaga keselamatan diri. Wynia mendaftar tantangan utama etika yang dihadapi penyedia layanan kesehatan dalam keadaan darurat kesehatan masyarakat yaitu penjatahan, pembatasan, dan tanggung jawab. Penjatahan merupakan  penawaran khusus dengan alokasi sumber daya. Triage dapat menimbulkan dilema etika karena mungkin ada sumber daya yang terbatas dalam kaitannya dengan sejumlah besar orang yang membutuhkan pengobatan. Beberapa mungkin mempertanyakan apakah triase itu etis.



Pembatasan dapat membatasi kebebasan dan kemerdekaan di kedua pasien dan pekerja kesehatan. Tantangan ketiga adalah tanggung jawab etis. Ini mungkin merupakan tantangan terbesar karena sulit untuk memprediksi apa yang akan dilakukan selama masa crisis. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, kode etik untuk sebagian besar profesi kesehatan hanya menyarankan bahwa penyedia layanan melaksanakan kewajiban kepada pasien mereka, sementara pada saat yang sama mereka ambigu dengan menyatakan bahwa ada juga ada kewajiban untuk mengurus diri sendiri (Grimaldi, 2007). Menurut ANA, Etik dalam Keperawatan Bencana adalah: A. Perawat, dalam semua hubungan profesional, praktek dengan kasih sayang dan rasa hormat terhadap martabat yang melekat, nilai, dan keunikan setiap individu, dibatasi oleh pertimbangan status sosial atau ekonomi, atribut pribadi, atau sifat masalah kesehatan B. perawat komitmen utama adalah untuk pasien, baik individu, keluarga, kelompok , atau masyarakat C. perawat mempromosikan, menganjurkan, dan berusaha untuk melindungi kesehatan, keselamatan, dan hak pasien D. perawat bertanggung jawab dan akuntabel untuk praktek keperawatan individu dan menentukan delegasi yang sesuai tugas sesuai dengan kewajiban perawat untuk memberikan perawatan pasien yang optimal. E. perawat bertanggung jawab untuk dirinya dan untuk lainnya, termasuk tanggung jawab untuk menjaga integritas dan keamanan, untuk menjaga kompetensi, dan melanjutkan pertumbuhan pribadi dan profesional. F. perawat berpartisipasi dalam membangun, memelihara, dan meningkatkan lingkungan perawatan kesehatan dan kondisi kerja yang kondusif bagi penyediaan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan konsisten dengan nilai-nilai profesi melalui aksi individu dan kolektif



G. perawat berpartisipasi dalam kemajuan profesi melalui kontribusi untuk berlatih, pendidikan, administrasi, dan pengembangan pengetahuan H. perawat bekerja sama dengan profesional kesehatan lainnya dan masyarakat dalam mempromosikan masyarakat, nasional, dan upaya internasional hanya untuk memenuhi kebutuhan kesehatan I. profesi keperawatan, yang diwakili oleh asosiasi dan anggotanya, bertanggung jawab untuk mengartikulasikan nilai keperawatan, untuk menjaga integritas profesi dan praktek, dan untuk membentuk kebijakan social



3.



 Definisi Pelayanan Gawat Darurat dan keperawatan bencana Pelayanan kesehatan kegawat daruratan (dalam kedaan emergency) sehari hari adalah hak azasi manusia/hak setiap orang, dan merupakan kewajiban yang dimiliki setiap orang. (Seri PPGD/GELS/SPGDT  Dirjen Buk Depkes RI tahun 2004). Azrul (1997) yang dimaksud gawat darurat (emergency care) adalah bagian dari pelayanan kedokteran yang dibutuhkan oleh penderita dalam waktu segera untuk menyelamatkan kehidupannya (life saving). Instalasi gawat darurat adalah salah satu sumber utama pelayanan kesehatan di rumah sakit. Ada beberapa hal yang membuat situasi di IGD menjadi khas, diantaranya adalah pasien yang perlu penanganan cepat walaupun riwayat kesehatannya belum jelas. Meskipun telah majunya sistem rumah sakit yang dianut oleh suatu negara bukan berarti tiap rumah sakit memiliki kemampuan mengelola IGD sendiri. Penyebab utama kesulitan untuk mengelola IGD adalah karena IGD merupakan salah satu dari unit kesehatan yang paling padat modal, padat karya, serta padat teknologi. Dalam pelaksanaan pelayanan penanggulangan kegawat-daruratan sehari hari klasifikasi gawat darurat dibagi dalam beberapa kategori : A. Pasien gawat darurat adalah Pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapat pertolongan secepatnya. B. Pasien gawat tidak darurat adalah Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan darurat, misalnya kanker stadium lanjut.



C. Pasien darurat tidak gawat adalah Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba, tetapi tidak mengancam jiwa dan anggota badannya, misal : luka sayat dangkal. D. Pasien tidak gawat tidak darurat Misalnya pasien TBC kulit. Kecelakaan (accident) adalah Suatu kejadian dimana terjadi interaksi berbagai faktor yang datangnya mendadak, tidak dikehendaki sehingga menimbulkan cedera (fisik, mental, sosial). Cedera adalah Masalah kesehatan yang didapat/dialami sebagai akibat kecelakaan. (Pedoman Pelayanan Gawat Darurat Depkes RI 1995). Kondisi gawat darurat adalah suatu kedaan dimana seseorang seseorang secara tiba tiba dalam kedaan gawat atau atau akan menjadi gawat dan terancam anggota badannya dan jiwanya (akan menjadi cacat aau mati) bial tidak mendapat pertolongan segera (Standar pelayanan keperawatan gawat darurat Dirjen BUK Kemenkes RI 2011). Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut. (UU No 44/2009 Tentang Rumah Sakit) Keperawatan bencana bertujuan untuk memastikan bahwa perawat mampu untuk mengidentifikasi, mengadvokasi dan merawat dampak dari semua fase bencana termasuk didalamnya adalah berpartisipasi aktif dalam perencanaan dan kesiapsiagaan bencana. 4.



PERAN PERAWAT DALAM BENCANA Perawat memainkan peran penting dalam kesiapsiagaan bencana, respons/pemulihan dan evaluasi, terutama dalam mengurangi kerentanan dan meminimalkan risiko dalam suatu bencana Dalam Pencegahan PrimerAda beberapa hal yang dapat dilakukan perawat dalam masa pra bencana ini: A. mengenali instruksi ancaman bahaya; B. mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan saat fase emergency (makanan, air, obat-obatan, pakaian dan selimut, serta tenda) C. melatih penanganan pertama korban bencana. Berkoordinasi berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan, palang merah nasional maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman bencana kepada masyarakat. Pendidikan kesehatan diarahkan kepada :



A. usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut) B. pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota keluarga dengan kecurigaan fraktur tulang , perdarahan, dan pertolongan pertama luka bakar C. memberikan beberapa alamat dan nomor telepon darurat seperti dinas kebakaran, RS dan ambulans. D. Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa (misal pakaian seperlunya, portable radio, senter, baterai) 2.2 Tahapan Bencana Disaster atau bencana dibagi beberapa tahap yaitu : tahap pra-disaster, tahap serangan atau saat terjadi bencana (impact), tahap emergensi dan tahap rekonstruksi. Dari ke-empat tahap ini, tahap pra disaster memegang peran yang sangat strategis. a. Tahap Pra-Disaster Tahap ini dikenal juga sebagai tahap pra bencana, durasi waktunya mulai saat sebelum terjadi bencana sampai tahap serangan atau impact. Tahap ini dipandang oleh para ahli sebagai tahap yang sangat strategis karena pada tahap pra bencana ini masyarakat perlu dilatih tanggap terhadap bencana yang akan dijumpainya kelak. Latihan yang diberikan kepada petugas dan masyarakat akan sangat berdampak kepada jumlah besarnya korban saat bencana menyerang (impact), peringatan dini dikenalkan kepada masyarakat pada tahap pra bencana. b. Tahap Serangan atau Terjadinya Bencana (Impact phase) Pada tahap serangan atau terjadinya bencana (Impact phase) merupakan fase terjadinya klimaks bencana. Inilah saat-saat dimana, manusia sekuat tenaga mencoba ntuk bertahan hidup. Waktunya bisa terjadi beberapa detik sampai beberapa minggu atau bahkan bulan. Tahap serangan dimulai saat bencana menyerang sampai serang berhenti. c. Tahap Emergensi Tahap emergensi dimulai sejak berakhirnya serangan bencana yang pertama.Tahap emergensi bisa terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan. Pada tahap emergensi, hari-hari minggu pertama yang menolong



korban bencana adalah masyarakat awam atau awam khusus yaitu masyarakat dari lokasi dan sekitar tempat bencana. Karakteristik korban pada tahap emergensi minggu pertama adalah : korban dengan masalah Airway dan Breathing (jalan nafas dan pernafasan), yang sudah ditolong dan berlanjut ke masalah lain, korban dengan luka sayat, tusuk, terhantam benda tumpul, patah tulang ekstremitas dan tulang belakang, trauma kepala, luka bakar bila ledakan bom atau gunung api atau ledakan pabrik kimia atau nuklir atau gas. Pada minggu ke dua dan selanjutnya, karakteristik korban mulai berbeda karena terkait dengan kekurangan makan, sanitasi lingkungan dan air bersih, atau personal higiene. Masalah kesehatan dapat berupa sakit lambung (maag), diare, kulit, malaria atau penyakit akibat gigitan serangga. d. Tahap Rekonstruksi Pada tahap ini mulai dibangun tempat tinggal, sarana umum seperti sekolah, sarana ibadah, jalan, pasar atau tempat pertemuan warga. Pada tahap rekonstruksi ini yang dibangun tidak saja kebutuhan fisik tetapi yang lebih utama yang perlu kita bangun kembali adalah budaya. Kita perlu melakukan rekonstruksi budaya, melakukan re-orientasi nilai-nilai dan norma-norma hidup yang lebih baik yang lebih beradab. Dengan melakukan rekonstruksi budaya kepada masyarakat korban bencana, kita berharap kehidupan mereka lebih baik bila dibanding sebelum terjadi bencana. Situasi ini seharusnya bisa dijadikan momentum oleh pemerintah untuk membangun kembali Indonesia yang lebih baik, lebih beradab, lebih santun, lebih cerdas hidupnya lebih memiliki daya saing di dunia internasional. 2.3 Definisi Manajemen Bencana Penanggulangan bencana atau yang sering didengar dengan manajemen bencana(disaster management) adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.



Konsep manajemen bencana saat ini telah mengalami pergeseran paradigma dari pendekatan konvensional menuju pendekatan holistik (menyeluruh). Pada pendekatan konvensial bencana itu suatu peristiwa atau kejadian yang tidak terelakkan dan korban harus segera mendapatkan  pertolongan,  sehingga manajemen bencana lebih fokus pada hal yang bersifat bantuan (relief) dan tanggap darurat (emergency response). Selanjutnya paradigma manajemen bencana berkembang ke arah pendekatan pengelolaan risiko yang lebih fokus pada upaya-upaya pencegahan dan mitigasi, baik yang bersifat struktural maupun non-struktural di daerah-daerah yang rawan terhadap bencana, dan upaya membangun kesiap-siagaan.8 Sebagai salah satu tindak



lanjut



dalam



menghadapi



perubahan



paradigma manajemen bencana tersebut, pada bulan Januari tahun 2005 di Kobe-Jepang,



diselengkarakan



Konferensi Pengurangan Bencana Dunia (World Conference on Disaster Reduction) yang menghasilkan  beberapa substansi  dasar  dalam  mengurangi kerugian akibat bencana, baik kerugian jiwa, sosial, ekonomi dan lingkungan. Substansi dasar tersebut yang selanjutnya merupakan lima prioritas kegiatan untuk tahun 2005 2015 yaitu:  1. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional maupun



daerah



yang



pelaksanaannya



harus



didukung



oleh



kelembagaan yang kuat. 2. Mengidentifikasi, 



mengkaji 



dan 



memantau 



risiko 



bencana



serta menerapkan sistem peringatan dini  3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan membangun kesadaran kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada semua tingkat masyarakat. 4. Mengurangi faktor‐faktor penyebab risiko bencana. 5. Memperkuat  kesiapan  menghadapi  bencana  pada  semua  tingkatan masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif



2.4 Tahapan dan Kegiatan dalam Manajemen Bencana Dalam melaksanakan penanggulangan bencana, maka penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi tahap prabencana, tahap tanggap darurat, dan tahap pascabencana. 1. Pada Pra Bencana Pada tahap pra bencana ini meliputi dua keadaan yaitu : a. Situasi Tidak Terjadi Bencana Situasi tidak ada potensi bencana yaitu kondisi suatu wilayah yang berdasarkan analisis kerawanan bencana pada periode waktu tertentu tidak menghadapi ancaman bencana yang nyata. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana meliputi : 



perencanaan penanggulangan bencana;







pengurangan risiko bencana;







pencegahan;







pemaduan dalam perencanaan pembangunan;







persyaratan analisis risiko bencana;







pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;







pendidikan dan pelatihan; dan







persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.



b. Situasi Terdapat Potensi Bencana Pada situasi ini perlu adanya kegiatan-kegiatan: 



Kesiapsiagaan. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.







Peringatan Dini. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang5.







Mitigasi Bencana. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.



Kegiatan-kegiatan pra-bencana ini dilakukan secara lintas sector dan multi stakeholder,oleh karena itu fungsi BNPB/BPBD adalah fungsi koordinasi. 2. Tahap Tanggap Darurat Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan, pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya dilakukan untuk mengidentifikasi cakupan lokasi bencana, jumlah korban, kerusakan prasarana dan sarana, gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan, dan kemampuan sumber daya alam maupun buatan. b. penentuan status keadaan darurat bencana. Penetapan status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala bencana. c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana, dilakukan dengan memberikan pelayanan kemanusiaan yang timbul akibat bencana yang terjadi pada suatu daerah melalui upaya pencarian dan penyelamatan korban, pertolongan darurat, dan/atau evakuasi korban. d. pemenuhan kebutuhan dasar, meliputi bantuan penyediaan kebutuhan air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan, pelayanan psikososial; dan penampungan dan tempat hunian.



e. perlindungan



terhadap



kelompok



rentan,



dilakukan



dengan



memberikan prioritas kepada kelompok rentan berupa penyelamatan, evakuasi,



pengamanan,



pelayanan



kesehatan,



dan



psikososial.



Kelompok rentan yang dimaksud terdiri atas bayi, balita, anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau menyusui;, penyandang cacat, dan orang lanjut usia. f. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital. Tahap tindakan dalam tanggap daruratdibagi menjadi dua fase yaitu fase akut dan fase sub akut. Fase akut, 48 jam pertama sejak bencana terjadi disebut fase penyelamatan dan pertolongan medis darurat sedangkan fase sub akut terjadi sejak 2-3 minggu. 3. Pasca Bencana Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana meliputi: a. Rehabilitasi. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi



atau



pemerintahan



dan



berjalannya



secara



kehidupan



wajar



masyarakat



semua pada



aspek wilayah



pascabencana. b. Rekonstruksi. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran



utama



tumbuh



dan



berkembangnya



kegiatan



perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana. 2.5 Prinsip-Prinsip Penanggulangan Bencana Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana berdasarkan pasal 3 UU No. 24 tahun 2007, yaitu:



1. Cepat dan tepat. Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan tepat” adalah bahwa dalam penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan. 2.



prioritas. Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah bahwa apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia.



3. koordinasi dan keterpaduan. Yang dimaksud dengan “prinsip koordinasi” adalah bahwa penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung. Yang dimaksud dengan “prinsip



keterpaduan” adalah



bahwa penanggulangan bencana



dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung. 4. berdaya guna dan berhasil guna. Yang dimaksud dengan “prinsip berdaya guna” adalah bahwa dalam mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan. Yang dimaksud dengan “prinsip berhasil guna” adalah bahwa kegiatan penanggulangan bencana harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan. 5. transparansi dan akuntabilitas. Yang dimaksud dengan “prinsip transparansi” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum. 6. Kemitraan 7. Pemberdayaan 8. Nondiskriminatif. Yang dimaksud dengan “prinsip nondiskriminasi” adalah



bahwa



negara



dalam



penanggulangan



bencana



tidak



memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik apa pun.



9. Nonproletisi. Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah bahwa dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana. 2.6 Asas-asas Dalam Penanggulangan Bencana Penanggulangan bencana berdasarkan pasal 3 UU No. 24 Tahun 2007 berasaskan: 1. kemanusiaan.



Yang



dimaksud



dengan



“asas



kemanusiaan”



termanifestasi dalam penanggulangan bencana sehingga undangundang ini memberikan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia, harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. 2. Keadilan. Yang dimaksud dengan”asas keadilan” adalah bahwa setiap materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. 3. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana tidak boleh berisi hal-hal yang membedakan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. 4.



keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keseimbangan kehidupan sosial dan lingkungan. Yang dimaksud dengan “asas keselarasan” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keselarasan tata kehidupan dan lingkungan. Yang dimaksud dengan ”asas keserasian” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keserasian lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.



5.



ketertiban dan kepastian hukum; Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.



6. Kebersamaan. Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah bahwa penanggulangan bencana pada dasarnya menjadi tugas dan tanggung jawab bersama Pemerintah dan masyarakat yang dilakukan secara gotong royong. 7. Kelestarian



lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan “asas



kelestarian lingkungan hidup” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan kelestarian lingkungan untuk generasi sekarang dan untuk generasi yang akan datang demi kepentingan bangsa dan negara. 8. ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang dimaksud dengan “asas ilmu pengetahuan dan teknologi” adalah bahwa dalam penanggulangan bencana harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara optimal



sehingga



mempermudah



dan



mempercepat



proses



penanggulangan bencana, baik pada tahap pencegahan, pada saat terjadi bencana, maupun pada tahap pascabencana 2.7 Pertolongan Pertama Pada Korban Bencana Peran penting bidang kesehatan juga sangat dibutuhkan dalam penanggulangan dampak  bencana, terutama dalam penanganan korban trauma baik fisik maupun psikis. Keberadaan tenaga kesehatan tentunya akan sangat membantu untuk memberi pertolongan pertama sebelum proses perujukan ke rumah sakit yang memadai. Pengelolaan penderita yang mengalami cidera parah



memerlukan



penilaian yang cepat dan pengelolaan yang tepat agar sedapat mungkin bisa menghindari kematian. Pada penderita trauma, waktu sangatlah penting, karena itu diperlukan adanya suatu cara yang mudah dilaksanakan. Proses ini



dikenal sebagai Initial assessment (penilaian awal) dan Triase. Prinsip-prinsip ini diterapkan dalam pelaksanaan pemberian bantuan hidup dasar pada penderita trauma (Basic Trauma Life Support) maupun Advanced Trauma Life Support. Triage adalah tindakan mengkategorikan pasien menurut kebutuhan perawatan dengan memprioritaskan mereka yang paling perlu didahulukan. Paling sering terjadi di ruang gawat darurat, namun triage juga dapat terjadi dalam pengaturan perawatan kesehatan di tempat lain di mana pasien diklasifikasikan menurut keparahan kondisinya. Tindakan ini dirancang untuk memaksimalkan dan mengefisienkan penggunaan sumber daya tenaga medis dan fasilitas yang terbatas. Triage dapat dilakukan di lapangan maupun didalam rumah sakit. Proses triage meliputi tahap pra-hospital/lapangan dan hospital atau pusat pelayana kesehatan lainnya. Triage lapangan harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba ditempat kejadian dan tindakan ini harus dinilai lang terus menerus karena status triage pasien dapat berubah. Metode yang digunakan bisa secara Mettag (triage Tagging System) atau sistem triage penuntun lapangan Star (Simple Triage and Rapid Transportasi) Penuntun Lapangan START berupa penilaian pasien 60 detik yang mengamati ventilasi, perfusi, dan status mental untuk memastikan kelompok korban seperti yang memerlukan transport segera atau tidak, atau yang tidak mungkin diselamatkan, atau mati. Ini memungkinkan penolong secara cepat mengidentifikasikan korban yang dengan risiko besar akan kematian segera atau apakah tidak memerlukan transport segera. Star merupakan salah satu metode yang paling sederhana dan umum. Metode ini membagi penderita menjadi 4 kategori : 1. Prioritas 1 – Merah Merupakan prioritas utama, diberikan kepada para penderita yang kritis



keadaannya



seperti



gangguan



jalan



napas,



gangguan



pernapasan, perdarahan berat atau perdarahan tidak terkontrol, penurunan status mental



2. Prioritas 2 – Kuning Merupakan prioritas berikutnya diberikan kepada para penderita yang mengalami keadaan seperti luka bakar tanpa gangguan saluran napas atau kerusakan alat gerak, patah tulang tertutup yang tidak dapat berjalan, cedera punggung. 3. Prioritas 3 – Hijau Merupakan kelompok yang paling akhir prioritasnya, dikenal juga sebagai ‘Walking Wounded” atau orang cedera yang dapat berjalan sendiri. 4. Prioritas 0 – Hitam Diberikan kepada mereka yang meninggal atau mengalami cedera yang mematikan. Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritisasikan tindakan atas korban adalah yang dijumpai pada sistim METTAG. Prioritas tindakan dijelaskan sebagai : 1. Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin diresusitasi. 2. Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan tindakan dan transport segera (gagal nafas, cedera torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat, luka bakar berat). 3. Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien dengan cedera yang dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat (cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang leher, serta luka bakar ringan). 4. Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan stabilisasi segera (cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan nafas serta gawat darurat psikologis).



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Indonesiamerupakan salah satu yang rawan bencana sehingga diperlukan manajemen atau penanggulangan bencana yang tepat dan terencana. Manajemen bencana merupakan serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Manajemen bencana di mulai dari tahap prabecana, tahap tanggap darurat, dan tahap pascabencana. Pertolongan



pertama



dalam



bencana



sangat



diperlukan



untuk



meminimalkan kerugian dan korban jiwa. Pertolongan pertama pada keadaan bencana menggunakan prinsip triage. 3.2 Saran Masalah



penanggulangan



bencana



tidak



hanya



menjadi



beban



pemerintah atau lembaga-lembaga yang terkait. Tetapi juga diperlukan dukungan dari masyarakat umum. Diharapkan masyarakat dari tiap lapisan dapat ikut berpartisipasi dalam upaya penanggulangan bencana.



DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2011. Indonesia negara rawan bencana. http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/08/110810_indonesia_ tsunami.shtml. Diakses tanggal 11 januari 2014. Ledysia, Septiana. 2013. Januari 2013, Indonesia Dirundung 119 Bencana. http://news.detik.com/read/2013/02/02/002615/2159288/10/januari-2013indonesia-dirundung-119-bencana. Diakses tanggal 11 Januari 2014.  Pusat Data, Informasi dan Humas. 2010. Sistem Penangulangan Bencana. http://bnpb.go.id/page/read/7/sistem-penanggulangan-bencana. Diakses tanggal 11 Januari 2014  Pusat Data, Informasi dan Humas. 2012. Definisi dan Jenis Bencana. http://www.bnpb.go.id/page/read/5/definisi-dan-jenis-bencana. diakses tanggal 12 Januari 2014. Pasal 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 2007. Jakarta: DPR RI dan Presiden RI Sudiharto. 2011. Manajemen Disaster. http://bppsdmk.depkes.go.id/bbpkjakarta/wpcontent/uploads/2011/06/ManajemenDisaster.pdf. Diakses tanggal 12 Januari. Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana. 2007. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya Di Indonesia. (2th ed). Jakarta: Direktorat Mitigasi. Sinurat, Hulman., & Adiyudha, Ausi. 2012. Sistem Manajemen Penanggulangan Bencana Alam Dalam Rangka Mengurangi Dampak Kerusakan Jalan Dan Jembatan. Jakarta: Puslitbang Jalan dan Jembatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2008. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. Jakarta: BNPB Kamus Kesehatan. http://kamuskesehatan.com/arti/triage/. Diakses tanggal 11 januari. Udiyana, Nyoman Dwi Maha. Bencana datang Tanpa Rencana, Namun Penanggulangan Harus terencana. http://www.academia.edu/3716116/Bencana_datang_Tanpa_Rencana_Na mun_Penanggulangannya_Harus_Terencana. diakses tanggal 11 Januari 2014