Makalah Kelompok 2 (Biofarmasetika Pada Sediaan Rektal) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BIOFARMASETIKA BIOFARMASETIKA PADA SEDIAAN REKTAL



Dosen Pengampu : apt. Andhika Nor H., M. Farm.



Disusun Oleh : 1. Faiqoh Khaerunisa



(1190101012)



2. Fina Kritya Yulfiana .P



(1190101017)



3. Nur Anisa Rahma



(1190101030)



PROGRAM STUDI FARMASI S1 STIKES MUHAMMADIYAH WONOSOBO 2021/2022



KATA PENGANTAR



Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya penulis tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti. Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai pemenuh tugas dari mata kuliah Biofarmasetika dengan judul yang diangkat yaitu “Biofarmasetika pada Sediaan Rektal”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen Biofarmasetika, Bapak apt. Andhika Nor H., M. Farm. telah membimbing penulis dalam menulis makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesarbesarnya.



Wonosobo, 15 Mei 2021 Penulis



1



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ...........................................................................................01 DAFTAR ISI ..........................................................................................................02 BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................03 A. Latar Belakang ...........................................................................................03 B. Rumusan Masalah ......................................................................................04 C. Tujuan .......................................................................................................04 BAB II ISI ..............................................................................................................05 A. Rektal ........................................................................................................05 B. Sediaan Rektal ............................................................................................06 C. Rute Sediaan Rektal ...................................................................................07 D. Contoh Obat Sediaan Rektal ......................................................................09 E. Biofarmasi Sediaan Rektal .........................................................................10 F. Faktor Fisiologis yang Mempengaruhi Pemberian Sediaan Rektal ...........11 G. Faktor Patofisiologis yang Mempengaruhi Pemberian Sediaan Rektal .....14 H. Bentuk Sediaan Rektal ...............................................................................15 I. Uji Klinis Sediaan Rektal ...........................................................................20 BAB III PENUTUP ...............................................................................................22 A. Kesimpulan ................................................................................................22 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................23



2



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Obat merupakan sebuah substansi yang diberikan kepada manusia atau binatang sebagai perawatan atau pengobatan bahkan pencegahan terhadap berbagai gangguan yang dapat terjadi di dalam tubuh. Beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi pengobatan diantaranya absorpsi obat, distribusi obat dalam tubuh, metabolisme obat, dan ekskresi (Pramesti, et al., 2017). Pemberian obat kepada pasien dapat dilakukan melalui beberapa cara diantaranya: oral, parenteral, rectal, vaginal, kulit, mata, telinga, dan hidung. Dengan menggunakan prinsip enam tepat dalam pengobatan yaitu tepat pasien, obat, dosis, rute, waktu, dan dokumentasi (Pramesti, et al., 2017). Rute sediaan oral adalah rute yang paling nyaman untuk pemberian obat. Meskipun rute sediaan oral adalah jalur yang paling nyaman untuk pemberian obat, ada sejumlah keadaan di mana hal ini tidak memungkinkan baik dari perspektif klinis maupun farmasi. Dalam kasus ini, rute rektal mungkin merupakan alternatif praktis dan dapat digunakan untuk memberikan obat untuk tindakan lokal dan sistemik. Lingkungan dalam rektum dianggap relatif konstan, stabil, serta memiliki aktivitas enzimatik yang rendah dibandingkan dengan bagian lainnya dari saluran pencernaan. Selain itu, obat-obatan dapat melewati sebagian hati setelah absorpsi sistemik, yang mengurangi efek jalur pertama hati. Oleh karena itu, pemberian obat melalui rektal dapat memberikan tingkat lokal dan sistemik yang signifikan untuk berbagai obat, meskipun luas permukaan mukosa rektal relatif kecil (Hua, 2019: 1). Pengembangan lebih lanjut dan optimalisasi formulasi obat rektal telah menyebabkan peningkatan ketersediaan hayati obat, retensi formulasi, dan kinetika pelepasan obat. Oleh karena itu, pada makalah ini akan membahas pertimbangan fisiologis dan farmasi yang dapat mempengaruhi pemberian obat secara rektal serta pendekatan pemberian obat konvensional dan baru (Hua, 2019: 1).



3



B. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada makalah ini yaitu : 1. Apa yang dimaksud rektal? 2. Apa yang dimaksud sediaan rektal? 3. Bagaimana rute sediaan rektal? 4. Apa contoh obat sediaan rektal? 5. Bagaimana biofarmasi Sediaan Rektal? 6. Bagaimana faktor fisiologi yang dapat mempengaruhi pemberian sediaan rektal? 7. Bagaimana faktor patofiologi yang dapat mempengaruhi pemberian sediaan rektal? 8. Bagaimana bentuk sediaan rektal? 9. Bagaimana uji klinis pada sediaan rektal?



C. Tujuan Tujuan dari makalah ini yaitu : 1. Mengetahui yang dimaksud rektal. 2. Mengetahui yang dimaksud sediaan rektal. 3. Mengetahui rute sediaan rektal. 4. Mengetahui contoh obat sediaan rektal. 5. Mengetahui biofarmasi Sediaan Rektal. 6. Mengetahui faktor- faktor fisiologi yang dapat mempengaruhi pemberian sediaan rektal. 7. Mengetahui faktor- faktor patofisiologi yang mempengaruhi pemberian sediaan rektal 8. Mengetahui bentuk sediaan rektal. 9. Mengetahui uji klinis pada sediaan rektal.



4



BAB II PEMBAHASAN



A. Rektal Rektal (rektum) adalah bagian akhir dari usus besar yang dimulai dari ujung kolon sigmoid hingga saluran anus, bertindak terutama sebagai transportasi (saluran) atau tempat penyimpanan sementara dalam proses buang air besar, dengan keterlibatan minimal dalam penyerapan air dan elektrolit dari isi gastrointestinal ( Shafik dkk., 2006 ; Leppik dan Patel, 2015 dalam Hua, 2019: 2). Kotoran disimpan oleh rektum dari volume kecil hingga mencapai derajat distensi rektal yang cukup untuk memicu refleks pada buang air besar ( Shafik dkk., 2006 dalam Hua, 2019: 2). Perbedaan anatomi utama antara rektum orang dewasa dan anak-anak terletak pada ukurannya. Panjang rektum pada dewasa sekitar 15-20 cm, dengan luas permukaan sekitar 200–400 cm2 ( de Boer dkk., 1982 ; van Hoogdalem dkk., 1991 ; Nunes dkk., 2014 dalam Hua, 2019: 2). Pada anak perbedaan ukuran lebih lanjut terbukti karena saluran pencernaan berkembang ( Woody dkk., 1989 ; Jannin dkk., 2014 dalam Hua, 2019: 2). Umumnya, lingkungan rektum relatif konstan dan statis dibandingkan dengan bagian saluran cerna lain ( Jannin dkk., 2014 dalam Hua, 2019: 3). Rektum memiliki volume cairan rata-rata 1–3 ml dan pH netral 7–8, dengan kapasitas buffering minimal ( Evans et al., 1988 ; Jannin et al., 2014; Nunes dkk, 2014; Purohit dkk., 2018 dalam Hua, 2019: 3). Ada laporan yang saling bertentangan tentang pH rektal pada anak-anak (Jantzen dkk., 1989 dalam Hua, 2019: 3). Rata-rata pH rektal dilaporkan 9,6. Namun, ada yang melebar kisaran nilai pH rektal (pH 7,2-12,1). Alasan perbedaan hasil ini mungkin karena perbedaan fisiologis atau teknis dalam penelitian. Namun tetap harus dipertimbangkan saat mengembangkan atau mengevaluasi bentuk sediaan rektal untuk pasien anak, karena mungkin terjadi mempengaruhi partisi dan absorpsi obat (Hua, 2019: 3).



5



B. Sediaan Rektal Bentuk sediaan rektal umumnya tidak mahal untuk diproduksi dan juga dapat diberikan sendiri oleh pasien tanpa memerlukan orang yang terlatih secara medis dibandingkan dengan sediaan parenteral misalnya, suntikan intramuskular dan intravena (Turner dkk., 2012; dalam Hua, 2019: 1). Sediaan perektal merupakan obat yang pemberiannya melalui rektum. Rektum adalah sebuah ruangan dari saluran pencernaan pada manusia yang berawal dari usus besar (setelah kolon sigmoid) dan yang berakhir di anus (Marcory et al., 2015). Dalam Pramesti, et al., (2017) bahwa obat rektal adalah obat yang digunakan untuk pengobatan kecil atau keadaan-keadaan yang dibutuhkan, seperti: 1. Penderita dalam keadaan muntah atau terdapat gangguan saluran cerna 2. Bila terdapat kemungkinan zat aktif rusak oleh getah lambung yang asam atau oleh enzim usus. 3. Bila zat aktif mengalami kerusakan pada perlintasan pertama melalui hati. Mekanisme biofarmasetika sediaan rektal: -



Absorbsi obat setelah pemberian rektal dapat bervariasi, tergantung pada penempatan suppositoria atau larutan obat di dalam rektum.



-



Sebagian dari obat dapat diabsorbsi melalui vena hemoroid bawah, dimana obat langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik, beberapa obat dapat diabsorbsi melalui vena hemoroid superior, yang masuk ke dalam vena mesenterika pada pembuluh hati dimetabolisme sebelum darah portal ke hati, dan absorbsi sistemik.



Keuntungan pemberian obat melalui rektal: a. Bentuk sediaan relatif besar dapat ditampung dalam rektum b. Rute rektal aman dan nyaman bagi pasien usia lanjut dan muda c. Terapi dapat dengan mudah dihentikan d. First-pass elimination obat oleh hati dihindari sebagian (Marcory et al., 2015).



6



Kerugian pemberian obat melalui rektal a. Tidak menyenangkan b. Absorbsi obat tidak teratur c. Dosis dan posisi absorbsinya dapat menimbulkan peradangan apabila digunakan secara terus menerus (Marcory et al., 2015).



C. Rute Sediaan Rektal Rute sediaan rektal merupakan alternatif praktis dan dapat digunakan untuk memberikan obat untuk tindakan lokal dan sistemik. Rute sediaan rektal dapat digunakan secara klinis untuk memberi berbagai terapi untuk pengobatan lokal dan kondisi sistemik. Ini termasuk pengobatan lokal untuk sembelit, wasir, fisura anus, peradangan, dan hiperkalemia. Formulasi rektal untuk pemberian obat sistemik digunakan secara klinis untuk pengobatan nyeri, demam, mual dan muntah, migrain, alergi, dan sedasi. Formulasi rektal ini didasarkan pada bentuk sediaan konvensional, seperti supositoria, enema, dan biasanya digunakan untuk terapi jangka pendek (Hua, 2019: 1). Namun, secara umum pemberian rute rektal tidak disukai oleh pasien karena masalah ketidaknyamanan dan kebocoran ( de Boer dkk., 1982 ; De Boer dkk., 1984; Jannin dkk., 2014; Nunes dkk., 2014 dalam Hua, 2019: 2). Faktor-faktor lain seperti: kurangnya obat yang secara klinis tersedia dalam bentuk rektal, kurangnya kondisi klinis yang diobati dengan formulasi obat rektal, dan kurangnya studi ketersediaan hayati yang komprehensif pada manusia (Jannin dkk, 2014 dalam Hua, 2019: 2). Pengembangan lebih lanjut dan optimalisasi formulasi obat rektal telah menyebabkan peningkatan ketersediaan obat (secara lokal dan sistemik), retensi formulasi, dan kinetika pelepasan obat (misalnya, pelepasan cepat atau terkontrol). Obat yang diabsorbsi melalui rektal beredar dalam darah tidak melalui hati dahulu hingga tidak mengalami detoksikasi atau biotransformasi yang mengakibatkan obat terhindar dari tidak aktif. Penyerapan di rektum dapat terjadi dengan 3 cara, yaitu: a. Lewat pembuluh darah secara langsung



7



b. Lewat pembuluh getah bening c. Lewat pembuluh darah secara tidak langsung melalui hati Lingkungan fisiologis dalam saluran cerna juga dapat mempengaruhi kestabilan, kelarutan, dan daya tahan obat, termasuk pH lambung bersifat asam, waktu transit saluran cerna, lendir saluran cerna, dan metabolisme melalui degradasi enzimatis atau mikroba (Martinez dan Amidon, 2002; Homayun dkk., 2019; Shreya dkk., 2018 dalam Hua, 2019: 3). Selain itu, pemberian obat oral dapat menjadi tantangan karena fisiologi saluran pencernaan manusia dapat menunjukkan variabilitas intra-individu dan antar-individu ( Martinez dan Amidon, 2002 dalam Hua, 2019: 3). Oleh karena itu, pemberian jalur oral kurang menarik untuk obat yang secara signifikan dipengaruhi oleh kondisi ini. Rute rektal pemberian obat dapat berguna untuk obat yang memiliki stabilitas, kelarutan, atau permeabilitas yang buruk setelah pemberian oral. Rute ini juga dapat digunakan ketika konsumsi oral dilarang misalnya, pada pasien yang mengalami mual dan muntah, ketika pasien tidak sadar, atau untuk pasien yang mengalami kesulitan menelan (misalnya, pasien pediatrik dan geriatri). Meskipun luas permukaan rektum jauh lebih kecil dari pada usus halus, lingkungan di rektum kosong dianggap relatif konstan dan stabil (Jannin dkk., 2014 dalam Hua, 2019: 3). Rute ini dapat mendukung proses penyerapan yang dapat direproduksi dan memiliki aktivitas enzimatik yang rendah dibandingkan dengan bagian lain dari saluran pencernaan. Selain itu, obat-obatan dapat melewati sebagian hati setelah absorpsi sistemik, yang mengurangi efek jalur pertama hati. Oleh karena itu, formulasi obat rektal dapat berguna untuk obat-obatan yang menjalani metabolisme jalur pertama hati yang tinggi, memiliki daya serap terbatas di saluran cerna bagian atas, mudah terdegradasi atau tidak stabil di saluran pencernaan, menyebabkan iritasi pada mukosa lambung, tidak dapat dengan mudah diformulasikan untuk rute pemberian lain, dan memiliki tindakan terlokalisasi di rektum atau usus besar distal ( de Boer dkk., 1982; De Boer dkk., 1984; Jannin dkk., 2014 ; Nunes dkk., 2014 dalam Hua, 2019: 3).



8



D. Contoh Obat Sediaan Rektal Berikut merupakan beberapa contoh sediaan dalam bentu rektal:



9



E. Biofarmasi Sediaan Rektal Absorpsi obat pada pemberian rektal ditentukan oleh kombinasi faktor terkait formulasi, faktor terkait obat, dan faktor terkait fisiologi. Absorbsi obat yang berkaitan dengan formulasi misalnya obat rektal dalam bentuk sediaan cair yang mengandung obat dalam larutan (mis. Enema) memiliki laju absorpsi yang lebih cepat dibandingkan dengan sediaan padat (mis. Supositoria dan tablet) yang memerlukan disintegrasi, pencairan, pelarutan. Selanjutnya formulasi untuk melepaskan obat, partikel-partikel obat yang tersuspensi kemudian perlu dilarutkan dalam cairan luminal sebelum penyerapan dapat terjadi. Perlu dicatat bahwa laju pelepasan obat dari formulasi akan bergantung pada koefisien partisi obat antara zat pembawa dan cairan rektal berair ( Nunes dkk., 2014 dalam Hua, 2019: 4). Misalnya, obat dengan koefisien partisi yang tinggi akan lebih bersifat lipofilik. Hal ini dapat menyebabkan pelepasan obat secara lambat dari formulasi yang memiliki basa lemak dibanding dengan basa hidrofilik yang lebih banyak, yang dapat menghasilkan efek pelepasan yang lebih berkelanjutan. Oleh karena itu, laju absorpsi obat berbeda berdasarkan formulasi dan keadaan fisik obat dalam formulasi. Sifat fisikokimia obat juga akan mempengaruhi kemampuannya untuk diserap melalui rute rektal, yaitu seperti kelarutan, derajat ionisasi, koefisien partisi, dan ukuran partikel. Setelah pelepasan dari formulasi, kelarutan obat dalam cairan rektal akan menentukan konsentrasi maksimum yang tersedia untuk absorpsi dan juga akan membentuk gradien yang bergantung pada konsentrasi untuk penyerapan. Secara umum, kelarutan obat yang lebih tinggi dikaitkan dengan laju disolusi yang lebih cepat dan penyerapan yang lebih cepat. Pada pH rektum yang relatif netral, obat-obatan basa dengan konstanta disosiasi asam (pKa) pada kisaran fisiologis cenderung lebih mudah diserap, karena sebagian besar obat tersebut dalam bentuk nonionisasi. Selanjutnya memiliki keseimbangan optimal antara hidrofilisitas dan lipofilisitas penting untuk pemberian obat rektal yang efektif. Idealnya,



10



obat harus memiliki sifat hidrofilik yang memadai agar dapat larut dalam cairan rektal dan cukup lipofilik untuk melewati epitel. Banyak obat yang memiliki masalah kelarutan yang signifikan dalam air, berbagai teknik diteliti untuk meningkatkan kelarutannya. Ini termasuk pengurangan ukuran partikel, pembentukan garam, penggunaan surfaktan, dan enkapsulasi menjadi formulasi nanopartikulat ( Savjani dkk., 2012 dalam Hua, 2019: 4). Khususnya, distribusi ukuran partikel bahan aktif dan eksipien merupakan karakteristik fisik penting dari formulasi yang memiliki pengaruh kuat pada kecepatan disolusi dan absorpsi obat ( Savjani dkk., 2012; Sandri dkk., 2014 dalam Hua, 2019: 4). Pada partikel yang lebih kecil cenderung memiliki laju disolusi lebih tinggi karena rasio luas permukaan terhadap volume yang lebih besar. Oleh karena itu, peluang yang lebih baik untuk penyerapan obat yang lebih cepat. Luas permukaan yang lebih besar memungkinkan interaksi yang lebih besar dengan pelarut, sehingga meningkatkan kelarutannya. Perlu dicatat bahwa ukuran partikel memiliki pengaruh yang kecil pada obat-obatan yang mudah larut dalam air. Namun, partikel dalam kisaran ukuran 50–100 µm dianggap ideal, karena dapat meminimalkan aglomerasi dan sedimentasi ( Sandri dkk., 2014 dalam Hua, 2019: 4).



F. Faktor Fisiologis yang Mempengaruhi Pemberian Sediaan Rektal Pemberian sediaan rektal dapat memberikan tingkat lokal dan sistemik yang signifikan untuk berbagai obat, meski luas permukaan mukosa rektal relatif kecil. Namun, cara pemberian rektal dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor fisiologis yaitu diantaranya: 1. Pertimbangan anatomi Saat mengembangkan sediaan rektal untuk kelompok usia yang berbeda, penting untuk mempertimbangkan perbedaan ukuran anatomi antara rektum orang dewasa dan anak-anak ( Jannin dkk., 2014 ; Linakis dkk., 2016 dalam Hua, 2019: 4). Setiap formulasi baru harus dievaluasi untuk ketersediaan hayati, kemanjuran, dan keamanan dalam populasi



11



target. Selain itu, secara anatomis obat yang diberikan secara rektal lebih mudah mencapai kolon distal daripada kolon proksimal. Obat yang diberikan dengan cara ini biasanya diformulasikan dalam bentuk sediaan padat (mis. Supositoria) atau dalam bentuk sediaan cair/semi cair (mis. Enema dan busa). Secara umum, busa dan supositoria tertahan terutama di rektum dan kolon sigmoid, sedangkan pada larutan enema memiliki kapasitas penyebaran lebih besar ( vanHoogdalemet al., 1991 ; Brown et al., 1997 ; Loew dan Siegel, 2012 dalam Hua, 2019: 5). Enema dapat menyebar ke area yang terletak di antara rektum dan fleksura lien, yang merupakan lekukan tajam antara kolon transversal dan kolon desendens ( van Hoogdalem dkk., 1991 ; Brown et al., 1997 dalam Hua, 2019: 5). Oleh karena itu, pemberian obat secara rektal untuk tindakan lokal mungkin lebih cocok untuk kondisi yang mempengaruhi bagian distal usus besar, seperti proctitis (radang selaput rektum), wasir, dan kolitis distal. 2. Penyerapan obat Penyerapan obat di rektum mepengaruhi jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik. Secara umum, penyerapan obat di bagian atas rektum diangkut ke hati melalui sistem portal dan dengan demikian mengalami metabolisme lintasan pertama, sedangkan penyerapan obat di rektum bawah diangkut langsung ke sirkulasi sistemik ( de Boer dkk., 1982 ; De Boer dkk., 1984; Dujovny dkk., 2004; Nunes dkk., 2014; Purohit dkk., 2018 dalam Hua, 2019: 5). Perbedaan anatomis pada vena rektum antara individu juga dapat secara signifikan mempengaruhi jumlah obat yang diserap dalam sirkulasi sistemik ( de Boer dkk., 1982; De Boer dkk., 1984; van Hoogdalem dkk., 1991 dalam Hua, 2019: 5). Selain itu, meski penyerapan sistemik tidak dapat sepenuhnya dihindari pada pemberian rektal, membatasi jumlah obat yang diserap secara sistemik sangat ideal untuk pengobatan patologi lokal.



12



3. Retensi formulasi Agar penyerapan obat lokal atau sistemik terjadi, formulasi perlu disimpan di rektum dalam jangka waktu memadai. Namun, formulasi rektal, terutama bentuk sediaan konvensional, dapat bermasalah dengan kebocoran, retensi, dan kembung (Allen dkk, 2011 dalam Hua, 2019: 5). Waktu kontak obat dengan mukosa rektal penting untuk penyerapan, karena ini akan mempengaruhi ketersediaan hayati dan kemanjurannya. Agar absorpsi terjadi, obat harus mampu menembus lapisan mukus untuk mencapai sel epitel yang melapisi rektum. 4. Volume cairan dan pH Volume cairan kecil di rektum dan kolon distal dapat mempengaruhi pemberian obat rektal. Seperti disebutkan sebelumnya pH dalam rektum biasanya dianggap netral, yang mendukung penyerapan obat dengan nilai pKa dekat atau di atas kisaran fisiologis ( Allen dkk., 2011; Jannin dkk., 2014; Nunes dkk., 2014; Purohit dkk., 2018 dalam Hua, 2019: 5). Perubahan pH pada rektal dapat mempengaruhi penyerapan obat dengan mengubah keadaan ionisasi obat. Pada cairan rektal memiliki kapasitas buffer yang rendah, yang berarti pemberian produk eksternal dapat secara signifikan mengubah pH dalam rektum (Evans et al., 1988; Jannin dkk., 2014; Nunes dkk., 2014; Purohit dkk., 2018 dalam Hua, 2019: 5). Variasi pH dapat berdampak pada penyerapan obat serta menyebabkan iritasi atau kerusakan pada mukosa rektal (Allen dkk., 2011; Nunes dkk., 2014 dalam Hua, 2019: 5). Faktor-faktor ini harus diperhitungkan selama desain formulasi untuk memastikan pemberian obat rektal yang efisien. 5. Viskositas rektal dan pergerakan usus Adanya feses dalam rektum mempengaruhi viskositas isi rektal yang selanjutnya dapat mempengaruhi pelarutan obat, stabilitas obat serta kontak obat dengan dinding mukosa untuk absorpsi (de Boer dkk., 1982; van Hoogdalem dkk., 1991; Nunes dkk., 2014 dalam Hua, 2019: 5). Faktor-faktor ini dapat menyebabkan absorpsi obat tidak teratur dan



13



interaksi obat non-spesifik dengan feses dan lendir. Pengeluaran obat secara dini (buang air besar), juga akan mempengaruhi konsentrasi yang tersedia untuk menjalani absorpsi pasif. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan waktu pemberian dosis (Sathyan dkk., 2000 dalam Hua, 2019: 5). Frekuensi buang air besar sangat bervariasi. Misalnya, waktu transit kolon dapat bervariasi secara signifikan di dalam dan di antara individu, dengan rentang dari 6 – 70 jam dilaporkan ( Coupe dkk., 1991 ; Rao dkk., 2004 dalam Hua, 2019: 5). Selain itu, peningkatan motilitas kolon pada diare dapat menyebabkan berkurangnya retensi bentuk sediaan rektal dan pelepasan obat yang tidak lengkap (de Boer dkk., 1982; van Hoogdalem dkk., 1991; Nunes dkk., 2014 dalam Hua, 2019: 5).



G. Faktor Patofisiologi yang Mempengaruhi Pemberian Obat Rektal Kondisi patologis dapat mempengaruhi keefektifan obat yang diberikan secara rektal. Ini termasuk penyakit kolorektal seperti penyakit radang usus (IBD), sindrom iritasi usus besar (IBS), wasir, fisura anus, inkontinensia usus, dan infeksi saluran cerna akut. Variasi jumlah obat yang diserap dapat terjadi dengan perubahan integritas jaringan, peradangan mukosa, dan motilitas usus. Kondisi yang dapat mempengaruhi integritas dan kualitas penghalang mukosa rektal (misalnya, trauma lokal, fisura anus, dan wasir pecah) dapat menyebabkan peningkatan penyerapan obat yang sulit untuk diprediksi serta menyakitkan untuk diberikan ( Reinus dan Simon, 2014 dalam Hua, 2019: 6). Demikian pula, peradangan mukosa dapat meningkatkan permeabilitas epitel, oleh karena itu meningkatkan jumlah obat yang diserap di seluruh mukosa kolorektal. Misalnya, peradangan mukosa pada IBD menyebabkan perubahan patofisiologis, termasuk gangguan penghalang usus karena adanya perubahan permukaan mukosa, ulkus, dan distorsi kriptus, serta infiltrasi sel imun (misalnya makrofag, limfosit, neutrofil, dan sel dendritik). Penyakit yang mengubah motilitas saluran cerna juga dapat mempengaruhi



14



keefektifan obat yang diberikan secara rektal dengan mempengaruhi retensi, interaksi mukosa, dan waktu yang tersedia untuk disintegrasi, disolusi, dan absorpsi obat. Misal, diare dapat terjadi pada banyak infeksi saluran cerna akut ( Grover dkk., 2008 ; Albenberg dan Wu, 2014 dalam Hua, 2019: 6), dalam inkontinensia usus (misalnya, dari kerusakan otot atau saraf), dan dalam kondisi kronis seperti IBD ( Hua dkk., 2015 dalam Hua, 2019: 6). Demikian pula, obat yang mengubah motilitas gastrointestinal juga dapat mempengaruhi pemberian obat rektal (Watts dkk., 1992; Brunton dkk. 2018 dalam Hua, 2019: 6). Ini termasuk obat yang dapat menyebabkan sembelit (misalnya, opioid, agen antikolinergik, agen antidiare, antasida yang mengandung aluminium atau kalsium, suplemen zat besi/kalsium, diuretik, verapamil, dan klonidin) dan obat-obatan yang dapat menyebabkan diare (misalnya, pencahar, antibiotik, kolkisin).



H. Bentuk Sediaan Rektal 1. Obat rektal konvensional Bentuk sediaan rektal konvensional dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu: sediaan cair (Enema), sediaan padat (Supositoria, kapsul, dan tablet), dan sediaan setengah padat (Gel, busa, dan krim). Sifat fisikokimia obat (misal berat molekul, kelarutan, pKa, stabilitas) dan kecepatan absorpsi yang diperlukan adalah faktor penting untuk menentukan formulasi yang akan digunakan (Jannin dkk., 2014 dalam Hua, 2019: 6). Untuk sediaan padat, disintegrasi, likuifaksi, dan disolusi diperlukan sebelum absorpsi obat ke dalam mukosa dapat terjadi. Oleh karena itu, penyerapan biasanya lebih lambat dari bentuk sediaan padat dibandingkan sediaan cair (Jannin dkk., 2014; Purohit dkk., 2018 dalam Hua, 2019: 6). Berikut merupakan bentuk sediaan rektal konvensional: a. Bentuk Sediaan Cair Enema adalah bentuk sediaan cair utama untuk pemberian obat rektal, mengandung obat dalam larutan, suspensi, atau emulsi yang biasanya diberikan dari botol plastik sekali pakai dengan ujung yang



15



diperpanjang untuk penyisipan rektal. Karakteristik kelarutan obat dan zat terlarut tambahan harus dipertimbangkan selama formulasi farmasi, terutama untuk larutan (Allen dkk., 2011 dalam Hua, 2019: 6). Enema terutama digunakan untuk mengantarkan obat untuk pengobatan kejang akut, IBD, sembelit, dan sebagai persiapan usus untuk diagnosis gastrointestinal atau prosedur bedah b. Bentuk Sediaan Padat Supositoria merupakan bentuk dosis rektal yang paling umum digunakan secara klinis, dimana termasuk dalam bentuk dosis padat yang mengandung obat-obat yang terdispersi atau dilarutkan dalam basa yang sesuai (Allen dkk., 2011 dalam Hua, 2019: 7). Obat biasanya dicampur dengan eksipien supositoria selama pembuatan untuk membentuk sistem yang homogen. Supositoria umumnya terdiri dari basa lipofilik (misalnya, mentega kakao, minyak kelapa, minyak nabati terhidrogenasi, dan lemak keras) atau basa hidrofilik (misalnya gelatin gliserin dan polietilen glikol) (Allen dkk., 2011; Jannin dkk., 2014; Ham dan Buckheit, 2017 dalam Hua, 2019: 7). Basa lipofilik tidak bercampur dengan cairan tubuh dan meleleh kembali pada suhu tubuh untuk melepaskan obat pada permukaan mukosa sedangkan basa hidrofilik perlu larut dalam cairan fisiologis untuk pelepasan obat (Allen dkk., 2011; Jannin dkk., 2014; Ham dan Buckheit, 2017 dalam Hua, 2019: 7). c. Bentuk Sediaan Semi Padat Gel dan busa adalah bentuk sediaan semi padat yang paling umum digunakan untuk pemberian obat rektal. Formulasi ini umumnya membutuhkan penggunaan aplikator yang harus diisi dahulu dengan formulasi obat sebelum pemberian dosis (Allen dkk., 2011 dalam Hua, 2019: 7-8). Gel rektal merupakan formulasi semi padat yang mengandung pelarut yang terperangkap dalam jaringan polimer untuk menciptakan konsistensi kental. Viskositas gel dimodifikasi dengan penambahan pelarut pendamping (misalnya seperti gliserin



16



dan propilen glikol) dan elektrolit (Allen dkk., 2011; Nunes dkk., 2014 dalam Hua, 2019: 7-8), yang mudah dan murah diproduksi, namun mengalami masalah stabilitas, kebocoran, dan kekacauan saat administrasi. Penyebaran formulasi gel rektal sangat tergantung pada sifat-sifat seperti mukoadhesion dan viskositas (Allen dkk., 2011; Nunes dkk., 2014 dalam Hua, 2019: 7-8). Sifat-sifat ini juga mempengaruhi tempat pemberian obat dan fraksi yang mengalami metabolisme lintasan pertama di hati. Busa umumnya dianggap sebagai bentuk sediaan koloid, dengan fase kontinu cairan hidrofilik yang mengandung zat berbusa dan fase dispersi gas yang didistribusikan ke seluruh (Allen dkk., 2011 dalam Hua, 2019: 7-8). Setelah pemberian rektal, mereka bertransisi dari keadaan berbusa ke keadaan cair atau semi padat pada permukaan mukosa. Strukturnya dipengaruhi oleh parameter seperti konsentrasi dan sifat bahan pembusa, pH dan suhu sistem, dan viskositas fasa cair (Arzhavitina dan Steckel, 2010 dalam Hua, 2019: 7-8). Agen berbusa adalah zat amfifilik yang penting untuk pembentukan dan stabilisasi busa. Keuntungan busa untuk pemberian obat rektal termasuk pemberian yang mudah dengan ketidaknyamanan dan kebocoran yang minimal. Terlepas dari kelebihan ini, tidak banyak formulasi busa rektal yang tersedia secara komersial. Hal ini sebagian disebabkan oleh masalah stabilisasi busa, keakuratan dosis yang diberikan, dan penyerapan obat yang tidak teratur (Arzhavitina dan Steckel, 2010 dalam Hua, 2019: 7-8). 2. Obat rektal nanopartikulasi Bentuk sediaan rektal nanopartikulat berbeda dari bentuk sediaan rektal konvensional dengan membungkus atau memuat obat ke dalam nanopartikel sebelum dispersi dalam basa formulasi (misalnya, gel, supositoria, dan enema). Dari perspektif farmasi, dapat memungkinkan kemampuan untuk meningkatkan kelarutan dalam senyawa hidrofobik, memodifikasi kinetika pelepasan obat (misalnya, pelepasan terkontrol



17



atau pelepasan berkelanjutan), dan melindungi senyawa yang sensitif terhadap degradasi. Dari sisi biologis, keuntungannya : -



Meningkatkan serapan seluler ke dalam jaringan dan sel mukosa



-



Meningkatkan akumulasi ke lokasi penyakit mukosa (misalnya, jaringan yang meradang)



-



Memperpanjang waktu tinggal dienkapsulasi senyawa (bahkan ketika motilitas kolon meningkat pada diare)



-



Memungkinkan transportasi lebih mudah di saluran pencernaan untuk memberikan distribusi yang lebih seragam dan pelepasan obat dalam daerah kolorektal Berikut merupakan bentuk sediaan obat rektal dalam bentuk sediaan



nanopartikulasi: 1. Bentuk Sediaan Cair Nanopartikulasi Bentuk sediaan cair biasanya digunakan dalam studi awal untuk mengevaluasi potensi sistem nanopartikulat untuk pengiriman obat rektal. Sebagai contoh evaluasi efek kimia permukaan pada interaksi dan distribusi nanopartikel di saluran pencernaan setelah pemberian oral dan rektal pada tikus sehat dan model tikus kolitis ulserativa. Studi tersebut menunjukkan nanopartikel yang dilapisi dengan polietilen glikol (PEG) dari semua ukuran dapat didistribusikan secara efisien ke lebih banyak permukaan jaringan kolorektal pada tikus sehat dan mencit dengan kolitis yang diinduksi TNBS, yang kemungkinan akan memberikan peningkatan pengiriman obat untuk keduanya. aplikasi lokal dan sistemik. Basa cair pada pH fisiologis dan osmolalitas biasanya digunakan untuk pemberian obat rektal. Enema berbasis natrium hipotonik terbukti menjadi dasar formulasi cairan ideal untuk meningkatkan distribusi nanopartikel polistiren PEG (ukuran partikel rata-rata 60 dan 230 nm) pada permukaan epitel kolorektal dibandingkan dengan enema isotonik dan hipertonik dan enema berbasis kalium.



18



2. Bentuk Sediaan Padat Nanopartikulasi Penelitian mengembangkan nanopartikel lipid padat (SLN) yang mengandung obat yang tidak dapat larut dalam air, diazepam, untuk memberikan onset aksi yang cepat dan juga pelepasan obat yang berkepanjangan untuk potensi manajemen akut kejang parah. Hasil penelitian menunjukkan variasi konsentrasi atau jenis matriks lipid atau surfaktan mempengaruhi ukuran partikel, efisiensi penjeratan, dan profil pelepasan nanopartikel. Mikroskopi elektron transmisi dan studi difraktometri laser mengungkapkan 60% dari formulasi memiliki ukuran partikel kurang dari 500 nm. Nanopartikel secara efektif dimasukkan dalam supositoria yang terdiri dari lemak keras. Studi in vitro menunjukkan pelepasan obat yang secara signifikan berkepanjangan dari supositoria mengandung SLN dibandingkan dengan supositoria yang mengandung obat bebas (kontrol). 3. Bentuk Sediaan Semi-Padat Nanopartikulasi Mengembangkan formulasi rektal irinotecanuntuk pengobatan lokal kanker rektal. Bentuk dosis nanopartikulat ini terdiri dari SLN terenkapsulasi irinotekan termosensitif (ukuran partikel rata-rata 190 nm) yang didispersikan dalam larutan poloksamer termosensitif untuk menciptakan sistem nanocarrier termosensitif terbalik ganda (DRTN). Oleh karena itu, transisi basa formulasi dari cairan ke keadaan gel setelah pemberian rektal, sedangkan SLN terdiri dari lipid yang padat pada suhu 25°C dan meleleh pada suhu tubuh. Bentuk sediaan DRTN menunjukkan pelepasan obat berkelanjutan dengan efek ledakan minimal dan konsentrasi irinotecan plasma yang relatif konstan pada 1-3 jam pada tikus sehat. Menariknya, evaluasi in vivo yang dilakukan pada tikus telanjang athymic tumor xenograft menunjukkan penurunan yang signifikan dalam volume tumor dengan DRTN dan hidrogel kontrol (irinotecan dalam basis termosensitif) dibandingkan dengan larutan irinotecan intravena.



19



I. Formulasi Uji Klinis Sediaan Rektal Berikut merupakan sediaan rektal dalam uji klinis:



20



Pemberian rute rektal memiliki keuntungan yang signifikan untuk pemberian obat lokal dan sistemik. Namun, secara umum ada kekurangan penelitian di bidang formulasi obat. Secara khusus, ada kebutuhan untuk studi komprehensif tentang interaksi biologis pemberian obat rektal pada orang dewasa dan anak-anak, serta inovasi berkelanjutan dalam formulasi obat rektal. Dari perspektif biologis, harus ada analisis yang komprehensif terhadap in vivo nasib dan interaksi obat yang diberikan dalam bentuk sediaan rektal yang sudah ada dan yang baru dengan darah, jaringan, sel, dan kompartemen intraseluler baik dalam maupun luar. Hal ini termasuk farmakokinetik, stabilitas, permeabilitas, khasiat, dan keamanan formulasi. Perhatian juga harus diberikan pada kinerja bentuk sediaan ini dalam sifat heterogen lingkungan gastrointestinal manusia (Hua, 2019: 12-13 ). Untuk platform inovatif seperti nanopartikel, keamanan pembawa yang mengikuti penyerapan perlu dieksplorasi lebih lanjut, termasuk toksisitas akut dan kronis. Karena itu, evaluasi in vivo pada platform inovatif harus dibandingkan dengan formulasi kontrol yang tepat untuk memberikan data yang berarti tentang pengaruh obat, pembawa, atau dasar formulasi untuk pemberian obat rektal yang efektif (Hua, 2019: 12-13). Selain itu, evaluasi dari banyak formulasi sediaan rektal telah dibatasi in vitro ( misal pelepasan obat dan serapan seluler) atau ex vivo ( misanya pemeriksaan mukoadhesion). Oleh karena itu, kehati-hatian harus dilakukan saat menafsirkan data, karena efek yang sama pada hewan atau manusia tidak dapat dijamin. Penggunaan hewan pengerat untuk studi in vivo juga dapat memiliki keterbatasan untuk memeriksa pemberian obat rektal untuk penggunaan klinis. Misalnya, anatomi dan fisiologi hewan pengerat dapat mempengaruhi distribusi bentuk sediaan serta jumlah formulasi yang dapat diberikan secara rektal. Bagi manusia, hewan pengerat cenderung lebih sering buang air besar, buang air besar lebih intens, dan perputaran lendir di rektum lebih cepat. Faktor-faktor ini harus diperhitungkan saat mendesain studi in vivo (Hua, 2019: 12-13).



21



BAB III PENUTUP



A. Kesimpulan Rute rektal untuk pemberian obat masih relatif kurang dimanfaatkan meskipun memiliki kelebihan. Meskipun jalur oral adalah jalur yang paling nyaman dan disukai untuk pemberian obat, ada sejumlah keadaan dimana hal ini tidak mungkin baik dari perspektif klinis atau farmasi. Dalam kasus ini, rute rektal mungkin merupakan alternatif praktis dan dapat digunakan untuk memberikan obat untuk tindakan lokal dan sistemik. Inovasi berkelanjutan dalam formulasi obat rektal dan studi komprehensif yaitu tentang interaksi biologis pemberian obat rektal diperlukan untuk sepenuhnya memanfaatkan potensi rute ini untuk mengobati penyakit sistemik dan lokal.



22



DAFTAR PUSTAKA



Hua, S. 2019. Phisiological and Pharmaceutical Considerations for Rectal Drug Formulations. Frontiers in Pharmacology. Vol. 10 (1196): 1 – 16. doi: 10.3389/fphar.2019.01196 Marcory, T. et al., 2015. Sediaan Biofarmasetika Pemberian Obat Secara Rektal dengan Efek Sistemik. Diakses pada 15 Mei 2021, sumber: https://www.slideshare.net/Ryecory/presentation1-49340574 Pramesti, A. et al., 2017. Sediaan Rektal. Program Studi S-1 Farmasi. Kudus: STIKES Cendekia Utama Kudus



23