Makalah - Kelompok 5 - PPBK - Konsep Objektivitas Praktis Norma Dan Penentuan Norma [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENGUKURAN DAN PENILAIAN DALAM BK KONSEP OBJEKTIVITAS, NORMA, PRAKTIS DAN PENENTUAN NORMA



Dosen Pembina Mata Kuliah Prof. Dr. Mudjiran, M. S. Kons Dr. Riska Ahmad, M. Pd. Kons Dr. Nurfahanah, M. Pd, Kons



OLEH KELOMPOK 5: Faris Abdurrahman (21151035) Fitria Umami



(21151012)



Hanifah Pratiwi



(21151013)



Lia Mita Syahri



(21151016)



Zuhrika



(21151032)



PASCA SARJARANA BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI PADANG 2021



KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, dan tak lupa pula shalawat dan salam kita hadiahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah kami ini. Makalah ini di susun dari berbagai sumber media massa yang berhubungan dengan mata kuliah Pengukuran Dan Penilaian Dalam Bk dan tak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah “Pengukuran Dan Penilaian Dalam Bk” atas bimbingan dan arahan dalam penyusunan makalah ini, dan juga telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Kami berharap, dengan menyusun makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua dan juga dapat menambah wawasan kita. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Kami juga mohon maaf apabila ada salah dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka kami mengharapkan kritik juga saran dari pembaca guna perbaikan yang lebih baik.



Padang, 27 September 2021



Anggota Kelompok 5



i



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR..............................................................................................



i



DAFTAR ISI.............................................................................................................



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................................



1



B. Rumusan Masalah .......................................................................................



1



C. Tujuan...........................................................................................................



1



Bab II PEMBAHASAN A. Konsep Objektivitas.....................................................................................



2



B. Konsep Norma..............................................................................................



5



C. Konsep Praktis .............................................................................................



7



D. Penentuan Norma ........................................................................................



9



Bab III PENUTUP A. Kesimpulan...................................................................................................



11



B. Saran .............................................................................................................



11



KEPUSTAKAAN.....................................................................................................



12



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan objektivitas seseorang diharuskan tidak melakukan penipuan atau terbuat bohong dalam menyusun, melaksanakan, menskor dan menginterpretasikan ujian. Seandainya suatu instrument diadministrasikan pada seseorang anak, dan kemudian di periksa oleh dua pemeriksa, maka anak tersebut tidak akan berbeda secara berarati. Suatu instrument diadministrasikan secara objektif, apabila instrument itu diberikan sesuai dengan manual atau patokan pengadministrasikan yang telah disediakan. Tidak ada bantuan yang diberikan, tidak ada kelonggoran, tidak ada pengadministrasikan adalah apa yang ada dan dibenarkan oleh petunjuk atau manual yang disediakan. Kemudian beberapa pegangan yang dapat dijadikan patokan suatu instrumen dikatakan praktis adalah biaya yang digunakan tidak terlalu tinggi, mudah diadministrasikan, mudak diskor, mudah diinterpretasikan, dan waktu yang akan dipakai tidak terlalu lama. Dan dalam asesment hasil belajar, penetapan norma atau patokan dalam menentukan nilai peserta didik sangat menentukan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang dikemukakan dalam makalah ini adalah: 1. Apa yang dimaksud dengan konsep objektivitas? 2. Apa yang dimaksud dengan konsep norma? 3. Apa yang dimakud dengan konsep praktis? 4. Apa yang dimaksud dengan penentuan norma? C. Tujuan Makalah Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan yang dikemukakan dalam makalah ini adalah: 1. Untuk mengetahui konsep objekivitas. 2. Untuk mengetahui konsep norma, dan 3. Untuk mengetahui konsep praktis. 4. Untuk mengetahui penentuan norma 1



BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Objektivitas Salah atu syarat atau ciri yang harus dimiliki oleh instrument adalah objektifitas. Menurut Asnelly Ilyas (2006) suatu instrument dikatakan objektif jika dalam melaksankannya tidak ada dipengaruhi oleh faktor subjektif, terutama penskorannya. Dalam kata lain seseorang tidak boleh



melakukan



dalam



penipuan,atau



berbohong dalam seluruh pelaksanaan tes. Menurut A. Muri Yusuf (2011) pertimbangan ketiga yang merupakan syarat dalam menyusun dan melaksanakan suatu instrument ialah objektifitas dengan segala manifestasinya. Dengan syarat ini sesorang diharuskan tidak melakukan penipuan atau berbuat bohong dalam menyusun, melaksanakan, menskor dan menginterpretasikan ujian. Objektivitas yang dimaksud dalam kualitas alat evaluasi berkaitan erat dengan ketetapan atau konsistensi pada sistem pemberian skor, khususnya dalam menilai hasil kerja seseorang. Dicontohkan misalnya seorang guru yang memeriksa hasil pekerjaan peserta didiknya dengan menggunakan tes uraian. Tes uraian jika tidak memiliki format penilaian per item (butir soal) rawan dengan kesalahan dalam memeriksa. Selain itu, beberapa faktor X yang mempengaruhi dalam penilaian ini, misalnya karena kedekatan, keleluargaan dan sebagainya, untuk itu, objektivitas perlu untuk dijaga dalam mengevaluasi, bahkan beberapa pendapat mengatakan bahwa objektivitas dan reliabilitas akan saling mempengaruhi dan saling menunjang satu sama lain. Sebuah tes dikatakan objektif apabila dilaksanakan dengan tidak ada faktor subjektif yang mempengaruhinya, terutama terkait dengan skoring yang dilakukan. dengan kata lain dapat diartikan bahwa objektivitas terkait dengan tingkat kesesuaian antar penilai. Untuk mendapatkan oyektivitas ini, para peneliti harus mampu menanggalkan subyektivisme, baik subyektivisme yang datang dari pihak peneliti, maupun subyektivisme yang datang dari sasaran penelitian. Agar objektivitas tersebut dapat diperoleh, maka para peneliti harus mampu menampilkan indikator atau alat ukur yang valid, dan sekaligus menggunakannnya. Dengan alat yang valid, yang tepat dan yang sesuai itu, maka peneliti akan terpandu ke arah perolehan hasil penelitian yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, atau paling tidak mendekati keadaan yang sebenarnya.



2



Dengan objektivitas seseorang diharuskan tidak melakukan penipuan atau berbuat bohong dalam menyusun, melaksanakan, menskor dan menginterpretasikan ujian. Seandainya suatu instrument diadministrasikan pada seorang anak, dan kemudian di periksa oleh dua orang pemeriksa, maka anak tersebut tidak akan berbeda secara berarti. Suatu instrument diadministrasikan secara objektif, apabila instrument itu diberikan sesuai dengan manual atau patokan pengadministrasian yang telah disediakan. Tidak ada bantuan yang diberikan, tidak ada kelonggaran, tidak ada diskriminasi diantara peserta ujian. Tidak ada anak sendiri, tidak ada anak si “anu”, semuanya adalah sama dimata tester. Pegangan dalam pengadministrasian adalah apa yang ada dan dibenarkan oleh petunjuk atau manual yang disediakan (Yusuf, 2011). Menurut Basuki & Hariyanto (2014), suatu tes dikatakan obejktif jika pendapat atau pertimbangan dari pemeriksa (scorer) tes tidak ikut berpengaruh dalam proses penentuan angka (grading) atau proses pemberian skor (scoring). Agar suatu tes dapat terjamin objektivitasnya dapat dilakukan antara lain: 1. Menurumuskan pertanyaan-pertanyaan tes secara spesifik dan tepat sehingga jawabannya cukup jelas dan tertentu. 2. Menghindari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat ambigu yang memungkinkan berbagai macam penafsiran. 3. Menyusun tes yang hanya memerlukan jawaban-jawaban pendek, tepat, atau spesifik dalam memeriksa hasil tes menggunakan kunci-kunci jawaban yang telah disediakan sebelumnya. 4. Dalam pemberian skor menggunakan kunci-kunci atau pedoman dalam pemberian angka (scoring key), yang telah ditentukan terlebih dahulu. 5. Berbeda dengan reliabilitas dan validitas yang dapat diukur, objektivitas tidak dapat diukur. Menurut Arikunto (2012), objektif berarti tidak adanya unsur pribadi yang mempengaruhi. Lawan objektif yaitu subjektif artinya terdapat unsur pribadi yang masuk mempengaruhi. Sebuah tes dikatakan memiliki objektivitas apabila dalam melaksanakan tes itu tidak ada faktor subjektif yang mempengaruhi. Apabila dikaitkan dengan reliabilitas, maka objektifitas menekankan pada ketetapan (consitency) pada sistem skoring. Ada dua faktor yang mempengaruhi subjektifitas sesuatu tes yaitu: 1. Bentuk Tes Tes yang berbentuk uraian akan memberi banyak kemungkinan kepada si penilai untuk memberikan penilaian menurut caranya sendiri. Dengan demikian hasil 3



dari seorang siswa yang mengerjakan soal-soal dari sebuah tes akan dapat berbeda apabila dinilai oleh dua orang penilai. Untuk mengatasinya dapat dengan membuat pedoman skoring terlebih dahulu. 2. Penilai Subjektivitas dari penialai akan dapat masuk secara agak leluasa terutama dalam tes bentuk uraian, faktor-faktor yang mempengaruhi subjektifitas antara lain: kesan penilai terhadap siswa, tulisan, bahasa, waktu mengadakan penilaian, kelelahan



dan



sebagainya. Untuk mengatasinya penilai dapat melakukan evaluasi yang terdiri dari: a. Evaluasi harus dilakukan secara kontinu (terus-menerus) b. Evaluasi harus dilakukan secara komprehensif (menyeluruh) Dengan objektivitas seseorang diharuskan tidak melakukan penipuan atau berbuat bohong dalam menyusun, melaksanakan, menskor dan menginterpretasikan ujian. Seandainya suatu instrument diadministrasikan pada seorang anak, dan kemudian di periksa oleh dua orang pemeriksa, maka anak tersebut tid akan berbeda secara bararti. Suatu instrument diadministrasikan secara objektif, apabila instrument itu diberikan sesuai dengan manual atau patokan pengadministrasian yang telah disediakan. Tidak ada bantuan yang diberikan, tidak ada kelonggaran, tidak ada diskriminasi diantara peserta ujian. Tidak ada anak sendiri, tidak ada anak si “anu”, semuanya adalah sama dimata tester. Pegangan dalam pengadministrasian adalah apa yang ada dan dibenarkan oleh petunjuk atau manual yang disediakan (Yusuf, 2011). Menurut Arikunto (2012), objektif berarti tidak adanya unsur pribadi yang mempengaruhi. Lawan objektif yaitu subjektif atrinya terdapat unsur pribadi yang masuk mempengaruhi. Sebuah tes dikatakan memiliki objektivitas apabila dalam melaksanakan tes itu tidak ada faktor subjektif yang mempengaruhi. Apabila dikaitkan dengan reliabilitas, maka objektifitas menekankan pada ketetapan (consitency) pada sistem skoring. Ada dua faktor yang mempengaruhi subjektifitas sesuatu tes yaitu: 1. Bentuk Tes Tes yang berbentuk uraian akan memberi banyak kemungkinan kepada si penilai untuk memberikan penilaian menurut caranya sendiri. Dengan demikian hasil dari seorang siswa yang mengerjakan soal-soal dari sebuah tes akan dapat berbeda apabila dinilai oleh dua orang penilai. Untuk mengatasinya dapat dengan membuat pedoman skoring terlebih dahulu.



4



2. Penilai Subjektivitas dari penialai akan dapat masuk secara agak leluasa terutama dalam tes bentuk uraian, faktor-faktor yang mempengaruhi subjektifitas antara lain: kesan penilai terhadap siswa, tulisan, bahsa, waktu mengadakan penilaian, kelelahan dan sebagainya. Untuk mengatasinya penilai dapat melakukan evaluasi yang terdiri dari: a. Evaluasi harus dilakukan secara kontinu (terus-menerus) b. Evaluasi harus dilakukan secara komprehensif (menyeluruh) B. Konsep Norma Menurut A. Muri Yusuf (2011) Assemen dan evaluasi pendidikan bukanlah semata suatu proses sistematis untuk mengumpulkan bukti-bukti (data dan informasi), tetapi juga melakukan “judgement” tentang sesuatu yang dinilai. Untuk mendapatkan informasi dan pengambilan keputusan yang tepat maka alat ukur yang baik haruslah mempunyai norma sebagai patokan sehingga akan memberikan kesimpulan yang tepat, baik terhadap latar belakang peserta didik, proses pendidikan, pendidik, maupun program pendidikan. Norma alat ukur ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai. Norma adalah satu set skor tes yang memberikan benchmark atas perbandingan ini. Contoh, banyak tes IQ memiliki nilai rata-rata 100; berdasarkan hal ini, memungkinkan untuk menentukan apakah seseorang berada di atas atau di bawah rata-rata. Untuk membangun norma, alat ukur tersebut harus diuji cobakan pada sampel yang sesuai dengan tujuan alat ukur tersebut. Tidak hanya jumlah sampelnya tapi pemilihan sampel juga harus dilakukan dengan hati-hati, termasuk gender, umur, etnis, dan geografi. Sebagai contoh, sebuah alat ukur yang mengukur sales profile, maka sebaiknya diujicobakan ke orang-orang sales dan bukan ke anak sekolah. Untuk memahami kinerja murid individu dalam tes, kinerjanya itu perlu dibandingkan dengan kinerja dari kelompok norma, yakni kelompok dari individu yang sama yang sebelumnya telah diberi ujian oleh penguji. 1. Norma Nasional Tes didasarkan pada norma nasional apabila kelompok norma terdiri dari representasi murid secara nasional. Selain norma nasional tes standar juga dapat mengandung norma kelompok spesial dan norma lokal. 2. Norma Kelompok Norma kelompok sepesial terdiri dari nilai tes untuk sub kelompok dari sampel nasional.



5



3. Norma Lokal Sedangkan norma lokal membandingkan kinerja murid dengan murid lain dari kelas yang sama. Jadi evaluasi kinerja tes murid mungkin akan berbeda-beda tergantung kepada norma kelompok yang dipakai. Norma alat ukur ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai. Misalnya untuk menilai inteligensi seseorang digunakan bermacam alat, seperti instrument Binet, Progressive Matrices dan Wechsler. Tiap instrument itu memiliki norma yang berbeda, walaupun sama-sama dapat digunakan menentukan inteligensi seseorang. Binet menggunakan perbandingan umur mental dengan umur kalender dan kemudian dikalikan 100, maka di dapatlah inteligensi anak-anak. Sedangkan Progressive Matrices menggunakan persentil sebagai acuan dan kemudian memperkirakan inteligensi seseorang. Wechsler, maupun Binet yang disempurnakan, menggunakan patokan Mean = 100 dan Standard Deviasi 16 dan 15 sebagai patokan dalam menentukan inteligensi seseorang. Dalam asesmen hasil belajar, penerapan norma atau patokan dalam menentukan nilai peserta didik sangat menentukan. Untuk itu dapat digunakan norma kelas/ kelompok dan dapat pula berupa norma tingkat pemahaman yang dikehendaki atau norma berdasarkan patokan (criterion referenced assessment). Mana diantara kedua patokan itu yang dipilih sangat ditentukan oleh tujuan proses pembelajaran dan berfungsi atau tidaknya komponenkomponen proses pembelajaran. sedangkan untuk evaluasi program pendidikan, petokannya telah ditentukan pada waktu menyusun perencanaan, yaitu



kriteria



keberhasilan suatu program dan instrumennya telah disusun berdasarkan program yang dikembangkan (Yusuf, 2011). Menurut Febru (2011) mengatakan bahwa ada dua macam penilaian sebagai berikut: 1. Penilaian Acuan Patokan Penilaian acuan patokan yang dikenal pula dengan sebutan standar mutlak, atau usaha menafsirkan hasil tes yang diperoleh siswa dengan membandingkannya dengan patokan yang telah ditetapkan. Sebelum hasil tes itu diperoleh bahkan sebelum kegiatan pembelajaran dilakukan, patokan yang akan dipergunakan



untuk



menentukan batas kelulusan itu telah ditetapkan. 2. Penilaian Acuan Norma Penilaian acuan norma dikenal pula dengan sebutan standar relative atau norma kelompok. Pendekatan penilaian ini menafsirkan hasil tes yang diperoleh siswa dengan membandingkannya dengan hasil tes siswa yang lain dalam kelompoknya. Alat pembanding tersebut yang dijadiikan standar kelulusan dan pemberian nilai 6



tertentu ditentukan berdasarkan skor yang diperoleh siswa dalam satu kelompok. Dengan demikian, berbeda halnya dengan PAP, dalam PAN standar kelulusan baru dapat ditentukan setelah diperoleh skor siswa. C. Konsep Praktis Beberapa pegangan yang dapt dijadikan patokan suatu instrument dikatakan praktis (Yusuf, 2011) adalah: 1. Biaya yang digunakan tidak terlalu tinggi Faktor biaya merupakan faktor yang tampaknya tidak penting tetapi perlu diperhatikan. Instrumentasi adalah sesuatu yang tidak mahal, namun kalau digunakan dengan cara yang tidak tepat akan mempengaruhi pelaksanaan instrument itu. Walaupun fasilitas yang dipakai tidak terlalu banyak, namun kalau jmlah peserta didik yang ikut ujian cukup besar, maka hal tu akan membawa pengaruh pada jumlah kertas yang dibutuhkan dan fasilitas lainnya. Sehubungan dengan itu akan lebih baik apabila dirancang suatu instrument yang dapat dipakai secara berulang-ulang sehingga akan menimbulkan penghemtan dalam biaya. Dilain pihak perlu pula mendapat perhatian, meskipun panjangnya instrument akan mempengaruhi jumlah waktu yang disediakan, namun tetap perlu dipertahankan sebab akan membantu dalam reliabilitas suatu intrumen. Instrument yang panjang cenderung reliable dibandingkan dengan isntrumen yang pendek. Dari segi teknis, biaya akan dapat ditekan dengan memisahkan lembaran soal dari lembaran jawaban, sehingga untuk penyelenggaraan instrument yang akan datang tidak perlu lagi menyediakan setiap kali lembaran soal, melainkan hanya memperbanyak lebaran jawaban saja. Di samping itu, pengaman soal sangat perlu diperhatikan lebih-lebih kalau instrument itu digunakan secara berulang. Pengaman itu merupakan hal yang sangat penting di samping validitas dan reliabilitas instrument. Faktor keamanan tersebut bahkan dapat mempengaruhi reliabilitas instrument secara mendasar dan menyeluruh. 2. Mudah diadministrasikan Suatu alat ukur yang baik ditandai oleh mudahnya alat itu diadministrasikan. Ini berarti: a.



Alat ukur itu mudah diberikan kepada peserta didik, dengan petunjuk yang jelas bagaimana cara mengerjakannya dan mudah dimengerti, sehingga pendidik tidak perlu lagi memberikan penjelasan-penjelasan.



7



b.



Alat ukur itu mudah dilaksanakan dan waktu yang disediakan cukup dibandingkan dengan tingkat kesukaran alat ukur itu.



c.



Mudah



dikumpulkan



kembali



setelah



waktu



yang



tersedia



untuk



mengerjakannya habis. 3. Mudah diskor Salah satu kesukaran yang sering ditemui dalam ujian-ujian di masa lampau adalah sulitnya instrument itu diskor, sehingga terdapat perbedaan dari beberapa orang pemeriksa yang memeriksa satu jawaban instrument yang sama atau bahkan terdapat perbedaan dari satu orang pemeriksa ulang satu instrument yang sama. Alat ukur dianggap baik apabila mudah diskor. Ini berarti: a.



Ada standar yang dapat digunakan sehingga hasilnya lebih homogen.



b.



Siapa saja yang memeriksa kertas jawaban ujian dalam waktu yang berlainan, skornya tidak akan berubah.



c.



Waktu yang digunakan untuk memeriksa ujian itu tidak terlalu lama.



d.



Pemeriksa ujian itu tidak perlu orang ahli betul dalam bidang yang dinilai. Dapat dilakukan orang lain atau menggunakan computer. Untuk memudahkan pekerjaan skoring biasanya dilakukan pemisahan antara



buku instrument dan lembaran jawabannya, sehingga praktis dan dapat diolah dengan cepat, baik dengan menggunakan mesin ataupun secara manual. 4. Mudah diinterpretasikan Skor yang di dapat sebagai hasil dari pengukuran belum mempunyai arti kalau skor itu tidak diterjemahkan atau diinterpretasikan. Untuk itu seorang pengajar hendaklah memiliki kemampuan tentang bagaimana menginterpretasikan ujian. Hal itu dapat dilakukan dengan bantuan statistic, sehingga angka-angka itu dapat di olah menjadi sesuatu yang berarti. 5. Waktu yang dipakai tepat dan tidak terlalu lama Insttrumen yang pengerjaannya memakan waktu terlalu lama akan membosankan dan sebaliknya instrument yang terlalu cepat juga merugikan, walaupun isntrumen itu mungkin power instrument atau speed instrument. Waktu yang disediakan untuk setiap instrument atau alat ukur lainnya hendaklah mempertimbangkan keadaan peserta didik maupun lingkungannya. Berikanlah waktu itu sesuai dengan tingkat kesukaran instrument yang diberikan, tetapi jangan terlalu lama. Di samping itu, berikanlah ujian itu pada waktu yang baik, atau tidak pada usara yang sangat panas atau di lingkungan yang sangat terganggu. 8



Menurut Arikunto (2012), sebuah tes dikatakan memiliki praktikabilitas yang tinggi apabila tes tersebut bersifat praktis, mudah pengadministrasiannya. Arikunto (2012) mengatakan tes yang praktis adalah tes yang: 1.



Mudah dilaksanakan, misalnya tidak menuntut paralatan yang banyak dan memberi kebebasan kepada siswa untuk mengerjakan terlebih dahulu bagian yang dianggap mudah oleh siswa.



2.



Mudah pemeriksaanya, artinya bahwa tes itu dilengkapai dengan kunci jawaban maupun pedoman skoringnya. Unsuk soal objektif, pemeriksaan akan lebih muda dilakukan jika dikerjakan oleh siswa dalam lembar jawaban.



3.



Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang jelas sehingga dapat diberikan/diawali oleh orang lain. Manurut Basuki & Hariyanto (2014), apabila sebuah tes bersifat praktis dan mudah



pengadministrasiannya maka dapat dikatakan bahwa tes tersebut memiliki praktibilitas yang tinggi. Tes yang baik harus bersifat praktis yang indikasinya: 1.



Dilengkapi petunjuk-petunjuk yang jelas



2.



Mudah pelaksanaannya



3.



Memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengerjakan soal yang dirara mudah dahulu



4.



Mudah pemeriksaaannya. Menurut Anas Sudijono (2009) bersifat praktis mengandung pengertian bahwa tes



tersebut dapat dilaksanakan dengan mudah, bersifat sederhana, lengkap, ekonomis. Yang dimaksud sederhana adalah tidak memerlukan peralatan yang banyak atau peralatan yang sulit pengadaannya, lengkap artinya tes tersebut telah dilengkapi dengan petunjuk mengenai cara mengerjakannya, kunci jawabannya dan pedoman skoring serta penentuan nilainnya. Bersifat ekonomis mengandung pengertian bahwa tes hasil belajar tersebut tidak memakan waktu yang panjang dan tidak memerlukan tenaga serta biaya yang banyak. D. Penentuan Norma 1. Norma Lokal Norma



lokal



diturunkan



dari



responden



yang



representative,



norma



lokal/subkelompok yang terdiri dari skor-skor yang diperoleh dari suatu sub kelompok yang telah diidentifikasikan. Secara lebih luas mungkin



akan



membantu bila pendidik mengkonstruksikan norma subkelompok sebagai pelengkap dalam instrumen. Contohnya penelitian yang dilakukan oleh Ni Wayan Darti (2011) dengan judul “Pengembangan Instrumen Kecemasan Siswa 9



Terhadap Sekolah Pada Siswa Kelas VI Sekolah Dasar di kota Denpasar Tahun Ajaran 2010/2011”dalam penelitian tersebut, peneliti menjelaskan bahwa dia menggunakan norma local dengan skor-skor normative yang diperoleh menggunakan persentil, sehingga penafsiran skor yang diperoleh



dengan



membuat klasifikasi kecemasan menjadi: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. 2. Norma Nasional Tes didasarkan pada norma nasional apabila kelompok norma terdiri dari representasi lebih luas secara nasional. Contohnya instrument yang digunakan oleh Kemenkumham untuk mengetahui tentang Hak Asasi Manusia dimana dijelaskan “Aspek yang di amanatkan adalah mengkriminalisasi, yang berarti bahwa memasukkan ketentuan atau norma yang ada dalam kovenan/konvensi ke dalam hukum nasional, seperti ketentuan pada pasal 6 ICCPR tentang hak hidup, berarti negara harus memasukkan ketentuan pelangggaran terhadap hak hidup dalam KUHP sebagai tindakan kriminal, jika belum mengkriminalisasi norma ini ke dalam hukum pidana, artinya kita belum memenuhi standar minimal dari ratifikasi kovenan tersebut” 3. Norma Internasional Untuk norma internasional, yakni cakupan penggunaan serta standar dan prosedur dalam istrumen tersebut digunakan untuk mengetahui suatu sebab akibat secara internasional, tentunya dengan memperhatikan hukum-hukum internasional yang ada di dunia, salah satu contohnya yakni instrumen tentang “Hukum Internasional dan Nasional Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Anak” oleh Edy Wibowo, dimana instrumen tersebut dinamakan instrumen TPSA, untuk instrumen internasional, maka instrumen tersebut sudah diakui secara hukum atau memiliki landasan hukum dalam penyelenggaraanya.



1



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Objektivitas ketiga yang merupakan syarat dalam menyusun dan melaksanakan suatu instrumen yaitu objektivitas dengan segala menifestasinya. Dengan syarat ini, seseorang diharuskan tidak melakukan penipuan atau berbuat bohong dalam menyusun, melaksanakan, menskor dan menginterpretasikan ujian. Kemudian instrument itu dikatakan praktis apabila biaya yang digunakan tidak terlalu tinggi, mudah diadministrasikan, mudah skor, mudah diinterpretasikan, waktu yang tepat dan tidak terlalu lama, dan dalam asesment hasil belajar, penetapan norma atau patokan dalam menentukan hasil nilai peserta didik sangat menentukan. B. Saran Pemakalah berharap, dengan menulis makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua dan juga dapat menambah wawasan kita. Pemakalah menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Pemakalah berharap pembaca dapat memberikan kritik dan saran guna memperbaiki makalah ini. Pemakalah juga mohon maaf apabila ada salah dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka pemakalah mengharapkan kritik juga saran dari pembaca guna perbaikan yang lebih baik.



1



KEPUSTAKAAN Arikunto, S. (2012). Dasar-dasar Aksara. Anas Sudijono. 2009. Pengantar Evaluasi Evaluasi Pendidikan. Pendidikan. Jakarta: Jakarta: Bumi Rajawali Press Asnelly Ilyas. 2006. Evaluasi Pendidikan. Batusangkar: STAIN Press Basuki, I. & Hariyanto. (2014). Asesmen Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. Aries S, Erna Febru (2011) Asesmen dan Evaluasi. Malang: Aditya Media Publishing, Yusuf, A. M. (2011). Asesmen dan Evaluasi Pendidikan. Padang: UNP Press.



1