Makalah Kep. Bencana II (Kelompok 7) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KEPERAWATAN BENCANA II “Evidence Based Practice Pada Keperawatan Bencana”



DISUSUN OLEH : Kelompok 7 1. Marisa Novita



(183310813)



2. Siti Nabila Rustam



(183310825)



3. Siti Salsabila



(183310826)



4. Sonia Komala Dewi



(183310827)



5. Velia Ayu Dira



(183310828)



DOSEN PENGAMPU : Renidayati, SKp.M.Kep.Sp.Kep.Jiwa



PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN POLTEKKES KEMENKES RI PADANG TAHUN 2021/2022



KATA PENGANTAR Puji syukur kita haturkan kehadirat Allah SWT, sebagai penguasa yang Akbar bagi seluruh alam semesta karena atas rahmat dan berkat-Nyalah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Evidence Based Practice pada Keperawatan Bencana”, dengan waktu yang telah ditentukan. Namun, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini sehingga belum begitu sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan tersebut. Sehingga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhirnya semoga Allah SWT, senantiasa memberikan petunjuk kepada kita semua agar apa yang kita cita-citakan menjadi sukses.



Padang, 22 Agustus 2021



Kelompok 7



2



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR........................................................................................... 2 DAFTAR ISI.......................................................................................................... 3 BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………………..4 A. Latar Belakang…………………………………………………………….4 B. Rumusan Masalah………………………………………………………....5 C. Tujuan……………………………………………………………………..5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................6 A. Defenisi Evidence Based Pratice (EBP)......................................................6 B. Langkah-langkah dalam Evidence Based Practis (EBP)……………….....6 C. Hierarki Evidance Based Practice (EBP)………………………………...12 D. Pengertian Bencana………………………………………………………12 E. Penanggulangan Bencana………………………………………………...13 F. Organisasi Penanggulangan Bencana.……………………………………15 G. Alur Penanggulangan Bencana…………………………………………...15 H. Evidance Based Practice Keperawatan Bencana……………………...….16 BAB 3 PENUTUP..................................................................................................19 A. Kesimpulan..................................................................................................19 B. Saran.............................................................................................................20 DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................21



3



BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Evidence-Based



Practice



adalah



pendekatan



sistematis



untuk



meningkatkan kualitas praktik keperawatan dengan mengumpulkan bukti terbaik, Almaskari (2017). Evidence adalah kumpulan fakta yang diyakini kebenarannya. Ada dua bukti yang dihasilkan oleh evidence yaitu bukti eksternal dan internal. Evidence-Based Practice in Nursing adalah penggunaan bukti ekternal dan bukti internal (clinical expertise), serta manfaat dan keinginan pasien untuk mendukung pengambilan keputusan di pelayanan kesehatan, Chang, Jones, & Russell (2013). Hal ini menuntut perawat untuk dapat menerapkan asuhan keperawatan yang berbasis bukti empiris atau dikenal dengan Evidance Based Nursing Practice (EBNP). Kebijakan penerapan EBNP di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Keperawatan Nomor 38 Tahun 2014 Pasal 2 huruf b yang menyatakan bahwa praktik keperawatan berasaskan nilai ilmiah sebagaimana dijelaskan bahwa praktik keperawatan harus dilandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh baik melalui penelitian, pendidikan maupun pengalaman praktik. Meskipun kebijakan penerapan EBNP telah tertuang dalan UU Keperawatan namun fenomena keperawatan dalam menerapkan EBNP masih terbilang rendah di Indonesia.Banyaknya hasil penelitian keperawatan yang sudah dihasilkan di institusi pendidikan namun belum optimal penyerapannya ke pelayanan praktik keperawatan sehingga banyak perawat yang belum terpapar dengan penelitian. Mukti (2012) mengatakan bahwa EBNP sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan, keselamatan pasien, keefektifan managemen



dalam



pengelolaan



4



pelayanan



keperawatan,



dan



meningkatkan



kesadaran



akan



pentingnya



bukti



empiris



dalam



melaksanakan pelayanan. Evidence-Based Practice (EBP), merupakan pendekatan yang dapat digunakan dalam praktik perawatan kesehatan, yang berdasarkan evidence



atau



fakta. Penggunaan



evidence



base



dalam praktek akan menjadi dasar scientific dalam pengambilan keputusan klinis sehingga intervensi yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan. Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah yang sangat luas dan terletak pada posisi silang antara dua benua besar dan dua samudera besar, Indonesia juga berada di atas lempeng benua yang masih aktif



serta



Indonesia



adalah



negara



yang



masih



dijejeri



oleh



barisan gunung api yang masih aktif, sehingga Indonesia sering sekali disapa dengan negara yang sangat akrab dengan bencana. Kondisi geografis Negara Indonesia itulah yang merupakan faktor penyebab kerentananIndonesia terhadap bencana. B. Rumusan Masalah Bagaimana bentuk evidence based practice pada keperawatan bencana ? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui Defenisi Evidence Based Pratice (EBP) ? 2. Untuk mengetahui Langkah-langkah dalam Evidence Based Practis (EBP) ? 3. Untuk mengetahui Hierarki Evidance Based Practice (EBP) ? 4. Untuk mengetahui Pengertian Bencana ? 5. Untuk mengetahui Penangulangan Bencana ? 6. Untuk mengetahui Organisasi Penanggulangan Bencana ? 7. Untuk mengetahui Alur Penanggulangan Bencana ? 8. Untuk mengetahui Evidance Based Practice Keperawatan Bencana ?



5



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA A. Defenisi Evidence Based Pratice (EBP) Evidence Based Practice adalah sebuah cara penyelesaian masalah dalam pelayanan kesehatan yang berdasaarkan bukti terbaik, keahlian klinis, dan prefensi pasien (Melnyk,Fineout-Overholt,Stillwell, & Wiliamson, 2010). Clinical Based Evidence atau Evidence Based Practice (EBP) adalah tindakan yang teliti dan bertanggung jawab dengan menggunakan bukti (berbasis bukti) yang berhubungan dengan keahlian klinis dan nilai-nilai pasien untuk menuntun pengambilan keputusan dalam proses perawatan (Titler, 2008). Menurut Institute of Medicine dalam Glasner (2010) Evidence Based adalah integrase hasil penelitian berdasarkan bukti ilmiah dengan keahlian klinis dan nilai nilai pasien. B. Langkah-langkah dalam Evidence Based Practis (EBP) Evidence Based Practice dilakukan melalui langkah-langkah yang berkesinambungan. Terdapat berbagai literatur yang membahas tentang langkah-langkah EBP. Namun secara garis besar terdapat 5 langkah utama dalam mengimplementasikan EBP, antara lain : 1) Mengembangkan pertanyaan klinis 2) Mencari bukti ilmiah 3) Menilai bukti ilmiah yang ada 4) Mengimplementasikan



bukti



ilmiah



keahlian klinis dan prefensi pasien 5) Mengevaluasi hasil dari implementasi



6



dengan mengintegrasikan



Menurut Melnyk &Fineout-Overholt (2011) menambahkan langkah ke 0 dalam EBP:



a. Langkah 0: Menumbuhkan Keingintahuan Rasa keingintahuan dapat dibangun dan dilatih. dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang didapatkan ke dalam praktik klinis, profesional kesehatan akan menemui tantangan-tantangan yang menunjukkan adanya perbedaan antara teori dan kondisi dilapangan. hal ini tentunya merupakan masalah yang dapat menimbulkan pertanyaan. semangat keingintahuan tersebut dapat muncul dan terus dipupuk ketika tenaga kesehatan memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas praktis pelayanan kesehatan serta adanya dukungan dari institusi dan organisasi untuk mewadahi kegiatan EBP. Lingkungan kerja berperan dalam menumbuhkan semangat berpikir kritis, namun rasa Keingintahuan juga dapat ditumbuhkan secara individu. sebuah penelitian mengembangkan aktivitas yang dapat dilakukan oleh perawat untuk meningkatkan rasa keingintahuan di setting pelayanan kesehatan, yaitu dengan mengidentifikasi dan mempertanyakan



praktik-praktik



yang



selama



ini



dilakukan



(Mick,2011), antara lain: 1) Praktik dengan biaya tinggi, efisiensi rendah, dan tidak didukung bukti



7



2) Praktik yang janggal namun dipertahankan karena tradisi dan tidak didukung bukti 3) Praktik yang belum pernah dijelaskan oleh bukti-bukti yang ada 4) Praktik tradisional yang telah dilakukan bertahun-tahun namun tidak didukung bukti 5) Praktik yang didasari tidak memiliki manfaat yang berarti 6) Praktik yang sulit untuk dihentikan walaupun tidak ada bukti yang mendukung Aktivitas tersebut dapat memicu adanya diskusi tentang mengapa praktik tersebut dilakukan dan bagaimana mereka memberikan justifikasi berdasarkan bukti yang ada. Penting untuk melakukan refleksi



terhadap



pelayanan



kesehatan



yang



diberikan



dan



mengevaluasi berdasarkan teori yang ada, sehingga proses EBP dapat mulai ditanamkan di antara praktisi. Namun proses mempertanyakan praktik kesehatan yang ada juga dapat dilakukan oleh mahasiswa dan penelitian kesehatan melalui aktivitas penilaian kritis penelitian yang ada. b. Langkah 1 : Mengembangkan Pertanyaan Klinis Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab secara ilmiah jika dikembangkan dengan baik dan spesifik proses ebp akan ditentukan oleh pertanyaan yang diajukan oleh karena itu langkah yang pertama adalah mengembangkan pertanyaan klinis yang cukup spesifik dan ilmiah untuk praktisi atau peneliti kemudian mencari jawabannya melalui proses yang juga ilmiah. Penelitian maupun pencarian literatur yang akan dilakukan akan semakin terarah dengan pertanyaan yang dikembangkan dengan baik seringkali dalam satu topik terkait pernyataan pelayanan kesehatan ditemukan beberapa masalah yang perlu dipecahkan namun perlu diingat bahwa penelitian yang dirancang dengan baik hanya akan menjawab sebuah pertanyaan spesifik. Oleh karena itu jika praktisi



8



perlu menentukan sebuah masalah untuk diangkat dan ditransformasi ke dalam pertanyaan klinis, maka dibutuhkan penyusunan prioritas dalam pemilihan satu masalah utama yang akan diangkat terlebih dahulu langkah-langkah dalam mengembangkan pertanyaan klinis sama dengan cara mengembangkan pertanyaan ilmiah pada penelitian original maupun systematic review. c. Langkah 2 : Mencari Bukti Ilmiah Proses pencarian bukti ilmiah ini dilakukan dengan tujuan menjawab pertanyaan klinis yang diajukan pencarian bukti ilmiah kini semakin mudah dan cepat untuk dilakukan dengan adanya database ilmiah yang dapat diakses secara luas pencarian yang membutuhkan dukungan dari institusi melalui penyediaan akses ke dalam database berlangganan maupun artikel artikel ilmiah berbayar. Hal ini dikarenakan seringkali artikel terbaru dengan metodologi yang tepat tidak tersedia untuk publik atau berbayar. Jika praktisi atau peneliti menemukan kesulitan dalam hal ini hasil ebp tentu saja akan memiliki kekurangan walaupun begitu, hendaknya keterbatasan ini tidak menurunkan penerapan ebp di tataran klinis dengan menggunakan sumber daya yang ada dan mengidentifikasi



keterbatasannya.



Sebagai



permulaan



misalnya



praktisi atau peneliti dapat menggunakan database yang disediakan oleh perpustakaan nasional dengan mendaftar sebagai anggota secara gratis. Terlepas dari terbatasnya akses data pada database kemampuan pencarian literatur di kalangan peneliti maupun praktisi perlu dikembangkan dalam rangka memperluas hasil pencarian. Artikel penelitian yang berkualitas yang dipublikasi di jurnal internasional telah melalui proses peer- review yang ketat. Kualitas dari hasil penelitian telah teruji secara kualitas.



9



d. Langkah 3: Menilai Bukti Ilmiah Yang Ditemukan Tidak semua literatur yang kita temukan baik itu di database ilmiah maupun di mesin pencarian populer terjamin kualitasnya. Literatur literatur ini perlu melalui proses penelitian kritis. Proses ini merupakan proses yang paling panjang dalam EBP



serta membutuhkan



pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam hal metodologi penelitian. Secara sederhana, Melynk &Fineout Overholt (2011) tiga komponen utama yang perlu dikritisi dari sebuah artikel penelitian, antara lain: 1) Apakah hasil yang didapatkan dari penelitian tersebut valid? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang berkaitan dengan metodologi penelitian. 2) Apakah hasil dari penelitian tersebut? Yang perlu dilihat dari pertanyaan ini adalah bagaimana hasil yang didapatkan di presentasikan dari nilai-nilai statistik yang disajikan penelitian kuantitatif atau tema yang didapatkan penelitian kualitatif 3) Apakah



hasil yang didapatkan tersebut dapat membantu saya



merawat pasien saya? Pertanyaan ini ditunjukkan untuk mengevaluasi aplikabilitas dari hasil penelitian. e. Langkah 4: Mengimplementasikan Bukti Ilmiah Pada langkah ini praktisi perlu melibatkan keahlian mereka serta preferensi pasien. Literatur yang ada mungkin menunjukkan efektivitas suatu tindakan namun tidak serta merta dapat diaplikasikan pada praktik pelayanan kesehatan hal ini dikarenakan kompleksitas kasus dan respon klien sebagai manusia sehingga diperlukan pertimbanganpertimbangan tertentu untuk aplikasi evidence yang ada.



10



Keahliannya klinisnya untuk membuat keputusan son apakah sebuah evidence dapat diterapkan ke dalam sebuah kasus. Praktisi tersebut perlu mempertimbangkan manfaat dan risiko dari sebuah tindakan serta bisa yang diidentifikasi dari penelitian tersebut. Pasien juga perlu dilibatkan dalam pembuatan keputusan dengan terlebih dahulu diberikan informasi yang lengkap dan transparan kenal dengan praktik yang akan dilakukan. Sebuah keputusan klinis yang baik dapat dihasilkan jika praktisi memahami kondisi pasien dan memiliki pemikiran kritis terhadap perubahan kondisi serta situasi klinis yang ada (Melynk &. Fineout-Overholt, 2011). Dengan begitu pasien dapat diperlakukan sebagai individu yang unik dan bukan bagian dari statistik penelitian semata. Setelah pertimbangan dilakukan dan keputusan dibuat, cutnya implementasi bukti ilmiah terbaik ini perlu direncanakan dengan baik. Isi dan pemegang kebijakan perlu mempersiapkan sumber daya yang ada termasuk fasilitas dan tenaga kesehatan



yang



akan



mengimplementasikan



praktik



tersebut



implementasi merupakan sebuah langkah EBP yang praktis sehingga diperlukan arahan yang jelas terkait praktik yang akan diterapkan. f. Langkah 5: Mengevaluasi Hasil Dan Mengimplementasikannya Evaluasi perlu dilakukan terhadap luaran yang dihasilkan dari implementasi tindakan. Evaluasi luaran perlu dilakukan dengan metode yang terukur dan objektif. Implementasi dari praktis pencegahan infeksi misalnya, perlu dievaluasi dari kejadian infeksi pada pelayanan kesehatan tersebut. Data ini didapatkan secara internal dari rekam medis. Oleh karena itu, penggunaan teknologi seperti Electronic Medical Record (EMR) dapat memfasilitasi proses evaluasi dalam EBP lebih efisien. Data-data tersebut merupakan data internal yang dapat digunakan untuk membandingkan apakah perubahan praktik yang diimplementasikan menghasailkan luaran yang lebih baik dibandingkan praktik yang diimplementasikan menghasilkan luaran



11



yang lebih baik dibandingkan praktik yang lama. Selain luaran langsung dari sebuah implementasi, perlu juga dilakukan evaluasi terkait aspek-aspek yang terlibat dalam implementasi tersebut seperti administrasi, keuangan, sumber daya manusia, dan sistem pelayanan (Melynk & Fineout-Overholt, 2011). Dengan begitu, sebuah pelayanan kesehatan dapat mengidentifikasi hambatan dan kekurangan yang ditemui serta menyempurnakan praktik yang diimplementasikan. Evaluasi yang dilakukan terhadap perubahan praktik kesehatan merupakan proses yang akan mengantarkan praktis kembali pada langkah 0, yaitu mempertanyakan praktis yang ada serta apa yang bisa dilakukan untuk pelayanan kesehatan yang lebih baik. Oleh karena itu, EBP menjadi proses yang berkesinambungan dan tidak putus juka terintegrasi budayanya ke dalam pelayanan kesehatan. Penerapan EBP untuk pelajar dan peneliti yang bukan praktisi tentunya sulit untuk dilakukan secara penuh. Bloom, Olinzock, Radjenovic, & Trice (2013) C. Hierarki Evidance Based Practice (EBP) Hierarki dalam penelitian ilmiah terdapat hieraraki dari tingkat kepercayaannya yang paling rendah hingga yang paling tingi. Dibawah ini mulai dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi : a. Laporan fenomena atau kejadian-kejadian yang kita temuai sehari-hari b. Studi kasus c. Studi lapangan atau laporan deskriptif d. Studi percobaan tanpa penggunaan tekhnik pengambilan sampel secara



acak (random) e. Studi percobaan yang menggunakan setidaknya ada satu kelompok



pembanding, dan menggunakan sampel secara acak f.



Systemic reviews untuk kelompok bijak bestari atau meta-analisa yaitu pengkajian berbagai penelitian yang ada dengan tingkat kepercayaan yang tinggi.



12



D. Pengertian Bencana UU No. 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai “peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis”. Sementara Asian Disaster Preparedness Center (ADPC) mendefinisikan bencana dalam formulasi “The serious disruption of the functioning of society, causing widespread human, material or environmental losses, which exceed the ability of the affected communities to cope using their own resources” (Abarquez & Murshed, 2004). Definisi bencana seperti dipaparkan diatas mengandung tiga aspek dasar, yaitu: a. Terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard). b. Peristiwa



atau



gangguan



tersebut



mengancam



kehidupan,



penghidupan, dan fungsi dari masyarakat. c. Ancaman tersebut mengakibatkan korban dan melampaui kemampuan masyarakat untuk mengatasi dengan sumber daya mereka. Bencana dapat terjadi, karena ada dua kondisi yaitu adanya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan (vulnerability) masyarakat. Bila terjadi hazard, tetapi masyarakat tidak rentan, maka berarti masyarakat dapat mengatasi sendiri peristiwa yang mengganggu, sementara bila kondisi masyarakat rentan, tetapi tidak terjadi peristiwa yang mengancam maka tidak akan terjadi bencana. E. Penanggulangan Bencana Kesadaran akan pentingnya upaya pengurangan risiko bencana mulai muncul pada dekade 1900-1999 yang dicanangkan sebagai Dekade Pengurangan Risiko Bencana Internasional. Beberapa konferensi tingkat



13



dunia diinisiasi oleh United Nations International Strategy or Disaster Risk Reduction (UN-ISDR) yang merupakan salah satu badan perserikatan bangsa-bangsa (PBB) yang ditugaskan untuk mengawal Dekade Pengurangan RisikoBencana Internasional. Menutut Carter dalam Hadi Purnomo tahun 2010, mendefinisikan pengelolaan bencana sebagai suatu ilmu pengetahuan terapan (aplikatif) yang mencari, dengan observasi sistematis dan analisis bencana untuk meningkatkan tindakan-tindakan (measures) terkait dengan preventif (pencegahan), mitigasi (pengurangan), persiapan, respon darurat dan pemulihan. Sehingga menurutnya, tujuan dari Manajemen Bencana tersebut diantaranya, yaitu mengurangi atau menghindari kerugian secara fisik, ekonomi maupun jiwa yang dialami oleh perorangan, masyarakat negara, mengurangi penderitaan korban bencana, mempercepat pemulihan, dan memberikan perlindungan kepada pengungsi atau masyarakat yang kehilangan tempat ketika kehidupannya terancana. Di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana terdapat Ketentuan Umum yang mendefinisikan penyelenggaraan Penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahaan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi. Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dalam



Pasal



1



ayat



(6)



menyebutkan



bahwa



penyelenggaraan



penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Dalam Pasal 3 ayat (1) dijelaskan bahwa asas-asas penanggulangan bencana, yaitu kemanusiaan, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, keseimbangan, keselarasan, dan keserasian, ketertiban dan kepastian hukum, kebersamaan, kelestarian lingkungan hidup, dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan



14



Penanggulangan Bencana. Pada pasal 5, dinyatakan bahwa pelaksanaan penanggulangan bencana ini membutuhkan Rencana Penanggulangan Bencana yang disusun pada situasi tidak terjadi bencana. Diamanatkan kembali pada pasal 6 bahwa setiap Provinsi wajib menyusun Rencana Penanggulangan Bencana. Sebagaimana UU No. 24 tahun 2007, Peraturan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nomor 04 tahun 2008 tentang Pedoman



Penyusunan



Rencana



Penanggulangan



Bencana



juga



menyebutkan bahwa penanggulangan bencana terdiri dari beberapa fase, yaitu fase pencegahan dan mitigasi, fase kesiapsiagaan, fase tanggap darurat dan fase pemulihan. F. Organisasi Penanggulangan Bencana Berikut ini merupakan organisasi penanggulangan bencana: 1) Tingkat Nasional  Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana 2) Tingkat Propinsi  Satuan Koordinasi Penanggulangan Bencana 3) Tingkat Kabupaten  Satuan Laksana Penanggulangan Bencana Penanggulangan bencana memerlukan manajemen pada tahapannya, yaitu: 1) Tahap Persiapan (Preparedness) a. Pengembangan SPGDT b. Pengembangan SDM c. Pengembangan Sub sistem Komunikasi d. Pengembangan Sub sistem Transportasi e. Latihan Gabungan f. Kerjasama lintas sektor 2) Tahap Akut (Acute response) a. Rescue – triage b. Acute medical response c. Emergency relief d. Emergency rehabilitation



15



G. Alur Penanggulangan Bencana Berikut ini merupakan alur pelayanan medis di lapangan pada penanggulangan bencana: Dalam hal ini rumah sakit harus sanggup memberi pelayanan secara cepat, tepat, cermat, nyaman, dan terjangkau untuk mencegah kematian dan kecacatan. Berikut ini label triage dan keterangan tindakan yang harus dilakukan: 1) Merah  Segera Ditanggulangi terlebih dahulu a. Mengancam Jiwa b. Cacat 2) Kuning  Boleh Ditangguhkan a. Keadaan tidak mengancam Jiwa b. Segera ditangani bila yang mengancam Jiwa sudah teratasi



3) Hijau Boleh ditunda dan Rawat Jalan Tidak Membahayakan Jiwa 4) Hitam  Boleh Diabaikan danDitinggalkan a. Diurus paling akhir b. Sudah tidak ada tanda-tanda vital c. Usaha-usaha pertolongan amat sangat kecil keberhasilannya H. Evidance Based Practice Keperawatan Bencana Penggunaan istilah perspektif yang digunakan dalam tulisan ini adalah suatu cara bagaimana dan mengapa individu memberikan penilaian terhadap bencana begitu juga potensi kerusakan yang ditimbulkannya. Hal ini terkait dengan upaya pemenuhan hak keadilan sosial kepada masyarakat untuk mengetahui informasi kebencanaan secara akurat dan mendetail. Pemenuhan hak tersebut menjadi penting utamanya dalam mengkonstruksikan bencana tersebut karena isu penanggulangan bencana sendiri tidak terlepas dari tiga premis utama yakni kekuasaan (power), keadilan (justice), dan legitimasi kekuasaan (legitimacy). Salah satu faktor ril yang bisa menjelaskan premis tersebut adalah tragedy of the commons(tragedi kebersamaan). Tragedi ini merujuk pada suatu peristiwa dimana lingkungan alam menjadi rusak karena ulah kerakusan manusia.



16



Faktor riil lainnya adalah menguatnya market way (cara pasar) dalam mengelola alam yang menjadi dominan ketimbang state way (cara negara) dan common pool resources (cara masyarakat) yang lebih memandang alam sebagai sumber kemakmuran. Sebenarnya dari ketiga cara tersebut, mekanisme masyarakat berbasis common pool resources sebenarnya merupakan bentuk kesadaran menghargai relasi seimbang antara alam dan manusia yang tujuannya jelas menghindari adanya dampak destruktif yang dihadirkan alam kepada manusia apabila manusia tidak menghargai alam sepantasnya. Makna bencana sebagai kejadian (events) diartikan sebagai kejadian luar biasa (extraordinary events) yang memiliki pengaruh terhadap instabilitas manusia. Bencana sendiri dapat dikategorikan menjadi 3 macam yakni fisik (physical), waktu (temporal), dan sosial (social). Dalam konteks ini, penanggulangan bencana perlu melihat pola dasar pemantik terjadinya sebuah bencana. Penanggulangan bencana juga perlu melihat waktu periode berlangsungnya bencana tersebut supaya upaya cepat melakukan evakuasi menjadi lebih efisien dan efektif. Terdapat dua paradigma penting dalam membahas mengenai pentingnya masyarakat sebagai community dalam penanggulangan risiko bencana. Yang pertama, adalah model crunch. Model ini mengasumsikan bahwa bencana (disaster) sendiri merupakan hasil dari proses bertemunya hazard yang kemudian berkembang menjadi faktor pemicu bencana seperti gempabumi, gunung meletus, dan lain sebagainya dengan vulnerability yang di dalamnya terdapat sebuah kondisi yang tidak nyaman (unsafe condition) dimana terdapat eskalasi kerentanan dan kerawanan yang dialami penduduk baik sebelum terjadinya bencana maupun sesudahnya. Namun dalam hal ini, kondisi kerentanan dalam unsafe condition tersebut tidak meletakkan manusia benar-benar tidak dapat berbuat banyak atas bencana dan terpaku hanya menunggu bantuan dari negara saja. Model kedua yakni release model, model ini berkebalikan dengan model crunch



17



yang memposisikan manusia harus beradaptasi dengan bencana sehingga dapat mereduksi bahaya kerentanan terhadap bencana. Model ini lebih mengedepankan pada pola aktif masyarakat dalam pencegahan bencana seperti halnya ajakan tidak membuang sampah sembarangan sehingga mengakibatkan banjir, larangan menebang pohon karena rawan terjadinya tanah longsor, maupun gerakan reboisasi penghijauan kota desa. Oleh karena itulah, derajat kerentanan (vulberability) yang meletakkan manusia dalam kondisi yang bersifat unsafe condition dalam model crunch. Sebisa mungkin dalam model release ini, terjadi konversi dari unsafe menjadi safe. Dalam pemahaman perspektif cultural theory yang menjadi tema utama dalam makalah ini, terdapat dua hal utama yakni pengetahuan tradisional dan pengetahuan modern. Pengetahuan modern lebih mengarah kepada pembentukan formulasi risiko/risk (R) merupakan bentuk



dari



gabungan



eskalasi/exposure



(E)



dan



besaran



bencana/magnitude (M) sehingga membentuk format (R=EM) (Tansey, 1999 : 78). Adapun mekanisme penanggulangan risiko bencana yang ditawarkan dalam pendekatan ini mengarah pada penggunaan infrastruktur fisik seperti halnya pembangunan sistem peringatan dini tentang bahaya bencana yang dianggap lebih rasional dan ilmiah bagi masyarakat untuk menghadapi bencana. Sedangkan, pengetahuan tradisional menolak unsur rasionalitas yang terdapat pada pengetahuan modern dimana konsentrasi pendekatan ini lebih mengarah analisa psikometris seperti halnya kecemasan, ketakutan, maupun gejala gangguan psikologis lainnya selama masa tanggap darurat. Aplikasi cultural theory di sini sebenarnya merupakan jalan tengah dari dua pengetahuan besar tersebut yakni perspektif menganalisis mengapa risiko menjadi isu yang terpolitisasi. Maka dalam pemahaman cultural theory sebagai paradigma alternatif dalam



penanggulangan



risiko



bencana



tidaklah



terlalu



penting



memperdebatkan pihak yang rasional dan pihak yang tradisional sebagai cara yang tepat dalam mereduksi dampak bencana.



18



BAB 3 PENUTUP A. Kesimpulan Defenisi Evidence Based Pratice (EBP) Evidence Based Practice adalah sebuah cara penyelesaian masalah dalam pelayanan kesehatan yang berdasaarkan bukti terbaik, keahlian klinis, dan prefensi pasien (Melnyk,Fineout-Overholt,Stillwell, & Wiliamson, 2010). Clinical Based Evidence atau Evidence Based Practice (EBP) adalah tindakan yang teliti dan bertanggung jawab dengan menggunakan bukti (berbasis bukti) yang berhubungan dengan keahlian klinis dan nilai-nilai pasien untuk menuntun pengambilan keputusan dalam proses perawatan (Titler, 2008). Menurut Institute of Medicine dalam Glasner (2010) Evidence Based adalah integrase hasil penelitian berdasarkan bukti ilmiah dengan keahlian klinis dan nilai nilai pasien. Langkah-langkah dalam Evidence Based Practis (EBP) Evidence Based Practice dilakukan melalui langkah-langkah yang berkesinambungan. Terdapat berbagai literatur yang membahas tentang langkah-langkah EBP. Namun secara garis besar terdapat 5 langkah utama dalam mengimplementasikan EBP, antara lain : a. Mengembangkan pertanyaan klinis b. Mencari bukti ilmiah c. Menilai bukti ilmiah yang ada d. Mengimplementasikan



bukti



ilmiah



keahlian klinis dan prefensi pasien e. Mengevaluasi hasil dari implementasi



19



dengan



mengintegrasikan



B. Saran Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini, agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca



pada



umumnya.



Kepada



pembaca



makalah



ini,



kami



menyarankan agar dipahami betul materi yang kelompok kami bahas. Supaya di saat kita melakukan penelitian skripsi kita nanti (Insha Allah) mempunyai bekal ilmu pengetahuan yang membuat kita tidak canggung dalam melakukan penelitian nanti.



20



DAFTAR PUSTAKA Dwi, Novidiantoko. (2020). Systematic Review Dalam Kesehatan: Langkah demi Langkah. Yogyakarta: CV Budi Utama Peraturan Gubernur Provinsi Sumatera Barat Nomor 115 Tahun 2008 tentang Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi Sumatera Barat 2008-2012 Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 3 Tahun 2010 tentang Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Republik Indonesia Nomor



4



tahun



2008



tentang



Pedoman



Penyusunan



Rencana



Penanggulangan Bencana. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulagan Bencana Purnomo, Hadi dan Ronny Sugiantoro. 2010. Manajemen Bencana. Yogyakarta: Media Pressindo Raharjo,Wasisto.(2013).Analisis Penanggulangan Bencana Berbasis Perspektif Cultural Theory. Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Undang-Undang



Republik



Indonesia



Penanggulangan Bencana.



21



Nomor



24



Tahun



2007



tentang