MAKALAH KFA (FLUOROMETRI) Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KIMIA FARMASI ANALISIS II “FLUOROMETRI”



OLEH: 1. Putu Merta Yasa



(20089016009)



2. Made Surya Widya Negara



(20089016014)



3. Made Edi Putra Darsika



(20089016024)



SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG PROGRAM STUDI S1 ILMU FARMASI 2021



KATA PENGANTAR



Puji beserta syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah dengan judul” FLUOROMETRI” ini tepat pada waktunya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan makalah ini secara umumnya dan kepada Dosen Pembimbing Kimia Farmasi Analisis II. Penulis menyadari dalam peyusunan makalah ini banyak terdapat kekurangan karena penulis masih dalam tahap pembelajaran. Namun, penulis tetap berharap agar makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran dari penulisan makalah ini sangat penulis harapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan pada makalah penulis berikutnya. Untuk itu penulis ucapkan terima kasih.



Singaraja, 18 Oktober 2021



Penyusun



i



DAFTAR ISI Kata Pengantar…………………………………………………………………………………i Daftar Isi……………………………………………………………………………………….ii Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………….1 1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………………2 1.3 Tujuan……………………………………………………………………………..2 Bab II Pembahasan 2.1 Pengertian Fluorometri……………………………………………………………3 2.2 Teori Fluoresensi dan Fosforesensi……………………………………………….3 2.3 Proses Deaktivasi…………………………………………………………………4 2.4 Variabel-variabel yang mempengaruhi Fluoresensi dan fosforesensi……………5 2.5 Analisis Kuantitatif dengan Fluoresensi………………………………………….7 2.6 Molekul-molekul yang mampu Berfluoresensi…………………………………..8 2.7 Pengubahan Senyawa Menjadi Fluoresen………………………………………..10 2.8 Hubungan Struktur Molekul dengan Fosforesensi……………………………….11 2.9 Penggunaan Fluoresensi dan Fosforesensi di Bidang farmasi…………………...11 2.10 Sistem Instrumentasi……………………………………………………………12 Bab III Penutup 3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………14 3.2 Saran……………………………………………………………………………..14 Daftar Pustaka



ii



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merupakan metode analisis kimia berdasarkan sifat fotoluminesen (memendarkan cahaya yg diserap) senyawa kimia. Sifat fotoluminesen senyawa kimia yakni mengemisikan sebagian energi yang telah diserap (saat eksitasi) sewaktu akan kembali ke tingkat dasar. Pengukuran dilakukan pada cahaya yang diemisikan, bukan yang ditransmisikan. Sehingga sensitivitas metode fluoresensi lebih baik dibandingkan dengan metode absorpsi, dimana batas noise-nya lebih rendah. Fluoresensi suatu molekul dikarakterisasi oleh 2 aspek spektrum, yaitu spektrum eksitasi dan spektrum emisi. Spektrum emisi à panjang gelombang emisi à panjang gelombang eksitasi maksimum. Fluoresensi adalah proses pemancaran radiasi cahaya oleh suatu materi setelah tereksitasi oleh berkas cahaya berenergi tinggi. Emisi cahaya terjadi karena proses absorbsi cahaya oleh atom yang mengakibatkan keadaan atom tereksitasi. Keadaan atom yang tereksitasi akan kembali keadaan semula dengan melepaskan energi yang berupa cahaya (de-eksitasi). Fluoresensi merupakan proses perpindahan tingkat energi dari keadaan atom tereksitasi (S1 atau S2) menuju ke keadaan stabil (ground states). Proses fluoresensi berlangsung kurang lebih 1 nano detik sedangkan proses fosforesensi berlangung lebih lama, sekitar 1 sampai dengan 1000 mili detik. Teknik analisis spektrofluorometri adalah termasuk salah satu tenik analisis instrumental disamping teknik kromatografi dan elektroanalisis kimia. Teknik tersebut memanfaatkan fenomena interaksi materi dengan gelombang elektromagnetik seperti sinar-x, ultraviolet, cahaya tampak dan inframerah. Fenomena interaksi bersifat spesifik baik absorpsi maupun emisi. Interaksi tersebut menghasilkan signal-signal yang disadap sebagai alat analisis kualitatif dan kuantitatif. Contoh teknik spektroflourometri absorpsi adalah UV/VIS, inframerah (FT-IR) dan absorpsi atom (AAS). Sedang contoh spektrofluorometri emisi adalah spektrofluorometri nyala dan inductively coupled plasma (ICP), yang merupakan alat ampuh dalam analisis logam. Masih banyak teknik lain yang didasarkan pada hamburan atau difraksi cahaya seperti turbidimetri dan sinar-x.



1



1.2 Rumusan Masalah 1. Apa pengertian Fluorometri? 2. Bagaimana teori fluoresensi dan fosforesensi 3. Bagaimana proses deaktivasi? 4. Apa variabel-variabel yang mempengaruhi Fluoresensi dan fosforesensi? 5. Bagaimana analisis kuantitatif fluoresensi! 6. Bagaimana molekul-molekul mampu berfluoresensi! 7. Bagaimana cara pengubahan senyawa menjadi fluoresen! 8. Bagaimana hubungan struktur molekul dengan fosforesensi! 9. Apa saja penggunaan fluoresensi dan fosforesensi dalam bidang farmasi? 10. Apa itu system instrumentasi



2.3 Tujuan 1. Dapat mengetahui apa itu fluorometri 2. Dapat mengetahui teori fluoresensi dan fosforesensi 3. Dapat mengetahui proses deaktivasi 4. Dapat mengetahui variabel –variabel yang mempengaruhi Fluoresensi dan Fosforesensi 5. Dapat mengetahui analisis kuantitatif fluoresensi 6. Dapat mengetahui molekul-molekul yang mampu berfluoresensi 7. Dapat mengetahui cara pengubahan senyawa menjadi fluoresen 8. Dapat mengetahui hubungan struktur molekul dengan fosforesensi 9. Dapat mengetahui penggunaan fluoresensi dan fosforesensi dalam bidang farmasi 10. Dapat mengetahui apa itu system intrumentasi



2



BAB II PEMBAHASAN



2.1 Pengertian Fluorometri Fluoresensi adalah proses pemancaran radiasi cahaya oleh suatu materi setelah tereksitasi oleh berkas cahaya berenergi tinggi. Emisi cahaya terjadi karena proses absorbsi cahaya oleh atom yang mengakibatkan keadaan atom tereksitasi. Keadaan atom yang tereksitasi akan kembali keadaan semula dengan melepaskan energi yang berupa cahaya (de-eksitasi). Fluoresensi merupakan proses perpindahan tingkat energi dari keadaan atom tereksitasi (S1 atau S2) menuju ke keadaan stabil (ground states). Proses fluoresensi berlangsung kurang lebih 1 nano detik sedangkan proses fosforesensi berlangung lebih lama, sekitar 1 sampai dengan 1000 mili detik.



2.2 Teori Fluoresensi dan fosforesensi Fluoresensi adalah emisi cahaya setelah penyerapan sinar ultraviolet (UV)atau cahaya tampak oleh molekul fluoresensi atau substruktur disebut fluorophore .Dengan demikian, fluorophore menyerap energi dalam bentuk cahaya pada panjang gelombang spesifik dan membebaskan energi dalam bentuk cahaya yang dipancarkan pada



panjang



gelombang yang lebih tinggi. Fluoresensi adalah prosespemancaran radiasi cahaya olehsuatu materi setelahtereksitasi oleh berkas cahaya berenergi tinggi. Emisi cahaya terjadi karena proses absorbs cahaya oleh atom yang mengakibatkan keadaan atom tereksitasi. Keada anatom yang tereksitasi akan kembali keadaan semula dengan melepaskan energi yang berupa cahaya (deeksitasi). Fluoresensi merupakan proses perpindahan tingkat energydari keadaan atom tereksitasi (S1 atau S2) menuju ke keadaan stabil (ground states).Proses fluoresensi berlangsung kurang lebih 1 nano detik. Fosforesensi adalah proses pemancaran kembali sinar oleh molekul yang telah menyerap energy sinar dalam waktu yang relative lebih lama (10-4 detik) . jika penyinaran kemudian dihentikan , pemancaran kembali masih dapat berlansung. Fosforesesi berasal dari transisi antara tingkat –tingkat energy elektronik triplet ke singklet dalam suatu 3



molekul. Fosforesens dapat menyimpan energi lebih lama, sehingga akan memancarkan cahaya (berpendar) lebih lama dari pada fluorosens. Pada fluorosens, setelah energi yang digunakan untuk mengeksitasi elektron dihilangkan (biasanya berupa sinar UV) maka



zat



fluorosens tidak akan dapat menyala dalam gelap. Dengan kata lain zat berfluoresensi hanya dapat terlihat menyala apabila dikenai dengan sinar ultraviolet di dalam gelap, dan tidak dapat berpendar ketika sinar ultravioletnya dimatikan. Sedang berbanding terbalik dengan fosforesensi, dimanadalam fosforesensi dapat terlihat menyala apabila dikenai dengan sinar ultraviolet di dalam gelapdan tetap akan menyala ketika sinar UV dihilangkan. Hal ini berkaitan dengan cepat dan lambatnya elektron kembali ke orbital energi tingkat dasar, semakin cepat elektron kembali ke orbital maka semakin cepat pula hilang berpendarnya.



2.3 Proses Deaktivasi Proses deaktivasi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : tanpa pemancaran sinar dan dengan pemancaran sinar. Deaktivasi yang tanpa melalaui pemancaran sinar dapat berupa : 1. Pengendoran vibrasi, merupakan perpindahan energi vibrasi dan molekul yang tereksitasi. Hal ini terjadi akibat kelebihan energi vibrasi yang dimiliki akan segera dilepaskan sebagai akibat tabrakan-tabrakan antara molekul-molekul tersebut dengan molekulmolekul pelarut. 2. Konversi ke dalam (internal conversion), merupakan suatu perpindahan tingkat energi, yang mana suatu molekul akan pindah dari tingkat energi elektronik lebih tinggi ke tingkat elektronik yang lebih rendah tanpa pemancaran sinar. 3. Konversi ke luar (exsternal conversion), merupakan perpindahan energi dari proses interaksi molekul-molekul lain. 4.



Lintasan antar sistem (intersystem crossing), merupakan pembalikan arah spin elektron yang tereksitasi, misalnya berubah dari singlet ke triplet atau sebaliknya. Ada beberapa variabel yang berpengaruh pada fluoresensi dan fosforesensi, yaitu : hasil kuantum (efisiensi kuantum, quantum yield), pengaruh kekakuan struktur, pengaruh suhu, 4



pengaruh



pelarut, pengaruh pH, pengarh oksigen terlarut, pemadaman sendiri (self



quenching) dan penyerapan sendiri. 2.4 Variabel-variabel yang mempengaruhi Fluoresensi dan Fosforesensi Variable-variabel yang mempengaruhi fluoresensi dan fosforesensi yaitu : 1. Hasil kuantum (efisiensi kuantum, quantum yield) Merupakan bilangan yang menyatakan perbandingan antara jumlah molekul yang berfluoresensi terhadap jumlah total molekul yang tereksitasi. Besarnya quantum (ɸ) adalah : 0 ≤ ɸ ≤ 1. Nilai ɸ diharapkan adlah mendekati 1, yang berarti efisiensi fluoresensi sangat tinggi. 2. Pengaruh kekakuan struktur Fluoresensi dapat terjadi dengan baik jika molekul-molekul memiliki struktur yang kaku (rigid). Contoh fluoren yang memiliki efisiensi kuantum (ɸ) yang besar (mendekati 1) karena adanya ɸ gugus metilen, dibandingkan dengan binefil yang memiliki efisiensi kuantum yang lebih kecil (sekitar 0,2). 3. Pengaruh suhu Bila suhu makin tinggi maka efisiensi kuantum fluoresensi makin berkurang. Hal ini disebabkan pada suhu yang lebih tinggi, tabrakan-tabrakan antar molekul atau tabrakan molekul dengan pelarut menjadi lebih sering, yang mana pada peristiwa tabrakan, kelebihan energy molekul yangtereksitasi dilepaskan ke molekup pelarut.jadi semakin tinggi suhu maka terjadinya konversi ke luar besar, akibatnya efisiensi kuantum berkurang. 4. Pengaruh pelarut Ada 2 hal yang perlu diperhatikan terkait dengan pengaruh pelarut pada fluoresensi, yaitu: a. Jika pelarut makin polar maka intensitas fluoresensi makin besar. b.



Jika pelarut mengandung logam berat (Br, I atau senyawa lain), maka interaksi antara gerakan spin dengan gerakan orbital elektron-elektron ikatan lebih banyak terjadi dan hal tersebut dapat memperbesar laju lintasan antara sistem atau



5



mempermudah pembentukan triplet sehinga kebolehjadian fluorosensi lebih kecil, sedangkan kebolehjadian fosforesensi menjadi lebih besar 5. Pengaruh ph  pH berpengaruh pada letak keseimbangan antar bentuk terionisasi dan bentuk tak terionisasi. Sifat fluorosensi dari kedua bentuk itu berbeda. Sebagai contoh, fenol dalam suasana asam akan berada dalam bentuk molekul utuh dengan panjang gelombang antara 285-365 nm dan nilai ε = 18 M-1 cm-1 , sementara jika dalam suasana basa maka fenol akan terionisasi membentuk ion fenolat yang mempunyai panjang gelombang antara 310-400 nm dan ε = 10 M-1 cm-1 . 6. Pengaruh oksigen terlarut Adanya oksigen akan memperkecil intensitas fluoresensi. Hal ini disebabkan oleh terjadinya oksidasi senyawa karena pengaruh cahaya (fotochemically induced oxidation). Pengurangan intensitas fluorosensi disebut pemadaman sendiri atau quenching. Molekul oksigen bersifat paramagnetik, dan molekul yang bersifat seperti ini dapat mempengaruhi dan mempermudah lintasan antara sistem sehingga memperkecil kemungkinan fluorosensi, sebaliknya memperbesar kebolehjadian fosforesensi. 7. Pemadaman sendiri dan penyerapan sendiri Pemadaman sendiri di sebabakan oleh tabrakan-tabrakan antar molekul zat itu sendiri. Tabrakan-tabrakan itu menyebabkan energi yang tadinya akan dilepaskan sebagai sinar fluorosensi ditransfer ke molekul lain, akibatnya intensitas berkurang. Salah satu proses pemadaman sendiri dapat ditulis sebagai berikut: Molekul analit tereksitas + pemadaman menjadi molekul analit berkeadaan dasar + pemadam+ energy Supaya suatu molekul berfluoresensi, maka molekul tersebut harus menyerap radiasi. Jika konsenrasi senyawa yang menyerap radiasi tersebut sangat tinggi, maka sinar yang mengenai sampel akan diabsorbsi oleh lapisan pertama larutan dan hanya sedikit radiasi yang diserap oleh bagian lain sampel pada jarak yang lebih jauh.oleh karena itu, fluoresensi sampel yang berkonsentrasi tinggi ini tidak seragam dan tidakakan proporsional dengan konsentrasi senyawa. Karena kejadian seperti ini tidak diinginkan untuk tujuan analisis kuantitatif, maka konsentrasi larutan yang berfluoresensi harus 6



dijaga dalam konsentrasi rendah ntuk mencegah terjadinya penyerapan radiasi yang tidak seragam ini.



7



2.5 Analisis Kuantitatif dengan Fluoresensi Pada larutan dengan konsentrasi tinggi, sebagian besar cahaya diserap lapisan larutan yang paling dulu kontak dengan radiasi eksitasi, sehingga fluoresensi hanya terjadi pada bagian yang menyerap cahaya tersebut. Dengan demikian, pada analisis kuantitatif harus didunakan larutan yang encer



(serapan tidak lebih dari 0,02) supaya dapat



memenuhi



persamaan fluoresensi:



F = 2,3IoQabc atau



F = kc



Keterangan: F = fluoresensi k = konstan = 2,3Ioabc Io = intensitas sumber cahaya Q = efisiensi fluoresensi a = daya serap b = tebal larutan c = konsentrasi Supaya suatu molekul berfluoresensi, maka molekul tersebut harus menyerap radiasi. Jika konsentrasi senyawa yanng menyerap radiasi tersebut sangat tinggi, maka sinar yang mengenai sampel akan diabsorbsi oleh lapisan pertama larutan dan hanya sedikit radiasi yang diserap oleh oleh bagian lain sampel pada jarak yang lebih jauh. Karena hal ini tidak diinginkan, maka sampel harus dibuat dalam konsentrasi rendah untuk mencegah terjadinya penyerapan radiasi yang tidak seragam ini. Prosedur analisis kuantitatif dapat dilakukan dengan membuat kurva baku. Kurva baku yang menyatakan hubungan antara intensitas fluoresensi dengan konsentrasi baku tertentu disiapkan dengan larutan baku murni yang sudah diketahui konsentrasinya. Besarnya konsentrasi dalam sampel dapat dihitung dengan memasukkan intensitas fluoresensi sampel ke dalam kurva baku. Selain itu, prosedur analisis juga dapat dilakukan dengan membandingkan secara langsung antara intensitas fluoresensi baku dengan intensitas fluorsensi sampel. Yang perlu diperhatikan 8



adalah bahwa kondisi analisis untuk baku dan sampel harus sama. Beberapa senyawa asing dapat menurunkan nilai efektif karenanya juga menurunkan sensitifitas senyawa-senyawa yang ϕ berfluoresensi. Penekanan / pengurangan intensitas fluoresensi ini disebut dengan pemadaman (quencing). Jika suatu senyawa tidak berfluoresensi secara intrinsik, maka senyawa tersebut harus diubah menjadi senyawa yang berfluoresensi untuk dapat dianalisis. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk merubah senyawa menjadi berfluoresen adalah dengan metode induksi kimia seperti radiasi dengan UV, hidrolisis, dan dengan dehidrasi menggunkan asam kuat. Metode lain adalah dengan prosedur pengkoplingan atau penggabungan reaksi antara molekul obat dengan reagen fluorometrik yang sesuai membentuk spesies berfluoresensi yang disebut dengan fluorofor. Ada 3 keuntungan analisis fluorometri dan fosforimetri dibandingkan dengan spektrofotometri absorbsi, yaitu : fluorometri lebih peka, fluorometri lebih selektif, dan pada fluorometri gangguan spektral dapat dikurangi dengan cara merubah panjang gelombang eksitasi atau emisi.



9



2.6 Molekul-molekul yang mampu Berfluoresensi Supaya suatu molekul berfluoresensi, maka molekul tersebut harus menyerap radiasi. Jika konsenrasi senyawa yang menyerap radiasi tersebut sangat tinggi, maka sinar yang mengenai sampel akan diabsorbsi oleh lapisan pertama larutan dan hanya sedikit radiasi yang diserap oleh bagian lain sampel pada jarak yang lebih jauh.oleh karena itu, fluoresensi sampel yang berkonsentrasi tinggi ini tidak seragam dan tidakakan proporsional dengan konsentrasi senyawa. Karena kejadian seperti ini tidak diinginkan untuk tujuan analisis kuantitatif, maka konsentrasi larutan yang berfluoresensi harus dijaga dalam konsentrasi rendah ntuk mencegah terjadinya penyerapan radiasi yang tidak seragam ini. Sistem ikatan rangkap terkonjugasi memiliki struktur yang planar dan kaku sehingga akan mampu menyerap secara kuat di daerah 200-800 nm pada radiasi elektromagnetik. Senyawa-senyawa yang mempunyai ikan rangkap terkonjugasi ini merupakan calon senyawa yang mampu berfluoresensi. Modifikasi struktur terhadap senyawa-senyawa ini dapat menurunkan atau meningkatkan intensitas fluoresensi, tergantung pada sifat dan letak gugus substituen. Gugus-gugus yang memberikan elektron (elektron donating groups) seperti gugus hidroksil, aminoatau metoksi yang terikat secara langsung pada sistem ikatan п dapat memfasilitasi terjadinya proses fluoresensi. Gugus-gugus yang menarik elektron (elektron withdrawing groups) seperti nitro, bromo, iodo, siano, atau karboksil cenderung mengurangi intensitas fluoresensi. Untuk obat-obat yang mempunyai gugus fungsional yang dapat terionisasi yang terikat pada siste konjugasi, pemilihan ph dapat mempengaruhi sensitifitas dan selektifitas pengujian. Dalam kasus senyawa fenol, ionisasi menjadi anion fenolat biasanya mendorong fluoresensi; sementara itu perubahan amin aromatis menjadi kation amonium aromatis menghambat proses fluoresensi. Penambahan banyaknya ikatan rangkap terkonjugasi dalam suatu sistem menyebabkan peningkatan fluoresensi utamanya jika dalam sistem struktur aromatis heterosiklik, yakni suatu struktur aromatisnyang mengandung gugus N, S, dan O. Intensitas fluoresensi senyawa heterosiklis yang mengandung gugus –NH seringkali meningkat pada ph asam yang mana gugus nitrogen mengalami protonasi. 2.7 Pengubahan Senyawa Menjadi Fluoresen



10



Jika suatu senyawa tidak berfluoresensi secara intrinsik maka senyawa tersebut harus diubah menjadi senyawa yang berfluoresen untuk dapat dianalisis. Salah satu pendekatan yang telah sukses digunakan untuk merubah senyawa menjadi berfluoresen adalah dengan metode induksi kimia seperti radiasi dengan UV, hidrolisis, dan dengan dehidrasi menggunakan asam kuat. Metode lain adalah dengan prosedur pengkoplingan atau penggabungan reaksi antara molekul obat dengan reagen fluorometrik yang sesuai membentuk spesies berfluoresensi yang disebut dengan fluorofor. Reaksi yang meningkatkan intensitas fluoresensi juga meningkatkan perpanjangan sistem elektron π atau kekakuan (rigiditas) molekul yang berarti juga meningkatkan planaritas struktur. Prosedur-prosedur yang menghasilkan fluorofor juga dapat memberikan peningkatan sensitifitas dan spesifisitas metode pengujian dengan menggeser panjang gelombang eksitasi dan emisi ke panjang gelombang yang lebih panjang sehingga gangguan-gangguan dari senyawa lain menjadi minimal atau hilang sama sekali. Contoh obat yang tidak berfluoresensi yang dapat diukur secara fluorometri setelah diubah menjadi fluorofor adalah difenilhidantoin dan metildopa. Fluorofor dibentuk secara langsung setelah dioksidasi dengan kalium permanganat dalam suasana basa. Sampel plasma yang mengandung obat difenilhidantoin dipanaskan pada lempeng panas padam suhu 2000C selama 10 menit untuk membentuk senyawa berfluoresen benzofenon. Sample plasma yang telah diperlakukan selanjutnya diekstraksi dengan heptan untuk memindahkan benzofenon, lalu diekstraksi kembali dengan asam sulfat untuk selanjutnya diukur secara fluorometri pada panjang gelombang eksitasi dan emisi masing-masing sebesar 355 nm dan 485 nm. Metildopa dapat diubah menjadi fluorofor dengan cara oksidasi dan penataan ulang. Oksidasi dilakukan dengan kalium ferisianida pada pH 6,5 selama 5 menit pada suhu kamar. Penataan ulang dilakukan dengan penambahan larutan alkali dari asam ascorbat pada campuran reaksi dan selanjutnya larutan dibiarkan pada suhu kamar selama 40 menit. Fluorofor yang terbentuk merupakan dihidroksiindol tersubstitusi yang dapat diukur intensitas fluorosensinya masingmasing pada panjang gelombang eksitasi 400 nm dan panjang gelombang emisi 510 nm. Contoh lain obat-obat yang dapat diukur dengan cara mengubahnya menjadi fluorofor dengan jalan diinduksi secara kimia sebagai berikut:



11



Senyawa Klorokuin Heroin Imipramin



Metode Induksi fotokimia Dipanaskan dengan asam kuat Direaksikan dengan formaldehid



Isoniazid



dan asetil aseton Direaksikan dengan salisil aldehid



Klordiazepoksid Oksitetrasiklin



lalu diikuti dengan reduksi Pembentukan laktam Kompleksasi dengan Mg2+



dan



EDTA Reserpin Oksidasi Metode kedua yang digunakan untuk menguah obat yang tdak berfluoresensi atau metabolitnya menjadi senyawa yang berfluoresensi (fluorofor) adalah metode pengkoplingan atau penggabungan gugus fungsional molekul organik tertentu dengan reagen fluoresen. diantara reagen-reagen yang sangat popular yang tersedia di pasaran adalah fluoresamin, o-ftalaldehid, dansil klorida dan NBD klorida. Kerugian metode pembentukan fluorofor dengan pengoplingan adalah: 1. Spesifitasnya masih kalah bagus jika dibandingkan dengan metode induksi kimia, 2. Adanya fluoresensi dasar (background) yang tinggi yang disebabkan oleh reagen yang tidak ikut bereaksi 3. Beberapa tahap pemisahan terhadap kelebihan reagen biasanya di perlukan sebelum dilakukan pengukuran 4. Ketersedian reagen untuk gugus fungsional tertentu biasanya terbatas. Metode-metode yang melibatkan pembentukan fluorofor yang mengandung ion-ion anorganik juga menarik terutama untuk analisis sekelumit (trace analysis) ion tertentu. Prosedurnya ada 2 kategori, kategori pertama melibatkan pembentukan khelat berfluoresensi antara ion dengan senyawa organik dilanjutkan dengan pengukuran emisinya. Metode ini bermanfaat untuk ion-ion logam non transisi yang mana kurang begitu kompetitif dengan proses fluoresensi dalam keadaan tereksitasi. Kategori ke dua pada umumnya digunakan untuk analisis anion. Penurunan intensitas fluoresensi diamati sebagai peningkatan kuantitas anion yang



12



ditambahkan. Efek ini disebabkan oleh pengaruh pemadaman (quenching) ion-ion organik pada emisi fluoresensi senyawa organik.



2.8 Hubungan Struktur Molekul Dengan Fosforesensi  Struktur molekul yang mempunyai ikatan rangkap mempunyai sifat fluoresensi karena strukturnya kaku dan planar  EDG (OH-, -NH2, OCH3) yang terikat pada system π dapat menaikkan intensitas fluoresensi  EWG (NO2, Br, I, CN, COOH) dapat menurunkan bahkan menghilangkan sifat fluoresensi  Penambahan ikatan rangkap (aromatik polisiklik) dapat menaikkan fluoresensi Fenomena



fluorosensi



dapat



dimanfaatkan



sebagai



dasar



analisis



fluorometer.Keuntungan dari analisis fluoresensi adalah kepekaan yang baik karena : -



Intensitas dapat diperbesar dengan menggunakan sumber eksitasi yang tepat



-



Detektor yang digunakan seperti tabung pergandaan foto sangat peka



-



Pengukuran energi emisi lebih tepat daripada energi terabsorbsi



-



Dapat mengukur sampai kadar 10-4 – 10-9 M



2.9 Penggunaan Fluoresensi dan Fosforesensi Dalam Bidang Farmasi Metode fluorosensi dan fosforisensi digunakan secara luas untuk analisis obat baik alam bentuk sediaan atau dalam sampel hayati. Hal ini terbukti dari banyaknya senyawa obat yang ditetapkan dengan metode ini. Tehnik ini mempunyai berbagai aplikasi dalam ilmu kesehatan, cabang forensik dan ilmu lingkungan, selain pada analisis anorganik dan organik. Obat-obat seperti quinin, misalnya dapat dianalisis sampai sejumlah nanogram. LSD yaitu asam lysergik dietil amida dapat dianalisis dari sampel darah atau urin secara fluorometer. Panjang gelombang eksitasinya dan pendar fluornya masing-masing 335 dan 435 nm. Metabolit tidak menggangu pengukuran. Demikian juga polusi udara dari bahan-bahan karsinogen berupa berupa hidrocarbon aromatik bercincin aromatik ganda seperti 3-4 benzopirena yang berasal dari pembakaran tidak sempurna bahan bakar 13



minyak, kendaraan serta pada peristiwa merokok dapat dianalisis secara fluorometer. Analisis dilakukan pada panjang gelombang 545-548 nm dalam medium asam sulfat dengan panjang gelombang eksitasi 520 nm dan panjang gelombang pendar-fluor pada 545 nm. Hasil yang reprodusibel diperoleh pada -190OC. Satu batang rokok mengandung 10 mg benzopirena dan dapat ditentukan dengan akurasi sampai konsentrasi sekitar nanogram. Demikian juga analisis anorganik logam seperti Al, Be, Ca, Cd, Cu, Ga, Ge, Hg, Mg, Nb, Sb, Se, Sn, Ta, Th, W, Zn dan Zr, dapat dilakukan secara fluorometer. Reagen-reagen seperti 8hidroksi kuinolin; 2,2’-dihidroksi azobenzen, dibenzoil metana, flavonol, bezoin, dan alizarin dapat digunakan sebaai ligan pengompleks.



2.10 Sistem Instrumentasi Pengukuran intensitas fluoresensi dapat sederhana. Instrument yang



dilakukan dengan suatu



dipergunakan bermacam-macam



mulai



fluorometer dari



filter



yang paling



sederhana (filter fluorometer) sampai ke yang sangat kompleks yaitu spektrofotometer. Komponen-komponen utama dari masing-masing instrument ini yaitu :



1. Sumber energi eksitasi Banyak terdapat sumber radiasi. Lampu merkuri relatif stabil dan memancarkan energi terutama pada panjang gelombang diskret. Lampu tungsten memberikan energi kontinyu di daerah tampak. Lampu pancar xenon bertekanan tinggi seringkali digunakan pada spektrofluorometer karena alat tersebut merupakan sebuah sumber dengan intensitas tinggi yang menghasilkan energi kontinyu dengan intensitas tinggi dari ultraviolet sampai inframerah. Pada filter fluorometer ( fluorimeter ) digunakan lampu uap raksa sebagai sumber  cahaya dan energi eksitasi diseleksi dengan filter. Pada spektrofluorimeter biasanya



14



digunakan lampu Xenon ( 150 W ) yang memancarkan spectrum kontinu dengan   panjang gelombang 200-800nm. Energi eksitasi diseleksi dengan monokromator  eksitasi ( grating ). 2. Kuvet untuk sample Sel spesimen yang digunakan dalam pengukuran fluoresensi dapat berupa tabung bulat atau sel empat persegi panjang (kuvet), sama seperti yang digunakan pada spektrofotometri resapan, terkecuali keempat sisi vertikalnya dipoles. Ukuran spesimen uji yang sesuai adalah 2 ml sampai 3 ml, tetapi beberapa instrumen dapat disesuaikan dengan sel-sel kecil yang memuat 100 μl hingga 300 μl atau dengan pipa kapiler yang hanya memerlukan jumlah spesimen yang kecil. Spektrofotometer harus dioperasikan sesuai dengan petunjuk pabrik pembuat. Bila panjang gelombang untuk eksitasi di atas 320nm dapat digunakan kuvet dari gelas, akan tetapi untuk eksitasi pada panjang gelombang yang lebih pendek digunakan kuvet dari silika. Kuvet tidak boleh berfluoresensi dan tidak boleh tergores karena dapat menghamburkan. 3. Detektor  Pada umumnya fluorometer menggunakan tabung-tabung fotomultiplier sebagai detektor, banyak tipe dari jenis tersebut yang tersedia dan masing-masing mempunyai ciri khusus



yang berkenaan



dengan



daerah



spektral



dengan



kepekaan



maksimum,



menguntungkan dan derau secara elektrik. Arus foto diperbesar dan dibaca pada sebuah meter atau perekam. Seperti pada spektrofotometri, detektor yang biasa digunakan adalah ‘fotomultiplier  tube’ atau ‘thermocouple’. Pada umumnya, detektor ditempatkan di atas sebuah poros yang membuat sudut 900 dengan berkas eksitasi. Geometri sudut siku ini memungkinkan radiasi eksitasi menembus spesimen uji tanpa mengkontaminasi sinyal luaran yang diterima oleh detektor fluoresensi. Akan tetapi tidak dapat dihindarkan detektor menerima sejumlah radiasi eksitasi sebagai akibat sifat menghamburkan yang ada pada larutan itu sendiri atau jika adanya debu atau padatan lainnya. Untuk  menghindari hamburan ini maka digunakan instrument yang bernama filter. 4. Sepasang filter atau monokromator untuk menyeleksi panjang gelombang eksitasi dan emisi. 



Fluorometer  15



Filter pertama hanya meneruskan cahaya ultraviolet dari sumber cahaya yaitu radiasi dengan panjang gelombang yang cocok untuk eksitasi specimen uji. Filter kedua meloloskan hanya panjang gelombang yang sesuai dengan fluoresensi maksimum dari zat yang diperiksa Persoalan yang dihadapi pada pemilihan filter yaitu panjang gelombang yang lebih   panjang yang diteruskan oleh filter pertama juga lolos pada daerah panjang gelombang yang lebih pendek dari filter kedua, sehingga menghasilkan blangko yang tinggi. Disamping itu sukar untuk mendapatkan filter dengan panjang gelombang yang cocok dengan radiasi eksitasi karakteristik untuk sample. dan menahan setiap cahaya eksitasi yang terhambur. Jenis filter kedua ini biasanya yang menahan panjang gelombang pendek. 



Spektrofluorimeter 



Ini menggunakan sepasang monokromator (grating) untuk menyeleksi radiasi eksitasi dan emisi yang lebih akurat (memberikan kepekaan yang tinggi) sehingga kesulitankesulitan tersebut diatas dapat diatasi. Monokromator pertama mendispersikan cahaya dari sumber cahaya sehingga menghasilkan radiasi eksitasi yang monokromatis. Sample yang tereksitasi



kemudian



berfluoresensi



sehingga



merupakan



sumber



cahaya



monokromator kedua. Dengan alat ini dapat dibuat spekrum eksitasi maupun emisi.



16



bagi



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 1. Fluororesensi berasal dari transisi antara tingkat-tingkat energi elektronik singlet dalam suatu molekul. Sedangkan Fosforesensi berasal dari transisi antara tingkattingkat energi elektronik triplet ke singlet dalam suatu molekul (biasanya didahului oleh lintasan antar sistem). 2. jika suatu senyawa tidak berfluoresensi secara intrinsik maka senyawa tersebut harus diubah menjadi senyawa yang berfluoresen untuk dapat dianalisis yaitu denngan cara induksi kimia dan metode pengkoplingan. 3. Fosforisensi lebih disukai terjadi pada eksipasi elektron yang tidak berpasangan. Dan juga, adanya substitusi pada struktur molekul dengan halogen, logam berat, dan gugus-gugus nitro (terutama yang dekat dengan elektron yang tereksitasi) akan meningkatkan fosforisensi 4. Metode fluorosensi dan fosforisensi digunakan secara luas untuk analisis obat baik alam bentuk sediaan atau dalam sampel hayati. 5. Peralata pada fluorosensi dan fosforisensi dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu fluorometer penyaringan dan spektrofluorometer. 3.2 Saran Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap pada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis. Semoga makalah ini berguna bagi penulis khususnya juga para pembaca.



17



DAFTAR PUSTAKA



Anonim, 1995, Farmakope Indonesia edisi IV, 1061, 1062, 1069, Departemen Kesehatan Indonesia, Jakarta Anonim, 1995, Farmakope Indonesia edisi III, 775,776, Departemen Kesehatan Indonesia, Jakarta Gandjar, I.B. & Abdul R., 2007, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Mulja, 1995, Analisis Instrumental, 90, Airlangga Univercity Press, Surabaya Fatimah, I. 2003 Analisis Fenol Dalam Sampel Air Menggunakan Spektrofotometri Derivatif. Logika, Vol. 9(10). Jakarta. Hendayana, S. Kadarohman, A. Sumarna, A. dan Supriatna, A. 1994 . Kimia Analitik Instrumen, edisi ke-1. IKIP Press. Semarang.



18