MAKALAH KIMIA PANGAN Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KIMIA PANGAN ” Reaksi Pencoklatan”



DISUSUN OLEH :



Puja Ika Abrianingsih Ritonga 16 506 001



Universitas Negeri Manado Fakultas Matematika dan Ilm Pengetahua Alam Jurusan Kimia 2019



KATA PENGANTAR Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini disusun berdasarkan pengumpulan dari berbagai sumber, dan untuk memenuhi salah satu tugas kimia Pangan. Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas ini. Semoga tugas yang penulis buat dapat bermanfaat bagi penulis pribadi maupun pihak yang membaca. Penulis menyadari bahwa tugas ini sangat jauh dari sempurna, masih banyak kelemahan dan kekurangan. Setiap saran, kritik, dan komentar yang bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapkan untuk meningkatkan kualitas dan menyempurnakan tugas ini.



Tondano,



2019



Penyusun



BAB I PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang



Warna senantiasa menjadi fokus perhatian bila kita mengamati suatu objek atau bertemu dengan teman pada suatu acara. Berhadapan dengan teman, perhatian kita akan tertuju pada pakaian yang digunakan apakah kemeja berwarna putih, merah atau warna menarik lainnya, apakah celana berwarna hitam, atau biru, demikian juga dengan warna dari sepatunya. Sama halnya bila kita mengamati suatu objek contohnya bangunan, perhatian kita pasti tertuju pada warna atap rumahnya, ataupun warna temboknya. Hal serupa juga akan terjadi bila kita melihat bahan makanan, misalnya roti atau buah-buahan. Roti merupakan bahan makanan yang sangat digemari, roti memiliki bentuk dan rasa yang beraneka ragam. Tingkat kematangan pembuatan roti dalam oven akan berpengaruh pada warna dari roti yang berubah menjadi kecoklatan. Buahbuahan seperti misalnya pisang, kulitnya sangat mudah berubah warna dari yang segar baik itu warna kuning atau hijau, menjadi warna coklat kehitaman. Daging buah pisang bila dipotong akan cepat berubah warna menjadi kecoklatan. Apalagi buah apel, ia akan mengalamai hal yang serupa apabila setelah kita memotongnya, tidak langsung dimakan. Berdasarkan uraian diatas, perlu kiranya kita memahami apa itu proses pencoklatan (browning process), perubahan yang terjadi pada proses pencoklatan dan cara penanggulangannya.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Reaksi Browning Browning banyak terjadi misalnya jika makanan mengalami perlakuan mekanis. Biasanya mengakibatkan perubahan penampilan, flavor dan nilai gizi, tapi bisa juga merupakan hal yang dikehendaki, seperti pada kopi, roti bakar. Pada buah-buahan dan sayuran, browning tidak dikehendaki, karena menyebabkan penampilan yang tidak baik dan timbulnya cita rasa yang lain (Mulyati, 2012). Pencoklatan atau biasa dikenal dengan nama reaksi browning dapat mengakibatkan perubahan-perubahan yang tidak diinginkan. Kerusakan tersebut seperti kenampakan produk menjadi tidak baik dan munculnya citarasa lain. Hal ini mengakibatkan penurunan pada kualitas produk (Susanto dan Saneto, 1994). 2.2 Jenis Reaksi Browning Pencoklatan atau yang biasa disebut reaksi browning ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu browning enzimatis dan non enzimatis. Pencoklatan enzimatik ini biasanya terjadi pada jenis buah-buahan yang cukup banyak mengandung substrat senyawa fenolik. Untuk pencoklatan non enzimatis dapat dialami oleh kebanyakan makanan kering dan



makanan setengah basah. Reaksi ini tergantung pada air dan secara konstan menunjukkan tingkat maksimum kadar air sedang. Ini merupakan akibat dari dua peranan air yaitu sebagai pelarut dan sebagai inhibitor (Santoso, 2006). Mekanisme pencoklatan enzimatis menurut Susanto dan Saneto (1994), disebabkan pecahnya sel bahan hasil pertanian akibat kerusakan mekanis, sehingga menyebabkan senyawa fenol yang ada dalam vakuola keluar dan bertemu dengan enzim yang ada dalam sitoplasma. Dengan adanya oksigen dan katalis logam akan terbentuk senyawa quinon. Reaksi selanjutnya terjadi secara spontan dan tidak lagi tergantung oleh enzim atau oksigen. Bentuk quinon mengalami hidrolisis menjadi bentuk hidroksi. Selanjutnya hidroksi quinon mengalami polimerisasi dan menjadi polimer berwarna coklat yang akhirnya menjadi melanin berwarna coklat. Menurut Mulyati (2012), tipe pencoklatan enzimatis ini terjadi pada beberapa buah dan sayuran seperti kentang, apel, dan pisang. Ada banyak sekali senyawa fenolik yang dapat bertindak sebagai substrat dalam proses ini. Disamping katekin dan turunannya seperti tirosin, asam kafeat, asam, dan klorogenat dapat menjadi substrat proses pencoklatan. Senyawa fenolik dengan jenis ortohidroksi atau trihidroksi yang saling berdekatan merupakan substrat yang baik untuk proses pencoklatan. Proses pencoklatan enzimatik harus memerlukan adanya enzim fenol dan oksigen yang harus berhubungan dengan substrat tersebut. Enzim yang bekerja pada awal reaksi adalah fenolasa atau pelofenol oksidasa. Untuk berlanjutnya reaksi yang dikatalis oleh enzim ini, diperlukan adanya O 2, dengan gugus protein Cu. Fenolasa adalah suatu oksidoreduktasa, fungsi oksigen adalah sebagai hidrogen akseptor. Meyer (1982), menyatakan bahwa ada 2 macam reaksi browning non-enzimatis, yaitu karamelisasi dan reaksi Maillard. Karamelisasi merupakan pencoklatan non enzimatis dari gula tanpa adanya asam amino atau protein. Proses ini terjadi jika gula dipanaskan di atas titik leburnya, sehingga berubah warna menjadi coklat dan disertai perubahan citarasa (Susanto dan Saneto, 1994). Sedangkan reaksi Maillard bisa terjadi antara gula reduksi yang mengandung gugus aldehid atau keton dengan komponen amino, seperti asam amino, peptida atau protein. Reaksi ini biasanya terjadi pada saat bahan pangan dipanaskan atau penyimpanan makanan yang lama (Apandi, 1984). 2.3 Proses Reaksi Browning Komponen yang dapat menyebabkan pencoklatan enzimatis, yaitu oksigen, enzim, dan substrat (Perera 2007 dalam Latifah 2009). Jaringan bahan yang rusak menjadi berwarna



gelap setelah berhubungan dengan udara. Hal ini disebabkan oleh terjadinya konversi senyawa fenolik oleh enzim fenolase menjadi senyawa melanin (melanoidin) yang berwarna coklat. Browning enzimatis memerlukan adanya enzim fenol oksidase dan oksigen yang berhubungan dengan substrat tertentu (Susanto dan Saneto, 1994). Menurut Mulyati (2012), pada reaksi browning non enzimatik berhubungan dengan penyiapan dan pengolahan bahan makanan, salah satu gejala pencoklatan berlangsung pada bahan makanan yang dipanaskan atau disimpan. Peristiwa ini ternyata tidak perlu katalisator biologis seperti enzim hingga pencoklatan yang berlangsung disebut dengan pencoklatan non enzimatis. Banyak usaha telah dilakukan untuk mempelajari reaksi pencoklatan non enzimatik, meskipun beberapa lintasan reaksi masih belum diketahui secara jelas. Bukti yang dapat diperoleh memberikan kesimpulan adanya lintasan reaksi utama yaitu: 1.



Reaksi Maillard Reaksi Maillard ditemukan oleh ahli kimia Perancis yang bernama Maillard. Maillard



mengamati pembentukan pigmen coklat atau melanoidin dari glukosa dan glisin yang dipanaskan. Reaksi tersebut bisa dinamakan dengan reaksi Maillard, dan reaksi yang sama antara amin, asam amino, dan protein dengan gula, aldehid dan keton juga akan menghasilkan pigmen coklat. Reaksi pencoklatan yang berlangsung selama pemanasan atau penyimpanan bahan makanan umumnya merupakan reaksi Maillard. Reaksi Maillard, menghasilkan suatu produk yang biasa disebut Amadori Compound. Selama pemanasan, gugus karbonil dari karbohidrat akan bereaksi dengan gugus amino dari asam amino atau peptide. Reaksi ini akan menghasilkan berbagai senyawa berbeda tergantung pada jenis asam amino dan gula yang terdapat dalam makanan. Selain berpengaruh terhadap warna, reaksi maillard juga berkontribusi terhadap flavour dan aroma makanan. Namun dalam di dunia industri makanan yang selalu menjaga kualitas dan keseragaman produk, efek dari reaksi maillard ini sangatlah berpengaruh. Karena selain mengakibatkan perubahan warna (melamoidins) dan flavor (aldehid dan keton), ternyata reaksi Maillard juga mempunyai pengaruh terhadap ketersediaan asam amino (menghalangi dan merusak asam amino). Asam amino yang telah bereaksi dengan karbohidrat tidak dapat digunakan oleh tubuh sehingga akan menurunkan kualitas makanan. Reaksi Maillard adalah reaksi yang terjadi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Hasil reaksi tersebut menghasilkan bahan berwarna cokelat, yang sering disebut dikehendaki atau kadang-kadang malahan menjadi pertanda penurunan mutu. Reaksi Maillard berlangsung melalui tahap-tahap sebagai berikut:



1. Suatu aldosa bereaksi bolak-balik dengan asam amino atau dengan suatu gugus amino dari protein sehingga menghsilkan basa Schiff.



2. Perubahan terjadi menurut reaksi Amadori sehingga menjadi amino ketosa. 3. Dehidrasi dari hasil reaksi Amadori membentuk turunan-turunan furfuraldehida, misalnya dari heksosa diperoleh hidroksi metil furfural.



4. Proses dehidrasi selanjutnya menghasilkan hasil antara metil α-dikarbonil yang diikuti penguraian menghasilkan reduktor-reduktor dan α-dikarboksil seperti metilglioksal, asetol, dan diasetil.



5. Aldehid-aldehid aktif dari 3 dan 4 terpolemerisasi tanpa mengikutsertakan gugus amino (disebut kondensasi aldol) atau dengan gugusan amino membentuk senyawa berwarna cokelat yang disebut melanoidin.



Reaksi Maillard terjadi antara gugus amin (asam amino) dan gula pereduksi (gugus keton atau aldehidnya). Pada akhir reaksi terbentuk pigmen coklat melanoidin yang memiliki bobot molekul besar. Reaksi yang diawali dengan reaksi antara gugus aldehid atau keton pada gula dengan asam amino pada protein ini membentuk glukosilamin. Selain gugus aldehid/keton dan gugus amino, faktor yang memengaruhi reaksi Maillard, adalah suhu, konsentrasi gula, konsentrasi amino, pH, dan tipe gula.



Berkaitan dengan suhu, reaksi ini berlangsung cepat pada suhu 100 oC namun tidak terjadi pada suhu 150oC. Kadar air 10-15% adalah kadar air terbaik untuk reaksi Maillard, sedangkan reaksi lambat pada kadar air yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Pada pH rendah, gugus amino yang terprotonasi lebih banyak sehingga tidak tersedia untuk berlangsungnya reaksi ini. Umumnya molekul gula yang lebih kecil bereaksi lebih cepat dibanding molekul gula yang lebih besar. Dalam hal ini, konfigurasi stereokimia juga memengaruh, misalnya pada sesama molekul heksosa, galaktosa lebih reaktif dibanding yang lain. Reaksi Maillard telah memberikan perubahan besar pada industri makanan, sebab reaksi ini berpengaruh pada aroma, rasa dan warna, diantaranya: industri pemanggangan kopi dan biji kokoa, proses pengembangan roti dan kue dan pembakaran sereal dan pemasakan daging. Lebih jauh lagi, produk dari reaksi Maillard ini dapat menyebabkan penurunan nilai gizi secara signifikan. Penurunan kandungan gizi yang penting ini terjadi akibat pembentukan senyawa baru dan mutagenik. Polimer akhir yang dihasilkan telah diketahui sifat-sifat fisik dan kimianya, antara lain: berwarna coklat, memiliki berat molekul besar, mengandung cincin furan dan polimer nitrogen (karbonil, karboksil amina, amida, pirol, indol, azometih, ester, anhidrida, eter, metil dan atau grup hidroksil). Reaksi ini dapat terjadi misalnya saat memanaskan makanan seperti produk roti yang biasanya mengandung 10% total lisin yang akan berubah menjadi pyralin. Susu bubuk dapat mengandung 50% lisin dapat membentuk produk amidori yaitu laktulosalysin. Wiley-Blackwell (2012).



Oleh karena itu dibutuhkan suatu cara analisa untuk mengetahui seberapa lama dan tinggi suhu yang digunakan dalam proses pemasakan sehingga dihasilkan produk yang seragam dan terjaga kualitasnya, disinilah peran Furosine. Furosine adalah salah satu senyawa yang dihasilkan melalui reaksi Maillard. Furosine akan terbentuk apabila asam amino Lysine bereaksi dengan gula (karbohidrat) dengan adanya proses pemanasan. Semakin tinggi proses pemanasan dan semakin lama waktu pemanasan, maka kadar Furosine akan semakin besar. Furosine juga dapat dijadikan indikator bahwa telah terjadi kerusakan asam amino akibat proses pemasakan (terutama asam amino Lysin). Analisa Furosine menjadi penting dalam menjaga kualitas dan konsistensi produk .



2.



Karamelisasi



Karamelisasi adalah contoh lain pencoklatan non enzimatis yang meliputi degradasi gula tanpa asam amino atau protein. Bila suatu larutan sukrosa diuapkan maka konsentrasinya akan meningkat, demikian juga titik didihnya. Keadaan ini akan terus berlangsung sehingga seluruh air menguap semua. Bila keadaan tersebut telah tercapai dan pemanasan diteruskan, maka cairan yang ada bukan lagi terdiri dari air tetapi cairan sukrosa yang lebur. Titik lebur sukrosa adalah 160 oC. Bila gula yang telah mencair tersebut dipanaskan terus sehingga suhunya melampaui titik leburnya, misalnya pada suhu 170oC, maka mulailah terjadi karamelisasi sukrosa. Reaksi yang terjadi bila gula



mulai hancur atau terpecah-pecah tidak diketahui pasti, tetapi paling sedikit melalui tahap-tahap seperti berikut: Mula-mula setiap molekul sukrosa dipecah menjadi sebuah molekul glukosa dan sebuah fruktosan (Fruktosa yang kekurangan satu molekul air). Suhu yang tinggi mampu mengeluarkan sebuah molekul air dari setiap molekul gula sehingga terjadilah glukosan, suatu molekul yang analog dengan fruktosan. Proses pemecahan dan dehidrasi diikuti dengan polimerisasi yang menghasilkan warna kecoklatan. Peristiwa ini berlangsung dalam suasana asam atau



alkalis, dan berkaitan dengan perubahan cita rasa. Kerugian karamelisasi adalah timbulnya produk dengan rasa pahit, dan jumlahnya akan meningkat apabila prosesnya tidak dikendalikan. 2.4 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Reaksi Browning Faktor penting yang menentukan kecepatan reaksi pencoklatan adalah konsentrasi enzim dan substrat, pH, suhu, serta ketersediaan oksigen dalam jaringan (Meyer, 1982). 2.5 Pencegahan dan Penanggulangan Reaksi Browning Adanya cahaya dapat menghambat kehilangan klorofil sekaligus menghambat penurunan tingkat warna hijau pada buah dan sayuran. Penelitian menunjukkan bahwa ketahanan klorofil akan lebih baik pada kol yang disimpan pada cahaya dengan intensitas rendah dibandingkan dengan pada bahan pembanding yang disimpan pada kondisi tanpa cahaya. Pencahayaan juga berhubungan dengan kondisi pertukaran gas pada bahan serta proses bukatutupnya stomata, yang akan mempengaruhi proses kehilangan air dari bahan sekaligus kehilangan berat bahan. Selain itu buka tutupnya stomata serta besarnya pertukaran gas akan mempengaruhi respirasi (Pardede, 2009). Menurut Santoso (2006), reaksi browning dapat dicegah dengan menambahkan senyawasenyawa anti pencoklatan, antara lain senyawa-senyawa sulfit, asam-asam organik dan dengan blanching/blansir: 1. Senyawa-senyawa sulfit misalnya natrium bisulfit, SO Natrium 21 sulfit dan lain-lain mempunyai kemampuan untuk menghambat reaksi browning baik enzimatis maupun non enzimatis.



Penghambatan



terhadap



browning



enzimatis



terutama



disebabkan



kemampuannya untuk mereduksi ikatan disulfida pada enzim, sehingga enzim menjadi tidak aktif, sedangkan penghambatan reaksi browning non enzimatis disebabkan kemampuannya untuk bereaksi dengan gugus aktif gula pereduksi, sehingga mencegah reaksi antara gula pereduksi tersebut dengan asam amino. 2.



Penambahan asam-asam arganik dapat menghambat browning enzimatik terutama disebabkan efek turunnya pH akibat penambahan senyawa tersebut. Enzim fenolase dan polifenolase mempunyai pH optimum pada pH 5 - 7, dibawah kisaran pH tersebut



aktifitas enzim terhambat. Asam-asam organik yang dapat ditambahkan adalah asam askorbat, asam malat, asam sitrat dan asam erithorbat. Disamping menurunkan pH penambahan asam askorbat yang bersifat pereduksi kuat sehingga berfungsi sebagai antioksidan. Dengan penambahan asam askorbat, maka oksigen yang merupakan pemacu reaksi browning enzimatis dapat dieliminasi. Penambahan asam sitrat disamping dapat menurunkan pH juga dapat mengikat tembaga yang merupakan sisi aktif enzim sehingga aktifitas enzim dapat dihambat. Mulyati (2012), menjelaskan secara lebih terperinci mengenai cara yang digunakan untuk mencegah terjadinya proses browning baik enzimatik maupun secara non enzimatik, yakni sebagai berikut: 1.



Pencegahan Reaksi Browning Enzimatik -



Aplikasi Panas Aplikasi panas pada bahan makanan pada suhu tinggi untuk waktu yang cukup lama akan menginaktivasi fenolasa dan semua enzim yang ada. Panas biasa diaplikasikan berupa proses blanching yaitu pemanasan dengan uap panas selama 5 menit, atau pasteurisasi HST (High Temperature Short Time) suhu tinggi waktu singkat.



-



Aplikasi SO2 dan sulfit Sulfurdioksida dan sulfit, biasanya Na-sulfit dan Na-metabisulfit merupakan inhibitor fenolasa yang kuat. Banyak digunakan dalam industri makanan, misalnya dalam pengolahan kentang, apel, dan lain-lain. Dapat digunakan gas SO2 atau larutan sulfit. Gas dapat masuk lebih cepat ke dalam buah atau sayur, tapi sulfit lebih mudah digunakannya, misalnya dengan cara dicelup atau disemprot.



-



Pencegahan Kontak dengan Oksigen Cara yang biasa digunakan adalah merendam kentang-kentang yang sudah dikupas kedalam air sebelum dimasak sehingga demikian tidak berhubungan dengan udara.



-



Aplikasi Asam Cara ini banyak dilakukan dalam pencegahan browning enzimatis. Asam-asam yang biasa digunakan adalah asam-asam yang biasa terdapat dalam jaringan tanaman, seperti asam sitrat, malat, fosfat, dan askorbat. Kerjanya asam-asam ini terhadap browning adalah menurunkan pH.



2.



Pencegahan browning non-enzimatis: -



Suhu



Karena browning ini disebabkan oleh suhu panas, maka dengan penurunan suhu, khususnya pada penggudangan dapat mencegah atau mengurangi terjadinya browning. -



Kandungan Air Reaksi browning tergantung dari adanya air, sebab itu pengurangan kadar air dengan proses dehidrasi dapat mencegah browning.



-



pH Karena reaksi Maillard berlangsung lebih baik pada kondisi alkalis, maka penurunan pH dapat mencegah atau mengurangi proses browning.



-



Inhibitor Kimiawi Banyak zat-zat kimia yang dapat mencegah browning non enzimatis, seperti sulfit, bisulfit, dan garam-garam dapur. Sulfit : Sulfit ini dapat berhasil baik mengendalikan berbagai proses browning. Sulfit biasa juga memblokir gugusan karbonil dari gula reduksi dalam reaksi karbonilamino, sebab bereaksi dengan sulfit membentuk hidroksisulfonat. Bisulfit : Mencegah konversi D-glukosa menjadi 5-hidroksimetil furtura. Dengan demikian pembentukan furfural diblokir, jadi pembentukan pigmen dicegah. Garam Kalsium : CaCl2 dapat mencegah browning disebabkan oleh efek khelasi dari Ca dengan asam amino.



2.6 Penelitian yang Berkaitan dengan Reaksi Browning Hong and Kim (2004), yang meneliti daun bawang (Allium fistulosum) olahan minimalis menunjukkan bahwa perubahan warna terutama disebabkan oleh hilangnya klorofil khususnya pada bagian daun dan bagian batang, yang ditunjukan dengan naiknya nilai L (lightness) serta menurunnya nilai H (nilai hue) dengan pemeriksaan menggunakan alat pengukur warna.



Ditambahkan bahwa meskipun proses pencoklatan (browning)



menyumbang terhadap penurunan nilai warna daun bawang tetapi faktor hilangnya warna hijau merupakan faktor yang dominan. Sementara Goris dkk. (1994), menemukan bahwa pengemasan dengan kondisi hampa tingkat sedang (moderate vacuum) pada kemasan polyetilene 80 µm dapat menurunkan reaksi pencoklatan enzimatik seperti yang terjadi pada lettuce pada penyimpanan 5oC selama 10 hari. Sementara pada produk kol cina yang dikemas PD961 (polyolefin type film, dengan ketebalan 50 μm), kondisi oksigen rendah dan karbondioksida yang tinggi dapat menghambat penurunan mutu, khususnya yang diakibat reaksi pencoklatan (Kim, 1999).



Penelitian Cervera, dkk. (2007), menunjukkan bahwa respirasi pada awal penyimpanan berlangsung sangat intens dimana komposisi gas pada kemasan brokoli yang dikemas mengunakan polypropilene 35 µm pada kondisi gelap total menunjukkan bahwa setelah 3 hari penyimpanan kandungan O2 mencapai 1,8% sedangkan CO2 mencapai 17,8%. Kondisi ini menekan proses respirasi untuk memperlambat lajunya, dan pada hari ke-11, ditemukan kondisi atmosfir yang hampir sama dengan atmosfir normal. Kondisi gelap 20 jam dan diikuti 4 jam pemaparan terhadap cahaya fluoresence, dapat memperpanjang intensitas respirasi hingga hari ke-15, dan pada kondisi terpapar cahaya sepanjang penelitian menunjukkan kondisi dapat dipertahankan hingga hari ke-15 penyimpanan. Kol bunga (Cauliflower) yang disimpan dalam kondisi total tanpa cahaya menunjukkan penurunan kualitas warna.



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan •



Reaksi pencoklatan pada bahan pangan dapat dibagi menjadi dua reaksi utama yaitu pencoklatan enzimatis dan pencoklatan non-enzimatis.







Pencoklatan enzimatik terjadi pada buah-buahan dan sayuran yang banyak mengandung substrat fenolik, di samping katekin dan turunnya seperti tirosin, asam kafeat, asam klorogenat, serta leukoantosiain dapat menjadi substrat proses pencoklatan.







Proses browning adalah proses kecoklatan pada buah yang terjadi akibat proses enzimatik oleh polifenol oksidasi.







Pada jaringan tanaman, enzim PPO (Polifenol Oksidasi) dan substrat dipisahkan oleh struktur sel sehingga tidak terjadi proses browning.







Proses Browning non-enzimatis disebabkan oleh reaksi pencoklatan tanpa pengaruh enzim, terjadi saat pengolahan berlangsung.







Reaksi pencoklatan secara non-enzimatis pada umumnya ada dua macam reaksi, yaitu karamelisasi dan reaksi Maillard.







Reaksi Maillard adalah reaksi yang terjadi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer.







Karamelisasi adalah reaksi pyrolisis dari gula, adalah suatu proses pemanasan yang mengakibatkan pecahnya molekul sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa yang diikuti dengan pelepasan molekul air dari glukosa dan fruktosa sehingga menimbulkan warna coklat.



DAFTAR PUSTAKA Aked, J. 2000. Fruits and Vegetables in Stability and shelf-life of food., in Kilcast. K and Subramaniam, P (Eds.):The Stability and Shelf-life of Food. CRC Press. Apandi, M. 1984. Teknologi Buah dan Sayur. Bandung: Penerbit Alumni. Cervera, S. S., Olarte, C., Echavarri, J. F. and Ayala. F. 2007. Influence Of Exposure to Light On The Sensorial Quality Of Minimally Processes Cauliflower. Journal of Food Science 37: 1, 12 - 18 Hong, S. and Kim, D. 2004. The effect of packaging treatment on the storage quality of minimally processed bunched onions. International Journal of Food Science and Technology 39, 1033 – 1041. Kim, B. 1999. Fresness prolongation of minimally processed Chinese cabbage with active modified atmosphere packaging. Acta Hort. (ISHS) 483:319-324. http://www.actahort.org/books/483/483_36.htm Latifah. 2009. Pengaruh Edible Coaating Pati Ubi Jalar Putih (Ipomoea batatas L.) terhadap Perubahan Warna Apel Potong Segar (Fresh-Cut Apple). Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Meyer, L. H. 1982. Food Chemistry. AVI Publishing Company Inc., Connecticut. Mulyati, M.T. 2012. Sayur-Sayuran, Buah-Buahan Penangan dan Pengolahannya. Makassar: Indo Media. Pardede, E. 2005. Pasca Panen dalam Industri Pertanian, dalam Yustika, A.E. Menjinakkan Liberalisme: Revitalisasi sektor pertanian dan kehutanan. Pustaka Pelajar, Jogjakarta. Pardede, E. 2009. Buah dan Sayur Olahan Secara Minimalis. Jurnal VISI. 17:3. Santoso. 2006. Teknologi Pengawetan Bahan Segar. Malang: Universitas Widyagama. Susanto, T. dan Saneto, B. 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Surabaya: Bina Ilmu. Blackweel, Wiley, 2012. Food Biochemistry and Food Processing, 2nd (ed). New York Buckle, K.A., 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta Eskin, N.A.M.,et al, 1991, Biochemistry of Food. Academic Press. New York Fennema, O.W., 1985. Principle of Food Science, Food Chemistry, 2nd (ed). Marcel Dekker Inc, New York http://www.buzzle.com diakses pada Desember 2015 Richardson T., 1991. Enzymes O.R.Ed Food Chemistry Principles on Food Sci., Part 1. Marcel Dekker Inc. New York Stuart J. Baum, Charles W.J Scaife, 1975. Chemistry a Life Science Approach. Macmillan Publishing Co., Inc. New York