4 0 165 KB
ASUHAN KEPERAWATAN MYASTHENIA GRAVIS
Bunga Jihan A. E Sillehu
14220180033
Tisna HS Sianu
14220180035
Dwi Nurul Hijrayanti Wijaya
14220180036
Ayu Sasmitha
14220180037
Widyahsari Yujianti
14220180038
Rifka Riska MR
14220180041
Hastri Arifin Kasan
14220180043
Rizka Putri Yulianti
14220180044
Banur Hadriyanti Rahayu
14220180045
Iin Utami Yasrianti L
14220180046
Nurmaulidina Syaiful
14220200054
Mirdawati
14220200056
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA TAHUN 2020
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR............................................................................................3 BAB I......................................................................................................................4 PENDAHULUAN..................................................................................................4 A.
Latar Belakang...........................................................................................4
B.
Tujuan Penulisan.......................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................6 TINJAUAN TEORI...............................................................................................6 A.
Konsep Medis.............................................................................................6 1.
Definisi.....................................................................................................6
2.
Etiologi.....................................................................................................6
3.
Patofisiologi.............................................................................................7
4.
Manifestasi Klinis....................................................................................8
5.
Komplikasi...............................................................................................9
6.
Pemeriksaan Penunjang..........................................................................10
7.
Penatalaksanaan.....................................................................................11
8.
Pathway..................................................................................................14
B.
Konsep Asuhan Keperawatan.................................................................15 1.
Pengkajian..............................................................................................15
2.
Diagnosa Keperawatan dan Perencanaan Intervensi...............................16
BAB 3....................................................................................................................22 PENUTUP............................................................................................................22 A.
Kesimpulan...............................................................................................22
B.
Saran.........................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23
2
KATA PENGANTAR Assalammualaikum Warahmatullahi Wb. Alhamdulillah puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya. Shalawat serta salam tiada lupa pada terhaturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. Beserta para keluarga, sahabat, dan para pengikut-pengikut beliau hingga hari akhir nanti. Asuhan Keperawatan ini disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah “Keperawatan Kritis” dengan berjudul Myasthenia Gravis dan dengan selesainya laporan pendahulian ini, maka penulis mengucapkan banyak terima kasih khususnya kepada Dosen Pengajar dalam mata kuliah ini dan kepada teman-teman semua. Penulis menyadari terdapat begitu banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Tetapi penulis berharap Asuhan Keperawatan ini dapat diterima untuk memenuhi tugas tersebut. Terakhir semoga Asuhan Keperawatan ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Makassar, 07 Desember 2020
Penulis
3
4
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada manusia.Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala miastenia gravisyang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR)pada kelinci.Sedangkan pada manusia yang
menderita
miastenia
gravis,
ditemukan
kelainan
pada
neuromuscular junctionakibat defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR).Pada hampir 90% penderita miastenia gravis,transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus yang diperantarai demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR,sehingga lokalisasi imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik dari plasmaparesis. Miastenia gravis ditandai oleh kelemahan otot yang kembali memulih setelah istirahat. Miastenia dalam bahasa latin artinya kelemahan otot dan gravis artinya parah.1 Departemen kesehatan Amerika Serikat mencatat jumlah pasien MG diestimasikan sebanyak 5 sampai 14 dari 100.000 orang populasi pada seluruh etnis maupun jenis kelamin.2 Di Indonesia sendiri belum ditemukan data yang akurat terkait angka kejadian MG. Populasi MG terbilang kecil apabila dibandingkan dengan jumlah seluruh penduduk di Indonesia. Meskipun jumlahnya yang sedikit namun pasien tetap merasakan berbagai dampak fisik maupun psikososial yang ditimbulkan oleh proses penyakit.3 Studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Oktober – November 2017 di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. M. Djamil Padang, didapatkan 62 pasien MGdari periode Mei 2015 – Mei 2017 (Fadel Muhammad., dkk. 2019). Sebanyak 15 % – 20 % pasien dengan MG setidaknya pernah mengalami satu kali myasthenic crisis. Myasthenic crisis merupakan
5
keadaan darurat medis yang terjadi akibat otototot yang mengontrol pernafasan melemah hingga pasien membutuhkan ventilator untuk bernafas. Keluhan kelemahan pada pasien MG dengan riwayat krisis akan meningkat sepanjang hari (Komarudin & Chairani, 2019 dalam Mia Listia., dkk. 2020). Penelitian tentang kualitas hidup miastenia gravis menggunakan kuesioner Myasthenia Gravis Qualitiy of Life-15 (MG-QoL-15) yang melibatkan 50 pasien MG di India didapatkan tidak ada perbedaan signifikan antara jenis kelamin, usia, timoma, status timektomi terhadap kualitas hidup, tetapi ditemukan perbedaan skor yang signifikan terhadap kelas atau derajat MG berdasarkan MGFA. Skor yang baik didapatkan pada MGFA kelas I dan II, sementara skor paling rendah didapatkan pada MGFA kelas III dan IV (Fadel Muhammad., dkk. 2019). B. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui konsep medis penyakit tentang myasthenia gravis. 2. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan tentang myasthenia gravis secara umum.
6
BAB II TINJAUAN TEORI A. Konsep Medis 1. Definisi Miastenia gravis (MG) adalah suatu bentuk kelainan pada transmisi neuromuskular / disorders of neuromuscular transmission (DNMT) yang paling sering terjadi. Pada MG terjadi permasalahan transmisi yang mana terjadi pemblokiran reseptor asetilkolin (AChR) di serat otot (post synaptic) mengakibatkan tidak sampainya impuls dari serat saraf ke serat otot (tidak terjadi kontraksi otot) (Fadel Muhammad., dkk. 2019). Miathenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas (Salma Kamarudin & Liza Chairani, 2019). 2. Etiologi Dalam MG, antibodi terhadap asetikolin (ACh) reseptor nikotinik pasca-sinaptik terbentuk pada sambungan neuromuskuler saraf perifer. Kompleks imun antibodi-antigen dan terkait dengan peradangan menghasilkan disfungsi yang menghambat transmisi neuromuskuler yang normal. Pada sebagian besar pasien, antibodi IgG menyerang reseptor asetilkolin (AChRs), tetapi mereka juga dapat diarahkan otot kinase spesifik/muscle konase spesific (Musk). Limfosit T juga terlibat dalam patogenesis MG, sebagai subset spesifik dari sel T yang dikenal untuk menanggapi rangsangan antigenik dan mengaktifkan sel-sel B AChR-spesifik . Reaksi toleransi imunitas diduga melibatkan timus (hiperplasia atau timoma) yang terjadi pada sebagian besar pasien dengan MG (Shahdevi Kurniawan, 2014).
7
Walaupun merupakan gangguan autoimun yang relatif jarang terjadi, MG sekarang dianggap mempengaruhi sekitar 36.000 sampai 60.000 orang Amerika. Meskipun wanita lebih sering terkena daripada pria selama lima dekade pertama kehidupan, pria lebih sering didiagnosis antara usia 60 dan 80 tahun (Shahdevi Kurniawan, 2014). 3. Patofisiologi Patofisiologi MG terbagi menjadi 4 jalur mekanisme, yaitu: a. Defek transmisi neuromuskular Kelemahan otot rangka timbul akibat menurunnya faktor keselamatan pada proses transmisi neuromuskular. Faktor keselamatan adalah perbedaan potensial pada motor endplate dan potential threshold yang dibutuhkan untuk menimbulkan potensial aksi dan akhirnya merangsang kontraksi serabut otot. Menurunnya potensial pada motor endplate timbul akibat menurunnya reseptor asetilkolin (Salma Kamarudin & Liza Chairani, 2019). b. Autoantibodi Autoantibodi yang paling sering ditemukan pada MG adalah antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) nikotinik pada otot rangka.
Antibodi
AChR
akan
mengaktifkan
rangkaian
komplemen yang menyebabkan trauma pada post-sinaps permukaan otot. Selanjutnya antibody AChR akan bereaksi silang dengan AChR sehingga meningkatkan endositosis dan degradasi. Lalu antibody AChR akan menghambat aktivasi AChR dengan cara memblokade binding site-nya AChR atau menghambat pembukaan kanal ion (Salma Kamarudin & Liza Chairani, 2019). c. Patologi timus Abnormalitas timus sering ditemukan pada pasien MG. Sekitar 10% pasien MG terkait dengan timoma. Sebagian besar timoma
8
memiliki kemampuan untuk memilih sel T yang mengenali AChR dan antigen otot lainnya. Selain timoma, ditemukan juga hyperplasia timus folikular pada pasien MG tipe awitan dini dan atropi timus pada pasien MG dengan awitan lambat (Salma Kamarudin & Liza Chairani, 2019). d. Defek pada sistem imun MG adalah gangguan autoimun terkait sel T dan diperantarai sel B. Produksi autoantibodi pada AChR MG membutuhkan bantuan dari sel T CD4+ (Sel T helper). Mereka akan menyekresikan sitokin inflamasi yang menginduksi reaksi autoimun terhadap self-antigen dan akhirnya mengaktifkan sel B (Salma Kamarudin & Liza Chairani, 2019). 4. Manifestasi Klinis Fatigue atau kelemahan merupakan salah satu manifestasi klinis pada miastenia gravis. Fatigue pada miastenia gravis digambarkan sebagai minimnya kekuatan untuk mempertahankan aktivitas otot dan lemahnya otot untuk berkontraksi tanpa adanya kondisi penurunan kesadaran (Cantor, 2010dalamPutri, Tri A.R.K., 2017). Gejala awal biasanya berupa simetris ptosis yang tidak jarang disertai dengan diplopia atau pandangan yang kabur pada miastenia gravis okular atau lebih luas lagi seperti kesulitan saat menelan, mengunyah, maupun berbicara yang terjadi pada miastenia umum. Manifestasi klinis yang muncul pada pasien miastenia gravis meliputi: a. Kelemahan otot mata, yang menyebabkan ptosis (turunnya kelopak mata). b. Kelemahan
otot
wajah,
leher,
dan
tenggorokan
yang
menyebabkan kesulitan makan danmenelan. c. Penyebaran kelemahan otot yang berkelanjutan. Pada awalnya terjadi keletihan ringan dengan pemulihan kekuatan setelah
9
beristirahat. Akhirnya, kekuatan tidak pulih setelah beristirahat. d. Gejala yang paling umum adalah diplopia, terjdai pada 90% kasus. Gangguan persendian dan suara hipernasal sering ditemukan. Kelemahan laring dan faring muncul pada sepertiga pasien miastenia gravis. Disfonia juga memburuk pada pemakaian suara yang lama danberlebihan. (Putri, Tri A.R.K., 2017) 5. Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien miastenia gravis yakni krisis miastenik dan krisis koligernik. a. Krisis miastenik memiliki karakteristik sepeti kelemahan pada otot-otot pernapasan, tidak mampu memenuhi ventilasi yang adekuat sehingga menyebabkan gagal napas bahkan kematian. Krisis miastenik, yang ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang memuncak pada gawat napas dan kematian karena diafragma dan otot interkostal menjadi lumpuh. Krisis miastenik dapat terjadi setelah pengalaman yang menimbulkan stress seperti penyakit, gangguan emosional, pembedahan, tapering off prednisone atau selama kehamilan (Hickey, 2014 dalam Putri, Tri A.R.K., 2017). b. Krisis koligernik merupakan salah satu kondisi respons toksik yang kadang dijumpai pada penggunaan obat antikolinerase yang terlalu banyak (Elizabeth J. Corwin, 2008 dalam Putri, Tri A.R.K., 2017). Status hiperkolinergik dapat terjadi yang ditandai dengan peningkatan motilitas usus, konstriksi pupil, dan bradikardia.
Individu
dapat
mengalami
mual,
muntah,
berkeringat, dan diare yang akhirnya dapat mengarah pada kondisi gagal napas.Hickey (2014 dalam Putri, Tri A.R.K., 2017) mendeskripsikan krisis koligernik sebagai kejadian pada pasien
10
miastenia gravis dikarenakan efek toksik dari obat- obatan seperti muscarine dan nicotinic. Efek muscarine bekerja dengan lambat sedangkan efek nicotinic biasanya diawali dengan keram di area abdomen dan diare sebelum akhirnya menyebabkan krisis koligernik. 6. Pemeriksaan Penunjang 1. Tes farmakologi (pharmacologic test) Menurut Woodward&Mesteeky(2011) Pada kondisi normal asetikolin di urai di tautan neuromuskular oleh enzim asetikolinerase. Diagnosis klinis miastenia gravis dapat di tegaskan pemberian
berdasarkan intravena
kembalinya obat
yang
kekuatan
otot
mencegah
setelah aktivitas
asetilkolinerase sehingga memperpanjang waktu paru aseltikolin. Erofonium klorida atau tensilon merupakan kolinesterase inhibitor dengan cara kerja short acting yang memungkinkan asetilkolin untuk berikatan dengan reseptopnya sehingga untuk sementara dapat terjadi kontraksi otot volunteer. Efek tensilon berlangsung beberapa menit,kemudian kelemahan otot muncul kembali. Dosis yang diberikan biasanya 10mg,2 mg, 3 mg,dan 5 mg.hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya risis koligernik. Miastenia gravis dapat di tegaakkan apabila pasien menunjukan perbaikan pada kekuatan otot (secara signifikan dapat dilihat pada otot okular). Efek samping dari pemeriksaan ini adalah penurunan prekuensi nadi pada pasien maka harus di siapkan alat resusitasi apablan terjadi penurunan kondisi pasien. 2. Pemeriksaan dengan menggunakan es dapat di lakukan,pasien diminta untuk memegang ice packs lalu pasien di minta untuk menutup mata selama 1 sampai 2 menit dan di observasi adanya ptosis yang bertambah. 3. Pemeriksaan serum antibodi reseptor aseltikolin. Keberadaan
11
antibodi reseptor aseltikolin terjadi pada sebagian besar kasus miastenia gravis. Pada miastenia gravis yang berhubungan dengan timoma,antibodi Muscle-specifickinase(MuSK) lebih sering di temukan. 4. Pemeriksan radiogafi seperti CT-scan atau MRI di area mediastinum dapat di lakukan untuk screening timoma. 5. Pengukuran elektromiografi (EMG) potensian aksi ototrangka memperlihatkan penurunan aplitudo pada stimulasi neuron motorik pemeriksan dengan menggunakan EMG
dapat
menghasilkan hasil negatif terutama pada miastenia gravis okular (Putri,Tri A.R.K.,2017). 7. Penatalaksanaan Penatalaksanaan yang dapat diberikan diantaranya timektomi, asetikolinerasi, imunosupresan, plasmaferesis, hingga tindakan operatif, timektomi.Setiap pasien memiliki hasil yang berbeda-beda setelah menjalani pengobatan dan masa perawatan lalu kembali kerut ini tas sehari-hari Sampai saat ini belum ada penatalaksanaan yang pasti bagi tiap-tiap pasien miasteniagravis.Tetapi farmakologi yang dapat dikonsumsi oleh pasien pun terbatas, dikarenakan respon elergi yang berbeda-beda untuk masing-masing individu. Penatalaksanaan
pada
miastenia
gravis
dengan
terapi
konvensional tidak dapat memberikan hasil akhir kesembuhan pasien secara menyeluruh Sedangkan pemberian immunosupresan pada pasien juga dapat memberikan efek Samping yang berat (Twork et al., 2010). Kondisi ini membuat pemberian terapi Dan pengawasan
penatalaksanaan
pada
pasien
miastenia
gravis
memerlukan perhatian dari tenaga kesehatan sebagai provider pemberi asuhan. Salah satu penatalaksanaan yang dapat diberikan yaitu therapeutic plasma Exchange atau yang lebih dikenal dengan
12
plasmaferesis. Pada kebanyakan Kelainan neurologi sepeti miastenia gravis, cairan pengganti yang dianjurkan Adalah albumin 5% (McLeod, 2010; Winters, 2008 dalam Dyar, 2013) Dalam bukunya Corwin (2008) menjabarkan penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien miastenia gravis, meliputi peningkatan
periode
waktu
Istirahat,
antikolinerase
untuk
memperpanjang waktu paruh asetilkolin, antiInflamasi untuk membatasi serangan autoimun, atropine (penyekat asetilkolin) Pada krisis koligernik, bantuan napas pada kondisi krisis yang menyebabkan gagal napas, plasmaferesis (dialisis darah dengan pengeluaran IgG), dan timektomi (pengangkatan timus melalui pembedahan). Penatalaksaan pada pasien miastenia Gravis seringkali dilakukan dengan hasil jangka panjang yang bervariasi. Pemberian obat-obatan jenis immunosupresan seringkali tidak dapat diterima dengan baik oleh pasien miastenia gravis dikarenakan efek samping obat dalam pemberian yang lama dapat menurunkan kondisi imunitas dari pasien (Dalakas, 2013). Pengembangan terapi medikasi berdasarkan evidence based practice pada Kasus miastenia gravis masih terus dilakukan dengan cara clinical trial demi mendapatkan hasil yang maksimal dalam pemberian terapi (Punga, Kaminski, Richman, & Benatar, 2015
13
B. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian b. Identitas klien yang meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan status c. Keluhan utama : kelemahan otot d. Riwayat kesehatan : diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat dan presentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial setelah istirahat sangatlah menunjukkan miastenia gravis, pasien mungkin mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana. Riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot. e.
Riwayat penyakit keluarga : kaji kemungkinan dari generasi terdahulu yang mempunyai persamaan dengan keluhan klien saat ini
f. Pengkajian psiko sosial spiritual : klien miastenia gravis sering mengalami gangguan gangguan emosi dan kelemahan otot apabila
mereka
berada dalam
keadaan tegang.
Adanya
kelemahan pada kelopak mata (ptosis), dilopia, dan kerusakan dalam komunikasi verbal menyebabkan klien sering mengalami gangguan citra diri. g. Tingkat kesadaran : biasanya pada kondisi awal kesadaran klien masih baik h. Fungsi cerebral : Status mental : observasi penampilan klien dan tingkahlakunya, nilai gaya bicara dan observasi ekspresi wajah, aktiftas mitorik yang mengalami perubahan seperti adanya gangguan perilaku, alam perasaan, dan persepsi. i. System motoric : karakteristik utama miastenia gravis adalah dalam system motoric. Adanya kelemahan umum pada otot-otot
14
rangka memberikan manifestasi pada hambatan mobilitas dan intoleransi aktivitas klien j. Pemeriksaan refleks : pemeriksan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periostem derajat refleks pada respon manual k. Pemeriksaan fisik :
B1 (breathing): dispnea,resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut, kelemahan otot diafragma
B2 (bleeding) : hipotensi / hipertensi .takikardi / bradikardi
B3 (brain) : kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi okular, jatuhnya mata atau dipoblia
B4 (bladder) : menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih
B5 (bowel) : kesulitan mengunyah-menelan, disfagia, dan peristaltik usus turun, hipersalivasi, hipersekresi
B6 (bone) : gangguan aktifitas / mobilitas fisik, kelemahan otot yang berlebih
2. Diagnosa Keperawatan dan Perencanaan Intervensi DIAGNOSA KEPERAWATAN
TUJUAN & KRITERIA
INTERVENSI
Kerusakan
HASIL Pasien akan 1. Catat
saturasi
pertukaran gas
mempertahankan
oksigen
dengan
berhubungan
pertukaran
oksimetri,
dengan
kelemahan yang adekuat.
otot atau buruknya kirens jalan napas
gas
terutama
dengan
aktivitas. 2. Ukur
parameter
pernafasan dengan
15
teratur. 3. Suksion
sesuai
kebutuhan(obat obat antikolinergik meningkatkan sekresi bronkial) 4. Auskultasi bunyi nafas setiap 4 jam. 5. Batuk dan nafas setiam 2 jam. 6. Berikan obat obat antikolinergik pada
waktunya
jika dipesankan 7. Simpan pemanggil
lampu dekat
dengan pasien. 8. Catat
AGD,
perhatikan kecenderungan sepanjang waktu
16
9. Tetapkan
sistem
komunikasi alternatif
jika
pasien menggunakan ventilator 10. Pastikann
pasien
bahwa
anda
mengetahui kesulitan bernafas dan
tidak
akan
meninggalkannya sendiri. Defisit
perawatan Pasien
diri: yang
mampu
berhubungan
melakukan
dengan otot, umum.
akan 1. Buat untuk
dengan
kelemahan setidaknya 25% keletihan aktivitas perawatan
perawatan
tidak
jadwal diri interval, secara
beruntun. diri 2. Beri
dan
istirahat
berhias.
latihan
waktu diantara
3. Lakukan
17
perawatan untuk
diri pasien
selama kelemahan otot yang sangat berlebihan
atau
sertakan keluarga. 4. Peragakan teknikteknik penghematan energi. Perubahan
nutrisi Masukan
kurang
dari akan
ebutuhan yang dengan
kalori 1. Kaji refleks gag, adekuat
tubuh: untuk memenuhi
berhubungan kebutuhan disfagia, metabolik.
menelan, refleks
dan batuk
sebelum pemberian
intubasi, atau
oral.
paralisis otot.
2. Hentikan
per
pemberian makan per
oral
jika
pasien tidak dapat mengatasi sekresi oral,
atau
jika
18
refleks
gag,
menelan,
atau
batuk tertekan 3. Tetap
bersama
pasien
ketika
pasien makan, jika perlu di suction 4. Berikan makanan suplemen
dalam
jumlah kecil. 5. Hindari pemberian jika
susu terjadi
sekresi. 6. Baringkan pasien tegak dan berikan banyak untuk
waktu menelan
makanan. 7. Pasang
selang
makan kecil dan berikan makanan
19
per selang jikat terdapat disfagia. 8. Berikan
nutrisi
parenteral jika
total
pemberian
makan
per
oral/selang merupakan kontraindikasi 9. Catat
masukan
dan haluaran. 10. Lakukan konsultasi
gizi
untuk mengevaluasi kalori. 11. Timbang
pasien
setiap hari.
20
21
BAB 3 PENUTUP A. Kesimpulan Miastenia gravis (MG) adalah suatu bentuk kelainan pada transmisi neuromuskular / disorders of neuromuscular transmission (DNMT) yang paling sering terjadi. Pada MG terjadi permasalahan transmisi yang mana terjadi pemblokiran reseptor asetilkolin (AChR) di serat otot (post synaptic) mengakibatkan tidak sampainya impuls dari serat saraf ke serat otot (tidak terjadi kontraksi otot) (Fadel Muhammad., dkk. 2019). Fatigue atau kelemahan merupakan salah satu manifestasi klinis pada miastenia gravis. Fatigue pada miastenia gravis digambarkan sebagai minimnya kekuatan untuk mempertahankan aktivitas otot dan lemahnya otot untuk berkontraksi tanpa adanya kondisi penurunan kesadaran (Cantor, 2010dalamPutri, Tri A.R.K., 2017). Gejala awal biasanya berupa simetris ptosis yang tidak jarang disertai dengan diplopia atau pandangan yang kabur pada miastenia gravis okular atau lebih luas lagi seperti kesulitan saat menelan, mengunyah, maupun berbicara yang terjadi pada miastenia umum. B. Saran Sehat merupakan keadaan
fisik yang sangat berharga bagi kita
semua, maka dari itu pentingnya kita untuk menjaga kesehatan dengan baik. Penyakit ini dapat secara langsung menyebabkan berbagai gangguan yang terjadi terutama pada otak. Jika tidak segera di tangani dengan cepat dan tepat, penyakit ini dapat membuat penderita mengalami keadaan yang buruk. Jadi, untuk mengantisipasi keadaan tersebut hendaklah segera pergi ke pihak medis terutama dokter jika tanda dan gejala telah dirasakan.
22
DAFTAR PUSTAKA Muhammad, Fadel., dkk. 2019. Gambaran Kualitas Hidup Pasien Miastenia Gravis di RSUP Dr M Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas Vol 8 Listia, Mia., dkk. 2020. Studi Kasus: Status Pernapasan Pada Pasien Myasthenia Gravis di Ruang Azalea RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Perawat Indonesia Vol 4 No 1 Hal 30-42. Kamarudin, salma & chairani, liza. 2019. Tinjaun Pustaka: Miastenia Gravis. Syifa Medika Vol 10 No 1 Kurniawan, Shadevi. 2014. Myasthenia Gravis: an Update dalam Contiuning Neurological Education, Malang. UB Media. Universitas Brawijaya Malang. Putri, Tri Antika Rizki Kusuma. (2017). Karya Tulis Ilmiah Akhir. Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien Gangguan Sistem Neurologi dengan Kasus Miastenia Gravis Mengguanakan Pendekatan Model Adaptasi ROY di Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo Jakarta. Program Pendidikan Spesialis Keperawatan. Universitas Muslim Indonesia. Julie J. Benz, RN, MS. 2010. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Volume 2. Jakarta : EGC
23