Makalah KLP Penyakit Tropis Selvi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PENYAKIT FILARIASIS



Dosen Pengampu : Ns. Awaliyah Ulfa Ayudhita,S. Kep., MARS Mata Kuliah : Penyakit Tropis Oleh : Selvi Elfa Yenti (19010013)



PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PEKANBARU MEDICAL CENTER T.A 2021



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah



tentang “Penyakit



Filariasis”. Shalawat beriring salam peneliti sampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa umat manusia dari alam kebodohan kealam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini. Peneliti menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan karya tulis ilmiah, Sangatlah sulit bagi peneliti untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.



DAFTAR ISI



Kata Pengantar....................................................................................................................i Daftar Isi............................................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang..........................................................................................................iii 1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................iv 1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................................iv BAB II PEMBAHASAN A. Definisi .................................................................................................................1 B. Klasifikasi..............................................................................................................2 C. Manifestasi Klinis..................................................................................................2 D. Patogenesis ...........................................................................................................2 E. Prognosis ..............................................................................................................2 F. Komplikasi ............................................................................................................3 G. Pengkajian ............................................................................................................3 H. Penatalaksanaan ....................................................................................................3 I. Intevensi Keperawayan..........................................................................................4 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan............................................................................................................5 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................6



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penyakit kaki gajah (filariasis) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Cacing filaria hidup di saluran dan kelenjar getah bening dengan manifestasi klinik akut berupa demam berulang, peradangan saluran dan kelenjar getah bening. Jika tidak mendapat pengobatan yang tepat dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan payudara serta alat kelamin baik pada laki-laki maupun perempuan (Depkes RI, 2010). Filariasis banyak ditemukan di dataran rendah dan daerah perbukitan yang rendah mencakup daerah perkotaan dan pedesaan yang terdapat daerah pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa, dan daerah hutan. Saat ini, di Indonesia telah diketahui ada tiga spesies cacing filaria yang menyebabkan terjadinya penyakit kaki gajah, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Sementara itu, nyamuk yang dapat berperan sebagai vektor penular penyakit filariasis di Indonesia telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Aedes, Armigeres dan Mansonia.(Nasrin, 2008). Di dunia terdapat 17 macam penyakit tropis yang membutuhkan perhatian. Ke-17 penyakit itu adalah dengues, rabies trakom, buruli ulcer, treponematoses, lepra, penyakit changes, human Africa trypanosomiasis, leishmaniasis, cysticercosis, dracunculiasis, echinococcosis, infeksi trematoda, lewat makanan, lymphatic filariasis (kaki gajah), onchosersiasis, shistosomiasis, dan cacing perut. Kasus filariasis menyerang sekitar sepertiga penduduk dunia atau 1,3 milyar penduduk di 83 negara berisiko terinfeksi filariasis, terutama di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis, seperti Asia, Afrika, dan Pasifik Barat. Dari 1,3 milyar penduduk tersebut, 851 juta di antaranya tinggal di Asia Tenggara dengan Indonesia menjadi negara dengan kasus filariasis yang paling tinggi. Pada tahun 2001 hingga 2004 berturut-turut jumlah kasus filariasis yang terjadi, yaitu sebanyak 6.181 orang, 6.217 orang, 6.635 orang, dan 6.430 orang, 3 orang pada tahun 2005 terjadi peningkatan kasus sebanyak 10.239 orang dan Pada



tahun 2006, sekitar 66% wilayah terjadi Indonesia dinyatakan endemis filariasis (Juiriastuti, 2010). Beberapa penelitian telah dilakukan terkait faktor risiko filariasis diantaranya penelitian Uloli (2008) menunjukan terdapat hubungan antara faktor prilaku kebiasaan berpakaian tidak memakai lengan panjang terhadap kejadian filariasis. Faktor lingkungan seperti keberadaan rawa dan juga faktor pengetahuan yang rendah juga mempengaruhi kejadian filariasis. Perilaku disini merujuk pada kebiasaan keluar rumah pada malam hari dengan pola kebiasaan waktu menggigit nyamuk dewasa yang membentuk dua kali puncak pada malam hari yaitu sesaat matahari terbenam dan menjelang matahari terbit dapat dijelaskan bahwa kondisi tersebut dipengaruhi suhu dan kelembaban udara yang dapat menambah atau mengurangi aktivitas nyamuk dewasa. Oleh sebab itu seseorang yang memiliki kebiasaan keluar pada malam hari lebih beresiko terkena filariasis (Notoatmodjo, 2010). 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa Definisi penyakit Filariasis? 2. Bagaimana Klasifikasi dari penyakit Filariasis? 3. Seperti apa Manifestasi Klinis penyakit Filariasis? 4. Bagaimana bentuk Patogenesis penyakit Filariasis? 5. Apa Prognosis dari penyakit Filariasis? 6. Apa Komplikasi penyakit Filariasis? 7. Bagaimana pengkajian penyakit Filariasis? 8. Bagaiamana penatalaksananan penyakit Filarasis? 9. Bagaimana intervensi Keperawatan penyakit Filariasis? 1.3 Tujuan 1. Dapat mengetahui definisi penyakit Filariasis. 2. Dapat engetahui klasifikasi dari penyakit Filariasis 3. Dapat mengetahui manifestasi klinis dari penyakit Filariasis 4. Dapat mengetahui bentuk patogenesis penyakit Filariasis 5. Megetahui prognosis penyakit Filariasis 6. Mengetahui komplikasi penyakit Filariasis



7. Mengetahui penetalaksanaan penyakit Filariasis 8. Menetahui pengkajian penyakit Filariasis 9. Menetahui intervensi penyakit Filariasi



BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Penyakit Filariasis     Filariasis ( penyakit kaki gajah ) atau juga dikenal dengan elephantiasis adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing filaria yang hidup dalam saluran limfe dan kelenjar limfe manusia yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun ( kronis ) dan bila tidak mendapatkan pengobatan akan menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, dan alat kelamin baik perempuan maupun laki – laki.Cacing filaria berasal dari kelas Secernentea, filum Nematoda. Tiga spesies filaria yang menimbulkan infeksi pada manusia adalah Wuchereria Bancrofti, Brugia Malayi, dan Brugia Timori ( Elmer R. Noble, 1989 ). Parasit filaria ditularkan melalui gigitan berbagai spesies nyamuk, memiliki stadium larva, dan siklus hidup yang kompleks. Anak dari cacing dewasa disebut mikrofilaria. Pada Wuchereria Bancrofti, mikrofilarianya berukuran ± 250µ, cacing betina dewasa berukuran panjang 65 – 100 mm dan cacing jantan dewasa berukuran panjang ± 40 mm ( Juni Prianto L. A . dkk., 1999 ). Diujung daerah kepala membesar, mulutnya berupa lubang sederhana tanpa bibir ( Oral stylet ), sedangkan pada Brugia Malayi dan Brugia Timori, mikrofilnya berukuran ± 280µ. Cacing dewasa jantan panjangnya 23 mm dan cacing betina dewasa panjangnya 39 mm ( Juni Prianto L. A . dkk., 1999 ). Mikrofilnya dilindungi oleh suatu selubung transparan yang mengelilingi tubuhnya. Aktifitas mikrofilaria sering terjadi pada malam hari dibandingkan pada siang hari. Pada malam hari mikrofilaria dapat ditemukan beredar di dalam sistem pembuluh darah tepi. Hal ini terjadi karena mikrofilaria memiliki granula – granula flouresen yang peka terhadap sinar matahari. Bila terdapat sinar matahari maka mikrofilaria akan bermigrasi ke dalam kapiler – kapiler paru – paru. Ketika tidak ada sinar matahari, mikrofilaria akan bermigrasi ke dalam sistem pembuluh darah tepi.



Mikrofilaria ini akan muncul di peredaran darah pada waktu 6 bulan sampai 1 tahun setelah terjadinya infeksi dan dapat bertahan hidup hingga 5 – 10 tahun. Hospes cacing filaria ini dapat berupa hewan dan atau manusia yang mengandung parasit dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain. Pada umumnya laki – laki lebih  mudah terinfeksi, karena memiliki lebih banyak kesempatan mendapat infeksi ( eksposure ). Hospes reservoar adalah hewan yang dapat menjadi hospes bagi cacing filaria, misalnya Brugia Malayi yang dapat hidup pada kucing, kera, kuda dan sapi. Banyak spesies nyamuk yang ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada jenis cacing filarianya dan habitat nyamuk itu sendiri. Wuchereria Bancrofti yang terdapat di daerah perkotaan ditularkan oleh Culex Quinquefasciatus, menggunakan air kotor dan tercemar sebagai tempat perindukannya. Wuchereria Bancrofti yang ada di daerah pedesaan dapat



ditularkan



oleh



berbagai



macam



spesies



nyamuk. Di



Irian



Jaya, Wuchereria bancroftiterutama ditularkan oleh Anopheles farauti yang menggunakan bekas



jejak



kaki



binatang



untuk



tempat



perindukannya.



Di



daerah



pantai



di



NTT, Wuchereria  bancrofti ditularkan oleh Anopheles subpictus. Brugia malayi  yang hidup pada manusia dan hewan ditularkan oleh berbagai spesies Mansonia seperti Mansonia uniformis, Mansonia bonneae, dan Mansonia dives yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatera, Kalimantan, dan Maluku. Di daerah Sulawesi, Brugia malayi ditularkan oleh Anopheles



barbirostris yang



menggunakan



sawah



sebagai



tempat



perindukannya. Brugia timori ditularkan oleh Anopheles barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat pantai maupun di daerah pedalaman. Brugia timori hanya ditemukan di daerah NTT dan Timor Timur. B. Klasifikasi Penyakit Filariasis Penyakit filariasis dsebabkan oleh infeksi cacing filaria yang hidup di dalam saluran kelenjar getah bening (limfatik) dan anak cacing disebut mikrofilaria hidup di dalam darah. Mikrofilaria berada pada darah perifer pada malam hari, ada 3 jenis spesies cacicng filariasis di Indonesia yaitu Wuchereria Bancrofti, Brugia Malayi, Brugia Timori. a. Wuchereria Bancrofti Pada spesies ini cacing dewasa menyebabkan filariasis brancrofti, dan mikrofilaria dapat menimbulkan occult filariasis. Parasit ini tersebar luas di daerah tropis dan subtropis yaitu di Afrika, Amerika, Eropa dan Asia termasuk di Indonesia.3 Cacing dewasa berbentuk seperti rambut dan berwarna putih susu, mempunyai panjang sekitar dua spikulum yang tidak sama panjang. Untuk cacing jantan mempunyai panjang sekitar 10 cm dan mempunyai ekor yang



runcing. Cacing dewasa hidup dalam saluran dan kelenjar limfe (limfatik), tidak ada hewan yang bertindak sebagai reservoir. Larva filaria atau yang biasa disebut mikrofilaria mudah ditemukan dalam darah perifer atau darah tepi pada malam hari, yang mempunyai panjang sampai 300 mikron dan lebar 8 mikro, mempunyai selubung hialin dengan inti sel somatik berbentuk granul yang tersusun tidak mencapai ujung ekor. Filariasis bancrofti umumnya bersifat periodik nokturnal, sehingga mikrofilaria hanya ditemukan dalam darah perifer pada malam hari. Didaerah pasifik mikrofilaria lebih banyak ditemukan pada siang hari dan malam hari, walaupun di Thailand ditemukan mikrofilaria yang bersifat subperiodik nokturnal. Pada spesies Wuchereria Bancrofti, manusia merupakan satu-satunya host defenitif dan nyamuk yang bertindak sebagai vektor dalah dari genus Culex, Aedes, dan Anopheles. b. Brugia Malayi Brugia ada yang zoonotik, tetapi ada yang hanya hidup pada manusia. Pada brugia yang zoonotik, selain manusia juga berbagai hewan mamalia dapat bertindak sebagai hospes defenitifnya (hospes cadangan, reservoir host). Periodisitas Brugia Malayi bermacam-macam, ada yang nokturnal periodik, nokturnal subperiodik atau non periodik. Nyamuk yang menjadi vektor penularnya adalah Anopheles (vektor brugiasis non zoonotik) atau Mansonia (vektor brugiasis zoonotik). c. Brugia Timori Pada spesies Brugia Timori hanya terdapat di Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara dan beberapa daerah lain. Umumnya bersifat periodik nokturnal dan nyamuk yang menularkannya adalah Anopheles Barbirostis. C. Manifestasi Klinis Penyakit Filariasis Penderita infeksi mikrofilaria atau filariasis ada yang tidak menunjukkan gejala klinis (asimtomatis) karena sedikitnya mikrofilaria yang telah menginfeksi atau tidak terdeteksinya melalui pemeriksaan laboratorium. Gejala awal (akut) yang timbul yaitu demam secara berulang 1-2 kali atau lebih setiap bulan selama 3-4 hari. Apabila penderita bekerja berat timbul benjolan yang terasa panas dan nyeri pada lipat paha atau ketiak tanpa adanya luka pada badan, serta teraba tali urat yang berwarna merah, nyeri dimulai dari pangkal paha atau ketiak ke arah ujung dari kaki atau tangan. Gejala terjadi berbulan-bulan hingga bertahuntahun dari gejala yang ringan sampai timbul gejala yang berat. Cacing filariasis tersebut menyebabkan terjadinya pembengkakan disekitar penyumbatan tersebut, tanda klinis yangs



sering timbul gejala yaitu pembengkakan pada skrotum (hidrokel) dan pembengkakan anggota gerak badan seperti tangan dan kaki (elephantiasis). D. Patofisiologi Penyakit Filariasis Cacing dewasa yaitu jantan dan betina hidup dalam saluran limfatik atau dalam sinussinus limfe yang dapat menyebabkan dilatasi limfe dan mengakibatkan penebalan pembuluh darah, sehingga terjadi infiltrasi sel plasma, eosinofil dan makrofag disekitar pembuluh darah yang terinfeksi bersama dengan poliferasi endotel serta jaringan ikat menjadikan saluran limfatik berkelok-kelok dan katup limfatik menjadi rusak. Hal ini mengakibatkan limfedema dan perubahan statis yang kronik pada kulit. Cacing dewasa yang hidup di dalam saluran limfatik menghasilkan mikrofilaria yang secara periodik berada pada darah perifer atau darah tepi, namun tidak membangkitkan respon inflammatori pada setiap infeksi. E. Komplikasi Penyakit Filariasis Komplikasi filariasis banyak ditemukan pada pasien yang terinfeksi oleh filariasis limfatik (W. bancrofti, B. malayi, dan B. timori), Onchocerca dan Loa loa: a. Komplikasi Filariasis Limfatik (Kaki Gajah) Infeksi kronik pada filariasis limfatik dapat menyebabkan limfedema, elefantiasis, hidrokel, kiluria, dan eosinofilia pulmoner tropikal (tropical pulmonary eosinophilia / TPE). Komplikasi TPE merupakan komplikasi jangka panjang pada filariasis limfatik yang mengganggu saluran pernapasan. Hal ini disebabkan oleh timbulnya jaringan parut pada paru. Kondisi ini dapat menyebabkan gangguan obstruktif pulmonal. Prevalensinya cukup jarang, yaitu kurang dari 1% pada pasien filariasis limfatik. [3,4] b. Komplikasi Onchocerciasis Infeksi Onchocerca juga dapat menimbulkan komplikasi berupa kebutaan dan gangguan permanen pada kulit. Kebutaan ini dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu akibat matinya larva di mata sehingga menyebabkan lesi di kornea atau akibat inflamasi pada nervus optik yang menyebabkan gangguan penglihatan perifer hingga kebutaan. Selain kebutaan, infeksi onchocerciasis yang tidak ditatalaksana dengan baik akan menyebabkan kerusakan permanen pada kulit berupa perubahan warna kulit (kulit belang-belang), penipisan kulit, dan hilangnya elastisitas kulit. [6-9] c. Komplikasi Loiasis Komplikasi pada loiasis dapat terjadi walaupun relatif jarang ditemukan. Komplikasi yang dapat ditemukan adalah pembengkakan dan nyeri pada kelenjar limfe, gangguan pada ginjal, pembengkakan skrotum, inflamasi dan timbul penumpukkan cairan pada paru-paru, dan timbulnya jaringan parut pada otot jantung. [10]



d. Komplikasi akibat Tata Laksana Filariasis Komplikasi pada filariasis juga dapat ditimbulkan akibat tata laksana yang diberikan. Pada pasien dengan kepadatan mikrofilaria yang tinggi, pemberian diethylcarbamazine dapat menyebabkan ensefalopati.



F. Prognosis Penyakit Filariasis Sebagian besar infeksi bersifat asimtomatik dan memiliki gejala yang bersifat ringan. Jika ditatalaksana dengan baik, prognosis filariasis cukup baik. Akan tetapi, pada beberapa kasus, filariasis dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Pada filariasis limfatik, parasit tidak dapat sepenuhnya tereliminasi, terutama jika telah mencapai kondisi limfedema atau elefantiasis. Dengan demikian, angka rekurensi cukup tinggi dan tata laksana yang ada saat ini hanya mampu mengurangi gejala dan menjaga agar penyakit tidak berprogresi lebih lanjut. Pada kasus infeksi Onchocerca, prognosis yang lebih buruk ditemukan pada pasien dengan jumlah mikrofilia yang lebih tinggi, sedangkan pada infeksi oleh Loa loa, pasien dengan mikrofilaremia memiliki risiko mortalitas yang lebih tinggi. Infeksi oleh Marsonella sp. biasanya bersifat ringan dan jarang menimbulkan morbiditas maupun mortalitas.



G. Pengkajian Penyakit Filariasis Diagnosis filariasis ditegakkan dengan pemeriksaan parasitologi dengan cara pewarnaan giemsa untuk menemukan mikrofilaria dengan panjang 250-300 µm dari spesimen darah tepi. Pemeriksaan lain yang dilakukan adalah tes kulit untuk melihat peran imunitas seluler.35 Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis dan dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium yaitu ditemukannya mikrofilaria. Mikrofilaria dapat ditemukan di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan tubuh lainnya. Cairan tersebut dapat diperiksa secara mikroskopik.35 Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis dengan eosinofilia sampai 1-30%. Mikrofilaria dapat ditemukan dengan pengambilan darah tebal atau tipis pada yang pulas dengan pewarnaan giemsa. Spesimen darah yang diambil lebih baik dari darah kapiler dibanding darah vena. a.



Diagnosis Parasitologi Ditemukan mikrofilaria dalam darah, sairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan darah tebal.



b.



Radiodiagnosis Pemeriksaan dengan USG (Ultrasonografi) pada skrotum dan kelenjar getah bening akan memberikan gambaran cacing yang bergerakgerak.



c.



Diagnosis Imunologi Dengan teknik ELISA, Immunochromatografic test (ICT), dan Immunological and polymerase chain reaction (PCR). . Pengobatan Filariasis DEC (Diethylcarbamazine Citrate) ialah obat utama baik pengobatan massal maupun perorangan. DEC bersifat membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa pada pengobatan jangka panjang.



H. Penatalaksanaan Penyakit Filariasis Penatalaksanaan filariasis diberikan berdasarkan spesies filaria yang menginfeksi. Secara umum, tata laksana filariasis mencakup pemberian antiparasit dan pembedahan bila diperlukan. Antiparasit yang sering digunakan adalah diethylcarbamazine, ivermektin, dan albendazole. Pemberian antiparasit ini disesuaikan dengan jenis filaria dan koinfeksi antar spesies. a. Pemberian Antiparasit Antiparasit diberikan berdasarkan jenis filaria yang menginfeksi. Untuk filariasis limfatik (kaki gajah), antiparasit utama yang diberikan adalah diethylcarbamazine dengan dosis 6 mg/kgBB/hari selama 1–12 hari. Alternatif lain yang dapat digunakan adalah albendazole 400 mg dosis tunggal atau doxycycline 200 mg/hari selama 4–8 minggu. Jika terjadi koinfeksi dengan onchocercaria, antiparasit yang diberikan adalah ivermektin dengan dosis 100–200 mcg/kgBB setiap 3–12 bulan. Jika terjadi pada daerah dengan koinfeksi Loa loa, tata laksana disesuaikan dengan tata laksana loiasis. [3] Pada kasus onchocerciasis, antiparasit yang diberikan adalah ivermektin dengan dosis 150 mcg/kg setiap 3–12 bulan. Jika terdapat koinfeksi dengan Loa loa, ivermektin diganti dengan doxycycline 200 mg selama 6 minggu. Alternatif antiparasit lain adalah moksidektin 8 mg dosis tunggal. Pemberian moksidektin perlu diperhatikan pada pasien berusia diatas 12 tahun dan pasien yang memiliki koinfeksi dengan Loa loa. Pemberian anti parasit pada infeksi Loa loa melihat densitas parasit yang ada. 



Densitas mikrofilaria < 8.000 mikrofilaria/mL diberikan diethylcarbamazine 8–10 mg/kgBB, 3 kali sehari selama 21 hari







Densitas mikrofilaria ≥ 8.000 mikrofilaria/mL diberikan albendazole 200 mg per oral, dua kali sehari selama 21 hari atau dilakukan aferesis. Densitas mikrofilaria perlu diukur kembali sebelum memberikan diethylcarbamazine



Sebagai alternatif, pasien juga dapat diberikan mebendazole 300 mg satu kali sehari atau ivermektin 150–200 mcg/kgBB. Pasien dengan infeksi Mansonella streptocerca dapat diberikan diethylcarbamazine 6 mg/kg/hari selama 14–21 hari atau ivermektin 150 mcg/kg per oral. Pasien dengan infeksi Mansonella persatans dapat diberikan diethylcarbamazine 8– 10 mg/kgBB/hari selama 21 hari, ivermektin 150 mcg/kgBB, mebendazole 100 mg dua kali sehari selama 30 hari, atau albendazole 400 mg dua kali sehari selama 10 hari. Pasien dengan infeksi Mansonella ozzardi dapat diberikan ivermektin 6 mg dosis tunggal. [13] b. Pembedahan Pembedahan biasanya dilakukan pada pasien yang mengalami hidrokel dan kiluria pada infeksi filariasis limfatik. Pembedahan pada bagian mata juga dapat dilakukan untuk mengambil cacing dewasa pada kasus loiasis. [33]



c. Tata Laksana Lainnya Selain antiparasit dan pembedahan, tata laksana lain seperti steroid dan antibiotik dapat diberikan. Pemberian steroid dilakukan pada kasus eosinofilia pulmoner tropis (tropical pulmonary eosinophilia / TPE), sedangkan pemberian antibiotik dilakukan pada pasien dengan dermatolimfangiodenitis akut (acute dermatolymphangioadenitis / ADLA). Pada pasien dengan limfedema, perlu dilakukan elevasi tungkai dan perawatan kulit agar tidak timbul infeksi sekunder.



I. Intervensi Keperawatan Berdasarkan diagnosis tersebut bagaimana tata laksana pasien a. Pemeriksaan miktrofilaria dalam darah dengan pewarnaan Giemsa b. Pemberian obat-obatan antifilaria, setahun sekali minimal selama 5 tahun Berdasarkan diagnosis yang saudara tegakkan, bagaimana pengobatan selanjutnya a. Dietilkarbamasin (Hetrazan, Banocide, Notezine, Filarizan) 6 mg/kgBB/oral selama 10-14 hari (dosis kumulatif 72 mg/kgBB). b. Atau Ivermectin dosis tunggal 400 g/kgBB. c. Atau kombinasi Ivermectin+ dietilkarbamasin, d. Atau albendazol 400mg dosis tunggal



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Metode pengobatan filariasis dengan menggunakan kombinasi DEC dan albendazol telah terbukti menurunkan angka prevalansi infeksi filariasis secara signifikan.



DAFTAR PUSTAKA BAB_II.pdf digital_122788-S09047fk-Penurunan prevalensi-Kesimpulan.pdf https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-infeksi/filariasis/prognosis https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-infeksi/filariasis/penatalaksanaan