Makalah Konflik Yunani Dan Turki [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. Sejarah Siprus



Siprus



adalah



sebuah



pulau



yang



berada



di



Laut



Tengah



yang



masyarakatnya terpengaruh dari dua jenis negara yaitu Yunani dan Turki. Secara sejarah, Siprus pernah di datangi oleh orang-orang dari Yunani, Asyria, Mesir, Romawi, dan Turki yang berkunjung dan kemudian menetap di pulau terbesar ketiga di laut mediterania tersebut. Siprus adalah negara yang pertama kali dimasuki oleh ajaran agama Kristen dan mayoritas masyarakat Siprus pun memeluk agama Kristen Ortodoks. Ketika kekuasaan Byzantium runtuh, datanglah kekhalifahan Othmaniah yang datang membawa ajaran agama Islam pada pertengahan abad ke-16, dan kepemimpinan Othmaniah ini memberikan izin tinggal kepada 20.000 penduduk muslim. Ketika itu, tentulah tidak disadari, bahwa pemukiman



tersebut



pada



akhirnya



dapat



melahirkan



konflik



etnis



yang



berkepanjangan antara keturunan Yunani yang Kristen dan keturunan Turki yang Islam. Kekhalifahan Othmaniah lalu mengadakan perjanjian dengan Inggris untuk mengantisipasi serbuan Rusia setelah di sejumlah wilayah pasukannya dipukul mundur oleh Rusia. Perjanjian itu menyatakan Siprus di bawah administrasi Inggris, meski tetap termasuk dalam daerah kekuasaan Turki Othmaniah. Pada masa inilah masyarakat Turki banyak berimigrasi ke Siprus dan membentuk keluarga sehingga budaya Turki cukup melekat di Siprus. Pada akhirnya ketika pecah Perang Dunia I, perjanjian itu dibatalkan karena Turki yang memihak kepada Jerman dan otomatis membuat Inggris membatalkan hak Turki ke atas Siprus. Secara geografis, Siprus adalah wilayah Asia namun uniknya Siprus memiliki pengalaman sejarah, kultur dan politik yang lebih dekat ke Eropa daripada Asia. B. Konflik Siprus-Yunani dan Siprus-Turki



Siprus sendiri yang pernah dijajah Inggris justru menyebabkan konflik antara Siprus-Yunani



dan



Siprus-Turki



semakin



tajam.



Kelompok



Siprus-Yunani



menginginkan agar Siprus diintegrasikan saja kepada Yunani. Situasi bertambah kacau ketika Letnan Kolonel Grivas dari Yunani membentuk pasukan gerliya bernama Ethniki Organosis Kipriakou Agonos (EOKA) untuk memujudkan cita-cita tersebut. Kelompok Siprus-Turki yang dipimpin oleh Fazil Kucuk berbalik menuntut agar Siprus diserahkan saja kepada Turki, atau dengan opsi lain, yaitu dilakukan pemisahan wilayah untuk kedua etnis. Namun, kemudian pada 16 Agustus 1960 diadakan perundingan antara Siprus dan Inggris yang menghasilkan bahwa pada akhirnya Siprus adalah sebuah negara merdeka. Keputusan ini lantas ditentang oleh Yunani dan Turki yang menganggap bahwa sebagian wilayahnya masingmasing berada di Siprus. Akhirnya, perundingan dilangsungkan di Zurich, antara pemerintah Turki dan Yunani. Kesepakatan pada akhirnya dicapai di London antara pemerintah kedua Negara tersebut ditambah perwakilan etnis Siprus-Yunani dan Siprus-Turki. Hasilnya, berdirilah Republik Siprus yang mewadahi dua etnis, dua bahasa, dan dua kebudayaan yang dipimpin oleh Uskup Makarios (Siprus-Yunani) terpilih sebagai Presiden dan Fazil Kucuk (Siprus-Turki) terpilih sebagai wakil presiden. Namun, dikarenakan masing-masing memiliki ego dan sentimen yang kuat berakibat tidak efektifnya pemerintahan pada saat itu. Setelah kemunculan permasalahan di kalangan pemerintahan ini, tak lama kemudian konflik etnis pun pecah. Sebagai akibat dari pengambilan kekuasaan oleh perwira-perwira Yunani yang ingin menggabungkan Siprus dengan Yunani tahun 1974, Turki segera menduduki bagian utara dari pulau tersebut. Selanjutnya 38% dari Siprus diduduki oleh Turki dengan kehadiran 20.000 pasukannya. Akibatnya, penduduk asal Yunani terpaksa meninggalkan bagian utara siprus dan 60.000 orang Turki didatangkan dari negara induk untuk merubah keseimbangan demografi bagian utara Siprus. Etnis Siprus-Turki yang kemudian dipimpin oleh Rauf R. Denktas itu pun pelanpelan menyadari kenyataan baru bahwa Siprus memang sulit untuk tidak terbagi. Maka, pada 15 november 1983, di proklamirkan Turkish Republic of Northern Cyprus (TRNC). Untuk menandai wilayah perbatasan masing-masing, ditapal batas Siprus-Yunani terdapat papan yang berisi tulisan The Last Divided Capital atau “Ibu Kota Terakhir yang Terbelah”. Dan, ketika kembali ke wilayah Siprus Turki ada sambutan papan Welcome.



Akan tetapi, dunia menolak Siprus Utara sebagai sebuah negara yang berdaulat ditambah lagi blokade yang dilakukan Siprus Selatan mempersulit kegiatan perdagangan Siprus Utara sehingga menyebabkan Siprus utara yang belum cukup mandiri ini mengalami keterpurukan secara ekonomi. Siprus Utara yang merasa diperlakukan tidak adil akhirnya meminta bantuan kepada Turki sebagai negara terdekat sekaligus sebagai negara yang memiliki ikatan budaya yang kental dengan Siprus Utara.



BAB II PEMBAHASAN A. Permasalahan Siprus-Turki mencakup Regional hingga Global Permasalahan Siprus yang belum terselesaikan tidak hanya menimbulkan kesulitan hubungan Turki-UE, tetapi juga terhadap kerjasama NATO-UE, terutama di lingkup kerjasama strategis. Permasalahan bilateral antara Siprus dan Turki sangat mempengaruhi agenda kegiatan keduanya, Turki-EU dan EU-NATO. Perubahan iklim internasional menimbulkan adanya peningkatan kebutuhan akan kolaborasi antara Amerika Serikat dan Eropa dalam konteks NATO dan ESDP, tetapi ternyata permasalahan Siprus yang belum terselesaikan ini juga berpengaruh terhadap peningkatan kerjasama NATO dan ESDP kearah yang lebih baik. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa permasalahan Siprus ini bukan hanya melibatkan hubungan Turki-UE dan Turki-Yunani, tetapi melibatkan isu yang lebih luas misalnya hubungan antara NATO dan UE. Oleh karena itu permasalahan Siprus ini bukan hanya mengenai pulau tersebut, tetapi juga mencakup wilayah regionalnya dan secara internasional. Namun urgensi yang paling utama jelaslah teletak di pundak Uni Eropa selaku organisasi regional terkuat dan paling berpengaruh di Benua Eropa.



Permasalahan yang melibatkan Yunani ini telah menjadi konflik regional bahkan internasional jika dikaitkan dengan keanggotaan Turki di NATO yang akhirnya mau tidak mau permasalahan ini juga terhembus hingga ke NATO. Untuk menyelesaikan permasalahan yang telah berlangsung lebih dari 40 tahun ini memang tidak mudah, namun peran serta Uni Eropa memang akan berdampak cukup besar dan berkemungkinan untuk menyelesaikan permasalahan ini. B. Uni Eropa sebagai Organisasi Regional paling berpengaruh di Eropa Uni Eropa sebagai organisasi supranasional yang merupakan organisasi antar-pemerintahan mempunyai legitimasi yang cukup kuat untuk mempengaruhi konstelasi politik dalam negeri setiap anggotanya. Tujuan dari Uni Eropa itu sendiri adalah menciptakan kemajuan dan perkembangan politik dan ekonomi di negaraanggotanya untuk mencapai pembangunan yang seimbang dan berkelanjutan. Ada suatu



tanggung



jawab



yang



cukup



berat



bagi



Uni



Eropa



yaitu



untuk



mempertahankan konsistensinya terhadap tujuan didirikannya Uni Eropa itu sendiri. Uni Eropa mempunyai kelebihan dari segi hard power dan soft power sehingga mampu menarik negara-negara di kawasan Eropa sangat tertarik untuk bergabung dengan Uni Eropa. Hard power yang dimaksudkan di sini artinya tindakan nyata yang memaksa atau memiliki sanksi untuk memaksa penegakan aturannya, sementara soft power merupakan media yang tidak nyata namun tetap mengikat anggota-anggota Uni Eropa misalnya ideologi dan kekuatan budaya. Turki sendiri memandang Uni Eropa menguasai sebuah kekuatan yang amat luar biasa dan berpikir bahwa jika Turki bergabung menjadi anggota Uni Eropa maka ia pun akan terpengaruh dampak positif dari keanggotaan tersebut. Turki menyadari keuntungan perbaikan



yang dan



didapatkan



perubahan



saingannya,



budaya



yang



Yunani, sangat



sehingga signifikan



ia



melakukan



dengan



tujuan



memperoleh predikat keanggotaan tersebut. Uni Eropa tidak mungkin akan berdiam diri saat menyaksikan ada konflik di tubuh salah satu anggotanya karena apabila ia berdiam diri saja maka kemungkinan masalah internal salah satu anggotanya tersebut kemudian akan meluas dan mengganggu stabilitas negara tetangganya. Saat permasalahan domestik ini semakin menyebar maka akan sangat berkemungkinan mengganggu stabilitas sistem Uni eropa itu sendiri. Maka, Uni Eropa cenderung selalu turun tangan dalam mengatasi semua masalah negara-negara anggotanya dengan maksud agar masalah tersebut dapat diselesaikan dengan lebih baik dan lebih cepat sebelum semakin memburuk sesuai dengan kapabilitas yang dimiliki Uni Eropa dan power yang dimilikinya atas integrasi negara-negara anggotanya.



C. Peran Uni Eropa mengatasi Permasalahan Siprus-Turki Permasalahan yang terjadi di Siprus saat ini bisa dikatakan telah menjadi faktor terbesar yang secara negatif mempengaruhi hubungan antara Turki dan Uni Eropa. Hubungan antara Turki dan Uni Eropa semakin memanas dengan hadirnya permasalahan ini karena dengan masalah ini pintu gerbang bagi Turki untuk masuk ke Uni Eropa akan semakin dipersulit terbukti dengan begitu banyaknya pembaharuan atas perbincangan mengenai keinginan bergabungnya Turki ke Uni Eropa dikarenakan permasalahan Siprus ini. Ada kemungkinan permasalahan bergabungnya Turki ke Uni Eropa tidak akan sesulit sekarang ini andaikan tidak ada



permasalahan



Siprus



yang



menyebabkan



ditundanya



beberapa



poin



persyaratan keanggotaan Turki di Uni Eropa. Permasalahan yang terjadi di Siprus saat ini juga telah menjadi agenda pembahasan di Uni Eropa karena ini menyangkut Siprus sebagai negara anggota dan Turki yang telah disetujui untuk dipertimbangkan menjadi anggota Uni Eropa begitu Turki mampu memenuhi seluruh butir persyaratan yang diajukan Uni Eropa. Bagaimanapun juga, mengenai proses keanggotaan Turki di Uni Eropa merupakan permasalahan politik. Sentimen dikarenakan Siprus telah menjadi faktor yang rumit sejak intervensi militer Turki pada tahun 1974. Publikasi yang dilakukan oleh Agenda 2000 pada tahun 1997 mencatat tingkat hubungan yang minim antara Turki-UE. Mekipun sejak tahun 2004 Siprus telah menjadi anggota Uni Eropa, tetapi Uni eropa kurang menganggap Siprus Utara sebagai bagian dari Uni Eropa dikarenakan masih banyaknya intervensi dari Turki yang notabene non-UE.



BAB III PENUTUP Kehadiran aktor eksternal kini semakin dibutuhkan dalam penyelesaian konflik internasional. Keterlibatan aktor eksternal, khususnya organisasi regional dan organisasi internasional sebagai pihak yang netral diharapkan dapat menjadi



mediator bagi dua pihak yang bersengketa. Dalam krisis Siprus, yang berlangsung sejak awal abad 20 ini, salah satu aktor eksternal yang memegang peranan penting dalam upaya penyelesaian konflik adalah Uni Eropa. Uni Eropa sebagai organisasi regional paling berpengaruh dan mempunyai hard power dan soft power terkait integrasi anggotanya merupakan organisasi yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah ini dikarenakan kedekatan wilayah geografis, latar belakang budaya dan pengalamannya dalam menyelesaikan konflik di kawasan Eropa selama bertahun-tahun. Uni Eropa mempunyai bargaining position yang mampu memberikan posisi tawar kepada masing-masing negara yang bersengketa agar permasalahan dapat terselesaikan dengan lebih cepat dan tanpa membuang-buang waktu seperti sebelum-sebelumnya. Turki mempunyai keinginan yang sangat besar untuk bisa bergabung sebagai anggota Uni Eropa, sebenarnya Uni Eropa bisa menjadikan hal ini sebagai stimulator tercapainya kesepakatan atas Pulau Siprus bukannya menjadikan hal ini untuk menghambat Turki masuk ke Uni Eropa demi mendukung ketidakinginan Uni Eropa beranggotakan Turki. Uni Eropa seharusnya berhenti mempolitisasi



permasalahan



hukum



antara



Siprus-Turki



dan



merealisasikan



konsistensinya terhadap tujuan Uni Eropa itu sendiri yaitu untuk menciptakan stabilitas ekonomi dan politik di negara-negara anggotanya dengan membuat kesepakatan-kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak, baik Turki ataupun Siprus. Permasalaha Siprus-Yunani dan Siprus-Turki yang sudah berlangsung sejak lama memang bukanlah hal yang sederhana untuk diselesaikan. Namun, usaha yang dilakukan pihak-pihak eksternal, dalam hal ini Uni Eropa, seharusnya lebih memberikan mediasi yang netral dan tidak memihak pada negara manapun. Sekali lagi saya tegaskan, apabilan Uni Eropa memainkan peran sesuai dengan kapasitasnya dengan memanfaatkan situasi yang ada antara Turki-UE tanpa adanya keinginan untuk mempolitisasi dalam permasalahan ini maka konflik segitiga antara Turki-UE-Siprus akan lebih mudah diselesaikan.