Makalah Konsep Area Bencana [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KONSEP AREA BENCANA DI KEPERAWATAN KOMUNITAS Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Komunitas Keluarga II Dosen Pengampu : Rita Hadi W, M.Kep., Sp. Kep.Kom



Disusun Oleh: KELOMPOK IV



Navy Dwi P



( 22020115183011)



Aidi Absar S



( 22020115183014)



Suryo Prasetyo Aji



( 22020115183016)



Woro Susanti Ratna H



( 22020115183019)



Iswati



( 22020115183021)



JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO TAHUN 2016



1



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI ............................................................................................... 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .............................................................................. 3 B. Tujuan ............................................................................................ 4 BAB II TINJAUAN TEORI A. Definisi Bencana ........................................................................... 5 B. Faktor-faktor yang mempengaruhi bencana ................................. 5 C. Jenis Bencana Alam ...................................................................... 5 D. Kelompok Rentan .......................................................................... 7 E. Peran Perawat dalam Bencana ....................................................... 7 F. Permasalahan di Bidang Kesehatan .............................................. 9 G. Pelayanan Medis Bencana berdasarkan Siklus Bencana ................ 12 H. Penanggulangan Bencana di Bidang Kesehatan ............................ 12 I. Pencegahan dan Mitigasi ................................................................ 16 BAB IV ASUHAN KEPERAWATAN PADA BENCANA A. Pengkajian ........................................................................................ 18 B. Diagnosa Keperawatan .................................................................... 20 C. Intervensi Keperawatan ................................................................... 21 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................... 25 B. Saran .............................................................................................. 25



DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 26



2



BAB I PENDAHULUAN A.



Latar Belakang Setiap wilayah tempat tinggal manusia memiliki resiko bencana. Seringkali resiko



tersebut tidak terbaca oleh komunitas dan karenanya tidak dikelola dengan baik. Hal ini menyebabkan terkadang, dan mungkin juga sering, bencana terjadi secara tak terduga-duga. Dampak paling awal dari terjadinya bencana adalah kondisi darurat, dimana terjadi penurunan drastis dalam kualitas hidup komunitas korban yang menyebabkan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dengan kapasitasnya sendiri. Kondisi ini harus bisa direspons secara cepat, dengan tujuan utama pemenuhan kebutuhan dasar komunitas korban sehingga kondisi kualitas hidup tidak makin parah atau bahkan bisa membaik. Bencana harus ditangani secara menyeluruh setelah situasi darurat itu direspons. Setiap akibat pasti punya sebab dan dampaknya, maka bencana sebagai sebuah akibat pasti punya sebab dan dampaknya, agar penanganan bencana tidak terbatas pada simpton simpton persoalan, tetapi menyentuh substansi dan akar masalahnya. Dengan demikian kondisi darurat perlu dipahami sebagai salah satu fase dari keseluruhan resiko bencana itu sendiri. Penanganan kondisi darurat pun perlu diletakkan dalam sebuah perspektif penanganan terhadap keseluruhan siklus bencana. Setelah kondisi darurat, biasanya diikuti dengan kebutuhan pemulihan (rehabilitasi), rekonstruksi (terutama menyangkut perbaikan-perbaikan infrastruktur yang penting bagi keberlangsungan hidup komunitas), sampai pada proses kesiapan terhadap bencana, dalam hal ini proses preventif. Perbedaan mendasar ditemukan antara kerja dalam kondisi darurat dengan kerja penguatan kapasitas masyarakat secara umum. Dalam kondisi darurat, waktu kerusakan terjadi secara sangat cepat dan skala kerusakan yang ditimbulkan pun biasanya sangat besar. Hal ini menyebabkan perbedaan dalam karakteristik respon kondisi darurat. Komitmen, kecekatan dan pemahaman situasi dan kondisi bencana (termasuk konflik) dalam rangka memahami latar belakang kebiasaan, kondisi fisik maupun mental komunitas korban dan karenanya kebutuhan mereka, sangat dibutuhkan. Selain itu, sebuah kondisi darurat juga tidak bisa menjadi legitimasi kerja pemberian bantuan yang asal-asalan. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa sumber daya sebesar apapun yang kita miliki tidak akan cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan komunitas korban bencana. Di sisi lain, sekecil apapun sumber 3



daya yang kita miliki akan memberikan arti bila didasarkan pada pemahaman kondisi yang baik dan perencanaan yang tepat dan cepat, mengena pada kebutuhan yang paling mendesak. Bencana, apapun sebabnya, merupakan hal yang menganggu tatanan masyarakat dalam segala aspeknya, baik psikologis, ekonomi, sosial budaya maupun material. Jika kita mengamini faktum bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup layak maka komunitas manapun yang mengalami bencana berhak atas bantuan kemanusiaan dalam batas-batas minimum



B. Tujuan Tujuan Umum : Mahasiswa mampu memahami tentang berbagai hal yang berhubungan dengan bencana.



Tujuan Khusus : a. Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang jenis bencana, fase-fase bencana b. Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang peran perawat komunitas dalam manajemen kejadian bencana c. Mahasiswa mengetahui dan memahami permasalahan bencana dibidang kesehatan d. Mahasiswa mengetahui pengkajian keperawatan di area bencana e. Mahasiswa dapat menyusun asuhan keperawatan pada area bencana .



4



BAB II KONSEP TEORI KOMUNITAS PADA AREA BENCANA



A. Definisi Bencana Bencana adalah suatu fenomena alam yang terjadi yang menyebabkan kerugian baik materiil dan spiritual pada pemerintah dan masyarakat (Urata, 2008). Fenomena atau kondisi yang menjadi penyebab bencana disebut hazard ( Urata, 2008). Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia bencana adalah peristiwa pada suatu wilayah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian ekologi, kerugian hidup bagi manusia serta menurunnya derajat kesehatan sehingga memerlukan bantuan dari pihak luar (Effendy & Mahfudli, 2009). Disaster menurut WHO adalah setiap kejadian, situasi, kondisi yang terjadi dalam kehidupan ( Effendy & Mahfudli, 2009).



B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bencana 1. Faktor alami Faktor alami merupakan keadaan mudah terjadinya bencana atau kerentanan tergantung kondisi alam seperti bentuk geografis, geologi, cuaca, iklim (Urata, 2008). 2. Faktor sosial Faktor social adalah kerentanan akibat ulah manusia, contohnya: pembangunan bangunan di daerah yang miring, meningkatnya angka urbanisasi, kemiskinan, pengendalian bencana yang tidak tepat (Urata, 2008).



C. Jenis Bencana Alam Jenis-jenis bencana alam terdiri 3 bagian (Urata, 2008) 1. Bencana alam ( natural disaster) Bencana yang terjadi akibat kerusakan ekosistem dan telah terjadi kelebihan kapasitas komunitas yang terkena dampaknya. a. Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif, akitivitas gunung api atau runtuhan batuan. Gempa bumi menyebabkan kerusakan fisik



5



sarana dan prasarana dan menyebabkan banyak korban. Masalah kesehatan yang sering muncul cacat karena patah tulang dan masalah sanitasi. b. Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal dengan istilah "erupsi". Bahaya letusan gunung api dapat berupa awan panas, lontaran material (pijar), hujan abu lebat, lava, gas racun, tsunami dan banjir lahar. Masalah kesehatan yang di hasilkan adalah kematian, luka bakar, gangguan pernafasan akibat gas. Letusan gunung merapi dapat menyebabkan masalah gizi karena menyebabkan rusaknya tanaman, pohon serta hewan ternak. c. Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang ombak lautan ("tsu" berarti lautan, "nami" berarti gelombang ombak). Tsunami adalah serangkaian gelombang ombak laut raksasa yang timbul karena adanya pergeseran di dasar laut akibat gempa bumi. Tsunami menyebabkan kerusakan bangunan, tanah, sarana dan prasarana umum, kerusakan sumber air bersih. d. Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng. e. Banjir adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah atau daratan karena volume air yang meningkat. Banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba dengan debit air yang besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur sungai. 2. Bencana buatan manusia Bencana buatan manusia adalah penyebabnya ditimbulkan oleh aktivitas manusia contohnya kecelakaan kereta, kecelakaan kereta, kecelakaan lalulintas, kebocoran gas. 3. Bencana khusus Bencana khusus dibedakan menjadi empat kategori yaitu: a. Tipe menyebar ke wilayah yang luas contohnya radio aktif dan nuklir b. Tipe komplek jika terjadi bencana pertama di susul bencana kedua dank ke tiga serta di susul penyebarannya. c. Tipe gabungan atau campuran, bencana ini terjadi campuran antara bencana alam dengan bencana akibat ulah manusia. d. Tipe jangka panjang, tipe ini memerlukan waktu pengecekan lokasi kejadian dan penyelamatan korban. 6



D. Kelompok Rentan Memahami akibat dari bencana adalah manusia potensial menjadi korban, sehingga perlu kita perlu memahami dua hal yang perlu mendapatkan fokus utama adalah mengenali kelompok rentan dan meningkatkan kapasitas dan kemampuan masyarakat dalam menanggulangi bencana. Kerentanan adalah keadaan atau sifat manusia yang menyebaabkan ketidakmampuan menghadapi bencana yang berfokus pada pencegahan, menjinakkan, mencapai kesiapan, dan dalam menghadapi dampak tertentu. Undang-undang penanggulangan bencana pada pasal 56 dan pasal 26 (1) menjelaskan bahwa masyarakat yang rentan adalah masyarakat yang membutuhkan bantuan diantaranya bayi, balita, anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui, lansia. Kerentanan dalam masyarakat dapat dikelompokkan menjadi: 1. Kerentanan fisik Adalah resiko yang dihadapimasyarakat dalam menghadapi ancaman bahaya tertentu, misalnya kekuatan rekonstruksi bangunan rumah pada daerah rawan banjir dan gempa. 2. Kerentanan ekonomi Adalah kemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam mengalokasikan dana utuk mencegas dan penanggulangan bencana. 3. Kerentanan social Kerentanan social dilihat dari aspek pendidikan, pengetahuan tentang ancaman dan penanggulangan bencana, serta ingkat kesehatan yang rendah. 4. Kerentanan lingkungan Kerentanan yang melihat aspek tempat tinggal masyarakat dan lingkungan sekitarnya.



E. Peran Perawat Dalam Bencana Peran perawat diharapkan dalam setiap bencana yang terjadi. Peran perawat menurut fase bencana: 1. Fase pre impact a. Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam penanggulangan ancaman bencana untuk setiap fasenya.



7



b. Perawat ikut terlibat dalam berbagai kegiatan pemerintahan, organisasi lingkungan,



Palang



Merah



Nasinal,



maupun



lembaga-lembaga



kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi memberikan tanggap bencana. c. Perawat terlibat dalam promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan tanggap bencana, meliputi usaha pertolongan diri sendiri, pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga dan menolong anggota keluarga yang lain, pembekalan informs cara menyimpan makanan dan minuman untuk persediaan, perawat memberikan nomer telepon penting seperti nomer telepon pemadam kebakaran, ambulans, rumah sakit, memberikan informasi peralatan yang perlu dibawa (pakaian, senter). 2. Fase impact a. Bertindak cepat. b. Perawat tidak memberikan janji apapun atau memberikan harapan palsu pada korban bencana. c. Konsentrasi penuh pada hal yang dilakukan. d. Berkoordinasi dengan baik dengan tim lain. e. Bersama pihak yang terkait mendiskusikan dan merancang master plan revitalizing untuk jangka panjang. Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk memutuskan tindakan pertolongan pertama. Ada saat dimana ”seleksi” pasien untuk penanganan segera (emergency) akan lebih efektif. (Triase). TRIASE : a. Merah — paling penting, prioritas utama. keadaan yang mengancam kehidupan sebagian besar pasien mengalami hipoksia, syok, trauma dada, perdarahan internal, trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, luka bakar derajat I-II. b. Kuning — penting, prioritas kedua. Prioritas kedua meliputi injury dengan efek sistemik namun belum jatuh ke keadaan syok karena dalam keadaan ini sebenarnya pasien masih dapat bertahan selama 30-60 menit. Injury tersebut antara lain fraktur tulang multipel, fraktur terbuka, cedera medulla spinalis, laserasi, luka bakar derajat II.



8



c. Hijau — prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah fraktur tertutup, luka bakar minor, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan dislokasi. d.



Hitam meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat selamat dari bencana, ditemukan sudah dalam keadaan meninggal.



3. Fase post-impact a. Memberikan terapi bagi korban bencana untuk mengurangi trauma. b. Selama masa perbaikan perawat membantu korban bencana alam untuk kembali ke kehidupan normal. c. Beberapa penyakit dan kondisi fisik yang memerlukan pemulihan dalam jangka waktu lama memerlukan bekal informasi dan pendampingan.



F. Permasalahan di Bidang Kesehatan Berikut ini merupakan akibat – akibat bencana yang dapat muncul baik langsung maupun tidak langsungterhadap bidang kesehatan. 1. Korban jiwa, luka, dan sakit ( berkaitan dengan angka kematian dan kesakitan) 2. Adanya pengungsi yang pada umumnya akan menjdai rentan dan beresiko mengalami kurang gizi, tertular penyakit, dan menderita stress. 3. Kerusakan lingkungan sehingga kondisi menjadi darurat dan menyebabkan keterbatasan air dan sanitasi serta menjadi tempat perindukan vector penyakit. 4. Seringkali system pelayanan kesehatan terhenti, selain karena rusak, besar kemungkinan tenaga kesehatan setempat juga menjadi korban bencana. 5. Bila tidak diatasi segera, maka derajat kesehatan semakin menurun dan berpotensi menyebabkan terjadinya KLB. Penyakit penyakit yang sering kali diderita para pengungsi di Indonesia tidak lepas dari kondisi kedaruratan lingkungan, antara lain diare, ISPA, campak dan malaria. WHO mengidentifikasi empat penyakit tersebut sebagai The Big Four. Kejadian penyakit spesifik sering muncul sesuai dengan bencana yang terjadi. Banjir di Jakarta pada awal tahun 2007 selain menimbulkan peningkatan kasus Diareyang tinggi, juga memunculkan kasus leptospirosis yang relative besar, yaitu 248 kasus dengan 19 kematian (CFR 7,66 %). Sedangkan, gempa di DIY dan jateng pada tahun 2006 mengakibatkan 76 penduduk menderita tetanus dan 29 di antaranya meninggal dunia.



9



Meskipun dapat dikatakan dengan sepatah kata, ada bermacam-macam penyebab bencana, kondisi kerusakannya, serta massa-massa terkena dampak, dan lain-lain. Biasanya dalam menanggulangi bencana, maka bencana tersebut akan dibagi menjadi 4 fase, yaitu : 1. Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana ( prevention and preparedne phase) 2. Fase tindakan ( response phase) yang terdiri dari fase akut ( acute phase) dan fase sub akut (sub acute phase) 3. Fase pemulihan ( recovery phase) 4. Fase rehabilitasi / rekonstruksi. Fase fase ini terjadi secara berurutan sebelum dan sesudah bencana, dan tindakan terhadap bencana pertama berhubungan dengan kesiapsiagaan untuk bencana selanjutnya, sehingga hal ini disebut siklus bencana. 1. Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana Fase kesiapsiagaan adalah fase dimana dilakukan persiapan yang baik dengan memikirkan berbagai tindakan untuk meminimalsisir berbagai kerugian yang ditimbulkan akibat bencanadan menyusun perencanaan agar dapat melakukan kegiatan pertolongan serta perawatan yang efektif pada saat terjadi bencana. Tindakan terhadap bencana menurut PBB ada 9 kerangka, yaitu: a. Pengkajian terhadap kerentanan b. membuat perencanaan ( pencegahan bencana) c. Pengorganisasian d. Sistem informasi e. Pengumpulan sumber daya f. Sistem alarm g. Mekanisme tindakan h. Pendidikan dan pelatihan penduduk i. Gladi resik. 2. Fase tindakan Fase tindakan adalah fase dimana dilakukan berbagai aksi darurat yang nyata untuk menjaga diri sendiri dan harta kekayaan. Aktivitas yang dilakukan secara kongkret yaitu : a. Instruksi pengungsian b. Pencarian dan penyelamatan korban c. Menjamin qkeamanan dilokasi bencana 10



d. Pengkajian terhadap kerugian akibat bencana e. Pembagian dan penggunaan alat perlengkapan pada kondisi darurat, f. Pengiriman dan penyerahan barang material g. Menyediakan tempat pengungsian dan lain-lain. Dari sudut pandang pelayanan medis, bencana lebih dipersempit lagi dengan membaginya menjadi fase akut dan fase sub akut. Dalam fase akut, 48 jam pertama sejak bencana terjadi disebut fase penyelamatan dan pertolongan / pelayanan medis darurat terhadap orang orang yang terluka pada saat mengungsi atau dievakuasi,



serta



dilakukan tindakan-tindakan terhadap munculnya



permasalahan kesehatan dalam pengungsian. 3. Fase pemulihan Fase pemulihan dibedakan secara akurat dari dan sampai kapan, tetapi fase ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat dengan kemampuannya sendiri dapat memulihkan fungsinya seperti sedia kala, ( sebelum terjadi bencana), orang-orang melakukan perbaikan darurat tempat tinggalnya, pindah kerumah sementara, mulai masuk sekolah ataupun bekerja kembali sambil memulihkan lingkungan tempat tinggalnya. Kemudian mulai dilakukan rehabilitasi lifeline dan aktivitas untuk membuka kembali usahanya. Institusi pemerintah juga memulai memberikan kembali pelayanan seqqcara normal serta mulai menyusun rencanarencana untuk rekonstruksi sambil terus memberikan bantuan kepada para korban. Fase ini bagaimanapun juga hanya merupakan fase pemulihan dan tidak sampai mengembalikan fungsi-fungsi normal seperti sebelum bencana terjadi. Dengan kata lain, fase ini merupakan masa peralihan dari kondisi darurat ke kondisi tenang. 4. Fase Rehabilitasi / Rekonstruksi. Jangka waktu fase Rehabilitasi / Rekonstruksi juga tidak dapat ditentukan, namun ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat berusaha menegembalikan fungsi-fungsinya seperti sebelum bencana dan merencanakan rehabilitasi terhadap seluruh komunitas. Tetapi, seseorang atau masyarakat tidak dapat kembali pada keadaan yang sama seperti sebelum mengalami bencana, sehingga dengan menggunaan pengalamannya tersebut diharapkan kehidupan individu serta keadaan komunitas pun dapat dikembangkan secara progresif.



11



G. Pelayanan Medis Bencana berdasarkan Siklus Bencana Kehidupan dan kondisi fisik serta psikis orang banyak akan mengalami perubahan saat berhdapan dengan setiap siklus bencana. Oleh karena itu, pelayanan medis yang dibutuhkan adalah yang juga akan berubah dalam menanggulangi setiapsiklus bencana. Secara singkat akan diuraikan seperti di bawah ini. 1. Fase akut dalam siklus bencana Dilokasi bencana, pertolongan terhadap korban luka dan evakuasi dari lokasi berbahaya ke tempat yang aman adalah hal yang paling diprioritaskan. Untuk menyelamatkan korban luka sebanyak mungkin, maka sangat diperlukan lancarnya pelaksanaan Triage ( triase), Treatment ( pertolongan pertama), dan transportation ( transportasi) pada korban luka, yang dalam pelayanan medis bencana disebut dengan 3T. selain tindakan penyelamatan secara langsung, dibutuhkan juga perawatan terhadap mayat dan keluarga yang ditinggalkan, baik di rumah sakit, lokasi bantuan perawatan darurat maupun ditempat pengungsian yang menerima korban bencana. 2. Fase menengah dan panjang pada siklus bencana. Pada fase ini, terjadi perubahan pada lingkungan tempat tinggal yaitu dari tempat pengungsiam ke rumah sementara dan rumah yang direhabilitasi. Hal-hal yang dilakukan diantaranya adalah : memperhatikan segi keamanan supaya dapat menjalankan aktivitas hidup yang nyaman dengan tenang, membantu terapi kejiwaan korban bencana, membantu kegiatan-kegiatan untuk memulihkan kesehatan hidup dan membangun kembali komunitas social 3. Fase tenang pada siklus bencana Pada fase tenang diman tidak terjadi bancana, diperlukan pendidikan penanggulangan bencana sebagai antisipasi saat bencana terjadi, pelatihan pencegahan bencana pada komunitas dengan melibatkan penduduk setempat, pengecekan dan pemeliharaan fasilitas peralatan pencegahan bencana baik di daerah-daerah maupun pada fasilitas medis, srta membangun sistem jaringan bantuan.



H. Penanggulangan Bencana di Bidang Kesehatan Dengan melihat faktor resiko yang terjadi akibat bencana, maka penanggulangan bencana sector kesehatan bisa dibagi menjadi aspek medis dan aspek kesehatan masyarakat. Pelaksanaanya tentu harus melakukan koordinasi dan kloaborasi dengan 12



sector dan program terkait. Berikut ini merupakan ruang lingkup bidang pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan, terutama saat tanggap darurat dan pasca bencana. 1. Sanitasi darurat. Kegiatannya adalah penyediaan serta pengawasan air bersih dan jamban :kualitas tempat pengungsian, serta pengaturan limbah sesuai standard. Kekurangan jumlah maupun kualitas sanitasi ini akan meningkatkan resiko penularan penyakit. 2. Pengendalian vector. Bila tempat pengungsian dikategorikan tidak ramah, maka kemungkinan terdapat nyamuk dan vector lain disekitar pengungsi. Ini termasuk timbunann sampah dan genagan air yang memungkinkan tejadinya perindukan vector. Maka kegiatan pengendalian vector terbatas saat diperlukan baik dalam bentuk spraying, atau fogging, larvasiding, maupun manipulasi lingkungan. 3. Pengendalian penyakit. Bila dari laporan pos pos kesehatan diketahui terdapat peningkatan kasus penyakit, terutama yang berpotensi KLB, maka dilakukan pengendalian melalui intensifikasi penatalaksanaan kasus serta penanggulangan faktor resikonya. Penyakit yang memerlukan perhatian adalah diare dan ISPA. 4. Imunisasi terbatas. Pengungsi pada umumnya rentan terhadap penyakit, terutama orang tua, ibu hamil, bayi dan balita. Bagi bayi dan balita perlu imunisasi campak bila dalam catatan program daerah tersebut belum mendapatkan crash program campak. Jenis imunisasi lain mungkin diperlukan ssuai dengan kebutuhan setempat seperti yang dilakukan untuk mencegah kolera bagi sukarelawan di Aceh pada tahun 2005 dan imunisasi tetanus toksoid (TT) bagi sukarelawan di DIY dan jateng apda tahun 2006. 5. Surveilanse Epidemologi. Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh informasi epidemologi penyakit potensi KLB dan faktor resiko.atas informasi inilah maka dapat ditentukan pengendalian penyakit, pengendalian vector, dan pemberian imunisasi, informasi epidemologi yang harus diperoleh melalui kegiatan surveilens epidemologi adalah : a. Reaksi social b. Penyakit menular c. Perpindahan penduduk 13



d. Pengaruh cuaca e. Makanan dan gizi f. Persediaan air dan sanitasi g. Kesehatan jiwa h. Kerusakan infrastruktur kesehatan.



Menurut DepKes RI (2006a)



manajemen



siklus



penanggulangan bencana



terdiri dari: 1. impact (saat terjadi bencana) 2. Acute Response (tanggap darurat) 3. Recovery (pemulihan) 4. Development (pembangunan) 5. Prevention (pencegahan) 6. Mitigation (Mitigasi) 7. Preparedness (kesiapsiagaan). Aktivitas yang dilakukan untuk menangani masalah kesehatan dalam siklus bencana dibagi menjadi 2 macam, yaitu pada fase akut untuk menyelamatkan kehidupan dan fase sub-akut sebagai perawatan rehabilitatif. Menurut DepKes RI (2006)



untuk



mengetahui



manajemen



penanggulangan



bencana



secara



berkesinambungan, perlu dipahami siklus penanggulangan bencana dan peran tiap komponen pada setiap tahapan, sebagai berikut: 1. Kejadian bencana (impact) Kejadian atau peristiwa bencana yang disebabkan oleh alam atau ulah manusia, baik yang terjadi secara tiba-tiba atau



perlahan-lahan, dapat menyebabkan



hilangnya jiwa manusia, trauma fisik dan psikis, kerusakan harta



benda



dan



lingkungan, yang melampaui kemampuan dan sumberdaya masyarakat untuk mengatasinya. 2. Tanggap darurat (acute response) Upaya yang dilakukan segera setelah kejadian bencana yang bertujuan untuk menanggulangi



dampak



yang



timbul



akibat



bencana,



terutama



penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian. 3. Pemulihan (recovery) Proses pemulihan kondisi masyarakat yang terkena bencana baik dampak fisik dan psikis, dengan memfungsikan kembali sarana dan prasarana pada keadaan semula. 14



Hal ini dilakukan dengan memperbaiki prasaran dan pelayanan dasar (jalan, listrik, air bersih, pasar, Puskesmas dll) dan memulihkan kondisi trauma psikologis yang dialami anggota masyarakat. 4. Pembangunan (development) Merupakan fase membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana. Pembangunan ini dapat dibedakan menjadi 2 tahapan. Tahapan yang pertama yaitu rehabilitasi yang merupakan upaya yang dilakukan



setelah



kejadian



rumah,



fasilitas ekonomi.



bencana umum



untuk



dan



Tahapan



membantu



fasilitas yang



sosial



kedua



masyarakat memperbaiki serta menghidupkan



yaitu rekonstruksi,



kembali



yang



roda



merupakan



program jangka menengah dan jangka panjang yang meliputi program fisik, sosial dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan masyarakat pada kondisi yang sama atau lebih baik. 5. Pencegahan (prevention) Tindakan kegiatan



pencegahan untuk



yang



harus



meningkatkan



dilaksanakan



kesadaran/kepedulian



antara



lain



berupa



mengenai



bahaya



bencana. Langkah-langkah pencegahan difokuskan pada intervensi terhadap gejala-gejala alam dengan tujuan agar menghindarkan terjadinya bencana atau



menghindarkan



akibatnya



dengan



dan



cara menghilangkan/memperkecil



kerawanan dan meningkatkan ketahanan/kemampuan terhadap bahaya. 6. Mitigasi (mitigation) Upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana, baik secara fisik struktural dengan pembuatan bangunan-bangunan fisik maupun non- fisik struktural melalui perundang-undangan dan pelatihan. Mitigasi merupakan semua aktivitas yang dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi derajat risiko jangka panjang dalam kehidupan manusia yang berasal dari kerusakan alam dan buatan manusia itu sendiri (Stoltman et al., 2004). 7. Kesiapsiagaan (preparedness) Upaya



yang



dilakukan



untuk



mengantisipasi



bencana,



melalui



pengorganisasian langkah-langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Persiapan adalah



salah



satu



tugas utama



dalam



disaster



managemen, karena



pencegahan dan mitigasi tidak dapat menghilangkan vulnerability maupun bencana secara tuntas



15



I. Pencegahan dan Mitigasi Upaya atau kegiatan dalam rangka pencegahan dan mitigasi yang dilakukan, bertujuan untuk menghindari terjadinya bencana serta mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh bencana. Tindakan mitigasi dilihat dari sifatnya dapat digolongkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu 1. Mitigasi pasif. Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain: a. Penyusunan peraturan perundang-undangan b. Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah. c. Pembuatan pedoman/standar/prosedur d. Pembuatan brosur/leaflet/poster e. Penelitian / pengkajian karakteristik bencana f. Pengkajian / analisis risiko bencana g. Internalisasi PB dalam muatan lokal pendidikan h. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana i. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum j. Pengarus-utamaan PB dalam perencanaan pembangunan 2. Mitigasi aktif Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif antara lain: a. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan memasuki daerah rawan bencana dsb. b. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana. c. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat. d. Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang lebih aman. e. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat f. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika terjadi bencana. g. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah, mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya.



16



Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi yang bersifat non-struktural (berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan) dan yang bersifat struktural (berupa bangunan dan prasarana).



17



BAB III ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN PASCA BENCANA



A. Pengkajian 1. Umum  Nama  Usia  Jenis Kelamin  Alamat  Status  Pekerjaan  Agama 2. Khusus a. Data Subjektif  Menceritakan kejadian / periatiwa yang traumatis  Mengatakan takut atas kejadian bencana yang terjadi  Mengatakan resah saat teringat kembali peristiwa bencana yang dialaminya  Mengatakan merasa tidak berguna  Menyatakan was-was  Merasakan fikiran terganngu  Tidak ingin mengingat peristiwa itu kembali dengan menceritakannya lagi  Mengingkari peristiwa trauma  Merasa malu  Mengatakan setiap mengingat kejadian bencana merasa jantung berdebardebar b. Data Objektif  Mengasingkan diri  Menangis  Marah  Gelisah  Menghindar  Mengasingkan diri  Depresi 18



 Sulit berkomunikasi  Keadaan mood terganggu  Sesak didada  Lemah 3. Faktor Predisposisi Faktor predisposisi yang mempengaruhi kehilangan : a. Genetik Individu yang dilahirkan dibesarkan dalam keluarga yang mempunyai riwayat depresi biasanya sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu permasalahan, termasuk menghadapi kehilangan. b. Kesehatan fisik Individu dengan keadaan fisik sehat, cara hidup teratur, cenderung mempunyai kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang sedang mengalami gangguan fisik c. Kesehatan mental / jiwa Individu yang mengalami gangguan jiwa seperti depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya pesimis dan dibayangi dengan masa depan yang suram, biasanya sangat peka terhadap situasi kehilangan. d. Pengalaman kehilangan di massa lalu Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang bermakna dimasa kanak-kanak akan mempengaruhi individu dalam menghadapi kehilangan dimasa dewasa 4. Faktor Presipitasi Stress yang nyata seperti kehilangan yang bersifat Bio-Psiko-Sosial antara lain kehilangan kesehatan (sakit), kehilangan fungsi sseksualitas, kehilangan keluarga dan harta benda. Individu yang kehilangan sering menunjukkan perilaku seperti menangis atau tidak mampu menangis , marah, putus asa, kadang ada tanda upaya bunuh diri atau melukai orang lain yang akhirnya membawa pasien dalam keadaan depresi. 5. Spiritual a. Keyakinan terhadap Tuhan YME b. Kehadiran ditempat Ibadah c. Pentingna Agama dalam kehidupan pasien d. Kepercayaan akan kehidupan setelah kematian 6. Orang-orang terdekat



19



a. Status perkawinan b. Siapa orang terdekat c. Anak-anak d. Kebiasaan pasien dalam tugas-tugas keluarga dan fungsi-fungsinya e. Bagaimana pengaruh orang-orang terdekat terhadap penyakit atau masalah f. Proses interaksi apakah yang terdapat dalam keluarga a. Gaya hidup keluarga, misal: Diet, mengikuti pengajian 7. Sosioekonomi a. Pekerjaan: keuangan b. Faktor-faktor lingkungan: rumah,pekeerjaan dan rekreasi c. Penerimaan sosial terhadap penyakit / kondisi, misal : PMS,HIV,Obesitas,dll 8. Kultural a. Latar belakang etnis b. Tingkah laku mengusahakan kesehatan, rujuk penyakit c. Faktor-faktor kultural yang dihubngkan dengan penyakit secara umum dan respon terhadap rasa sakit d. Kepercayaan mengenai perawatan dan pengobatan



B.



Diagnosa Keperawatan 1. Berduka berhubungan dengan Aktual atau perasaan 2. Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional, stress, perubahan status lingkungan, ancaman kematian, kurang pengetahuan. 3. Takut berhubungan dengan perubahan status lingkungan ( bencana alam) 4. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan kehilangan (keluarga dan harta benda) 5. Resiko distress spiritual dengan faktor resiko perubahan lingkungan bencana alam.



20



C. Intervensi Keperawatan Dari beberapa diagnosa maka intervensi yang dapat kita lakukan adalah:



Diagnosa Keperawatan/ Masalah



Rencana keperawatan



Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil



Intervensi



Berduka berhubungan dengan aktual atau NOC:



NIC:



perasaan kehilangan, ditandai dengan



Kontrol Koping



 Bina dan jalin hubungan saling percaya.



DO/DS:



Setelah



 penolakan terhadap kehilangan,



keperawatan selama 3 kali



 menangis



pertemuan



 menghindar



diharapkan individu mengala



 marah



mi



 Mengatakan bersedih



asuhan  Identifikasi



dilakukan



kemungkinan



faktor



yang



menghambat proses berduka  Kurangi atau hilangkan faktor penghambat proses berduka.



secara  Beri dukungan terhadap respon kehilangan normal, melakukan koping pasien terhadap kehilangan secara  Tingkatkan rasa kebersamaan antara anggota proses



bertahap



berduka



dan



menerima



keluarga.



kehilangan sebagai bagian dari  Identifikasi tingkat rasa duka pada fase kehidupan yang nyata dan berikut: harus dilalui, dengan kriteria Fase pengingkaran hasil:



 Memberi kesempatan kepada pasien untuk



21



21



 Individu mengungkapkan



mengungkapkan perasaannya.



mampu perasaan



 Menunjukkan sikap menerima,ikhlas dan



duka.



mendorong pasien untuk berbagi rasa.



 Menerima



kenyataan



 Memberikan jawaban yang jujur terhadap



kehilangan dengan perasaan



pertanyaan



damai



pengobatan dan kematian.



 Membina hubungan baru yang



bermakna



dengan



pasien



tentang



sakit,



Fase marah  Mengizinkan



objek atau orang yang baru.



dan



mendorong



pasien



mengungkapkan rasa marahnya secara verbal tanpa melawan dengan kemarahan. c.



Fase tawar menawar



 Membantu pasien mengidentifikasi rasa bersalah ddan perasaan takutnya. Fase depresi  Mengidentifikasi



tingkat



depresi



dan



resiko merusak diri pasien  Membantu



pasien



mengurangi



rasa



bersalah. Fase penerimaan  Membantu



pasien



untuk



menerima



kehilangan yang tidak bisa dielakkan Kecemasan berhubungan dengan 22



22



krisis situasional, stress, perubahan status



NOC :



NIC :



lingkungan, ancaman kematian, kurang



-



Kontrol kecemasan



Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)



pengetahuan.



-



Koping



 Gunakan pendekatan yang menenangkan



Setelah



dilakukan



asuhan  Nyatakan dengan jelas harapan terhadap



DO/DS:



selama 3 kali pertemuan klien



- Insomnia



kecemasan teratasi dgn kriteria  Temani pasien untuk memberikan keamanan



- Kontak mata kurang



hasil:



- Kurang istirahat



 Klien



dan mengurangi takut mampu  Libatkan keluarga untuk mendampingi klien



- Berfokus pada diri sendiri



mengidentifikasi



- Iritabilitas



mengungkapkan



- Takut



cemas



- Nyeri perut - Penurunan TD dan denyut nadi - Diare, mual, kelelahan - Gangguan tidur - Gemetar - Anoreksia, mulut kering - Peningkatan TD, denyut nadi, RR



pelaku pasien



dan  Instruksikan pada pasien untuk menggunakan gejala tehnik relaksasi  Dengarkan dengan penuh perhatian



 Mengidentifikasi,



 Identifikasi tingkat kecemasan



mengungkapkan



dan  Bantu pasien mengenal situasi yang menunjukkan tehnik untuk menimbulkan kecemasan mengontol cemas  Dorong pasien untuk mengungkapkan  Vital sign dalam batas perasaan, ketakutan, persepsi normal  Postur



 Kelola pemberian obat anti cemas tubuh,



ekspresi



- Kesulitan bernafas



wajah, bahasa tubuh dan



- Bingung



tingkat



- Bloking dalam pembicaraan



menunjukkan



aktivitas



- Sulit berkonsentrasi 23



23



berkurangnya kecemasan Takut berhubungan dengan perubahan status lingkungan ( bencana alam), ditandai dengan



NOC :Anxiety control



NIC:



DS : Peningkatan ketegangan,panik,



Fear control



Coping Enhancement



penurunan kepercayaan diri, cemas



Setelah dilakukan tindakan  Bina dan jalin hubungan saling percaya.



DO :



keperawatan selama 3 kali  Sediakan reinforcement positif ketika pasien



 penurunan



produktivitas



kemampuan



belajar



pertemuan takut klien teratasi dengan kriteria hasil :



 penurunan kemampuan menyelesaikan  Memiliki informasi untuk masalah  mengidentifikasi obyek ketakutan,  peningkatan kewaspadaan  Anoreksia  mulut kering  diare, mual  pucat, muntah



mengurangi takut  Menggunakan tehnik relaksasi  Mempertahankan hubungan sosial dan fungsi peran  Mengontrol respon takut



melakukan perilaku untuk mengurangi takut  Sediakan perawatan yang berkesinambungan  Kurangi stimulasi lingkungan yang dapat menyebabkan misinterprestasi  Dorong



mengungkapkan



secara



verbal



perasaan, persepsi dan rasa takutnya  Perkenalkan dengan orang yang mengalami kejadian bencana yang sama  Dorong klien untuk mempraktekan tehnik relaksasi



 perubahan tanda-tanda vital



24 24



BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Di beberapa daerah di Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana. Dengan banyaknya bencana, kesiagaan dan pelaksanaan tanggap bencana harus dilakukan dengan baik. Karena dampak yang ditimbulkan bencana tidaklah sederhana, maka penanganan korban bencana harus dilakukan dengan terkoordinasi dengan baik sehingga korban yang mengalami berbagai sakit baik fisik, sosial, dan emosional dapat ditangani dengan baik dan manusiawi. Perawat sebagai kaum yang telah dibekali dasar-dasar kejiwaan kebencanaan dapat melakukan berbagai tindakan tanggap bencana. Seharusnya modal itu dimanfaatkan oleh mahasiswa keperawatan agar secara aktif turut melakukan tindakan tanggap bencana.



B. Saran Perawat adalah tenaga kesehatan yang sangat berkompeten untuk melakukan pelayanan kesehatan di daerah yang sedang mengalami bencana, oleh karena itu diharapkan bagi mahasiswa keperawatan maupun perawat yang sudah berpengalaman dalam praktik pelayanan kesehatan mau untk berperan dalam penanggulangan bencana yang ada di sekitar kita. Karena ilmu yang didapat di bangku perkuliahan sangat relevan dengan yang terjadi di masyarakat, yaitu fenomena masalah kesehatan yang biasanya muncul di tempat yang sedang terjadi bencana.



25



DAFTAR PUSTAKA



1. Blackwell, Wiley,2015-2017. Nanda International, Inc. Nursing Diagnoses : Definitions & Classification. 10th Ed. The atrium, shouter Gate, Chichester, West Sussex 2. Bencana, Pujiono. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana Paragdima Penanggulangan. 3. Blogspot. 2010. Bencana. http://keperawatankomunitas.blogspot.com/2010/04/bencana.html. Diakses Pada Tanggal 2 September 2016. Pukul 08.45 WIB. 4. Bulechek, Gloria M & Butcher, Howard, K, 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). 6th Ed. St Louis : Missouri 5. Efendi, Ferry. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika 6. Keliat,B.A, dkk. 2006. Manajemen Kasus Gangguan Jiwa Dalam Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta : Modul IC CMHN.FIKUI 7. Moorhead, Sue & Johnson Marion. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). 5th Ed. St Louis :Missouri 8. Munawar. 2011. Pengertian dan Istilah-istilah Bencana. www.



kangmunawar.com/bencana/pengertian-dan-istilah-istilah-bencana.



Diakses



Pada Tanggal 2 September 2016. Pukul 08.15 WIB 9. Suliswati. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC 10. Weenbee.



2011.



Peran



Perawat



Dalam



Manajemen



Bencana.http://weenbee.wordpress.com/2011/08/23/peran-perawat-dalammanajemen-bencana/#more-94. Diakses Pada Tanggal 2 September 2016. Pukul 09.00 WIB. 11. Wikipedia.



2011. Bencana. www.id.wikipedia.org/wiki/bencana.



Diakses



Pada



Tanggal 21 Maret 2012. Pukul 08.30 WIB. 12. Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama



26