Makalah Kuljar [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1. 1.2. 1.3.



Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penulisan



BAB II ISI 2.1 Sejarah Perkembangan Kultur Embrio Kultur Jaringan adalah teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri & bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip utamanya adalah perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman, menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril. Teknik kultur jaringan pada saat ini telah berkembang menjadi teknik perkembangbiakan tanaman yang sangat penting pada berbagai spesies tanaman. Teknik kultur jaringan semakin berkembang dan popular sebagai salah satu alternatif dari propagasi tanaman vegetatif. Teknik ini meliputi metode propagasi aseksual dan tujuan utamanya adalah membuat tanaman lebih unggul. Kesuksesan dari beberapa seleksi in vitro dan manipulasi genetic pada tanaman tingkat tinggi tergantung pada kesuksesan dari regenerasi tanaman in vitro. Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional. Teknologi ini dimulai dengan spekulasi ilmuwan dari German bernama Gottlieb Haberlandt pada awal abad ke 20, yaitu tahun 1902 tentang teori totipotensi. Haberlandt menyatakan bahwa setiap sel mampu tumbuh dan berkembang menjadi tanaman normal jika dikulturkan pada nutrisi dan lingkungan yang tepat. Keberhasilan pertama dalam kultur in vitro dicapai dalam praktek kultur organ. Teknik penyelamatan embrio (embryo rescue) mulai dikembangkan tahun 1900an yang memungkinkan benih yang belum



matang atau embrio diselamatkan untuk membentuk tanaman baru. Ini biasanya dilakukan untuk benih – benih yang memiliki masa dormansi yang panjang. Menurut Shabde – Moses & Murhasige (1979), Hannig, pada tahun 1904 telah berhasil mendapatkan kecambah tanaman jenis cruciferae dari embrio-embrio yang diisolasi dari biji yang belum matang (immature). Pertumbuhan organ yang tidak terbatas didalam kultur in vitro, pertama diperlihatkan oleh White dalam kultur akar tomat sekitar tahun 1934. Kultur embrio adalah salah satu teknik kultur jaringan yang pertama kali berhasil, yang dilakukan oleh Hanning (1904) seperti disebutkan di atas. Tahun 1924 adalah saat pertama kali dilakukan penelitian untuk memcahkan masalah dormansi biji secara invitro pada embrio Linum. Tahun 1933: Tuckey berhasil memperoleh tanaman dari immature embryo buah batu. Kultur organ merupakan topik yang penting dalam penelitian antara tahun 1940-1960. Setelah itu penalitian dalam bidang ini berkurang, kecuali kultur pucuk/meristem. Selain kultur pucuk, pada tahun 60-an, kultur akar mendapat perhatian lagi pada beberapa tanaman tertentu sehubungan dengan tujuan produksi bahan sekunder, terutama untuk jenis-jenis persenyawaan yang berasosiasi dengan akar. Secara keseluruhan kultur organ dalam ilmu fisiologi dipergunakan dalam studi diferensiasi dan fungsi dari jaringan-jaringan khusus. Kebutuhan nutrisi dan lingkungan, dapat dieksplorasi lebih tepat dalam kultur in vitro. Organ-organ tanaman yang sering digunakan sebagai eksplan tergantung dari jenis tanamannya. 2.2 Pengertian Kultur Embrio Program pemuliaan tanaman, biasanya dilakukan persilangan buatan antara tanaman induk (P) untuk menghasilkan hibrid baru. Persilangan buatan lebih mudah berhasil bila dilakukan antar tanaman dengan hubungan kekerabatan yang dekat. Agar memperoleh sifat-sifat yang diinginkan, seringkali penyilangan dilakukan dengan tanaman liar atau bahkan persilangan dengan varietas yang berbeda bila sifat-sifat tersebut tidak terdapat pada kerabat dekatnya. Penyerbukan dan pembuahan dapat berhasil namun setelah persilangan buatan seringkali dijumpai permasalahan antara lain buah yang terbentuk gugur saat embrio belum matang, terbentuk buah dengan endosperm



yang kecil atau terbentuk buah dengan embrio yang kecil dan lemah. Kondisi tersebut dapat menghambat program pemuliaan tanaman karena embrio muda, embrio dengan endosperm kecil atau embrio kecil dan lemah seringkali tidak dapat berkecambah secara normal dalam kondisi biasa. Mengatasi hal tersebut di atas maka embrio tersebut dapat diselamatkan dan ditanam secara aseptis dalam media buatan sehingga dapat berkecambah dan menghasilkan tanaman utuh. Teknik untuk menanam embrio muda ini dikenal dengan sebutan penyelamatan embrio (embryo rescue). Selain teknik penyelamatan embrio ini dikenal juga teknik kultur embrio (embryo culture), yaitu penanaman embrio dewasa pada media buatan secara aseptis. Aplikasi kultur embrio ini antara lain perbanyakan tanaman, pematahan dormansi untuk mempercepat program pemuliaan serta perbanyakan tanaman yang sulit berkecambah secara alami, misalnya anggrek, kedelai, pepaya, kacang tanah dan kelapa kopyor. Embryo Culture atau kultur embrio adalah isolasi steril dari embrio muda (immature embryo) atau embrio dewasa/tua (mature embryo) secara in-vitro dengan tujuan untuk memperoleh tanaman yang lengkap atau viabel. Kultur embryo dapat dikatakan sebagai kultur biji (seed kultur) yaitu kultur yang bahan tanamnnya menggunakan biji atau seedling. Kultur embryo dapat dilakukan untuk menyelamatkan embrio yang sudah matang agar tidak mati akibat serangan hama dan penyakit, penyelamatan embryo yang belum matang dan menumbuhkannya pada media kultur yang sesuai. Berdasarkan tujuan dan jenis embrio yang dikulurkan, kultur embrio digolongkan menjadi: 1. Kultur Embrio Muda (Immature Embryo Culture) Tujuan mengkulturkan embrio muda ini adalah menanam embrio yang terdapat pada buah muda sebelum buah tersebut gugur (mencegah kerusakan embrio akibat buah gugur) sehingga teknik ini disebut sebagai Embryo Rescue (Penyelamatan Embrio). Kondisi seperti ini biasanya sering dijumpai pada buah hasil persilangan, dimana absisi buah kerap kali dijumpai setelah penyerbukan dan pembuahan. Contohnya adalah pada persilangan anggrek Vanda spathulata dimana absisi atau gugur buah pada saat buah masih muda yaitu setelah berumur 3 bulan setelah persilangan padahal buah anggrek



Vanda spp. akan mengalami masak penuh setelah berumur 6 bulan. Apabila buah ini tidak diselamatkan atau dipetik dan kemudian dikecambahkan maka tidak akan diperoleh buah hasil persilangan. Perkecambahan biji yang masih muda di lapangan sangat sulit bahkan pada beberapa kasus hampir tidak mungkin bisa terjadi. Oleh karena itu, buah yang belum tua (2 – 4 bulan) pada anggrek Vanda tersebut kemudian dipanen dan dikecambahkan secara in-vitro. Budidaya embrio muda ini lebih sulit dibandingkan dengan budidaya embrio yang telah dewasa. Embrio yang terdapat dalam biji belum sepenuhnya berkembang dan belum membentuk radicula dan plumula yang sempurna. Selain itu, biji velum memiliki endosperm atau cadangan makanan yang memadai dalam mendukung perkembangan dan perkecambahan embrio. Oleh karena itu, perlu disediakan media kultur yang memadai bagi perkembangan embrio muda ini. Pada beberapa kasus kadangkala dijumpai embrio masih dorman sehingga perlu ditambahkan hormon tanaman yang bisa memecahkan dormansi biji ini, misalnya Giberellin. 2. Kultur Embryo Dewasa (Mature Embryo Culture) Kultur embrio dewasa dilakukan dengan membudidayakan embrio yang telah dewasa. Embrio ini diambil dari buah yang telah masak penuh dengan tujuan merangsang perkecambahan dan menumbuhkan embrio tersebut secara in-vitro. Teknik kultur ini umumnya dikenal dengan sebutan Kultur Embrio (Embryo Culture). Kultur embrio lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan penyelamatan embrio. Hal ini disebabkan karena embrio yang ditanam adalah embrio yang telah berkembang sempurna sehingga media tanaman yang digunakan juga sangat sederhana. 2.3 Pemanfaatan dan Aplikasi Kultur Embrio 2.4 Metode dan Teknik dalam Kultur Embrio 2.4 Faktor yang Mempengaruhi Teknik Kultur Embrio Faktor yang mempengaruhu kesuksesan kultur embrio adalah: 1. Genotipe a. Pada suatu spesies, embrio mudah diisolasi dan tumbuh, sementara pada tanaman lain agak lebih susah.



2. Tahap (stage) embrio diisolasi a. Pada tahapan yang lebih besar (lebih tinggi) lebih baik bila dilakukan pengisolasian embrio. 3. Kondisi tumbuh a. Sebaiknya ditumbuhkan di rumah kaca/ kondisi terkontrol. Embrio harus cukup besar dan berkualitas tinggi. 4. Kondisi media a. Hara makro dan mikro b. pH 5.0 – 6.0 c. Sukrosa sebagai sumber energi. Embrio yang belum matang perlu 8– 12%, embrio matang perlu 3%. d. Auksin dan sitokinin tidak diperlukan. GA diperlukan untuk memecahkan dormansi. e. Vitamin (optional) f. Senyawa organik (opt), air kelapa, casein hydrolisate, glutamin (penting). 5. Lingkungan a. Oksigen (perlu oksigen tinggi) b. Cahaya : kadang embrio perlu ditumbuhkan dalam gelap selama 14 hari, kemudian ditransfer ke cahaya untuk merangsang sintesa klorofil. c. Suhu : kadang perlu perlakuan dingin (vernalisasi, 40°C) untuk memecah dormansi. 2.6 Keuntungan dan Kerugian Teknik Kultur Embrio