Makalah Lupus Atau SLE [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS INDIVIDU EPIDEMIOLOGI PENYAKIT SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)/LUPUS



DI SUSUN OLEH : NAMA



: OVI QUNUTYANINGSIH RAHMADHANI



NIM



: J1A117108



KELAS



: AKK



PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT KONSETRASI ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI 2019



KATA PENGANTAR



Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wata΄ala, karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul EPIDEMIOLOGI PENYAKIT LUPUS/LSE (SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata Eidemiologi Penyakit Tidak Menular .Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.



Kendari



2019



Penulis



KATA PENGANTAR



DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………….. 1.1. 1.2. 1.3.



Latar Belakang…………………………………………………………………… Rumusan Masalah………………………………………………………………. Tujuan…………………………………………………………………………..



BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………... 2.1. Definisi peyakit lupus/SLE………………………………………………………….. 2.2 Penyebab Penyakit Lupus/SLE………………………………………………………. 2.3 Faktor resiko Penyakit Lupus/SLE………………………………………………….. 2.4 Gejala dan tanda penyakit lupus/SLE……………………………………………….. 2.5 Gambaran patofisiologi penyakit Lupus/SLE……………………………………….. 2.6 Cara pecegahan dan penanggulangan penyakit Lupus/SLE………………………… BAB III PENUTUP…………………………………………………………………….. 3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………….. 3.2 Saran…………………………………………………………………………………. DAFTAR PUSTAKA



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang



Penyakit Systemic Lupus Erithematosus (SLE) merupakan penyakit yang menyebabkan peradangan atau inflamasi multisistem yang disebabkan banyak faktor dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibody yang berlebihan. Lupus hingga saat ini menyerang paling sedikit sekitar 5 juta orang di dunia. Di Amerika hingga saat ini tercatat 1,5 juta orang menderita penyakit lupus (Lupus Foundation of America, 2015). Penyakit SLE masih tergolong penyakit yang awam di Indonesia. Akan tetapi tidak berarti bahwa tidak ada orang yang menderita penyakit ini. Prevalensi penyakit SLE ini semakin hari semakin banyak diteliti. Prevalensi berkisar antara 20–150 kasus per 100.000 penduduk, dengan prevalensi yang tertinggi terdapat di negara Brazil. Di Amerika Serikat, orang-orang Afrika, Hispanik, atau Asia keturunan cenderung memiliki angka prevalensi yang tinggi di- bandingkan dengan kelompok ras atau etnis lainnya. Tingkat kelangsungan hidup selama 10 tahun pada Odapus (Orang dengan Lupus) ber- kisar pada 70% (Tsokos, 2011). Di Indonesia, data jumlah Odapus belum diketahui secara pasti. Survey yang dilakukan Prof. Handono Kalim, dkk. menunjukkan jumlah Odapus ada- lah sebesar 0,5% dari total populasi penduduk yang ada di Malang (Kemenkes RI, 2017).



Di Indonesia Juga, dilihat dari estimasi jumlah penderita lupus sekitar 200-300 ribu orang, perbandingan jumlah penderita lupus pria dan wanita adalah 1:6-10, sehingga lupus sering disebut penyakit kaum wanita. Tren penyakit lupus di negara



kita terus menunjukkan peningkatan setiap tahunnya (Yayasan Lupus Indonesia 2012; Utomo 2012). Lupus telah diderita setidaknya oleh lima juta orang di seluruh dunia. Lupus dapat menyerang pria dan wanita di semua usia, namun 90% dari orang yang terdiagnosis lupus adalah wanita, dan usia rentan lupus adalah 1544 tahun. 70% kasus lupus berupa SLE (Systemic Lupus Erythematosus), 10% berupa CLE (Cutaneous Lupus Erythematosus), 10% berupa drug-induced lupus, dan 5% lainnya berupa neonatal lupus (S.L.E. Lupus Foundation 2012). 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa definisi penyakit lupus/SLE? 2. Apa penyebab penyakit lupus/SLE? 3. Apa Faktor resiko Penyakit Lupus/SLE? 4. Apa gejala dan tanda penyakit lupus/SLE? 5. Bagaimana Gambaran patofisiologi penyakit Lupus/SLE? 6. Bagaiaman Cara pecegahan dan penanggulangan penyakit Lupus/SLE?



1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui definisi penyakit lupus/SLE



2. Untuk mengetahui penyebab penyakit lupus/SLE 3. Untuk mengetahui Faktor resiko Penyakit Lupus/SLE 4. Untuk menegatahui gejala dan tanda penyakit lupus/SLE 5. Untuk mengetahui Gambaran patofisiologi penyakit Lupus/SLE 6.



Untuk mengetahui Cara pecegahan dan penanggulangan penyakit Lupus/SLE



BAB II TINJUAN PUSTAKA



2.1 Definisi Penyaki Lupus/SLE Dalam ilmu kedokteran penyakit Lupus dikenal sebagai Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Atau sebagai penyakit dengan kekebalan tubuh berlebihan (Autoimmune disease),dalam ilmu immunologi tentang kekebalan tubuh, penyakit Lupus merupakan kebalikan dari penyakit kanker dan AIDS yang disebabkan oleh HIV karena pada penderita penyakit lupus ini jaringan dalam tubuh dianggap benda asing Lupus adalah penyakit dimana sistem imun, yang normalnya memerangi infeksi, mulai menyerang sel sehat dalam tubuh. Fenomena ini disebut autoimun dan apa yang diserang oleh sistem imun disebut autoantigen (Laura K. DeLong, MD 2012). Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit yang ditandai dengan produksi antibodi yang berlebihan terhadap komponen inti sel, dan menimbulkan berbagai macam ma- nifestasi klinis pada organ (Cleanthous, Tyagi 2011). Lupus merupakan penyakit autoimun yang banyak menyerang wanita dengan usia antara 15–45 tahun (Wallace, 2009).



SLE adalah penyakit autoimun. Kondisi pasien mungkin berfluktuasi dan berakibat fatal jika tidak segera diobati saat berkobar. Saat ini, belum ada obat yang pasti untuk menyembuhkan penyakit demensia. Namun, kondisinya bisa dikontrol



secara efektif tanpa flare-up dengan perawatan yang tepat, memungkinkan pasien untuk melanjutkan pekerjaan dan kehidupan sehari-hari.(article 2018 Hospital Authority.)



Lupus merupakan penyakit autoimun kronis yang tanda dan gejalanya dapat menetap selama lebih dari enam minggu dan seringnya hingga beberapa tahun (Lupus Foundation of America 2012)



Penyakit Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi (antibody yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang terikat pada antigen) didalam jaringan (Syamsi Dhuha Foundation, 2003, dalam Syafi’i, 2012).



2.2 Penyebab Penyakit Lupus / SLE Beberapa ahli berpendapat bahwa penyebab lupus berasal dari beberapafaktor, yaitu: genetik, lingkungan (sinar UV, obat-obatan, infeksi,



trauma/kecelakaan), faktor internal (stres emosional, stres fisik, demam, dan hormon estrogen) (Lupus Foundation of America 2012; Stichweh & Pascual 2005). Lupus dapat menyebabkan inflamasi dan merusak berbagai organ tubuh, seperti persendian, kulit, ginjal, jantung, paru-paru, pembuluh darah, dan otak (NIAMS 2012; Ferenkeh-Koroma 2012; Nery et al. n.d.). Masalah tidak terdeteksinya kasus SLE dapat dikarenakan berbagai macam hal, antara lain seringnya penyakit ini terlambat diketahui dan diobati dengan benar karena cukup banyak dokter yang tidak menge- tahui atau kurang waspada tentang gejala penyakit dan dampaknya terhadap kesehatan. Hal ini disebabkan karena tanda dan gejala yang ditimbulkan oleh penyakit SLE ini masih terlalu umum dan seringkali merujuk pada penyakit lain, misalnya malaria, nyeri sendi, dan lain- lain. Bidang medis masih belum tahu mengapa sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan tubuhnya sendiri. Mungkin gen herediter dan faktor yang diakibatkannya telah menyebabkan penyakit ini. Hereditas bukanlah penyebab utama, dan hanya saja pasien mungkin mewarisi predisposisi lupus, dan kemudian ketika mereka berhubungan dengan faktor penginduksi yang didapat seperti virus, timbullah timbulnya penyakit ini.



Faktor genetik diduga memegang peranan



yang penting pada patofisiologi SLE.



Pengaruh genetik dibuktikan dengan berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa antiDNA sering dijumpai pada keluarga penderita SLE dan 70% dari saudara kembar monozigot penderita SLE memiliki kelainan yang sama (Kresno, 2010).



2.3 Faktor resiko Penyakit Lupus/SLE faktor yang dapat mempengaruhi hal ini. Peningkatan intensitas paparan faktor pencetus tentunya akan menyebabkan gejala lupus lebih sering muncul. Untuk mengantisipasi hal ini maka perlu memiliki pengetahuan sensoris yang memadai tentang penyakit lupus dan efikasi diri yang tinggi guna memfasilitasi tindakan pencegahan paparan faktor pencetus. Namun demikian, hubungan antara faktor pencetus gejala dan perilaku pencegahan paparannya pada penderita lupus masih belum jelas. Komplikasi renal, neurologikal, dan hematologikal adalah yang paling sering ditemukan pada Penderita lupus (Kannangara et al.2008). Menurut penelitian, faktor berikut meningkatkan peluang pengembangan SLE: 



Genetik Studi menemukan bahwa lupus dapat dikaitkan dengan defisiensi gen HLA DR2, HLA-DR3 atau komplemen C4. Anggota keluarga pasien SLE memiliki kesempatan lebih tinggi untuk mendapatkan penyakit ini.







Estrogen: Lupus berhubungan erat dengan estrogen, seperti yang sering terjadi pada wanita usia reproduksi. Kehamilan dan konsumsi pil kontrasepsi yang mengandung estrogen dapat menyebabkan penyakit ini memburuk. Banyak pasien pasca menopause akan menemukan gejala mereka mereda tanpa memerlukan pengobatan lebih lanjut.







Suku bangsa: SLE lebih umum terjadi pada orang-orang Asia dan Afrika daripada orang Kaukasia.







Ultraviolet Ray: Berjemur bisa menyebabkan SLE. Sementara penyebabnya masih belum jelas, ada kemungkinan protein yang dihasilkan oleh sel kulit pada paparan sinar ultraviolet mengganggu sistem kekebalan tubuh, sehingga menyebabkan peradangan.







Pengobatan: Konsumsi obat-obatan tertentu yang berkepanjangan, termasuk obat anti hipertensi seperti hydralazine, obat-obatan mental seperti obat chlorpromazine atau anti tuberkulosis dapat menyebabkan lupus. Namun, lupus yang diinduksi obat jarang terjadi.







Faktor lainnya: Beberapa penelitian menunjukkan bahwa infeksi virus atau bakteri, kontak dengan bahan kimia dan merokok juga dapat menyebabkan lupus.



Adapun factor resiko lainya juga akan menyebabkan komplikasi serius yang mempengaruhi fungsi seluruh tubuh sbb: a) Gagal ginjal: Di antara orang Cina, ginjal adalah yang paling rentan terhadap serangan lupus eritematosus. Sekitar dua pertiga pasien dengan lupus erythematosus akan mendapatkan lupus nephritis dari berbagai tingkatan, yang dapat menyebabkan kematian karena gagal ginjal. Oleh karena itu, pasien perlu melakukan tes urine dan



kreatinin rutin untuk memantau fungsi ginjal.



b) sistem saraf pusat, hati: Seorang pasien dengan lupus eritematosus mungkin mengalami sakit kepala, ilusi, kejang, pembengkakan saraf atau sumsum tulang belakang, yang menyebabkan kelumpuhan atau mati rasa pada anggota badan. c) Penyakit pembuluh darah dan pembuluh darah: Lupus eritematosus sistemik dapat menyebabkan masalah yang berkaitan dengan darah, seperti anemia, pendarahan atau pembekuan darah. Ada kemungkinan memiliki vaskulitis, yang membuat pembuluh darah menyempit atau menyebabkannya menghalangi, sehingga menyebabkan kematian. 



Serositis dan Pneumonia Interstisial: Lupus erythematosus dapat menyerang paru-paru, sehingga menyebabkan serositis, yang membuat pasien merasa nyeri saat bernafas; Selain itu, pasien juga memiliki kemungkinan pneumonitis yang tidak terinfeksi.







Onset Penyakit Jantung: Lupus erythematosus akan menyerang otot jantung, arteri atau membran jantung, sehingga menyebabkan mycorditis, endocarditis, penyakit jantung koroner, dan perikarditis, yang meningkatkan risiko timbulnya penyakit jantung.



2.4 Gejala dan tanda penyakit lupus/SLE Keadaan setiap pasien dengan sistemik lupus erythematosus bervariasi, dan organorgan jaringan yang terkena juga berbeda. Gejalanya bisa ringan atau serius, dan bisa akut atau lambat. Beberapa terjadi dalam waktu singkat, namun beberapa mungkin bertahan. Gejalanya juga bergantung pada daerah lupus eritematosus sistemik mana yang memengaruhi. Berikut ini adalah gejala umum:



•Rasa sakit pada sendi Sebagian besar pasien akan menderita nyeri sendi dan bengkak, sehingga menyebabkan radang sendi. Dalam banyak kasus, ini adalah gejala paling awal, dan sangat penting untuk diagnosis dini. Sendi yang terkena mungkin termasuk jari tangan, pergelangan tangan, bahu, lutut dan sendi pinggul, dll. Pasien akan merasa sakit parah pada persendian, sensitive dan bengkak. Sebagian besar kondisi pasien membaik atau memburuk pada waktu, dan kekakuan pagi bisa terjadi, yang berarti sendi yang terkena pada pasien mungkin menjadi kaku saat mereka bangun di pagi hari. Secara umum, arthritis yang disebabkan oleh lupus jarang menyebabkan deformitas persendian. 



Ruam Ruam di jembatan hidung dan kedua pipi. Sekitar 40% pasien memiliki gejala



awal ruam di pipi mereka, namun ada juga pasien yang mengalami ruam beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun setelah onset penyakit. Ruam terjadi di pipi pada awalnya, dan beberapa pasien mengalami ruam yang menyebar ke jembatan hidung, sehingga membentuk ruam berbentuk kupu-kupu yang khas (ruam malar).



a) Di bagian belakang tangan, di dada dan punggung, pada kulit kepala dan pipi, dan sebagainya, muncullah ruam tipe disk biru ungu. Kondisi pasien dengan gejala ini relatif ringan, dan kemungkinan organ lain yang terkena dampak rendah. b) Eritematosa bersisik muncul pada kulit mirip dengan psoriasis. Lesi sistemik lain dari pasien dengan penyakit ini tidak akan terlalu serius, dan jarang terjadi bahwa ginjal akan rusak. c) Sangat sedikit pasien yang akan mengidap bulosa, dengan lecet pada kulit.



Selain hal di atas, pasien mungkin juga memiliki gejala berikut: Apabila terkena atau terpapar langsung sinar ultraviolet dan ruam kulit muncul setelah paparan sinar matahari 



kelelahan







Demam terus-menerus rendah dengan alasan yang tidak diketahui







Berat badan atau keuntungan







Ulkus lisan atau pharyngeal







Hilangnya Penglihatan







Jari-jari tangan atau kaki menjadi putih saat dingin atau tertekan, lalu berubah







menjadi biru ungu (fenomena Raynaud)







Sulit bernafas







Nyeri di dada:







Mata Kering







Hematuria







Nyeri perut, mual







Nervousness







Sakit kepala parah







Kram







Fungsi kognitif yang rusak



Gambar.1 Gejala terjadinya lupus/SLE Perubahan fisik yang dialami (pertambahan penurunan berat badan, moon face, munculnya jerawat, rambut rontok, adanya rambut halus pada wajah) mengakibatkan penurunan kepuasan pada citra diri penderita SLE. Kekhawatiran yang paling banyak dirasakan oleh penderita adalah mengenai penampilan dan penambahan berat badan yang mereka alami selama proses pengobatan (Hale dkk, 2014). Penderita SLE tidak hanya mengalami perubahan fisik sebagai akibat dari SLE yang mereka



derita,



namun mereka juga mengalami penurunan pada kesehatan fisik secara signifikan. Penderita SLE terpaksa melepaskan pekerjaan yang mereka miliki karena sulitnya menyelesaikan pekerjaan dengan kondisi kesehatan fisik yang mereka miliki (McElhone, dkk., 2010).



Segala perubahan kondisi yang harus dialami penderita SLE baik pada aspek lingkungan seperti dukungan sosial, aspek fisik dan aspek emotional mengakibatkan adanya perubahan pada kualitas hidup mereka. Kualitas hidup adalah persepsi individu atas kedudukan atau posisi mereka dalam kehidupan pada konteks budaya dan nilai system di mana mereka hidup dan berhubungan dengan pencapaian harapan, mimpi, standar dan perhatian yang mereka miliki (WHO, 1998). Pada berbagai penelitian yang dilakukan di berbagai negara lain menunjukkan adanya penurunan kualitas hidup penderita SLE.



Gejala lupus yang paling sering dilaporkan adalah demam, ruam kulit karena fotosensitif, sendi yang bengkak/nyeri, kelemahan/kelelahan, dan gangguan ginjal (Gallop et al. 2012; FerenkehKoroma 2012; NIAMS 2012; Nery et al. n.d.). Gejala lupus yang muncul sewaktu-waktu sangat berpotensi untuk mengganggu aktivitas sehari-hari dan menimbulkan banyak masalah lain



2.5 Gambaran patofisiologi penyakit Lupus/SLE



Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase puncak (flares). 



Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan oleh berbagai agen yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering ditemukan pada manusia, namun dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki oleh pasien SLE.







Fase profagase ditandai dengan aktivitas autoantibodi dalam menyebabkan cedera jaringan. Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan cedera jaringan dengan cara 1) pembentukan dan generasi kompleks imun, 2) berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ target dan mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan 3) secara langsung menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke sel hidup. Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon untuk melawan sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak hanya terjadi selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit, termasuk SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit.



Gambar 2. Pathogenesis Lupus/SLE



2.6 Cara pecegahan dan penanggulangan penyakit Lupus/SLE Saat ini, pengobatan adalah cara utama untuk mengobati lupus eritematosus sistemik. Dokter akan meresepkan obat yang tepat tergantung pada organ apa yang terkena dan keseriusan penyakit sehingga bisa memantau keadaan penyakit. Selain itu, dokter mungkin menyarankan fisioterapi untuk membantu meringankan gejala individu seperti radang sendi, dll.







NSAIDS (Obat antiinflamasi nonsteroid): Biasanya diresepkan untuk pasien dengan kondisi ringan seperti arthritis atau



pleurisy.Contohnya termasuk naprosyn, Ibuprofen, Sulindac dan Diclofenac. Efek sampingnya meliputi sakit perut, sakit maag, fungsi ginjal dan hati yang memudar, sakit kepala, meningitis aseptik, tiroid yang tidak berfungsi, dll. Barubaru ini, COX II, yang merupakan generasi baru NSAID, disediakan di pasaran, meminimalkan sisi - Efeknya, tapi akan meningkatkan risiko penyumbatan pembuluh darah.







Anti-Malaria Yang paling umum diresepkan adalah Hydroxychloroquine, terutama yang



menargetkan gejala artritis dan ruam pasien dengan efek samping yang baik, dan efek sampingnya meliputi retinopati dan kulit sensitif.







Kortikosteroid Ini adalah obat yang sangat penting untuk mengobati lupus eritematosus



sistemik, yang dapat mengurangi peradangan, memperbaiki kelelahan, dan penggunaan luarnya dapat membantu menyembuhkan ruam. Bila keadaan penyakit serius, seperti nefritis lupus akut,sistem saraf lupus, pneumonia lupus, peradangan hemolitik atau leukosit rendah, dokter akan mempertimbangkan untuk meresepkan dosis tinggi steroid, dan jika terjadi keadaan darurat, dokter mungkin menggunakan dosis besar. injeksi intravena terapi nadi metilprednisolon. Dosisnya akan dikurangi dengan syarat keadaan penyakit terkendali. Steroid yang umum digunakan termasuk Prednisone atau Predniolone, namun efek sampingnya sangat parah, terutama bila dalam dosis besar dan untuk penggunaan jangka panjang, jadi harus diambil sesuai instruksi dokter. Efek samping meliputi air dan garam yang terkumpul di dalam tubuh, tukak lambung, hipertensi, diabetes, osteoporosis,osteonekrosis, kekebalan berkurang, sekresi adrenergik tertekan, katarak, angina cordis, (SLE. 2018 Hospital Authority) Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Banyak pasien dengan gejala yang ringan tidak membutuhkan pengobatan atau hanya obat-obatan anti inflamasi yang intermitten. Pasien dengan sakit yang lebih serius yang meliputi kerusakan organ dalam membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi yang dikombinasikan dengan obat-obatan lain yang menekan sistem imunitas



Adapun cara lain mengobati penyakit lupus/SLE sebagai berikut: Terapi Non Farmakologi. Menghindari sinar matahari atau menutupinya dengan pakaian yang melindungi dari sinar matahari bisa efektif mencegah masalah yang disebabkan fotosensitif. Penurunan berat badan juga disarankan pada pasien yang obesitas dan kelebihan berat badan untuk mengurangi beberapa efek dari penyakit ini, khususnya ketika ada masalah dengan persendian. Pada pasien ini diberikan terapi dengan kortikosteroid sesuai teori. Kortikosteroid yang diguna dalam kasus ini adalah methylprednisolone. Selain itu pasien juga dinasehatkan agar melindungi dirinya daripada cahaya matahari. Menurut Bomar (2012), terdapat beberapa kemampuan dan keterampilan Yang harus diintegrasikan dalam self-management pada Penyakit SLE ini,diantaranya komunikasi, koping dan stres, aktifitas fisik, pengaturan obat, nutrisi, dan perawatan kesehatan alternatif. Komunikasi menjadi bagian penting dalam selfmanagement. Tidak hanya antara pasien dan tenaga kesehatan, akan tetapi juga dibutuhkan peran serta keluarga. Komunikasi yang melibatkan pihak keluarga atau mitra yang mendukung akan membawa manfaat, diantaranya meningkatkan komunikasi pasangan, meningkatkan keterampilan mengatasi masalah, dan meningkatkan dukungan sosial (Karlson, et al., 2004; Koroma,2012).



Aktivitas fisik juga penting untuk diperhatikan pada pasien dengan SLE ini, terutama terkait upaya untuk mengurangi paparan sinar ultraviolet yang kemungkinan dapat menimbulkan eksaserbasi. Penggunaan sun screen/sun protection selama aktivitas di luar ruangan serta penggunaan baju tertutup dan topi, perlu untuk disampaikan pada pasien. Selain itu, penjadwalan aktivitas fisik yang berada di luar ruangan perlu untuk dilakukan guna mencegah paparan matahari yang terlalu lama (Wheeler, 2010; Tsokos, 2011; Koroma, 2012; Bartels, etal., 2013).



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Berdasarkan dari hasil dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa penyakit lupus/SLE lebih banyak menyerang wanita. Dimana Sebagian besar pasien SLE adalah wanita berusia antara 15 dan 30 tahun. Pasien pria hanya memperhitungkan sepersepuluh dari jumlah total. SLE tidak menular atau turuntemurun. Kadang-kadang, wanita hamil dengan SLE dapat melepaskan antibodi pada janin melalui plasenta. Dalam kasus tersebut, bayi mungkin menunjukkan gejala yang mirip dengan ruam kulit lupus, yang akan hilang setelah beberapa saat dalam banyak kasus. Sejumlah kecil bayi mungkin menderita blok jantung kongenital, yang menyebabkan denyut jantung lambat. Namun ini tidak berakibat fatal dan pengobatan tidak perlu dilakukan. Hanya dalam kasus yang sangat jarang terjadi, bayi mengembangkan blok jantung yang serius.



3.2 Saran Dalam hal ini perlu adanya tindakan yang lebih awal untuk mengetahui penyakit ini sebab penyakit lupus/SLE susah sekali di diagnosis sehingga apabila ada beberapa gejala yang sudah di sebutkan di atas perlu kita memeriksakan secara dini walaupun kita berpikir bahwa gejalanya sama seperti salahsatu penyakit yang tidak berat.sehingga hal ini bisa membuat pencegahan agar tidak memperparah penyakit lupus dan menyebabkan penyakit komplikasi lainya.



DAFTAR PUSTAKA



Fatmawati Atika.(2018) REGULASI DIRI PADA PENYAKIT KRONIS SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS. Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 21 No.1. Ni Putu wulan Purnama Sari. FAKTOR PENCETUS GEJALA DAN PERILAKU PENCEGAHAN SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS. Jurnal Ners Volume 11 No. 2: 213-219. Yani Irma. KUALITAS HIDUP PENDERITA SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE) BERDASARKAN LUPUSQOL.Jurnal berkala Epidemiologi.vol 4 SLE.2018 Hospital Authority. Article.pdf