12 0 106 KB
MAKALAH MANAJEMEN INDUSTRI RUMPUT LAUT
LEMBAGA-LEMBAGA YANG TERKAIT PENGELOLAAN INDUSTRI RUMPUT LAUT
ANDI KARTIKA NURAULIAH 17.023.54.243.020
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN UNIVERSITAS ANDI DJEMMA PALOPO 2020
PRAKATA Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan tak lupa pula kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya. Kami sangat berharap Makalah Manajemen Industri Rumput Laut dengan judul “Lembaga-Lembaga yang Terkait Pengelolaan Industri Rumput Laut” dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita khususnya bagi pembaca. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah ini telah disusun dan dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.
Belopa, 11 Juli 2020
Penyusun
ii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL.......................................................................... i PRAKATA........................................................................................ ii DAFTAR ISI..................................................................................... iii I
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang....................................................................... 1 1.2. Tujuan Pembuatan Makalah................................................... 2 1.3. Manfaat Pembuatan Makalah................................................. 2
II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rumput Laut.......................................................................... 3 2.2. Kelembagaan........................................................................ 4
III
PEMBAHASAN 3.1. Kelembagaan Industri Rumput Laut...................................... 5
IV
PENUTUP 4.1. Kesimpulan........................................................................... 8 4.2. Saran..................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Secara nasional produksi rumput laut pada tahun 2011 hanya 4,3 juta ton
(Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012). Padahal apabila seluruh potensi dimanfaatkan, produksi rumput laut yang dapat dihasilkan bisa mencapai sekitar 17,774 juta ton per tahun. Apabila dihitung dengan tingkat harga rata-rata Rp 9.000,-/kg, pendapatan dari penjualan rumput laut akan mencapai sekitar Rp 159,970
triliun.
Dengan
demikian,
apabila
industri
pengolahan
rumput
dikembangkan, maka rumput laut dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan serta penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Meskipun rumput laut merupakan komoditas yang potensial untuk dikembangkan,
namun
permasalahan
masih
sering
muncul
dalam
pengembangan komoditas tersebut, terutama di daerah tertinggal. Diantaranya adalah usaha budidaya rumput laut umumnya berskala kecil dengan lokasi yang tersebar sehingga biaya transportasi per unit tinggi (Zakirah, 2008). Menurut laporan Bank Indonesia Kupang (2005), usaha budidaya rumput laut dinilai lebih banyak menghasilkan manfaat dibandingkan usaha kelautan lainnya karena: (a) budidaya rumput laut tidak membutuhkan biaya investasi ataupun biaya operasional yang besar; (b) usaha budidaya rumput laut menggunakan teknologi yang relatif sederhana; (c) tingkat pengembalian usaha budidaya rumput laut cukup cepat karena masa panen yang singkat (45 hari);
1
dan (d) tingkat permintaan pasar sangat tinggi dan menunjukkan kecenderungan meningkat dari waktu ke waktu. Rumput laut sebagian besar dipasarkan dalam kondisi segar yang digunakan sebagai bahan baku mentah (raw seaweeds) sehingga belum ada upaya menciptakan nilai tambah bagi komoditi rumput laut. Penerapan lembagalembaga industri rumput laut yang baik tentunya diperlukan dalam upaya meningkatkan nilai tambah dari komoditi rumput laut dalam proses pemasaran.
1.2.
Tujuan Makalah Untuk mengetahui lembaga-lembaga yang terkait pengelolaan industri
rumput
laut,
pengembangan
fungsi
dan
industri
peran
rumput
masing-masing
laut
serta
dalam
meningkatkan
merealisasikan
kepentingan
anggotanya.
1.3.
Manfaat Makalah Agar dapat menjadi informasi tentang lembaga-lembaga yang terkait
pengelolaan industri rumput laut, fungsi dan peran masing-masing dalam meningkatkan
pengembangan
industri
rumput
laut
serta
merealisasikan
kepentingan anggotanya.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Rumput laut Seiring dengan keberhasilan budidaya rumput laut di beberapa daerah
serta dicanangkannya rumput laut sebagai komoditas utama yang direvitalisasi dalam pembangunan kelautan di Indonesia, orientasi pemanfaatan rumput laut sebagai komoditas ekspor dalam bentuk raw material saat ini sudah mulai bergeser menjadi produk yang memiliki nilai tambah tinggi, yaitu dalam bentuk alkali treated cottonii (ATC). ATC merupakan suatu produk semi jadi yang berasal dari proses pengolahan rumput laut Eucheuma sp. yang pada umumnya digunakan dalam industri pangan dan non pangan. Meskipun secara kuantitas industri pengolahan rumput laut di Indonesia semakin bertambah, berkembang
namun keberadaan industri tersebut relatif belum
sebagaimana
diharapkan.
Tidak
berkembangnya
industri
pengolahan rumput laut di Indonesia dibandingkan negara lain, seperti di Filipina, adalah tidak terdapatnya jaminan pasokan bahan baku yang tepat jumlah, kualitas, waktu dan harga (DKP, 2005). Rumput laut umumnya tumbuh melekat pada substrat tertentu, tidak mempunyai akar, batang maupun daun sejati. Akan tetapi hanya menyerupai batang yang disebut thallus. Rumput laut tumbuh di alam dengan melekatkan dirinya pada karang, lumpur, pasir, batu, dan benda keras lainnya. Selain benda mati, rumput laut pun dapat melekat pada tumbuhan lain secara epifitik.
3
2.2.
Kelembagaan Kelembagaan mempunyai arti luas yang mencakup aturan main, kode
etik, sikap dan tingkah laku seseorang, organisasi atau suatu sistem. Inilah yang menurut penulis faktor kelembagaan menjadi bagian penting dalam upaya menata siklus aquabisnis rumput laut. Hal ini karena tidak dapat dipungkiri ternyata aquabisnis rumput laut masih menyisakan permasalahan baik pada kegiatan hulu (on farm) maupun di hilir (off farm). Jika diibaratkan kegiatan usaha merupakan sebuah rantai, maka kondisi saat ini menunjukkan performa mata rantai yang kurang baik, sehingga antar subsistem belum mampu berjalan dan berinteraksi secara baik dan berkelanjutan. Lemahnya penguatan struktur industri rumput laut nasional, disebabkan Indonesia masih dikendalikan oleh buyer dari luar. Karenanya langkah yang harus segera dilakukan adalah memprogramkan penguatan struktur industri rumput laut nasional dari hulu ke hilir. Membuat “cetak biru ” pengembangan industri nasional yang berkelanjutan, dengan strategi pencapaiannya 5 sampai 10 tahun ke depan, juga merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan. Tentunya dengan melibatkan berbagai pihak pemangku kepentingan, termasuk para pelaku usaha. Program
yang
bersinergi
dan
terkoordinasi
dengan
baik
antar
kementerian terkait dari pihak pemerintah dan pelaku usaha di pihak lain seperti para petani, pedagang, eksportir, dan industri pengolah, termasuk di dalamnya lembaga keuangan bank dan non-bank, akan menjadi kunci keberhasilan pencapaian “cetak biru” pengembangan industri rumput laut nasional secara berkelanjutan (Anonim, 2004).
Hubungan kelembagaan antar pelaku industri
4
umumnya tidak berlanjut kepada industri pengolahan. Hal ini menyebabkan nilai tambah rumput laut hanya sampai kepada produk rumput laut kering (BI, 2008).
BAB III PEMBAHASAN
3.1.
Kelembagaan industri rumput laut Variabel kelembagaan dalam pengembangan usaha tani rumput laut yaitu
kelembagaan penyedia modal ( koperasi, bank, pedagang pengumpul rumput laut, masyarakat), kelembagaan penyedia informasi ( penyuluh, pedagang pengumpul, kelompok tani, LSM ), kelembagaan penyedia input (pasar, koperasi, pedagang pengumputl, pemerintah, penyuluh, dan kelompok tani). a.
Kelembagaan penyedia modal ( koperasi, bank, pedagang pengumpul
rumput laut, masyarakat) Modal yang diberikan berupa uang tunai, tali, bibit, mesin, dan perahu. Pedagang pengumpul sebelum memberikan modal kepada masyarakat yang mengelolah usahatani rumput laut, terlebih dahulu diadakan sosialisasi. Sosialisasi yang diberikan berupa proses pengembalian modal, pembibitan, dan penanganan hama penyakit. Para petani rumput laut memilih pedagang pengumpul sebagai sumber modal untuk berusaha tani rumput laut karena prosesnya cepat dan pemasaran hasil produksi rumput laut terjamin karena pedagang pengumpul yang menadah hasil produksi rumput laut. b.
Kelembagaan penyedia informasi ( penyuluh, pedagang pengumpul,
kelompok tani, LSM )
5
Kelembagaan yang berkaitan dengan penyedia informasi, petani rumput laut memperoleh informasi dari pedagang pengumpul. Informasi yang diberikan berupa harga jual rumput laut, penanganan hama dan penyakit, serta pembibitan. Penyuluh ikut terlibat dalam pemberian informasi kepada para petani rumput laut. c.
Kelembagaan penyedia input (pasar, koperasi, pedagang pengumpul,
pemerintah, penyuluh, dan kelompok tani) Kelembagaan penyedia input, keterlibatan lembaga pemasaran akan menyebabkan harga yang diterima petani produsen dan yang dibayarkan konsumen jauh berbeda. Hal ini disebabkan adanya fungsi-fungsi oleh lembaga tersebut yaitu fungsi pertukaran (exchange), fungsi penyediaan fisik dan logistik, dan fungsi pemberian fasilitas (facilitating function) sehingga menimbulkan adanya biaya pemasaran. Pedagang pengumpul menyediakan dengan syarat hasil dari rumput laut harus dijual sama pedagang pengumpul, penyuluh terlibat dalam kegiatan penyediaan imput bagi petani rumput laut. d.
Lembaga tataniaga Lembaga tataniaga digunakan untuk mengetahui para pelaku atau
lembaga yang melakukan fungsi-fungsi tataniaga. Istilah lembaga tataniaga ini termasuk produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa (Hanafiah dan Saeffudin, 2002). Saluran tataniaga menggambarkan rantai distribusi yang terjadi antara titik produksi hingga titik konsumsi dan fungsi-fungsi tata-niaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang terkait dalam saluran tataniaga tersebut. Alur tataniaga tersebut dijadikan dasar dalam menggambar pola saluran tataniaga.
6
Fungsi tataniaga digunakan untuk mengetahui kegiatan tataniaga yang 89dfdilakukan lembaga tataniaga dalam menyalurkan produk dari produsen sampai ke konsumen. Fungsi terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas (Limbong dan Sitorus 1985; Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009). e.
Lembaga penelitian Society Actor memiliki peran dalam mengontrol, memberikan masukan,
dan informasi tambahan kepada pemerintah dan para pelaku usaha rumput laut untuk membantu dalam melakukan peningkatan baik dalam pemutuan dan penerapan kebijakan maupun dalam peningkatan sisi budidaya dan bisnis rumput laut. Society Actor dapat dikategorikan sebagai penengah di antarakedua aktor utama lainnya yaitu Government Actor dan Private Actor yang juga bisa ikut berpartisipasi dalam memberikan dukungan kepada dua aktor tersebut. Society Actor dapat dikategorikan sebagai lembaga penelitian atau Perguruan Tinggi yang bisa memberikan bantuan baik kepada pemerintah atau para pelaku usaha rumput laut (Wilson, 2014).
7
BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan Berdasarkan
pembahasan
diatas,
dapat
ditarik
kesimpulan
yaitu
ketersediaan kelembagaan dalam pengembangan usahatani rumput laut yang terdiri dari lembaga penyedia modal, lembaga penyedia informasi, dan lembaga yang menyediakan input serta lembaga tataniaga dan lembaga penelitian berperan dalam pengembangan industri rumput laut.
4.2.
Saran Untuk melihat efektivitas ketersediaan kelembagaan dalam industri
rumput laut yang berpengaruh terhadap pengembangan industri rumput laut melalui lembaga.
8
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. Strategi pengembangan potensi rumput laut nasional untuk mendukung usaha pembudidayaan dan pengolahan hasil rumput laut. Makalah disampaikan pada Forum Rumput Laut Nasional. Mataram-NTB, 29 Juni—1 Juli 2004. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Asmarantaka, Ratna Winandi. 2009. Modul Kuliah Tataniaga Produk Agribisnis. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Bank Indonesia Kupang. (2005). Perkembangan Ekonomi Regional: Nusa Tenggara Timur. Kupang: Bank Indonesia Kupang. BI Bank Indonesia. 2008. Pengembangan Komoditi Rumput Laut di Kabupaten Sumenep. Bank Indonesia. Surabaya. DKP Departemen Kelautan dan Perikanan 2005. Revitalisasi Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hanafiah AM, Saefudin. 2002. Tataniaga Hasil Perikanan. Jakarta : Universitas Indonesia (UI) Press. Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2012). DKP Dorong Rumput Laut Sebagai Sumber Pangan Dan Energi. Siaran Pers. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2014). “Blue Economy, Upaya Optimalisasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanani”. Diakses pada http://www.kp3k.kkp.go.id/index.php/arsip/c/183/Blue-Economy-UpayaOptimalisasi-Sumberdaya-Kelautan-dan-Perikanan/?category_id=21 Kohls RL, Uhl JN. 2002. Marketing of Agricultural Products Ninth Edition. USA : Prentice – Hall Inc. Zakirah, R.Y. (2008). Prospek Pengembangan Rumput Laut di Kabupaten Morowali. J. Agroland 15 (2) : 144 – 148.
9
10