Makalah Metafisika Oke [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Makalah METAFISIKA



Disusun Untuk Memenuhi Tugas Filsafat Ilmu Dosen Pengampu: Prof. Nathan Hindarto, Ph. D Prof. Dr. Kasmadi Imam Supardi, M.S.



Disusun Oleh 1. Setyarto Ariyadi



0103514052



2. Desty Putri Hanifah



010 3514074



3. Dyah Arum Purwaning Tyas



0103514091



PENDIDIKAN DASAR (PENDIDIKAN IPA) PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2014



Pendahuluan A. Latar Belakang Filsafat menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehadiran ilmu dan pengetahuan. Ilmu dan pengetahuan bersumber dari pemikiran filsafati, demikian pula dengan ilmu pendidikan. Filosofi pendidikan memiliki persamaan dengan filosofi umum. Filosofi-filosofi umum ini diterapkan dalam dunia pendidikan. Sebelum memahami tentang filosofi pendidikan, maka terlebih dahulu dikaji tentang filosofi umum. Salah satu cabang filsafat yang paling kuno adalah metafisika.



Oleh karena itu, maka penulis membuat makalah dengan judul



“Metafisika”. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam makalah ini yaitu: 1. Apakah yang dimaksud dengan metafisika? 2.



Apa sajakah aspek-aspek metafisika?



3.



Bagaimanakah manfaat metafisika dalam studi filsafat?



4.



Apakah yang dimaksud dengan epistemologi?



C. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai setelah mempelajari makalah ini adalah: 1.



Mendeskripsikan definisi metafisika



2.



Mendeskripsikan aspek-aspek metafisika



3.



Menganalisa manfaat metafisika dalam studi filsafat



4.



Mendeskripsikan definisi epistemologi



2



Pembahasan A. Definisi Metafisika Metafisika merupakan salah satu cabang filsafat yang paling kuno. Persoalan tentang “ada” (being) menghasilkan cabang filsafat metafisika. Meta berarti di balik dan physika berarti benda-benda fisik. Secara sederhana metafisika dapat diartikan sebagai suatu kajian tentang sifat paling dalam dan radikal dari kenyataan, serta mengacu pada ciri-ciri universal dari semua benda (Soetriono dan Rita Hanafie, 26:2007). Aristoteles (dalam Surajiyo, 2007) menyatakan bahwa, ilmu metafisika termasuk cabang filsafat teoritis yang membahas masalah hakikat segala sesuatu, sehingga dengan demikian ilmu metafisika menjadi inti filsafat. Masalah-masalah yang metafisika merupakan sesuatu yang fundamental dari kehidupan, oleh karena itu setiap orang yang sadar berhadapan dengan sesuatu yang metafisika tetap tersangkut dalamnya. Metafisika menurut Van Peursen adalah bagian filsafat yang memusatkan perhatiannya pada pertanyaan mengenai akar terdalam yang mendasari segala adanya kita (dalam Surajiyo, 2007). Pendapat Van Peursen tersebut dapat diartikan bahwa metafisika mengkaji tentang hal-hal yang sangat mendalam dari sesuatu yang ada. Hal yang sangat mendalam tersebut dapat berupa asal muasal atau hakikat sesuatu yang bersangkutan tersebut. Gandhi (39:2011) menyatakan bahwa metafisika dikenal sebagai the first philosophy atau filsafat pertama yang membicarakan prinsip-prinsip yang bersifat universal atau beyond nature. Metafisika ini mengkaji tentang hakikat realitas suatu benda. Metafisika menjadi landasan bagi lahirnya berbagai pemikiran filsafat lainnya, karena masing-masing keberadaan selalu hadir sebagai sesuatu yang relatif. Sebagai contoh, Tuhan selalu diyakini sebagai sesuatu yang ada. Namun, apakah keberadaan Tuhan sama dengan keberadaan sebuah buku misalnya. Jika keberadaan Tuhan sama dengan keberadaan sebuah buku tentu saja Tuhan tidak lagi diyakini sebagai Tuhan. Contoh relativitas keberadaan adalah ketika kita ingin membaca, maka akan terlintas dalam pikiran kita tentang sebuah buku. Bersamaan dengan pikiran kita, buku tentu saja ada namun keberadaan buku dalam pikiran kita tentu saja berbeda dengan keberadaan buku secara empiris.



3



B. Aspek-aspek Metafisika Metafisika dibagi menjadi empat aspek (Gandhi, 41:2011), yaitu sebagai berikut. 1. Metafisika kosmologis Metafisika kosmologis mencakup kajian tentang teori hakikat perkembangan kosmos yang teratur serta makna keberadaan alam semesta dan kehidupan. Perkembangan kosmos yang dimaksud adalah proses bagaimana alam semesta terbentuk. Dalil kosmologis Aristoteles (Soyomukti, 121:2011) beranggapan bahwa keteraturan alam semesta ditentukan oleh gerak (motion). Gerak merupakan penyebab terjadinya perubahan (change) di alam semesta. Akhirnya akal manusia tiba pada suatu titik yang ultimate, yaitu sumber penyebab dari semua gerak, yaitu Unmoved Mover, penggerak yang tidak digerakkan. Metafisika kosmologi berkaitan dengan pertanyaan: “Bagaimanakah asal mula jagad raya?”, “Apakah yang menjadikan jagad raya menjadi suatu keadaan yang teratur?”, dan “Apakah hakikat ruang dan waktu?”. Darimanakah asal alam semesta dengan semua benda langit di dalamnya?. Ahli astronomi menyatakan bahwa alam semesta beserta isinya serta ruang dan waktu dimulai sejak + 12 miliar tahun yang lalu dengan suatu ledakan dahsyat yang disebut Big Bang (Semiawan, 105: 2010). Teori ini mengemukakan bahwa sebelum terjadi Big Bang, alam raya berbentuk bola api kecil dengan kepadatan dan temperatur yang luar biasa tingginya. Ledakan tersebut melontarkan materi-materi raksasa yang merupakan calon-calon galaksi yang berputar, yang pada gilirannya melontarkan calon-calon bintang. Bintang-bintang ini semula berbentuk semacam kabut yang berisi berbagai macam gas kemudian semakin padat dengan suhu jutaan derajat Celcius, juga berputar melontarkan berbagai benda langit, diantaranya membentuk planet dan bulan masing-masing. Ledakan ini membentuk beratus miliar sistem tata surya. Semua benda langit, tidak terkecuali bumi dan matahari, ter”ikat” oleh semacam gravitasi (gaya tarik universal di seluruh alam semesta) dengan pusat alam semesta (Semiawan, 2010).



4



Banyak fenomena yang kontroversial di alam semesta, sifat-sifat yang satu berbeda dengan sifat yang lainnya. Sebagai contoh adalah gerak revolusi planet. Orbit planet berbentuk elips, maka kecepatan geraknya tidak sama ketika mengelilingi matahari, namun tergantung pada dekat jauhnya planet tersebut dengan matahari. Kecepatan planet dalam orbitnya mengelilingi matahari tidak uniform, tidak terus menerus sama sepanjang tahun, ada percepatan (acceleration) dan perlambatan (deceleration), bentuk orbit juga tidak benarbenar bulat, ada perubahan bentuk (deformation). Di sinilah tampak hal-hal seperti ketidakteraturan. Segala ketidakteraturan yang berada pada skala yang lebih micro ternyata tersusun secara teratur dalam skala yang lebih macro (Semiawan, 2010). Sedangkan mengenai hakikat ruang dan waktu, Semiawan (117:2010) menyatakan hawa eksistensi dimensi ruang dengan eksistensi dimensi waktu menyatu secara integral dan tidak dapat dipisahkan. Artinya, jika manusia berada di bumi maka dimensi ruang dan waktu yang berlaku baginya adalah dimensi ruang dan waktu di bumi yang berbeda dengan dimensi ruang dan waktu di planet lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dimensi ruang dan waktu adalah sesuatu yang tidak mutlak (relatif). 2. Metafisika teologi Metafisika teologi mencakup kajian tentang konsep-konsep seputar Tuhan. Apakah Tuhan itu? Apakah Tuhan benar-benar ada? Apakah keberadaan Tuhan sama dengan keberadaan alam semesta yaitu berada dalam dimensi ruang dan waktu?. Teologi memiliki makna yang sangat luas dan dalam. Adapun yang dimaksud dengan teologi dalam ruang lingkup metafisika adalah filsafat Ketuhanan yang bertitik tolak semata-mata kepada kejadian alam (teologi naturalis). Dalam masalah teologi, Thomas Aquinas (dalam Surajiyo, 2007) mengajukan lima bukti adanya Tuhan, yaitu sebagai berikut. a. Adanya gerak di dunia mengharuskan kita menerima bahwa ada penggerak pertama, yaitu Allah. b. Di dalam dunia yang diamati terdapat suatu tertib sebab-sebab yang membawa hasil atau yang berdaya guna. Tidak pernah ada sesuatu yang dia-



5



mati, yang menjadi sebab yang menghasilkan dirinya sendiri. Karena seandainya ada, hal yang menghasilkan dirinya sendiri itu tentu harus mendahului dirinya sendiri. c. Di dalam alam semesta terdapat hal-hal yang mungkin "ada" dan "tidak ada" karena semuanya itu juga dapat dirusak maka ada kemungkinan semuanya itu "ada", atau semuanya itu "tidak ada". Tidak mungkin, bahwa semuanya itu senantiasa ada. Sebab apa yang mungkin "tidak ada" pada suatu waktu memang "tidak ada" maka pada suatu waktu mungkin saja tidak ada sesuatu. Padahal apa yang tidak ada, hanyalah dapat dimulai berada, jika diadakan oleh sesuatu yang tidak ada. Jika segala sesuatu hanya mewujudkan kemungkinan saja, tentu harus ada sesuatu yang "adanya" mewujudkan sesuatu keharusan. d. Di antara segala yang ada terdapat hal-hal yang lebih atau kurang baik, lebih atau kurang benar,dan lain sebagainya. Apa yang disebut kurang baik, atau lebih baik, itu tentu disesuaikan dengan sesuatu yang menyerupainya, yang dipakai sebagai ukuran. e. Kita menyaksikan bahwa segala sesuatu yang tidak berakal, seperti tubuh alamiah, berbuat menuju kepada akhirnya. Pemikiran August Comte (dalam Surajiyo, 2007) menempatkan tahap teologis berada pada tahap pertama dalam teori perkembangan pemikiran manusia. Dalam tahap teologis ini ditegaskan bahwa orang mengarahkan rohnya kepada hakikat "batiniah" segala sesuatu, kepada "sebab pertama" dan "tujuan terakhir" segala sesuatu. Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap, yaitu: (1) tahap yang paling bersahaja atau primitif, ketika orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme); (b) tahap ketika orang menurunkan kelompok hal tertentu masing-masing diturunkannya dari suatu kekuatan adikodrati yang melatar belakanginya, sedemikian rupa sehingga tiap kawasan gejala memiliki dewa-dewanya sendiri (politeisme); dan (c) tahap yang tertinggi, ketika orang mengganti dewa yang beraneka macam itu dengan satu tokoh tertinggi, yaitu dalam monoteisme.



6



Mengenai pemikiran agama abad ke-20 yang cukup menonjol adalah pemikiran Henri Bergson (dalam Surajiyo, 2007) yang berpendapat bahwa agama itu ada dua macam, yaitu sebagai berikut. 1) Agama yang statis, yang timbul karena hasil karya perkembangan. Di dalam perkembangan ini alam telah memberikan kepada manusia kecakapan untuk menciptakan dongeng-dongeng yang dapat mengikat manusia yang seorang dengan yang lain dan dapat mengikat manusia dengan hidup. 2) Agama yang dinamis, yang diberikan intuisi. Dengan perantaraan agama ini manusia dapat berhubungan dengan asas yang lebih tinggi, yang lebih kuasa daripada dirinya sendiri, yang menyelami dia tanpa menghapuskan kepribadiannya. Karena agama inilah manusia diikatkan kepada hidup dan masyarakat atas dasar yang lebih tinggi. Ia tahu bahwa ia dengan kuat dihubungkan dengan suatu asas yang lebih tinggi. 3. Metafisika antropologi Metafisika antropologi mengkaji tentang keberadaan manusia. “Bagaimana hakikat manusia secara umum dan secara khusus?”. “Bagaimanakah kemunculan manusia untuk pertama kalinya?”. “Apakah manusia memiliki jiwa?”. “Apakah yang dimaksud dengan jiwa?”. Manusia adalah makhluk Tuhan yang otonom, berdiri sebagai pribadi yang tersusun atas kesatuan harmonis jiwa-raga dan eksis sebagai individu yang memasyarakat (Soetriono dan Rita Hanafie, 1:2007). Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, keberadaannya bergantung pada Sang Pencipta. Manusia menerima ketergantungan tersebut dengan otonomi, independensi dan kreativitasnya sedemikian rupa sehingga mampu mempertahankan dan mengembangkan hidupnya. Unsur jiwa raga manusia menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Jiwa adalah sesuatu yang maujud, tidak berbentuk, dan tidak berbobot sedangkan raga adalah sesuat yang maujud, berbentuk, dan berbobot berukuran (Soetriono dan Rita Hanafie, 2007). Di dalam jiwa manusia terdapat tiga potensi kejiwaan yaitu cipta, rasa, dan karsa. Cipta adalah akal budi yang mempunyai potensi luar biasa. Segala aktivitas keragaan tidak satupun yang tidak tertuju pada hal-hal kejiwaan.



7



Dalam diri pribadi setiap orang terdapat dua kesadaran, yaitu: 1) sadar bahwa dirinya adalah pribadi ciptaan SangPencipta, karena ia lemah dan kelahirannya bergantung sepenuhnya pada orang lain sampai taraf tertentu; dan 2) sadar bahwa dirinya memiliki potensi untuk hidup di atas otonomi dan kebebasannya, tidak larut dalam sifat dan kepribadian orang lain, dan ingin menjadi dirinya sendiri dengan segala keunikan pribadinya (Soetriono dan Rita Hanafie, 3:2007). Manusia sebagai individu, tidak dapat terlepas dari kehidupan bermasyarakat karena manusia saling bergantung satu sama lain. Soetriono dan Rita Hanafie (2007) menyatakan bahwa masyarakat adalah taraf perkembangan individu dalam menyelenggarakan hidup dan mengembangkan kehidupannya sehingga setiap individu mendapatkan kesempatan untuk memerankan dirinya sebagai manusia yang otonom dan bebas. Manusia mempunyai ciri istimewa, yaitu kemampuan berpikir yang ada dalam satu struktur dengan perasaan dan kehendaknya (sehingga sering disebut sebagai makhluk yang berkesadaran). Aristoteles memberikan identitas sebagai animal rationale. Apa yang dipikirkan manusia?. Terpusat pada diri sendiri: asal mulanya, keberadaan, dan tujuan akhir hidupnya. Pengenalan manusia terhadap segala sesuatu di sekelililngnya diawali secara represif: makanan, minuman, pakaian, dan lain-lain. Selanjutnya dikenal pula orang tua, saudara, dan orang lain dalam hubungan yang semakin jauh. Berkat perkembangan alam pikiran dan kesadarannya, manusia mulai mengenal makna masing-masing secara kritis. Pengenalan manusia kemudian berkembang menjadi semakin kreatif. Kreativitas ini memungkinkan manusia membuat makanan, minuman, pakaian, dan lain-lain, dengan memanfaatkan sumber daya alam sekitarnya, termasuk juga menciptakan grup-grup sosial yang baru. Selanjutnya, melalui pemikiran yang kritis dan kreatif manusia akan menemukan berbagai persoalan hidup yang bersumber dari kepentingan dan kebutuhannya. Oleh karena itulah manusia selalu berusaha meningkatkan kualitas pemikirannya, dari yang mistisreligius menuju ke ontologism-kefilsafatan, sampai akhirnya pada taraf konkret-fungsional. Mistis –religius adalah menerima segala sesuatu sebagai kodrat Tuhan, di mana manusia tidak mungkin dan tidak perlu mengubahnya.



8



Pemikiran konkret-fungsional adalah adanya kreativitas penciptaan teknologi sedemikian rupa sehingga orang tidak harus mengikuti hukum alam, melainkan bagaimana hukum alam tersebut dapat dilampaui (Soetriono dan Rita Hanafie, 5:2007). 4. Metafisika ontologi Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta onta berarti "yang berada" dan logi berarti ilmu pengetahuanatau ajaran. Dengan demikian, ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada (Surajiyo, 2007). Metafisika ontologi mengkaji tentang hakikat sesuatu yang “ada” dan makna sesuatu yang “ada” tersebut atau dengan kata lain, ontologi mengkaji tentang makna dari segala sesuatu yang ada. Filsuf Yunani yang membahas ontologi antara lain Thales, Plato, dan Aristoteles. Hakikat realitas dapat didekati secara ontologi melalui dua sudut pandang, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Gandhi,42:2009). a. Kuantitatif. Pada sudut pandang ini kita akan dibawa untuk bertanya: “Apakah kenyataan itu bersifat tunggal atau jamak?” Artinya berapa banyak kenyataan yang paling dalam itu. Pandangan ini melahirkan beberapa aliran filsafat sebagai jawabannya (Surajiyo, 2007), yaitu sebagai berikut. 1) Monoisme Aliran yang menyatakan bahwa hanya satu kenyataan fundamental. Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau substansi lainnya yang tidak dapat diketahui. Menurut Thales (625-545 SM) yang berpendapat bahwa kenyataan yang terdalam adalah satu substansi, yaitu air. B. Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu substansi, yaitu Tuhan. Dalam hal ini Tuhan diidentikkan dengan alam (naturans naturata). 2) Dualisme (Serba Dua) Aliran yang menganggap adanya dua substansi yang masing-masing berdiri sendiri. Plato (428-348 SM), yang membedakan dua dunia, yaitu dunia indra (dunia bayang-bayang) dan dunia ide (dunia yang terbuka bagi rasio manusia).



9



3) Pluralisme (Serba Banyak) Aliran yang tidak mengakui adanya satu substansi atau dua substansi melainkan banyak substansi. Empedokles (490-430 SM) yang menyatakan bahwa hakikat terdiri atas empat unsur, yaitu udara, api, air, dan tanah. b. Kualitatif. Sedangkan pada sudut pandang kualitatif, kita diajak untuk mempertanyakan: “Apakah kenyataan tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti daun yang memiliki warna kehijauan atau bunga mawar yang berbau harum?”. Di sini kualitas berkaitan dengan situasi atau kondisi. Keberadaan dipandang dari segi sifat/kualitas (kualitatif) menimbulkan beberapa aliran (Surajiyo, 2007) yaitu sebagai berikut. 1. Spiritualisme Spiritualisme adalah ajaran yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah roh, yakni roh yang mengisi dan mendasari seluruh alam. Spiritualisme dipakai dalam istilah keagamaan untuk menekankan pengaruh langsung dari roh suci dalam bidang agama. Beberapa orang memiliki kepercayaan bahwa roh orang mati berkomunikasi dengan orang yang masih hidup melalui perantara atau orang tertentu dan lewat bentuk wujud yang lain. Istilah spiritualisme lebih tepat dikenakan bagi kepercayaan semacam ini. Aliran Spiritualisme juga disebut idealisme (serba cita). Idea atau cita adalah gambaran asli segala benda. Semua yang ada dalam dunia hanyalah penjelmaan atau bayangan saja. Idea atau cita tidak bisa ditangkap dengan indra (dicerap), tetapi dapat dipikirkan, sedangkan yang ditangkap oleh indra manusia hanyalah dunia bayang-bayang. 2. Materialisme Materialisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang nyata kecuali materi. Pikiran dan kesadaran hanyalah penjelmaan dari materi yang dapat dikembalikan pada unsur-unsur fisik. Materi adalah sesuatu yang kelihatan, dapat diraba, berbentuk, dan menempati ruang. Hal-hal yang bersifat kerohanian seperti pikir-



10



an, jiwa, keyakinan, rasa sedih, dan rasa senang tidak lain hanyalah ungkapan proses kebendaan. Tokoh aliran ini antara lain Demokritos (460-370 SM), berkeyakinan bahwa alam semesta tersusun atas atom-atom kecil yang memiliki bentuk atau badan. Atom ini mempunyai sifat yang sama, perbedaannya hanya tentang besar, bentuk, dan letaknya. Jiwa pun, menurut Demokritos dikatakan terjadi dari atom-atom, hanya saja atom-atom jiwa itu lebih kecil, bulat, dan amat mudah bergerak. C. Manfaat Metafisika dalam Studi Filsafat Soyomukti (124:2011) menyatakan bahwa terdapat beberapa manfaat metafisika dalam studi filsafat, yaitu: a) mengajarkan cara berpikir yang serius, terutama dalam menjawab problem yang bersifat enigmatic (teka-teki) sehingga melahirkan sikap dan rasa ingin tahu yang mendalam; b) mengajarkan sikap openended sehingga hasil sebuah ilmu selalu terbuka untuk temuan dan kreativitas baru; c) metafisika menuntut orisinalitas berpikir karena setiap metafisikus menyodorkan cara berpikir yang cenderung subjektif dan menciptakan terminologi filsafat yang khas, situasi ini diperlukan untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika; dan d) mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama (first principle) sebagai kebenaran yang paling akhir. Metafisika juga berhubungan dengan cabang filsafat lain seperti epistemologi, aksiologi, dan logika. Hubungan metafisika dengan epistemologi terletak pada kebenaran (truth) sebagai titik omega bagi pencapaian pengetahuan (knowledge). Hubungan metafisika dengan aksiologi terletak pada nilai (axios, value) sebagai kualitas yang inheren pada suatu objek. Sedangkan, hubungan metafisika dengan logika bersifat simbiosis mutualistik. Mutualistik dalam artian bahwa antara logika maupun metafisika terjadi suatu hubungan yang saling membutuhkan. Logika adalah ilmu, kecakapan, atau alat untuk berpikir secara lurus. Di satu pihak metafisika memerlukan logika untuk membangun argumentasi yang meyakinkan sedangkan prinsip logika merupakan wajah metafisika, karena bersifat abstrak (Soyomukti, 2011).



11



Hubungan antara metafisika dengan epistemologi, aksiologi, dan logika disajikan pada gambar sebagai berikut.



Realitas



Knowledge



Metafisika



Epistemologi Kebenaran



Gambar 1. Hubungan Metafisika dengan Epistemologi



Nilai



Metafisika



Aksiologi



Gambar 2. Hubungan Metafisika dengan Aksiologi



Simbol-simbol



Metafisika



Logika Argumentasi



Gambar 3. Hubungan Metafisika dengan Logika



12



D. Definisi Epistemologi Epistemologi berasal dari kata episteme (pengetahuan) dan logos (kata, pembicaraan,ilmu). Secara umum, epistemology adalah cabang filsafat yang mengkaji sumber, watak, dan kebenaran pengetahuan (Gandhi, 43:2011). Epistemologi membahas beberapa hal yaitu sebagai berikut. 1. Hakikat ilmu pengetahuan, pengandaian atau analogi, dasar pengetahuan, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan dapat diperoleh melalui akal dan pancaindera dengan berbagai metode seperti induktif, deduktif, positivisme, kontemplatis, dan dialektis. 2. Sumber-sumber kebenaran dan validitas pengetahuan. Perbedaan landasan ontologi menentukan metode yang dipilih dalam memperoleh pengetahuan yang benar. Model-model epistemologi yang dikenal seperti rasionalisme, empirisne, rasionalisme kritis, positivism, fenomenologi, dan sebagainya. 3. Kelebihan dan kekurangan suatu model epistemologi beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan seperti teori koherensi, korespondensi, pragmatis, dan intersubjektif. a. Teori Koherensi (Teori Saling Hubungan) Teori ini menyatakan bahwa kebenaranbergantung pada adanya saling hubungan di antara ide-ide secara tepat, yaitu ide-ide yang sebelumnya telah diterima sebagai kebenaran (Soetriono dan Rita Hanafie, 16:2007). b. Teori Korespondensi (Teori Persesuaian) Teori korespondensi menyatakan bahwa seluruh pendapat mengenai suatu fakta itu benar jika pendapat itu sendiri disebut fakta yang dimaksud atau kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dengan fakta itu sendiri (Soetriono dan Rita Hanafie, 2007). c. Teori Pragmatis (Teori Kegunaan) Teori ini memandang masalah kebenaran menurut segi kegunaannya. Pengetahuan dapat diperoleh dari akal sehat atau pengalaman yang tidak disengaja sehingga cenderung bersifat kebiasaan dan tidak teruji. Ilmu pengetahuan sains diperoleh melalui metode ilmiah dan nalar logis. Sarana berpikir ilmiah meliputi bahasa, matematika, dan statistika. Metode ilmiah mengga13



bungkan cara berpikir induktif dan deduktif sehingga menjadi penghubung antara penjelasan teoretis dan pembuktian empiris. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta atau tidak. Melalui metode ilmiah dberbagai kajian teori dapat diuji, apakah sesuai kenyataan empiris atau tidak.



14



Penutup A. Simpulan Berdasarkan pembahasan maka dapat disimpulkan beberapa hal antara lain: 1. Metafisika merupakan inti dari filsafat,yaitu sebagai suatu kajian tentang sifat paling dalam dan radikal dari kenyataan, asal muasal atau hakikat sesuatu, yangmengacu pada ciri-ciri universal dari semua benda . 2. Terdapat empat aspek dalam kajian metafisika, yaitu: (1) metafisika kosmologis; (2) teologi; (3) antropologi; dan (4) ontologi. 3. Manfaat metafisika dalam studi filsafat yaitu: a) mengajarkan cara berpikir yang serius, sehingga melahirkan sikap dan rasa ingin tahu yang mendalam; b) mengajarkan sikap open-ended sehingga hasil sebuah ilmu selalu terbuka untuk temuan dan kreativitas baru; c) metafisika menuntut orisinalitas berpikir; d) mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama (first principle) sebagai kebenaran yang paling akhir 4. Epistemology adalah cabang filsafat yang mengkaji sumber, watak, dan kebenaran pengetahuan yang membahas beberapa hal meliputi: (1) Hakikat ilmu pengetahuan;(2) Sumber-sumber kebenaran dan validitas pengetahuan; (3) Kelebihan dan kekurangan suatu model epistemologi beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan seperti teori koherensi, korespondensi, pragmatis, dan inter-subjektif B. Saran Saran penulis berdasaran pembahasan yatu mempelajari metafisika dalam filsafat sangat penting karena dapat melatih kemampuan berpikir dan mrngajarkan kita bersikap open ended dalam memahami ilmu bahkan untuk menghasilkan temuan dan kreativitas baru.



15



DAFTAR PUSTAKA Gandhi, Teguh Wangsa. 2011. Filsafat Pendidikan Mahzab-mahzab Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar Ruzz Media Semiawan, Conny R., Th. I Setiawan, dan Yufiarti. 2010. Spirit Inovasi dalam Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Indeks Soetriono dan Rita Hanafie. 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Penerbit Andi Soyomukti, Nurani. 2011. Pengantar Filsafat Umum dari Pendekatan Historis, Pemetaan Cabang-cabang Filsafat, Pertarungan Pemikiran, Memahami Filsafat Cinta, hingga Panduan Berpikir Kritis-filosofis. Yogyakarya: Ar Ruzz Media Surajiyo. 2007. Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara



16