Makalah Monopoli Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KASUS MONOPOLI PASAR PT. CARREFOUR



MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Lingkungan Bisnis dan Hukum Komersial dengan dosen Nina Nurani, DR., S.H., M.Si.



Disusun Oleh: 12122006



Kaca Dian Meila



12122007



Gina Rizky S



12122008 Nisa Juwita Adhim



MAGISTER AKUNTANSI UNIVERSITAS WIDYATAMA BANDUNG 2017



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persaingan harus dipandang sebagai hal yang positif dan sangat esensial dalam dunia usaha. Dengan persaingan, para pelaku usaha akan berlomba-lomba untuk terus menerus memperbaiki produk dan melakukan inovasi atas produk yang dihasilkan untuk memberikan yang terbaik bagi pelanggan. Dari sisi konsumen, mereka akan mempunyai pilihan dalam membeli produk dengan harga murah dan kualitas terbaik. Seiring dengan berjalannya usaha para pelaku usaha mungkin lupa bagaimana bersaing dengan sehat sehingga munculah persaingan-persaingan yang tidak sehat dan pada akhirnya timbul praktek monopoli. Dengan adanya praktik monopoli pada suatu bidang tertentu, berarti terbuka kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan pribadi. Disini monopoli diartikan sebagai kekuasaan menentukan harga, kualitas dan kuantitas produk yang ditawarkan kepada masyarakat. Masyarakat tidak pernah diberi kesempatan untuk menentukan pilihan, baik mengenai harga, mutu maupun jumlah. Kalau mau silakan dan kalau tidak mau tidak ada pilihan lain. Itulah citra kurang baik yang ditimbulkan oleh keserakahan pihak tertentu yang memonopoli suatu bidang. Dengan demikian, praktik monopoli akan menguasai pangsa pasar secara mutlak sehingga pihak-pihak lain tidak memiliki kesempatan lagi untuk berperan serta. Apalagi kalau produk yang dimonopoli itu merupakan kebutuhan primer, dapat dipastikan mereka akan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Dalam kondisi yang demikian,



2



masyarakat tidak mempunyai alternatif lain kecuali membeli produk yang dimonopoli tersebut dan akan terjadi pula inefisiensi dalam menghasilkan produk.



Bisnis ritel atau perdagangan eceran memegang peranan yang sangat penting dalam kegiatan bisnis di Indonesia, baik ditinjau dari sudut konsumen maupun produsen. Dari sudut produsen, pedagang eceran dipandang sebagai ujung tombak perusahaan yang akan sangat menentukan laku tidaknya produk perusahaan. Melalui pengecer pula para produsen memperoleh informasi berharga tentang komentar konsumen terhadap barangnya seperti bentuk, rasa, daya tahan, harga dan segala sesuatu mengenai produknya. Sementara jika dipandang dari sudut konsumen, pedagang eceran juga memiliki peranan yang sangat penting karena bertindak sebagai agen yang membeli, mengumpulkan, dan menyediakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan atau keperluan pihak konsumen.



Seiring dengan perkembangan, persaingan usaha , khususnya pada bidang ritel diantara pelaku usaha semakin keras. Untuk mengantisipasinya, Pemerintah dan DPR menerbitkan Undang Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Praktek Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan hadirnya undang-undang tersebut dan lembaga yang mengawasi pelaksanaannya, yaitu KPPU, diharapkan para pelaku usaha dapat bersaing secara sehat sehingga seluruh kegiatan ekonomi dapat berlangsung lebih efisien dan memberi manfaat bagi konsumen.



Di dalam kenyataan yang terjadi, penegakan hukum UU praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ini masih lemah. Dan kelemahan tersebut ”dimanfaatkan” oleh pihak CARREFOUR Indonesia untuk melakukan ekspansi bisnis dengan mengakuisisi PT Alfa Retailindo Tbk. Dengan mengakuisisi 75 persen saham PT Alfa



3



Retailindo Tbk dari Prime Horizon Pte Ltd dan PT Sigmantara Alfindo. Berdasarkan laporan yang masuk ke KPPU, pangsa pasar Carrefour untuk sektor ritel dinilai telah melebihi batas yang dianggap wajar, sehingga berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat.



1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan diatas, dalam makalah ini penulis akan memaparkan pembahasan tentang Monopoli Pasar seperti permasalahan-permasalahan di bawah ini 1. Apa pengertian praktik monopoli dan persaingan tidak sehat? 2. Apa saja yang termasuk pada praktik monopoli? 3. Hal - hal apa saja yang tidak tergolong dalam praktik monopoli?



1.3 Tujuan 1. Mengetahui pengertian praktik monopoli dan persaingan tidak sehat 2. Mengetahui hal yang termasuk dalam praktik monopoli 3. Memahami hal yang tidak termasuk praktik monopoli 4. mengetahui hal-hal apa saja yang diperbolehkan dan dilarang dalam melakukan suatu usaha. 5. mengetahui hal-hal yang dilarang dalam menjalankan bisnis dan akibatnya apabila aturan tersebut dilanggar



4



BAB II PEMBAHASAN



2.1 Pengertian Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat Pengertian Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Persaingan Tidak Sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Undang-Undang Anti Monopoli No. 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undang Anti Monopoli). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli. Monopoli diindikasikan sebagai sesuatu yang netral, bukan positif maupun negatif dikarenakan ada beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya monopoli, antara lain :



5







Monopoli terjadi sebagai akibat dari “superior skill”, yang salah satunya dapat terwujud dari pemberian hak paten secara eksklusif oleh negara.







Monopoli terjadi karena pemberian negara. Di Indonesia terlihat dari pelaksanaan pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 yang dikutip kembali dalam pasal 51 UU ini.







Monopoli merupakan suatu “historical accident” dimana monopoli terjadi karena tidak sengaja dan berlangsung karena proses alamiah yang ditentukan oleh berbagai faktor terkait dimana monopoli tersebut terjadi. Dalam hal ini penilaian mengenai pasar bersangkutan yang memungkinkan terjadinya monopoli sangat relevan.



2.2 Azas dan Tujuan Dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Tujuan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai berikut : 1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. 2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil. 3. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha. 4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.



6



2.3 Kegiatan yang Dilarang Bagian Pertama Monopoli Pasal 17 adalah : 1. Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila: a. Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Bagian Kedua Monopsoni Pasal 18 adalah : 1. Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Bagian Ketiga Penguasaan Pasar Pasal 19 adalah :



7



1. Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa: a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; b. Mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pasal 21 Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Bagian Keempat Persekongkolan Pasal 22 adalah : 1. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.



Pasal 23 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.



Pasal 24 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau



8



dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.



2.4 Perjanjian yang Dilarang 1. Oligopoli Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar. 2. Penetapan Harga Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain : a. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama ; b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama ; c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar ; d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan. 3. Pembagian Wilayah



9



Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa. 4. Pemboikotan Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. 5. Kartel Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa. 6. Trust Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa. 7. Oligopsoni Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas. 8. Integrasi Vertikal Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian



10



produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung. 9. Perjanjian Tertutup Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu. 10. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.



2.5 Posisi Dominan Dalam perspektif ekonomi, posisi dominan adalah posisi yang ditempati oleh perusahaan yang memiliki pangsa pasar terbesar. Dengan pangsa pasar yang besar tersebut perusahaan memiliki market power. Dengan market power tersebut, perusahaan dominan dapat melakukan tindakan/strategi tanpa dapat dipengaruhi oleh perusahaan pesaingnya. Dalam UU No.5/1999, posisi dominan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau suatu pelaku usaha mempunyai posisi lebih tinggi daripada pesaingnya pada pasar yang bersangkutan dalam kaitan pangsa pasarnya, kemampuan keuangan, akses pada pasokan atau penjualan serta kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.



11



Posisi dominan dapat dikatakan salah satu kunci pokok (pusat) dari persaingan usaha. Mengapa? Karena hampir pada setiap kasus hukum persaingan usaha, menjadi perhatian pertama lembaga persaingan usaha, dalam hal ini di Indonesia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah terhadap posisi dominan suatu perusahaan pada pasar yang bersangkutan. Siapa yang mempunyai posisi dominan pada pasar yang bersangkutan? Atau kalau suatu kasus dilaporkan ke KPPU apakah terlapor mempunyai posisi dominan? Kalau pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dengan ya, bagaimana pelaku usaha tersebut melakukan penyalahgunaan posisi dominannya, maka yang akan dilakukan adalah tinggal membuktikan, apakah pelaku usaha tersebut benar-benar melakukan penyalahgunaan posisi dominannya dan bagaimana pelaku usaha tersebut melakukan penyalahgunaan posisi dominannya. Kalau pelaku usaha (terlapor) tidak mempunyai posisi dominan, bagaimana terlapor dapat melakukan persaingan usaha tidak sehat di pasar yang bersangkutan? Dan hal yang perlu dicari tahu dan dibuktikan adalah apakah pasar yang bersangkutan terdistorsi atau tidak. Bentuk pasar terdistorsi misalnya pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke pasar yang bersangkutan, karena adanya hambatan-hambatan pasar (entry barrier) atau apakah terlapor mempunyai hubungan terafiliasi dengan pelaku usaha lain sehingga dapat melakukan hambatan-hambatan persaingan usaha? Pertanyaanpertanyaan inilah yang akan dielabolarasi dalam bab ini, ditinjau dari aspek UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999) sehingga mempermudah pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan posisi dominan dan penyalahgunaannya.



12



Dari ketentuan Pasal 25 ayat 1 pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat menyalahgunakan posisi domiannya baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: a. Mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas dengan menetapkan syarat-syarat perdagangan Syarat utama yang harus dipenuhi oleh ketentuan Pasal 25 ayat 1 huruf a adalah syarat perdagangan yang dapat mencegah konsumen memperoleh barang yang bersaing baik dari segi harga maupun dari segi kualitas. Dapat disimpulkan bahwa konsumen telah mempunyai hubungan bisnis dengan pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan. Pertanyaannya adalah mengapa pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat mengontrol konsumen atau pembeli untuk tidak membeli



barang



dari



pesaingnya?



Biasanya



konsumen



tersebut



ada



ketergantungan terhadap pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan. Posisi dominan pelaku usaha yang dapat mencegah konsumen untuk tidak memperoleh barang atau jasa dari pesaing pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan adalah sangat kuat. Dikatakan sangat kuat, karena pelaku usaha tersebut dapat mengontrol perilaku konsumen tersebut untuk tidak membeli barang yang bersaing dari pesaing pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan tersebut. Mengapa pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat mengontrol konsumen/pembeli tersebut? Karena pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan menetapkan syarat-syarat perdagangan di depan, yaitu pada waktu konsumen/ pembeli mengadakan hubungan bisnis dengan pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan tersebut. Hal ini memang agak jarang ditemukan di



13



dalam aturan hokum persaingan usaha negara lain. Yang sering terjadi adalah bahwa pelaku usaha posisi dominan menolak pelaku usaha yang lain (pembeli) untuk mendapatkan barang dari pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan tersebut (refusal to deal).



b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat membatasi pasar. Pengertian membatasi pasar di dalam ketentuan ini tidak dibatasi. Pengertian membatasi pasar yang dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan sebagai penjual atau pembeli dapat diartikan dimana pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan mempunyai kemungkinan besar untuk mendistorsi pasar yang mengakibatkan pelaku usaha pesaingnya sulit untuk dapat bersaing di pasar yang bersangkutan. Bentuk-bentuk membatasi pasar dapat dilakukan berupa melakukan hambatan masuk pasar (entry barrier), mengatur pasokan barang di pasar atau membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa di pasar yang bersangkutan dan melakukan jual rugi yang akan menyingkirkan persaingnya dari pasar. Termasuk melakukan perjanjian tertutup dan praktek diskriminasi dapat dikategorikan suatu tindakan membatasi pasar. Misalnya definisi diskriminasi tidak ada ditetapkan di dalam UU No. 5/1999. Secara umum tindakan diskriminasi dapat diartikan bahwa seseorang atau pelaku usaha memperlakukan pelaku usaha lain secara istimewa, dan pihak lain pelaku usaha lain tidak boleh menikmati keistimewaan tersebut, atau ditolak. Atau pelaku usaha yang menguasai suatu fasilitas jaringan teknologi tertentu (essential facilities doctrine) yang seharusnya dapat dibagikan kepada pelaku usaha pesaingnya



14



asalkan tidak mengganggu sistem jaringan teknologi tersebut jika dibagikan kepada pelaku usaha pesaingnya. Tentu pelaku usaha yang menikmati jaringan teknologi harus membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi penggunaan jaringan tersebut. Penyalahgunaan yang lain yang diatur di dalam 25 ayat 1b adalah membatasi pengembangan teknologi. Sebenarnya pengembangan teknologi adalah merupakan hak monopoli pelaku usaha tertentu yang menemukannya menjadi hak atas kekayaan intelektual penemunya.214 Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 50 huruf b UU No. 5/1999 yang mengecualikan hak atas kekayaan intelektual. Oleh karena itu, pengertian pembatasan pengembangan teknologi harus diinterpretasikan sebagai upaya pelaku usaha tertentu terhadap pengembangan teknologi yang dilakukan oleh pelaku usaha pesaingnya untuk meningkatkan produksi barang baik segi kualitas maupun kuantitas. c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk Memasuki pasar bersangkutan Di dalam hukum persaingan usaha dikenal apa yang disebut dengan pesaing faktual dan pesaing potensial. Pesaing faktual adalah pelaku usaha-pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha yang sama di pasar yang bersangkutan. Sedangkan pesaing potensial adalah pelaku usaha yang mempunyai potensi yang ingin masuk ke pasar yang bersangkutan, baik oleh pelaku usaha dalam negeri maupun pelaku usaha dari luar negeri. Hambatan masuk pasar bagi pesaing potensial yang dilakukan oleh perusahaan swasta dan hambatan masuk pasar oleh karena kebijakan-kebijakan Negara atau pemerintah. Hambatan masuk pasar oleh pelaku usaha posisi dominan swasta adalah penguasaan produk suatu barang mulai proses produki dari hulu ke hilir hingga pendistribusian – sehingga



15



perusahaan tersebut demikian kokoh pada sektor tertentu mengakibatkan pelaku usaha potensial tidak mampu masu ke pasar yang bersangkautan. Sedangkan hambatan masuk pasar akibat kebijakan negara atau pemerintah ada dua, yaitu hambatan masuk pasar secara struktur dan strategis. Hambatan masuk pasar secara struktur adalah dalam kaitan sistem paten dan lisensi. Sedangkan hambatan masuk pasar secara strategis adalah kebijakankebijakan yang memberikan perlindungan atau perlakuan khusus bagi pelaku usaha tertentu, akibatnya pesaing potensial tidak dapat masuk ke dalam pasar. Jadi, di dalam hukum persaingan usaha ukuran yang sangat penting adalah bahwa pesaing potensial bebas keluar masuk ke pasar yang bersangkutan. Selain pelaku usaha yang dominan dapat melakukan penyalahgunaan posisi dominannya sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 25 ayat 1 tersebut, pelaku usaha tersebut dapat juga melakukan perilaku yang diskriminatif, baik diskriminasi harga dan non harga dan jual rugi (predatory pricing). Hubungan Afiliasi Dengan Pelaku Usaha yang Lain a. Jabatan rangkap Pasal 26 melarang komisaris dan direksi suatu perusahaan merangkap jabatan di perusahaan yang lain apabila perusahaan - perusahaan tersebut; a) berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau b) memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau c) secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Prinsip ketentuan Pasal 26 tersebut tidak melarang mutlak jabatan rangkap. Jabatan rangkap baru dilarang apabila akibat jabatan rangkap



16



tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (rule of reason). Pertanyaannya adalah apakah jabatan rangkap tersebut dapat diawasi di depan (pencegahan) atau kemudian (repressif)? Penilaian terhadap jabatan rangkap biasanya dilakukan pada proses merger atau akuisisi saham perusahaan. Jika perusahaan melakukan pengambilalihan saham perusahaan yang lain, dan akibat pengambilalihan saham tersebut ditempatkan Komisaris atau Direksi, maka penempatan tersebut dapat dinilai, apakah nanti dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat di pasar yang bersangkutan atau tidak, maka dinilai kembali melalui besarnya saham yang dimiliki dan pangsa pasar yang dikuasai oleh pelaku usaha yang mengambilalih dan pangsa pasar yang diambilalih (secara horizontal). Artinya, pelaku usaha yang mengambilalih dan yang diambilalih berada pada pasar bersangkutan yang sama. Selain itu jabatan rangkap juga dapat terjadi di dua perusahaan yang tidak bergerak dibidang usaha yang sama, melainkan adanya keterkaitan usaha dalam proses produksi barang terebut dari pasar hulu sampai ke pasar hilir. Ini disebut perusahaanperusahaan memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha. b. Kepemilikan saham silang Ketentuan Pasal 27 menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas. Pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar yang bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang apabila mengakibatkan: a.) Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa



17



tertentu; b.) Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Berdasarkan ketentuan Pasal 27 tersebut pelaku usaha yang menguasai saham mayoritas dibeberapa pelaku usaha dan mengakibatkan penguasaan pangsa pasar lebih dari 50% untuk monopolis dan lebih dari 75% untuk oligopolis dapat mengakibatkan posisi dominan. Kempemilikan saham mayoritas yang dimiliki oleh satu pelaku usaha di beberapa perusahaan harus dibuktikan terlebih dahulu, kemudian dengan pembuktian penguasaan pangsa pasar di pasar yang bersangkutan. Setelah pelaku usaha menguasai saham mayoritas, baru dibuktikan apakah menguasai pangsa pasar lebih dari 50% atau lebih dari 75%, yaitu apa yang disebut dengan posisi dominan. Jika pelaku usaha sudah terbukti mempunyai posisi dominan, maka langkah berikutnya adalah membuktikan apakah posisi dominan tersebut disalahgunakan yang mengakibatkan pasar menjadi terganggu. c. Merger, akuisisi & konsolidasi Secara sederhana, merger, akuisisi dan konsolidasi, atau yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dipakai dalam peraturan perundang-undangan dengan istilah penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan. 



Ketentuan UU No. 40/2007 Pasal 1 butir 9 “Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum”.



18







Ketentuan UU No. 40/2007 Pasal 1 butir 10 ”Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hokum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum”.







Ketentuan UU No. 40/2007 Pasal 1 butir 11 ”Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut”.



2.6 Komisi Pengawasan Persaingan Usaha Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. KPPU merupakan lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lainnya. KPPU bertanggung jawab kepada Presiden. Setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran UU ini dapat melaporkan secara tertulis kepada KPPU dengan menyertakan identitas pelapor. Keberatan terhadap putusan KPPU diajukan ke PN paling lambat 14 hari setelah pemberitahuan putusan. Jika masih keberatan dapat mengajukan kasasi ke MA dalam waktu 14 hari setelah putusan dibacakan.



KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:



19



1. Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat. 2. Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. 3. Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.



Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.



Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat:



1. Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker 2. Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan 3. Efisiensi alokasi sumber daya alam 4. Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli



20



5. Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya 6. Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi 7. Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak 8. Menciptakan inovasi dalam perusahaan



2.7 Sanksi dalam Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49. 



Pasal 48 1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan. 2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan



21



setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan. 3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan. 



Pasal 49 Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: a) Pencabutan izin usaha; atau b) Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau c) Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain. Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.



22



BAB III TINJAUAN KASUS



KASUS MONOPOLI PT. CARREFOUR DENGAN PT. INDORITEL MAKMUR INTERNASIONAL



Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding; PT. CARREFOUR,



Pemohon Kasasi dahulu Tergugat/Pembanding; INDORITEL MAKMUR INTERNASIONAL,



Identifikasi Masalah: Kasus PT Carrefour sebagai Pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999. Salah satu aksi perusahaan yang cukup sering dilakukan adalah pengambil alihan atau akuisisi. Dalam UU No.40/2007 tentang Perseroan terbatas disebutkan bahwa hanya saham yang dapat diambil alih. Jadi, asset dan yang lainnya tidak dapat di akuisisi. Akuisisi biasanya menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan. Dalam bahasa inggrisnya dikenal dengan istilah acquisition atau take over . pengertian acquisition atau take over adalah pengambilalihan suatu kepentingan pengendalian perusahaan oleh suatu perusahaan lain. Istilah Take over sendiri memiliki 2 ungkapan , 1. Friendly take over (akuisisi biasa) 2. hostile take over (akuisisi yang bersifat “mencaplok”) Pengambilalihan tersebut ditempuh dengan cara membeli saham dari perusahaan tersebut.



23



Esensi dari akuisisi adalah praktek jual beli. Dimana perusahaan pengakuisisi akan menerima hak atas saham dan perusahaan terakuisisi akan menerima hak atas sejumlah uang harga saham tersebut. Menurut pasal 125 ayat (2) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa pengambilalihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan. Jika pengambilalihan dilakukan oleh perseroan, maka keputusan akuisisi harus mendapat persetujuan dari RUPS. Dan pasal yang sama ayat 7 menyebutkan pengambilalihan saham perseroan lain langsung dari pemegang saham tidak perlu didahului dengan membuat rancangan pengambilalihan ,tetapi dilakukan langsung melalui perundingan dan kesepakatan oleh pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap memperhatikan anggaran dasar perseroan yang diambil alih. Dalam mengakuisisi perusahaan yang akan mengambilalih harus memperhatikan kepentingan dari pihak yang terkait yang disebutkan dalam UU. No. 40 tahun 2007, yaitu Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan, kreditor , mitra usaha lainnya dari Perseroan; masyarakat serta persaingan sehat dalam melakukan usaha. Dalam sidang KPPU tanggal 4 november 2009, Majelis Komisi menyatakan Carrefour terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 17 (1) dan Pasal 25 (1) huruf a UU No.5/1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.. Pasal 17 UU No. 5/1999, yang memuat ketentuan mengenai larangan bagi pelaku usaha untuk melakukan penguasaan pasar, sedangkan Pasal 25 (1) UU No.5/1999 memuat ketentuan terkait dengan posisi dominan.



Majelis Komisi menyebutkan berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh selama pemeriksaan perusahaan itu pangsa pasar perusahaan ritel itu meningkat menjadi 57,99%



24



(2008) pasca mengakuisisi Alfa Retailindo. Pada 2007, pangsa pasar perusahaan ini sebesar 46,30%. sehingga secara hukum memenuhi kualifikasi menguasai pasar dan mempunyai posisi dominan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 Ayat 2 UU No.5 Tahun 1999. Berdasarkan pemeriksaan, menurut Majelis KPPU, penguasaan pasar dan posisi dominan ini disalahgunakan kepada para pemasok dengan meningkatkan dan memaksakan potongan-potongan harga pembelian barang-barang pemasok melalui skema trading terms. Pasca akuisisi Alfa Retailindo, sambungnya, potongan trading terms kepada pemasok meningkat dalam kisaran 13%-20%. Pemasok, menurut majelis Komisi, tidak berdaya menolak kenaikan tersebut karena nilai penjualan pemasok di Carrefour cukup signifikan.



25



BAB IV KAJIAN KASUS



Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mendenda PT Carrefour Indonesia (Carrefour) sebesar Rp1,5 miliar karena terbukti melanggar Pasal 19 (a) UU No.5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. KPPU juga meminta Carrefour menghentikan kebijakan minus margin terhadap pemasok. Demikian hasil putusan majelis komisi yang dipimpin oleh Tadjuddin Noer Said yang dibacakan kemarin di Gedung KPPU (19/8). Perkara dengan register No.02/KPPUL/2005 ini muncul setelah ada laporan pada 20 Oktober 2004 mengenai adanya dugaan pelanggaran UU No.5/1999 yang dilakukan Carrefour dalam menetapkan trading terms kepada pemasok barang.



Majelis komisi menemukan fakta bahwa Carrefour melakukan hubungan usaha jual beli produk dengan pemasok yang menggunakan sistem jual putus. Hubungan usaha tersebut dituangkan dalam perjanjian tertulis yang dinamakan National Contract yang memuat syarat perdagangan (trading terms) yang dapat dinegosiasikan dengan pemasok, antara lain listing fee, fixed rebate, minus margin, term of payment, reguler discount, common assortment cost, opening cost/new store dan penalty. Dalam laporan kepada KPPU, pemasok menganggap trading terms itu memberatkan, khususnya persyaratan listing fee dan minus margin. Pasalnya, setiap tahun Carrefour melakukan penambahan jenis item, menaikkan biaya dan persentase fee trading terms.



26



Listing fee adalah biaya pemasok untuk memasok produk baru ke gerai Carrefour sebagai jaminan jika barang tidak laku. Minus margin adalah jaminan pemasok kepada Carrefour bahwa harga jual produk mereka adalah harga yang paling murah. Apabila terbukti pesaingnya menjual produk yang sama dengan harga lebih rendah, maka Carrefour berhak memberlakukan sanksi minus margin yaitu pemotongan invoice pemasok tanpa memberikan kesempatan kepada pemasok untuk membuktikan ada tidaknya diskriminasi harga jual.



Dalam pertimbangannya, majelis menilai Carrefour memiliki kekuatan pasar (market power) dibanding hypermarket lainnya seperti Hypermart, Giant dan Clubstore. Sebab, Carrefour memiliki jumlah gerai terbanyak, lokasi gerai strategis dan jumlah item produk di Carrefour termasuk yang lengkap, sehingga produk yang dijual di Carrefour biasanya lebih banyak terjual dibandingkan di pasar peritel modern lainnya. Dengan adanya kekuatan pasar ini, pemasok mengalami ketergantungan dan Carrefour memiliki posisi tawar terhadap pemasok dalam menegosiasikan item trading terms.



KPPU menemukan fakta bahwa Carrefour menggunakan posisi tawarnya untuk menekan pemasok agar mau menerima penambahan item trading terms, kenaikan biaya dan persentase fee trading terms. Tekanan dilakukan dengan cara menahan pembayaran yang jatuh tempo, memutuskan sepihak untuk tidak menjual produk pemasok dengan tidak mengeluarkan purchase order dan mengurangi jumlah pemesanan item produk pemasok.



27



Selain itu, berdasarkan keterangan dari 17 saksi, lima ahli, surat dan dokumen, petunjuk serta keterangan pelaku usaha yang disampaikan ke KPPU, menunjukkan adanya kegiatan menghalangi pesaing Carrefour untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan yaitu melalui pemberlakuan kebijakan minus margin. Akibat kebijakan ini, salah satu pemasok menghentikan pasokan ke pesaing yang menjual dengan harga lebih murah dibanding harga di Carrefour untuk produk yang sama.



Selain menjatuhkan denda, pada bagian lain putusannya majelis komisi juga menilai berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut penyelenggaraan perpasaran swasta belum dilakukan secara efektif. Oleh karena itu, majelis menyarankan Pemerintah agar menjalankan peraturan perpasaran swasta yang sudah ada secara efektif, dengan membuat dan menerbitkan peraturan mengenai perpasaran swasta yang berlaku secara nasional. Ditambah dengan membuat dan menerbitkan ketentuan yang mengatur mengenai definisi, sistem, penentuan besaran dan penerapan listing fee terhadap pemasok khususnya yang termasuk kategori UKM sehingga tidak dapat digunakan untuk menghalangi pemasok yang ingin produknya dipasarkan di pasar peritel modern. Kuasa hukum Carrefour Mochamad Fachri dari Hadinoto, Hadiputranto & Partner menolak berkomentar soal putusan ini. Menurut dia, pihak manajemen Carrefour menginstruksikan agar dirinya membaca terlebih dahulu putusannya sebelum memberikan komentar. Maaf, saya tidak bisa memberikan pendapat kalau klien bilang tidak bisa, tegas Fachri sambil berlalu.



BAB V KESIMPULAN DAN SARAN



28



3.1 Kesimpulan Persaingan Tidak Sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli. Pelanggaran etika bisnis dapat melemahkan daya saing hasil industri dipasar internasional. Ini bisa terjadi sikap para pengusaha kita. Kecenderungan makin banyaknya pelanggaran etika bisnis membuat keprihatinan banyak pihak. Pengabaian etika bisnis dirasakan akan membawa kerugian tidak saja buat masyarakat, tetapi juga bagi tatanan ekonomi nasional. Disadari atau tidak, para pengusaha yang tidak memperhatikan etika bisnis akan menghancurkan nama mereka sendiri dan negara.



3.2 Saran Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:



29



1.



pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri untuk tidak



mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain 2.



Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat,



3.



Pelaku bisnis hendaknya menciptakan persaingan bisnis yang sehat



4.



Pelaku bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat



sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang 5.



Pelaku bisnis harus konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah



disepakati bersama



30



DAFTAR PUSTAKA Hardjan ruslie. Hukum perjanjian indonesia dan common law. Cet II. Jakarta : Pustaka sinar Harapan. 1996 Sirait, Ningrum N. ”Hukum Persaingan di Indonesia: UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”. Cet. I. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004. Indonesia. Undang-undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999 LN No. 33 Tahun 1999, TLN No. 3817 www.hukumonline.com



31