MAKALAH Pajak [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem self assesment. Dengan sistem tersebut Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung sendiri besarnya pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak. Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) terutang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Pajak penghasilan merupakan pajak yang dipungut kepada obyek pajak atas penghsilan yang diperolehnya. PPh akan selalu dikenakan terhadap orang atau badan usaha selaku wajib pajak yang memperoleh penghasilan. Setiap perusahaan jasa maupun non jasa sebagai wajib pajak diwajibkan untuk membayar pajak. Bagi perusahaan, pajak merupakan sumber pengeluaran (cash disbursment) tanpa adanya imbalan langsung untuk perusahaan tersebut. Sehingga biasanya banyak perusahaan melakukan upaya untuk membayar pajak terutangnya sekecil mungkin selama hal tersebut memungkinkan. Dalam teori ekonomi klasik yang kini masih relevan diterapkan di berbagai negara menyebutkan bahwa : “salah satu sumber penerimaan negara ialah dari sektor pajak.” Pernyataan ini tertuang di dalam naskah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut : “segala pajak dipungut berdasarkan undang-undang demi kepentingan negara dan ditunjukan kesejahteraan rakyat”. Pajak adalah salah satu alat yang digunakan pemerintah didalam mencapai tujuan untuk mendapatkan penerimaan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari masyarakat, untuk itu diperlukan adanya kesadaran dari masyarakat akan kewajiban pajaknya karena pajak yang dikumpul digunakan untuk kepentingan dan membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat. Sumber penerimaan negara dari sektor pajak ada banyak macamnya. Salah satu adalah pajak penghasilan badan, yaitu pajak penghasilan yang dikenakan kepada sebuah badan usaha atas penghasilan dan laba usahannya baik dalam negeri maupun pendapatan diluar negeri. Salah satu kewajiban wajib pajak khususnya wajib pajak adalah menyelenggarakan pembukuan sebagai suatu proses yang dilakukan secara teratur untuk menyusun laporan keuangan. Ada tiga unsur yang menentukan penerimaan pajak, yakni undang-undang perpajakan yang tepat, kepatuhan serta kesadaran dari Wajib Pajak dan aparat perpajakan yang cakap dan bersih.



1.2 Rumusan Masalah 1) 2) 3) 4) 5)



Bagaimana cara menghitung pajak? Seperti apa dan bagaimana norma perhitungan? Bagaimana cara menghitung pajak dengan norma perhitungan? Jelaskan apa yang dimaksud dengan kompensasi kerugian? Jelaskan tentang norma perhitungan khusus!



1



1.3 Tujuan Penulisan 1) Mengetahui bagaimana cara menghitung pajak 2) Menjelaskan norma perhitungan 3) Mengetahui cara menghitung pajak dengan norma perhitungan



2



BAB II PEMBAHASAN



2.1 Dasar Perhitungan Pajak Penghasilan Mengenai perhitungan atau cara menghitung pajak ini diatur dalam Bab IV UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU Pajak Penghasilan”). Untuk menghitung pajak penghasilan, harus diketahui besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (“PTKP”) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Pajak Penghasilan, yakni:



1.



Untuk diri Wajib Pajak orang pribadi



Rp. 15.840.000,-



2.



Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin



Rp. 1.320.000,-



3.



Tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami



Rp. 15.840.000,-



4.



Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga



Rp. 1.320.000,-



Cara menghitung pajak penghasilan ini diatur dalam Pasal 16 UU Pajak Penghasilan yang berbunyi: 1) Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g. 2) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dihitung dengan menggunakan norma penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan untuk Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). 3) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan memerhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan



3



sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g. 4) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan neto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan. Secara sederhana, perhitungan pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi (dalam hal ini pegawai) dilakukan antara lain dalam beberapa tahap berikut: I. Seluruh penghasilan (bruto) – biaya2 = penghasilan netto (penghasilan bersih) II. Penghasilan bersih – PTKP = Penghasilan Kena Pajak (“PKP”) Contoh perhitungan pajak pengahsilan yaitu : PT. Pasti Maju merupakan perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi, Pada akhir tahun pajak 2014 telah membayarkan gaji, upah, honorarium dan imbalan lainya kepada: A. Pegawai Tetap Sahil, sudah menikah dan mempunyai 1 orang anak pada bulan januari 2014. Kemudian pada bulan april 2014 istri Sahil melahirkan anak keduanya. Sahil hidup bersama adik iparnya yang berumur 11 tahun. Sahil memiliki NPWP sejak bulan Maret 2014 sebagai dasar pemotongan PPh pasal 21 Bulan maret 2014, sedangkan Sahil bekerja di PT Pasti Maju mulai awal bulan Januari 2014. Penghasilan Sahil pada tahun 2014 adalah sebagai berikut: Gaji perbulan Tunjangan pengobatan Pemberian Beras Premi JKK (dibayar perusahaan) Premi JKK (dibayar sendiri) Premi JKM (dibayar perusahaan) Premi JKM (dibayar Sendiri) Premi JHT (dibayar Perusahaan) Premi JHT (dibayar sendiri) PPh yang di tanggung perusahaan Asuransi kesehatan (bayar sendiri) THR



1. 2. 3. 4. 5.



4.500.000/bulan 1.000.000/bulan 200.000/bulan 0,24% dari gaji 0,3% dari gaji 0,3% dari gaji 0,25% dari gaji 3,5% dari gaji 2% dari gaji 500.000/bulan 250.000 4.500.000 (Bulan Agustus 2014)



Diminta: Hitunglah PPh pasal 21 Perbulan (hitung satu kali saja) ! Hitung PPh 21 yang di potong bulan maret setelah Sahil ber NPWP! Hitung PPh Pasal 21 atas THR! Hitung PPh Pasal 21 untuk bulan Desember 2014! Buat Form 1721-A1 pada akhir tahun!



4



jawab: 1. PPh Pasal 21 Sebulan Gaji sebulan Tunjangan Pengobatan Pemberian Beras Premi JKK Premi JKM PPh yang ditanggung Perusahaan Penghasilan Bruto Sebulan Pengurangan Biaya jabatan Iuran JHT Penghasilan Netto Sebulan Penghasilan Netto Setahun PTKP (k/1) Untuk WP Sendiri Tambahan WP kawin Tambahan seorang anak



0,24% 0,30%



5% 2%



12



Rp 4.500.000 Rp 1.000.000 Rp 200.000 x Rp 4.500.000 Rp 10.800 x Rp 4.500.000 Rp 13.500 Rp 500.000 Rp 6.224.300 x Rp 6.224.300 Rp 311.215 x Rp 4.500.000 Rp 90.000 (Rp 401.215) Rp 5.823.085 x Rp 5.823.085 Rp 69.877.020



Rp 24.300.000 Rp 2.025.000 Rp 2.025.000 (Rp 28.350.000) Rp 41.527.020 Rp 41.527.000



Penghasilan Kena Pajak setahun Pembulatan PPh Pasal 21 Terutang 5% x Rp 41.527.000 PPh pasal 21 Sebulan Rp 2.076.350 : 12



Rp 2.076.350 Rp 173.029



PPh yang di potong karena yang bersangkutan belum memiliki NPWP 120% x Rp 173.029



2. PPh 21 yang di potong bulan maret setelah Sahil ber NPWP Jumlah PPh pasal 21 yang dipotong dari januari- Februari 2014 2 x Rp 207.635 = Rp 415.270 Jumlah PPh pasa 21 Terutang jika yang bersangkutan memiliki NPWP 2 x Rp 173.029 = (Rp 346.058) Selisih (20% x 2 x Rp 173.029) Rp 69.212 PPh pasal 21 yang terutang sebulan (sama dengan perhitungan sebelumnya) Rp 173.029 Diperhitungkan dengan pemotongan atas tambahan 20% sebelum memiliki NPWP



5



Rp 207.635



(jan-feb 2014) 20% x 2 x Rp 173.029) (Rp 69.212) PPh Pasal 21 yang harus dipotong bulan maret 2014 Rp 103.818



3. PPh Pasal 21 Atas Gaji dan THR Gaji Setahun Tunjangan Pengobatan Pemberian Beras Premi JKK Premi JKM THR PPh yang ditanggung Perusahaan Penghasilan Bruto Setahun Pengurangan Biaya jabatan Iuran JHT Penghasilan Netto Setahun PTKP (k/1) Untuk WP Sendiri Tambahan WP kawin Tambahan seorang anak



0,24% 0,30%



x Rp 54.000.000 x Rp 54.000.000



5% 2%



x Rp 82.399.200 x Rp 54.000.000



Rp 54.000.000 Rp 12.000.000 Rp 2.400.000 Rp 129.600 Rp 162.000 Rp 4.500.000 Rp 6.000.000 Rp 79.191.600 Rp 3.959.580 Rp 1.080.000 (Rp 5.039.580) Rp 74.152.020



Rp 24.300.000 Rp 2.025.000 Rp 2.025.000 (Rp 28.350.000) Rp 45.802.020 Rp 45.802.000



Penghasilan Kena Pajak setahun Pembulatan PPh Pasal 21 Terutang 5% x Rp 45.802.000



Rp 2.290.100



PPh pasal 21 atas THR PPh pasal 21 atas THR adalah Rp 2.290.100 -Rp 2.076.350



Rp 213.750



4. PPh Pasal 21 untuk bulan Desember 2014 PPh Pasal 21 terutang setahun PPh pasal 21 yang telah dipotong s.d November 2014: (Rp 173.029 x 11) + Rp 213.750 PPh pasal 21 yang harus dipotong pada bulan des 2014 5. Form 1721-A1 pada akhir tahun Penghasilan Bruto 6



Rp 2.290.100 Rp 2.117.069 Rp 173.031



Gaji Setahun Rp 54.000.000 Tunjangan Kesehatan Rp 12.000.000 Premi asuransi yang dibayar Pemberi kerja Rp 291.600 Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainya Rp 8.400.000 yang dikenakan pemotongan PPh pasal 21 THR Rp 4.500.000 Jumlah penghasilan bruto Rp 79.191.600 Pengurangan Biaya jabatan Rp 3.959.580 Iuran JHT Rp 1.080.000 Jumlah Pengurangan (Rp 5.039.580) Penghitungan PPh pasal 21 Jumlah penghasilan netto Rp 74.152.020 jumlah penghasilan netto untuk penghitungan PPh pasal Rp 74.152.020 21 PTKP (k/1) (Rp 28.350.000) PKP setahun (pembulatan) Rp 45.802.000 PPh 21 atas PKP setahun Rp 2.290.100 PPh pasal 21 yang telah dipotong masa sebelumnya (Rp 2.117.069) PPh pasal 21 terutang Rp 173.031 PPh pasal 21 yang telah dipotong dan dilunasi Rp 173.031 B. Pegawai Tidak Tetap 1. Edho bekerja pada PT. Pasti Maju dengan menerima upah harian sebesar 400.000/hari mulai tanggal 21 mei 2014 sampai dengan tanggal 4 Juni 2014. Edho berstatus kawin dengan memiliki 3 orang anak. Selama bekerja di PT. Pasti Maju Edho tidak memiliki NPWP. ( bekerja setiap hari) . Diminta: 1. Hitung PPh pasal 21 pada bulan mei dan Juni 2014 ! Jawab: Pegawai tidak tetap PPh pasal 21 Bulan Mei pph pasal 21 terutang tanggal 21-25 mei 2014 Upah tanggal 21-25 Rp 400.000 Batas upah harian yang tidak dilakukan pemotongan (Rp 200.000 x 5) PPh PKP 5 hari PPh pasal 21 yang dipotong tg 21-25 5% x Rp 1.000.000 PPh pasal 21 yang di potong /hari Perhitungan Upah pada tg 26 Upah sampai dengan tanggal 26 (Rp 400.000 x 6) PTKP sebenarnya: (6 x Rp 24.300.000/360) 7



x 5 Rp 2.000.000 (Rp 1.000.000) Rp 1.000.000 Rp 50.000 Rp 10.000 Rp 2.400.000 (Rp 405.000)



PKP s.d tg 26 PPh pasal 21 terutang s.d tg 26 5% x Rp 1.995.000 PPh ps 21 yang telah dipotong s.d tg 25 PPh ps 21 yang harus dipotong tg 26 PPh yang di potong pada tanggal 27-31 Mei 2014 Upah tanggal 27-31 PTKP 5 hari (5 x Rp 24.300.000 / 360) PKP tg 27-31 PPh pasal 21 Terutang tg 27-31 5% x Rp 1.662.500 PPh pasal 21 yang dipotong/hari mulai tg 27



Rp 1.995.000 Rp 99.750 (Rp 50.000) Rp 49.750 Rp 400.000



x 5 Rp 2.000.000 (Rp 337.500) Rp 1.662.500 Rp 83.125 Rp 16.625



PPh pasal 21 yang di potong pada bulan Mei PPh pasal 21 yang dipotong s.d tanggal 25 Rp 50.000 PPh pasal 21 yang dipotong pada tanggal 26 Rp 49.750 PPh pasal 21 yang di potong tg 27-31 Rp 83.125 Total PPh yang dipotong pada bulan Mei Rp 182.875 PPh pasal 21 Bulan Juni pph pasal 21 terutang Upah sehari Rp 400.000 Batas upah harian yang tidak dilakukan pemotongan (Rp 200.000) PPh PKP sehari PPh pasal 21 yang dipotong per hari 5% x Rp 200.000 PPh pasal 21 yang di potong pada s.d tg 4 Juni Rp 10.000 x 4



Rp 200.000 Rp 10.000 Rp 40.000



C. Bukan Pegawai 1. Tuan Roy merupakan seorang arsitek di PT Pasti Maju dengan status K/1 dan ber NPWP. Penghasilanya pada bulan februari sebesar 7.500.000. bulan mei sebesar 10.000.000 dan bulan Juli sebesar 33.250.000. berapa penghasilan yang di potong PPh pasal 21 pada bulan Juli jika Tn. Amry tidak memiliki perkerjaan lain.



Jawab: Bulan



Penghasilan Bruto



50% dari penghasilan bruto



Februari Mei



Rp 7.500.000 Rp 10.000.000



Rp 3.750.000 Rp 5.000.000



PTKP (k/1) Rp 2.362.500 Rp 2.362.500



PKP Rp 1.387.500 Rp 2.637.500



8



PKP kumulatif



Tarif



PPh pasal 21 terutang



Rp 1.387.500 Rp 4.025.000



5% 5%



Rp 69.375 Rp 131.875



Juli Rp 33.250.000 Rp 16.625.000 Rp 2.362.500 Rp 14.262.500 PPh yang dipotong atas pendapatan Tn amry di bulan juli yaitu Rp 713.125



Rp 18.287.500



5%



Rp 713.125



D. Penerimaan Uang Pesangon dan Uang Manfaat Pensiun Sekaligus 1. Tuan Marteen adalah salah satu Pegawai tetap PT Pasti Maju yang mulai bekerja pada tahun 1994 dan PT pasti Maju sudah mengikutkan program pensiun untuk seluruh pegawainya. Karena suatu hal pada bulan Januari 2014 Tn marteen di PHK dan menerima uang pesangon sebesar Rp 300.000.000. selain itu Tn marteen berhak atas uang manfaat pensiun sebesar 150.000.000. beliau meminta pembayaran sekaligus atas manfaat pensiunya sebesar nilai tersebut karena beliau berencana ingin mendirikan usaha sendiri. Berapakah besarnya PPh pasal 21 yang di potong atas penerimaan pesangon dan manfaat pensiun Tn marteen oleh PT Pasti maju? Jawab: Perhitungan PPh pasal 21 atas uang pesangon 0% x Rp 50.000.000 Rp 0 5% x Rp 50.000.000 Rp 2.500.000 15% x Rp 200.000.000 Rp 30.000.000 Jumlah Rp 32.500.000 Perhitungan PPh pasal 21 atas uang manfaat pensiun 0% x Rp 50.000.000 Rp 0 5% x Rp 100.000.000 Rp 5.000.000 Jumlah PPh yang harus di potong atas uang pesangon dan manfaat pensiun sekaligus E.



Rp 5.000.000 Rp 37.500.000



Mantan Pegawai Lucky bekerja di PT Pasti Maju. Pada tanggal 31 Desember 2013 telah berhenti bekerja karena Usianya telah memasuki masa pensiun. Pada bulan Maret 2014 Lucky menerima Pendapatan atas jasa yang di berikanya tahun pada tahun 2013 dari PT pasti Maju sebesar Rp. 55.000.000. selanjutnya pada bulan desember 2014 dia menerima pendapatan atas jasa tahap keduanya (terakhir) senilai Rp. 50.000.000. Hitunglah PPh pasal 21 yang harus di potong PT pasti Maju! Jawab: PPh pasal 21 terutang 5% x Rp 50.000.000 Rp 2.500.000 15% x Rp 5.000.000 Rp 750.000 PPh pasal 21 yang harus di potong pada bulan maret Rp 3.250.000 Jumlah embayaran tahap 1 dan tahap 2 yaitu Rp 105.000.000 PPh pasal 21 terutang 5% x Rp 50.000.000 15% x Rp 55.000.000 PPh pasal 21 yang telah dipotong PPh pasal 21 terutang 2.2 KOMPENSASI KERUGIAN 9



Rp 2.500.000 Rp 8.250.000 Rp 10.750.000 (Rp 3.250.000) Rp 7.500.000



Dalam dunia usaha, keuntungan dan kerugian adalah dua hal yang biasa terjadi. Ada kalanya sebuah usaha mengalami keuntungan dan ada kalanya juga sebuah usaha mengalami kerugian. Dalam konteks Pajak Penghasilan, keuntungan yang diperoleh adalah objek Pajak Penghasilan, sebaliknya kalau terjadi kerugian, maka Wajib Pajak tidak akan terkena Pajak Penghasilan. Bahkan kerugian yang didapatkan dalam satu tahun pajak dapat digunakan untuk menutupi keuntungan pada tahun-tahun berikutnya sehingga pada tahun-tahun tersebut Pajak Penghasilan nya menjadi lebih kecil atau tidak terutang sama sekali. Nah, proses membawa kerugian dalam satu tahun pajak ke tahun-tahun pajak berikutnya ini dinamakan sebagai Kompensasi Kerugian (Carrying Loss). Kompensasi kerugian dalam Pajak Penghasilan diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undangundang Pajak Penghasilan. Adapun beberapa point penting yang perlu diperhatikan dalam hal kompensasi kerugian ini adalah sebagai berikut : 1. Istilah kerugian merujuk kepada kerugian fiskal bukan kerugian komersial. Kerugian atau keuntungan fiskal adalah selisih antara penghasilan dan biaya-biaya yang telah memperhitungkan ketentuan Pajak Penghasilan. 2. Kompensasi kerugian hanya diperkenankan selama lima tahun ke depan secara berturut-turut. Apabila pada akhir tahun kelima ternyata masih ada kerugian yang tersisa maka sisa kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan. 3. Kompensai kerugian hanya untuk Wajib Pajak, baik badan maupun orang pribadi, yang melakukan kegiatan usaha yang penghasilannya tidak dikenakan PPh Final dan perhitungan Pajak Penghasilannnya tidak menggunakan norma penghitungan. 4. Kerugian usaha di luar negeri tidak bisa dikompensasikan dengan penghasilan dari dalam negeri. Sebagai contoh, misalnya wajib pajak PT A mengalami kerugian fiskal tahun pajak 2007, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal tahun 2008, 2009, 2010, 2011, dan 2012. Jika setelah kerugian tersebut dikompensasikan sampai dengan tahun 2012 masih tersisa kerugian yang belum dikompensasikan, maka sisa kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal tahun 2013 atau sesudahnya. Sebagai ilustrasi misalkan PT A dalam tahun 2007 mengalami kerugian fiskal Rp1.200.000.000,00. Dalam lima tahun berikutnya rugi laba fiskal PT A sebagai berikut : 2008 : laba fiskal Rp200.000.000,00 2009 : rugi fiskal Rp300.000.000,00 2010 : laba fiskal NIHIL 2011 : laba fiskal Rp100.000.000,00 2012 : laba fiskal Rp800.000.000,00



Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut : 10



Tahun 2008 : Kompensasi kerugian Rp200.000.000,00 sehingga sisa rugi tahun 2007 tinggal Rp1.000.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil. Tahun 2009 : Tak ada kompensasi kerugian dari tahun 2007 karena tahun 2009 juga mengalami kerugian. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil. Tahun 2010 : Tak ada kompensasi kerugian dari tahun 2007 karena tahun 2010 laba fiskal nihil. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil. Tahun 2011 : Kompensasi kerugian Rp100.000.000,00 sehingga sisa rugi tahun 2007 tinggal Rp900.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil. Tahun 2012 : Kompensasi kerugian Rp800.000.000,00 sehingga sisa rugi tahun 2007 tinggal Rp100.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil. Sisa kerugian Rp100.000.000,00 ini tidak dapat lagi dikompensasikan ke tahun 2013 atau setelahnya. 2.3 NORMA PERHITUNGAN PAJAK Bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan, dasar pengenaan pajak (Penghasilan Kena Pajak) dihitung dengan menggunakan Norma Penghasilan Neto dengan syarat peredaran usahanya tidak melebihi Rp 4,8 miliar. Penghasilan neto ditetapkan sebesar presentase tertentu dari peredaran usaha atau penerimaan bruto pekerjaan bebas selama setahun. Pedoman untuk menentukan Penghasilan Neto dibuat dan disempurnakan terus menerus oleh Direktorat Jendral Pajak (sesuai Keputusan Dirjen Pajak No. 536/PJ.2/2000 tanggal 29 Desember 2000, disesuaikan dengan KMK No. 01/PMK.03/2007 tanggal 16 Januari 2007 tentang perubahan usaha yang boleh menggunakan Norma Penghitungan, berlaku mulai 2007). Besarnya norma ditentukan dengan beberapa ketentuan sebagai berikut: 1. Norma yang digunakan adalah norma berdasarkan kota wilayah usaha. 2. Yang dimaksud 10 ibukota propinsi: Medan, Jakarta, Palembang, Bandung, Semarang, Surabaya, Manado, Makassar, Denpasar, Pontianak. 3. Kota propinsi lainnya adalah ibukota propinsi selain 10 yang disebutkan. 4. Daerah lainnya adalah daerah selain yang dimaksud diatas. Jika Wajib Pajak orang pribadi memiliki usaha atau pekerjaan bebas lebih dari satu, maka norma perhitungan tersebut diterapkan pada masing-masing usaha atau pekerjaan bebas. Selanjutnya, penghasilan neto yang didapat dari masing-masing usaha dijumlahkan untuk menghasilkan penghasilan neto wajib pajak dalam satu tahun.Penjumlahan penghasilan neto itulah yang digunakan sebagai untuk perhitungan pajak penghasilan, tentunya setelah dikurangi dengan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak). Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 162/PMK.011/2012, tarif PTKP ditentukan sebagai berikut: 1. Rp 24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi; 2. Rp 2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; 3. Rp 24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11



8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008; 4. Rp 2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Berikut ketentuan Wajib Pajak Orang Pribadi Usahawan yang boleh menggunakan norma penghitungan penghasilan neto berdasarkan UU Nomor 36 tahun 2008: 1. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan sebesar Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pembukuan. 2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto di bawah Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali Wajib Pajak yang bersangkutan memilih menyelenggarakan Pembukuan. 3. Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada butir (2) yang tidak memilih untuk menyelenggarakan pembukuan, menghitung penghasilan neto usaha atau pekerjaan bebasnya dengan menggunakan 



Norma Penghitungan Penghasilan Neto Kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pengguna Norma Penghitungan penghasilan neto: 1. Wajib Pajak yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan. 2. Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan diatas dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. Bagi yang tetap menggunakan Norma padahal tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Penggunaan Norma dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam tahun pajak yang bersangkutan.



12



Pajak Norma



Peredaran bruto Presentase norma Penghasilan neto PTKP PKP Tarif pasal 17 5% x … 15% x … 25% x … 30% x … PPh terutang xxx Kredit Pajak: PPh 21/26 xxx PPh 22, 23, 24 xxx PPh 25, Fiskal LN xxx (xxx) PPh (lebih) kurang bayar



xxx x% xxx (xxx) xxx



Mekanisme penghitungan Penghasilan berdasarkan Penghitungan:



xxx



Gambar 2.1 Mekanisme Penghitungan Pajak Penghasilan Berdasarkan Norma Penghitungan Bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak (pajak yang dibayar di muka/prepaid tax) untuk tahun pajak yang bersangkutan, terdiri dari: 1. PPh Pasal 21, yaitu pemotongan pajak oleh pihak lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak. 2. PPh Pasal 22, yaitu pemungutan pajak oleh pihak lain atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. 3. PPh Pasal 23, yaitu pemotongan pajak oleh pihak lain atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, dan imbalan jasa tertentu. 4. PPh Pasal 24 (kredit pajak luar negeri), yaitu pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh dikreditkan. 5. PPh Pasal 25, yaitu pembayaran (angsuran) pajak yang dilakukan oleh wajib pajak sendiri. 6. PPh Pasal 26 ayat (5), yaitu pemotongan pajak oleh pihak lain atas penghasilan orang pribadi luar negeri yang berubah status menjadi wajib pajak dalam negeri.



13



Ilustrasi penggunaan Norma Perhitungan Penghasilan Neto : Wajib Pajak A menikah dan mempunyai 3 (tiga) orang anak, istri tidak bekerja. WP A tinggal di Jakarta dan memiliki usaha Rotan di Cirebon. Selain usaha rotan WP A juga seorang dokter di Jakarta. Peredaran Usaha Rotan (setahun) = Rp.40.000.000,Penerimaan Bruto sebagai Dokter = Rp.72.000.000,Penghasilan Neto dihitung sebagai berikut : - Dari Industri Rotan : 12,5% x Rp.40.000.000,- = Rp.5.000.000,- Dari Sebagai Dokter : 45% x Rp.72.000.000,- = Rp.32.400.000,- Jumlah Penghasilan Neto = Rp.37.400.000,PPh = Ph Neto - PTKP PPh = Rp.37.400.000 - Rp.21.120.0000 = Rp.16.280.000,PPh terutang = 5% x Rp.16.280.000,- = Rp.814.000,



Bentuk Dan Tata Cara Pencatatan Bentuk dan tata cara pencatatan, seperti ditetapkan dalam Pasal 28 ayat (12) UU KUP diatur dengan Keputusan Dirjen pajak, yang sekarang berlaku adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-4/PJ/2009. Pada prinsipnya pencatatan harus mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Pencatatan harus dibuat secara lengkap dan benar, serta didukung dengan dokumen yang dijadikan dasar penghitungan peredaran atau penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto, serta penghasilan yang bukan objek pajak dan atau penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final. Pencatatan dalam suatu tahun pajak meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan, mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Pencatatan harus dapat menggambarkan sejumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto, serta penghasilan yang bukan objek pajak dan atau penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Bagi WPOP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan atau tempat usaha, pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas jumlah peredaran atau penerimaan bruto dari masing-masing jenis usaha dan atau tempat usaha yang bersangkutan. WPOP yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang boleh menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan penghasilan Netto harus mencatat peredaran atau penerimaan bruto, penghasilan yang bukan objek pajak, dan penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final.



14



Sedangkan WPOP yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas harus mencatat penghasilan bruto dan penghasilan yang bukan objek pajak dan atau penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final. Pencatatan yang dilakukan akan menjadi dasar penyusunan SPT Tahunan PPh, hal mana WPOP harus mencantumkan jumlah peredaran usaha atau penerimaan bruto setiap bulan selama setahun. Dalam hal WPOP menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, yang sudah dipotong PPh-nya oleh pemberi kerja, menyimpan formulir 1721-A1 sudah dianggap melakukan pencatatan, kemudian untuk SPT tahunan PPh-nya wajib dilampirkan fotokopi formulir 1721-A1 tersebut. Sanksi bagi WPOP yang tidak membuat pencatatan atau tidak sepenuhnya membuat pencatatan, atau tidak menyimpan bukti pencatatan, atau tidak menyimpan bukti pencatatan dipersamakan dengan sanksi bagi pengusaha yang wajib menyelenggarakan pembukuantermasuk WPOP yang dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan karena tidak melakukan pemberitahuan kepada Dirjen Pajak-tetapi tidak menyelenggarakan pembukuan dengan baik. Penghasilan netto bagi WP yang melanggar ketentuan pencatatan atau pembukuan dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan penghasilan Netto ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen)dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam tahun pajak yang bersangkutan. Seperti disinggung sebelumnya bagi WPOP yang tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh tidak diwajibkan menyelenggarakan pembukuan maupun melakukan pencatatan. Merujuk pada keputusan Menteri Keuangan No. 535/KMK.04/2000, WPOP yang tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh adalah mereka yang penghasilan nettonya tidak melebihi PTKP. Jadi yang tidak wajib pembukuan maupun pencatatan adalah WPOP yang tidak wajib NPWP. 2.4 NORMA PERHITUNGAN KHUSUS Untuk Menghitung Penghasilan Neto Dari Wajib Pajak Tertentu, maka pemerintah menetapkan Norma Penghitungan Khusus.Pajak penghasilan bagi Wajib Pajak tertentu tersebut diatur secara khusus dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, sehingga pajak penghasilan yang dikenakan terhadap penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Tertentu tersebut sering juga disebut dengan PPh Pasal 15. Wajib Pajak Tertentu yang menghitung Penghasilan Netonya berdasarkan Norma Penghitungan Khusus, maka pajak penghasilan yang dikenakan terhadap penghasilannya tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) serta Tarif Pajak pasal 17 dan Pasal 31 E Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan. Akan tetapi Perhitungan Pajak Penghasilannya dihitung berdasarkan tarif pajak penghasilan yang terdapat dalam peraturan yang mengatur besarnya Norma Penghitungan Khusus bagi Wajib Pajak Tertentu tersebut.



15



Norma Penghitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak Tertentu, antara lain : 1. Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri. Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri adalah Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri yang melakukan usaha pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya. 2. Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan Luar Negeri. Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan Luar Negeri adalah Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri yang melakukan usaha pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri. 3. Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri. Wajib Pajak Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri adalah perusahaan penerbangan yang bertempat kedudukan di Indonesia yang memperoleh penghasilan berdasarkan perjanjian charter; 4. Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan Asuransi Luar Negeri. Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan Asuransi Luar Negeri diterapkan atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi yang diterima oleh Perusahaan Asuransi Luar Negeri oleh Wajib Pajak Dalam Negeri. 5. Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi. Wajib Pajak Perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Norma Penghitungan Khusus atas Penghasilan bruto dari jenisjenis penghasilan yang tercantum dalam kontrak pengeboran minyak dan gas bumi yang bersangkutan. 6. Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan di Indonesia. Pajak Penghasilan dikenakan terhadap semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia. 7. Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah atau BOT (“build, operate, and transfer”).



16



Bangun Guna Serah atau BOT ("Built Operate and Transfer") adalah bentuk perjanjian kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa guna serah berakhir. Untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan NormaPenghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu tersebut. Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri. Ilustrasi :CV.Utama (badan) memiliki usaha perkapalan dan menerima penghasilan atas sewa kapal selama sebulan dari perseorangan (bukan pemotongan) sebesar Rp10.000.000,-. Besarnya PPh Pasal 15 yang harus disetor sendiri oleh CV Utama atas penghasilan yang diterimanya :Rp10.000.000,- x 1,2% = Rp120.000,-



17



BAB III PENUTUP



3.1 KESIMPULAN



Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan pada subjek pajak atas penghasilan yang diperolehnya pada tahun pajak, dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak bila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir tahun pajak.



Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri.



Penghasilan Tidak Kena Pajak, disingkat PTKP adalah pengurangan terhadap penghasilan bruto orang pribadi atau perseorangan sebagai wajib pajak dalam negeri dalam menghitung penghasilan kena pajak yang menjadi objek pajak penghasilan yang harus dibayar wajib pajak di Indonesia.



Dasar Hukum Pajak Penghasilan PPh pasal 21 di Indonesia yang terbaru adalah : 1. Peraturan Menteri Keuangan PMK-162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi 2. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2012 Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa Dan Kegiatan Orang Pribadi



18



3.2 KRITIK DAN SARAN



Dengan naiknya PTKP seharusnya kita sebagai wajib pajak bisa bernafas lega karena ada tambahan penghasilan yang bebas dari pajak, walaupun dari sisi penerimaan negara akan sedikit mengalami penurunan. Yang penting tetap berkontribusi dengan membayar pajak tepat jumlah dan tepat waktu.



19



DAFTAR PUSTAKA



Anastasia Diana, dan Lilis Setiawati, 2009, Perpajakan Indonesia, Andi, Yogyakarta. Ikatan Akuntan Indonesia, 1999. Standar Akuntansi Keuangan. PSAK No. 17, Cetakan Keempat, Buku Satu, Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Lumbantoruan, Shopar, 2005, Akuntansi Pajak, Gramedia Widiasarana. Jakarta Muljono, Djoko 2009, TAX PLANNING-Menyiasati Pajak dengan Bijak.Yogyakarta : ANDI. Mardiasmo. 2011, Perpajakan Edisi Revisi 2011, Andi, Yogyakarta. http://triaji-nugroho.blogspot.co.id/2012/01/angsuran-pph-pasal-25-setelah.html http://aslisemarang.blogspot.co.id/2013/01/kerugian-kompesasi-pemeriksaannya.html http://dudiwahyudi.com/pajak/pajak-penghasilan/kompensasi-kerugian.html http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/22/eko8.html http://ssbelajar.blogspot.co.id/2012/03/cara-menghitung-pajak.html https://jendelapajak.wordpress.com/2013/05/22/contoh-soal-perhitungan-pajak/ http://learning.ecc-eurika.com/soal-dan-pembahasan-perhitungan-pph-materi-ekonomi-sma/ http://sistemperpajakan.blogspot.co.id/2012/04/menghitung-pph-dengan-norma-perhitungan.html http://pajaktaxes.blogspot.co.id/2007/04/norma-penghitungan.html



20