Makalah Patofisiologi Sistem Billiary 1A [PDF]

  • Author / Uploaded
  • qiqy
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PATOFISIOLOGI SISTEM BILIARY Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Patofisiologi Semester II Dosen Pengampu: Ary Kurniawati, S.ST., M.Si



DISUSUN OLEH: KELOMPOK 5 KELAS 1A GUNTUR AJI PRASETYO



(P1337430120019)



DEA TIARA BEU



(P1337430120029)



ANNISA SALSABILLA HERMANSYAH (P1337430120034) I MADE PRAMARDIKA ANANDYTA



(P1337430120057)



PRODI DIII TRR SEMARANG POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG 2020/2021



KATA PENGANTAR Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Patofisiologi mengenai “Patofisiologi sistem Biliary” sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Patofisiologi Semester II, Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Politeknik Kesehatan Semarang. Selama penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan, bantuan serta motivasi dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Ary Kurniawati, S.ST.,M.Si selaku dosen pembimbing mata kuliah Patofisiologi Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Semarang. 2. Seluruh keluarga kami, khususnya kedua orangtua yang selalu memberikan semangat dan dukungan baik moril maupun materil. 3. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak untuk memperbaiki makalah ini. Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat pada khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.



Semarang,



27 Januari 2021



Penulis



i



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.......................................................................................................i DAFTAR ISI......................................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1 A. Latar Belakang..................................................................................................1 B. Rumusan Masalah.............................................................................................1 C. Tujuan...............................................................................................................1 BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................2 A. Patologi ..............................................................................................................2 1. Pembagian Patologi...............................................................................2 2. Pembagian Patologi menurut para ahli..................................................3 3. Teknik pemeriksaan Patologi................................................................3 B. Anatomi dan Fisiologi Kandung Empedu 1. Anatomi Kandung Empedu...................................................................6 2. Fisiologi Kandung Empedu...................................................................7 B. Patofisiologi pada sistem Biliary ......................................................................8 1. Cholelothiasis........................................................................................8 2. Cholecystitis Acuta................................................................................15 3. Cholesistitis Chronic ............................................................................19 4. Sirosis Bilier Primer..............................................................................20 5. Ischemic Cholangiopathy......................................................................21 6. Kolestasis...............................................................................................22 7. Primary Sclerosing Cholangitis (PSC).................................................23 8. Sirosis Hati............................................................................................25 9. Hemokromatis .......................................................................................28 10. Ikterus .................................................................................................30 11. Cholangiocarcinoma ..........................................................................33 12. Hepatitis A,B,C,D,E.............................................................................35 a. Hepatitis A.......................................................................................36 b. Hepatitis B.......................................................................................41 c. Hepatitis C.......................................................................................43 d. Hepatitis D.......................................................................................45 e. Hepatitis E.......................................................................................47 BAB III PENUTUP...........................................................................................................49 A. Simpulan.............................................................................................................49 B. Saran...................................................................................................................51 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................52 ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem Biliary atau Aparatus Billiary ekstrahepatic merupakan suatu saluran yang mengalirkan empedu dari hepar ke dalam duodenum. Berdasarkan lokasinya terbagi menjadi dua yaitu intrahepatic dan ekstrahepatik. Saluran Biliaris intrahepatic sendiri terdiri dari kanalikuli biliaris dan ductuli biliaris, sementara saluran Biliary ekstrahepatik terdiri dari ductus hepatikus kiri dan kanan, ductus hepatikus komunis, ductus sistikus ductus koledokus dan vesica fellea. Memiliki kapasitas sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung hingga 300 cc. jika sistem Biliary tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik maka akan mengakibatkan adanya Atresia Bilier (biliary atresia) suatu penghambatan di dalam pipa/ saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke kantung empedu (gallblader). Ini merupakan kondisi congenital, yang berarti terjadi saat kelahiran (lavanilate.2010.Askep Atresia Bilier). Penyebab terjadinya Atresia Bilier Sebagian ahli menyatakan bahwa factor genetic ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomy 17,18, dan 21. Juga terdapat anomaly organ pada 30% kasus atresia bilier. Berdasarkan prevalensi dari penyakit sistem biliary tersebut diperlukan penegakkan diagnosa yang akurat, pencitraan yang dapat digunakan dalam menunjang diagnosis penyakit pada system biliary secara diagnostic adalah dengan pemeriksaan ERCP (endoscopic retrograde cholangiopancreatography), USG(Ultrasonography), endoskopi, CT-scan , MRCP (magnetic resonance cholangiopancreatography), kolangiografi dan PTC (percutaneous transhepatic cholangiography).



B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan patofisiologi? 2. Bagaimana konsep sistem biliary? 3. Bagaimana patofisiologi pada sistem biliary? C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui pengertian dasar patofisiologi 2. Untuk mengetahui konsep sistem biliary 3. Untuk mengetahui patofisiologi pada sistem biliary



1



BAB II PEMBAHASAN A. Patologi Patologi adalah salah satu ilmu yang mempelajari tentang penyakit yang disebabkan oleh karena ada perubahan struktur dan fungsi sel dan jaringan tubuh. Sering kali diagnosis pasti suatu penyakit ditegakkan dengan patologi (histopatologi). Patologi mempunyai tujuan utama yaitu mengidentifikasi penyebab sebuah penyakit sehingga akan memberikan arahan pada pencegahan, pengobatan dan perawatan terhadapa penyakit yang diderita pasien. Istilah patologi berasal dari Yunani yaitu pathos artinya emosi, gairah atau menderita sedangkan ology artinya ilmu. Jadi patologi adalah ilmu penderitaan atau ilmu penyakit. Ilmu patologi berkembang sejak seorang ahli patologi yang bernama Rudolf Virchow (1821-1902) menemukan bahwa bagian terkecil yang membentuk tubuh manusia adalah sel. Perubahan perubahan sel yang diamati melalui mikroskop memberikan pengetahuan tentang penyakit yang terjadi pada seseorang. Perubahan tersebut dapat menyebabkan kelainan struktur dan gangguan fungsi tubuh yang berwujud penyakit. Patologi adalah kajian dan diagnosis penyakit melalui pemeriksaan organ, jaringan, cairan tubuh, dan seluruh tubuh (autopsi). Patologi juga meliputi studi ilmiah terkait proses penyakit, disebut patologi umum. Patologi umum, juga disebut investigasi patologi, eksperimental patologi atau teoretis patologi, merupakan luas dan kompleks lapangan ilmiah yang berusaha untuk memahami mekanisme cedera sel dan jaringan, seperti tubuh sarana untuk menanggapi dan memperbaiki cedera. 1. Jenis-Jenis Patologi a. Patologi anatomi Ilmu patologi yang mempelajari dan mendiagnosa penyakit berdasarkan hasil pemeriksaan sel, organ atau jaringan tubuh. Sebagai contoh dalam mendiagnosa penyakit tumor yang diderita pasien, maka dilakukan pemeriksaan patologi anatomi terhadap sel tumor sehingga diketahui apakah tumor tersebut jinak atau tumor ganas. Adapun jenis pemeriksaan yang dilakukan dalam patologi anatomi terdiri pemeriksaan:



1) Histopatologi 2



Histopatologi adalah cabang ilmu patologi anatomu yang mempelajari dan mendiagnosa penyakit berdasarkan hasil pemeriksaan jaringan tubuh. Sebagai contoh yaitu pemeriksaan jaringan dengan cara biopsi sehingga diperoleh diagnosa definitif. 2) Sitopatologi Bagian ilmu patologi anatomi yang mempelajari dan mendiagnosa penyakit berdasarkan hasil pemeriksaan sel tubuh yang didapat atau diambil. Sebagai contoh adalah pemeriksaan sel neoplasma untuk mengetahui tipe sel tersebut termasuk ganas atau jinak. b. Patologi klinik Ilmu patologi yang mempelajari dan mendiagnosa penyakit berdasarkan hasil pemeriksaan biokimia tubuh sehingga bahan pemeriksaannya berupa urine, darah dan cairan tubuh lainnya Sebagai contoh dalam menentukan diagnosa penyakit gagal ginjal maka pemeriksaan patologi klinik yang dilakukan menggunakan bahan urine pasien. c. Patologi forensik Merupakan cabang ilmu patologi yang mempelajari dan menemukan sebab kematian pada kondisi tertentu. Sebagai contoh menentukan penyebab kematian korban yang diduga bunuh diri. Pemeriksa akan mempelajari apakah benar korban bunuh diri atau dibunuh terlebih dahulu kemudian direkayasa seperti bunuh diri. d. Patologi molekuler Patologi molekuler adalah cabang ilmu patologi yang mempelajari dan mendiagnosa penyakit berdasarkan hasil pemeriksaan struktur kimiawi molekul. Sebagai contoh dalam mendiagnosa penyakit sickle cell yaitu penyakit dimana kondisi molekul haemoglobin dalam keadaan abnormal. 2. Pembagian patologi menurut beberapa ahli Beberapa ahli memberikan pembagian yang lebih praktis dalam mempelajari patologi yaitu bahwa patologi dibagi menjadi 3 bagian sebagai berikut: a. Patologi umum Ilmu patologi yang mempelajari dan mendiagnosa penyakit berdasarkan mekanisme dan karakteristik bentuk dari suatu penyakit. Sebagai contoh yaitu mempelajari kelainan kongenital, radang dan tumor. b. Patologi sistemik 3



Patologi sistemik mempelajari dan menjelaskan suatu penyakit tertentu berdasarkan pengaruhnya terhadap organ tersebut. Sebagai contoh penyakit kanker paru yang akan berpengaruh terhadap organ paru-paru. Pengetahuan dan teknik pemeriksaan penyebab penyakit terus berkembang dengan penggunaan teknologi. 3. Teknik pemeriksaan patologi a. Patologi makroskropik Penggunaan mata telanjang dalam mempelajari suatu penyakit sebelum mikroskop digunakan dalam patologi merupakan teknik yang hingga saat ini masih digunakan. Kelainan-kelainan makroskopik dari berbagai penyakit sangat khas sehingga bila diinterpretasikan oleh ahli patologi yang berpengalaman akan diperoleh kesimpulan berupa diagnosa yang tepat. Salah satu pemeriksaan patologi makroskopik yang masih digunakan hingga saat ini seperti pemeriksaan otopsi. Pemeriksaan otopsi adalah pemeriksaan bedah mayat berasal dari bahasa Yunani yang berarti "lihat dengan mata kepala sendiri". Otopsi terdiri dari dua jenis yaitu: 1) Otopsi klinis Dilakukan untuk tujuan pembelajaran dan riset mencari penyebab medis kematian juga untuk kasus kematian yang tidak diketahui atau tidak pasti. 2) Otopsi forensik Dilakukan atas permintaan penegak hukum ketika penyebab kematian mungkin menjadi masalah pidana. b. Mikroskop cahaya Pemeriksaan patologi yang lebih tepat saat ini dilakukan dibanding dengan pemeriksaan makroskopik adalah pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya. Diperlukan jaringan yang dipotong tipis sehingga cahaya mampu menembusnya dan bilamana diperlukan dilakukan pengecatan untuk memperjelas perbedaan dari bagian jaringan atau sel yang akan diamati. 1) Histokimiawi Histokimiawi adalah ilmu yang mempelajari kondisi kimiawi sebuah jaringan setelah mendapatkan perlakuan menggunakan reagen khusus. Dengan teknik ini secara mikroskopik berbagai keadaan jaringan dan sel terlihat. 2) Mikroskop elektron 4



Penggunaan mikroskop elektron saat ini membuat pemeriksaan patologi menjadi lebih luas. Pemeriksaan dapat dilakukan hingga tingkat organel serta menemukan adanya virus dalam jaringan pun dapat dilakukan. 3) Teknik biokimia Salah satu teknik patologi yang sering dilakukan adalah pemeriksaan biokimia dengan tujuan untuk mempelajari jaringan tubuh dan cairan tubuh. Sebagaimana diketahui bahwa berbagai penyakit mempunyai dampak ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Dengan pemeriksaan biokimia akan tergambar kondisi keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh pasien sehingga terapi lebih tepat dapat diberikan. 4) Teknik hematologi Pemeriksaan ini ditujukan untuk mempelajari kelainan darah mulai dari teknik yang sederhana yaitu hitung sel sampai dengan pemeriksaan terkini dengan peralatan elektronik untuk memeriksa faktor koagulasi darah. 5) Kultur sel Berbagai media untuk melakukan kultur telah dikembangkan sehingga cakupan pemeriksaan patologi semakin meluas. Pemeriksaan kultur banyak dilakukan karena mudahnya memonitor respons sel pada berbagai media. 6) Mikrobiologi medis Pemberian antibiotik yang tepat pada pasien yang mengalami infeksi akan mudah dilakukan



dengan bantuan pemeriksaan



mikrobiologi



medis.



Organisme seperti jamur, bakteri, virus dan parasit akan mudah dikenali di bawah mikroskop setelah bahan pemeriksaan dicat secara khusus seperti pada nanah. Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui sensitivitas bakteri terhadap bermacam macam obat sehingga diketahui obat mana yang paling tepat diberikan pada pasien.



5



B. Anatomi Kandung Empedu



Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pir, yang terletak pada permukaan inferior dari hati pada garis yang memisahkan lobus kanan dan kiri, yang disebut dengan fossa kandung empedu. Ukuran kandung empedu pada orang dewasa adalah 7cm hingga 10 cm dengan kapasitas lebih kurang 30mL. Kandung empedu menempel pada hati oleh jaringan ikat longgar , yang mengandung vena dan saluran limfatik yang menghubungkan kandung empedu dengan hati. Kandung empedu dibagi menjadi empat area anatomi: fundus, korpus, infundibulum, dan kolum (Avunduk, 2002). Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus hepatosit, yang kemudian menuju ke duktus biliaris. Duktus yang besar bergabung dengan duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bermuara ke duktus hepatikus komunis di porta hepatis. 5 Ketika duktus sistika dari kandung empedu bergabung dengan duktus hepatikus komunis, maka terbentuklah duktus biliaris komunis. Duktus biliaris komunis secara umum memiliki panjang 8 cm dan diameter 0.5-0.9 cm, melewati duodenum menuju pangkal pankreas, dan kemudian menuju ampula Vateri (Avunduk, 2002). Suplai darah ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri sistika yang berasal dari arteri hepatikus kanan. Asal arteri sistika dapat bervariasi pada tiap tiap orang, namun 95 % berasal dari arteri hepatik kanan (Debas, 2004). Aliran vena pada kandung empedu biasanya melalui hubungan antara vena vena kecil. Vena-vena ini melalui permukaan kandung empedu langsung ke hati dan bergabung dengan vena kolateral dari saluran empedu bersama dan akhirnya menuju vena portal. Aliran limfatik dari kandung empedu menyerupai aliran venanya. Cairan limfa mengalir dari kandung empedu ke hati dan menuju duktus sistika dan masuk ke sebuah nodus atau sekelompok 6



nodus. Dari nodus ini cairan limfa pada akhinya akan masuk ke nodus pada vena portal. Kandung empedu diinervasi oleh cabang dari saraf simpatetik dan parasimpatetik, yang melewati pleksus seliaka. Saraf preganglionik simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf postganglionik simpatetik berasal dari pleksus seliaka dan berjalan bersama dengan arteri hepatik dan vena portal menuju kandung empedu. Saraf parasimpatetik berasal dari cabang nervus vagus (Welling & Simeone, 2009). C. Fisiologi Kandung Empedu Fungsi kandung empedu yaitu sebagai berikut: 1. Menyimpan dan mengkonsentrasikan cairan empedu yang berasal dari hati di antara dua periode makan. 2. Berkontraksi dan mengalirkan garam empedu yang merupakan turunan kolesterol, dengan stimulasi oleh kolesistokinin,ke duodenum sehingga membantu proses pencernaan lemak (Barett, 2006). Cairan empedu dibentuk oleh hepatosit, sekitar 600 mL per hari, terdiri dari air, elektrolit, garam empedu, kolesterol, fosfolipid, bilirubin, dan senyawa 6 organik terlarut lainnya. Kandung empedu bertugas menyimpan dan menkonsentrasikan empedu pada saat puasa. Kira-kira 90 % air dan elektrolit diresorbsi oleh epitel kandung empedu, yang menyebabkan empedu kaya akan konstituen organik (Avunduk, 2002). Di antara waktu makan, empedu akan disimpan di kandung empedu dan dipekatkan. Selama makan, ketika kimus mencapai usus halus, keberadaan makanan terutama produk lemak akan memicu pengeluaran kolesistokinin (CCK). Hormon ini merangsang kontraksi dari kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi, sehingga empedu dikeluarkan ke duodenum dan membantu pencernaan dan penyerapan lemak. Garam empedu secara aktif disekresikan ke dalam empedu dan akhirnya disekresikan bersama dengan konstituen empedu lainnya ke dalam duodenum. Setelah berperan serta dalam pencernaan lemak, garam empedu diresorpsi ke dalam darah dengan mekanisme transport aktif khusus di ileum terminal. Dari sini garam empedu akan kembali ke sistem porta hepatika lalu ke hati, yang kembali mensekresikan mereka ke kandung empedu. Proses pendaurulangan antara usus halus dan hati ini disebut sebagai sirkulasi enterohepatik (Sherwood, 2001). Dalam keadaan dimana kandung empedu tidak berfungsi dengan baik, garam empedu yang telah melalui sirkulasi enterohepatik sebagian besar akan disimpan di usus halus (Barett, 2006). D.



Patofisiologi Patofisiologi adalah ilmu yang mempelajari aspek dinamik dari proses penyakit.



Patofisiologi juga disebut ilmu yang mempelajari proses terjadinya perubahan atau gangguan



7



fungsi tubuh akibat suatu penyakit. Sebagai contoh adalah patofisiologi pada sistem Biliary.



1. Cholelithiasis a. Definisi Cholelithiasis atau Gallstones atau batu empedu adalah sebuah kondisi patologis yang terjadi di saluran empedu karena terganggunya metabolisme kolesterol, bilirubin, dan asam empedu sehinggga menyebabkan terjadinya pengendapan kolesterol atau bilirubin. Cholelithiasis dapat terbentuk oleh 3 mekanisme utama, yaitu supersaturasi kolesterol, sekresi bilirubin berlebihan, dan hipomotilitas kandung empedu. Cholelithiasis dapat ditemukan di dalam kandung empedu atau di dalam duktus koledokus, atau pada kedua-duanya. b. Etiologi Secara umum, sebenarnya penyebab utama dari penyakit cholelithiasis belum dapat ditentukan secara pasti. Namun, beberapa jurnal penelitian ilmiah yang membandingkan pasien yang memiliki cholelithiasis dan yang tidak memiliki cholelithiasis telah menunjukkan bahwa pembentukan cholelithiasis bersifat multifaktorial. Dalam kata lain, cholelithiasis dapat disebabkan dan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut diyakini tidak hanya menjadi penyebab terjadinya batu empedu, melainkan juga merupakan faktor resiko terjadinya cholelithiasis. Adapun beberapa faktor tersebut antara lain: 1) Kelebihan berat badan dan obesitas Menurut Rizky, dkk orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi memiliki resiko terkena cholelithiasis lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi karena semakin tinggi BMI maka kadar kolesterol yang terkandung di dalam kandung empedu meningkat dan menguras garam empedu serta mengurangi kontraksi/pengosongan kantung empedu. Menurut WHO, orang dengan BMI lebih besar atau sama dengan 25 kg/m2 termasuk kategori obesitas. 2) Kehamilan Kolelitiasis khususnya cholelithiasis kolesterol lebih sering terjadi pada wanita yang telah mengalami kehamilan lebih dari sekali (Multiple pregnancy). Hal ini 8



diduga akibat tingginya kadar progesteron pada saat kehamilan (Heuman, 2017). Hasil penelitian Febyan (2017) menunjukkan faktor risiko menurut fertil yang terbanyak adalah responden yang mempunyai 3 anak atau lebih sebesar 52 responden (52 %). 3) Gender Berdasarkan hasil penelitian Febyan (2017), Sebagian besar pasien cholelithiasis adalah perempuan dengan jumlah pasien sebanyak 64 orang atau 63 % dari total pasien yang diteliti. Sueta dan Warsinggih menyebutkan bahwa estrogen diduga berperan penting pada wanita dengan cholelithiasis dimana estrogen dapat menstimulasi reseptor lipoprotein hepar dan meningkatkan pembentukan kolesterol empedu serta meningkatkan diet kolesterol 4) Diabetes melitus, Intoleransi glukosa dan resistensi insulin merupakan 2 faktor penyebab terjadinya diabetes melitus. Keadaan resistensi insulin atau sindrom metabolik dan diabetes melitus tipe 2 menyebabkan kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma (dyslipidemia). Hal ini akan mendorong terjadinya peningkatan kadar kolesterol di dalam tubuh, sehingga dapat meningkatkan resiko terjadinya supersaturasi kolesterol di dalam saluran empedu yang dapat menyebabkan cholelithiasis. Sueta dan Warsinggih menyatakan bahwa dengan uji statistik didapatkan hubungan yang bermakna (p=0,001) antara penderita diabetes melitus dengan kejadian batu empedu (tabel 4), yang mana nilai rasio prevalensi 5,81. Hal ini menunjukan bahwa penderita diabetes melitus merupakan risiko potensial untuk terjadinya batu empedu 5 kali lebih besar daripada orang yang tidak menderita diabetes melitus. Patogenesis penyakit batu empedu dengan diabetes melitus dapat terjadi melalui mekanisme berikut, yaitu cairan empedu orang dengan diabetes melitus mudah jenuh dengan kolesterol, volume kandung empedu pada keadaan puasa lebih besar pada pasien dengan diabetes melitus, ejeksi fraksi kandung empedu berkurang pada kasus diabetes, serta terdapat faktor yang memodifikasi nukleasi kristal dan sekresi lendir dari kandung empedu yang dapat membentuk batu empedu.



9



5) Hiperlipidemia Hiperlipidemia adalah meningkatnya konsentrasi berbagai lipid dalam darah, yaitu trigliserida ata kolesterol total dalam plasma atau keduanya, dengan nilai trigliserida > 2,1 mmol/L, nilai kolesterol total > 6,5 mmol/L. Kriteria tersebut berdasarkan PERKENI 2006 atau yang dianjurkan ADA (American Diabetes Association). Menurut analisis data statistik penelitian oleh Sueta dan Warsinggih, didapatkan hubungan yang bermakna antara kenaikan kadar trigliserida dan kolesterol dengan potensi terserang penyakit cholelithiasis. Hampir semua pasien dengan hipertrigliseridemia memiliki cairan empedu jenuh yang tinggi pada kandung empedunya meskipun pasien tersebut kurus, hal ini mungkin merupakan salah satu penyebab meningkatnya kejadian batu empedu pada pasien dengan hipertrigliserida 6) Pola diet Kolesterol merupakan komponen dari lemak. Jika kolesterol yang terdapat dalam cairan empedu dapat mengendap dan mengeras menjadi batu. Oleh karena itu menurut Rizky dkk, konsumsi makanan yang mengandung lemak hewani berisiko untuk menderita cholelithiasis. Selain itu, kehilangan berat badan secara cepat



juga berpotensi meningkatkan



resiko terserang



cholelithiasis. Kehilangan berat badan secara cepat dapat menyebabkan terjadinya gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kantung empedu. Gangguan terhadap kondisi pada organ empedu dapat menyebabkan terjadinya pengendapan cairan empedu yang berakibat pada terbentuknya batu empedu. 7) Faktor Usia Resiko



untuk



terkena



cholelithiasis



meningkat



sejalan



dengan



bertambahnya usia. Orang dengan usia > 40 tahun cenderung lebih mudah untuk terkena penyakit cholelithiasis dibandingkan dengan usia yang lebih muda. Hal ini disebabkan oleh dyslipoproteinemia yang menyebabkan meningkatnya



sekresi



kolesterol



ke



dalam



empedu



sesuai



dengan



bertambahnya usia. Selain itu, empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin bertambah. Akan tetapi, hasil penelitian berbeda ditunjukkan oleh



10



Sueta dan Warsinggih dalam sebuah jurnal yang menemukan bahwa sebanyak 86 pasien (75,4%) dengan batu empedu yang berusia di bawah 40 tahun dan 28 (24,6%) berusia lebih dari 40 tahun. Berdasarkan faktor-faktor resiko yang diperoleh melalui beberapa jurnaljurnal penelitian, ada beberapa gambaran umum yang dapat ditarik sebagai penyebab munculnya cholelithiasis atau batu empedu. Albab (2013) dalam penelitiannya



menyebutkan bahwa berbagai faktor yang mempengaruhi



pembentukan batu empedu, diantaranya: 1) Eksresi garam empedu Setiap faktor yang menurunkan konsentrasi berbagai garam empedu atau fosfolipid dalam empedu. Asam empedu dihidroksi atau dihydroxy bile acids adalah kurang polar dari pada asam trihidroksi. Jadi dengan bertambahnya kadar asam empedu dihidroksi mungkin menyebabkan terbentuknya batu empedu. 2) Kolesterol empedu Apa bila binatang percobaan diberi diet tinggi kolestrol, sehingga kadar kolesterol dalam vesika vellea sangat tinggi, dapatlah terjadi batu empedu kolestrol yang ringan. Kenaikan kolestreol empedu dapat dijumpai pada orang dengan kondisi obesitas. 3) Substansia mukus Perubahan dalam banyaknya dan komposisi substansia mukus dalam empedu mungkin penting dalam pembentukan batu empedu. 4) Pigmen empedu Pada anak muda terjadinya batu empedu mungkin disebabkan karena bertambahnya pigmen empedu. Kenaikan pigmen empedu dapat terjadi karena hemolisis yang kronis. Eksresi bilirubin adalah berupa larutan bilirubin glukorunid. 5) Infeksi



11



Adanya infeksi dapat menyebabkan krusakan dinding kandung empedu, sehingga menyebabkan terjadinya stasis yang kemudian berakibat pada pembentukan batu empedu.



c. Proses/Manifestasi Dalam perkembangannya, penyakit cholelithiasis sebagian besar diidentifikasi karena gaya hidup yang tidak sehat. Konsumsi makanan yang kaya lemak, kurangnya aktivitas fisik, dan melakukan diet yang menyebabkan penurunan berat badan secara instan. Penyakit ini berkembang melalui beberapa tahapan. Berikut penjabarannya. 1) Pre Patogenesis Etiologi dari cholelithiasis belum dapat diidentifikasi secara sempurna oleh para peneliti. Akan tetapi, berdasarkan beberapa penelitian yang ada penyebab terjadinya cholelithiasis berhubungan erat dengan gaya hidup manusia. Hal ini disebut dengan faktor resiko. Tingginya konsumsi makanan berlemak dan kurangnya aktivitas fisik dapat menjadi penyebab munculnya cholelithiasis. Lemak-lemak ini mengandung komponen yang disebut dengan kolesterol. Kadar kolesterol yang berlebih di dalam tubuh akan mendorong organ hati untuk bekerja memproduksi cairan empedu agar nantinya kelebihan kolesterol dapat diekskresikan dalam bentuk garam empedu. Akan tetapi, jika kadar kolesterol terlalu tinggi menyebabkan cairan empedu menjadi mengendap dan membentuk batu. Selain itu, kurangnya aktivitas fisik juga menyebabkan menurunnya daya metabolism tubuh sehingga semakin meningkatkan faktor resiko terjadinya cholelithiasis. Dalam tahap prepatogenesis, tubuh sudah mulai mengalami kelebihan kolesterol, tetapi system organ yang terkait masih dapat mengatasinya sehingga belum ada gejala yang dirasakan oleh penderita cholelithiasis. Oleh karena itu, beberapa jurnal penelitian ilmiah menyebutkan bahwa dalam tahap prepatogenesis cholelithiasis umumnya tidak menimbulkan gejala atau asimptomatik. 2) Patogenesis



12



Kolesterol bersifat tidak larut dalam air sehingga untuk menjadikannya larut dalam air dan dapat diekskresikan harus melalui tahap agregasi garam empedu dan lesitin. Berdasarkan analisis penelitian dari Sueta (2013), dalam tahap patogenesis, kondisi kolesterol yang berlebihan menyebabkan hati terus menerus didorong untuk memproduksi cairan empedu dalam jumlah yang tinggi. Jika kadar kolesterol melebihi kapasitas solubilisasi empedu (supersaturasi), maka kolesterol tidak lagi mampu berada dalam keadaan terdispersi



sehingga



terbentuklah



gumpalan



kristal-kristal



kolesterol



monohidrat yang padat. Menurut Sueta (2013), proses pertama dalam pembentukan batu empedu adalah sekresi empedu jenuh dengan kolesterol oleh hati. Langkah kedua dalam pembentukan batu empedu adalah kristalisasi. Pengendapan kristal kolesterol memulai pembentukan batu empedu. Ketika empedu pada kandung empedu menjadi jenuh dengan kolesterol, maka terjadi nukleasi, flokulasi, dan pengendapan kristal kolesterol, keadaan ini menyebabkan inisiasi pembentukan batu empedu. Terdapatnya promotor kristalisasi yang berlebihan dan kekurangan relatif dari inhibitor kristalisasi juga penting dalam inisiasi dan pembentukan nukleasi kristal batu empedu. Promotor dan inhibitor sebagian besar berupa protein seperti glikoprotein lender Dalam



beberapa



kasus,



penderita



cholelithiasis



mengeluhkan



timbulnya nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikondrium. Selain itu, rasa nyeri berupa kolik bilier yang muncul selama lebih dari 15 menit dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, scapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Akan tetapi, beberapa penelitian menyebutkan bahwa terkadang cholelithiasis terjadi secara tanpa gejala sehingga tidak sengaja ditemukan dalam prosedur USG yang tidak bertujuan untuk memeriksa cholelithiasis. Jika serangan nyeri terjadi berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). 3) Pasca Patogenesis Setelah dilakukan perubahan pola makan atau pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi) maka penderita cholelithiasis dapat sembuh secara sempurna. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa penyakit ini dapat 13



muncul kembali jika tidak dilakukan penyesuaian gaya hidup. Menurut Dr. dr. Adedoatus Yuda Handaya, SpB-KBD, terdapat beberapa macam diet yang dapat dilakukan oleh pasien batu empedu, yakni diet makan sehat yang rendah lemak, diet aman (menurunkan berat badan 0,5-1 kg tiap minggu), mengurangi makanan dengan kadar gula tinggi, dan mengurangi makanan yang mengandung lemak hewani dan perbanyak konsumsi lemak nabati, dan konsumsi air putih yang cukup (2 liter) setiap hari. d. Tanda dan Gejala (Sign and Symptomps) Menurut Hasanah (2015), gejala dan tanda yang muncul tidak dapat diidentifikasi secara jelas dan nyata. Tingkat keparahan yang muncul bergantung pada ukuran dan jumlah batu empedu yang terbentuk serta lokasinya. Berikut gejala dan tanda yang dapat muncul pada penderita choleliathisis. 1) Gejala Beberapa



penelitian



menunjukkan



bahwa



cholelithiasis



tidak



memunculkan gejala pada penderitanya atau asimptomatik. Namun, menurut Hasanah (2015) gejala yang timbul biasanya karena batu empedu menyumbat saluran empedu sehingga menimbulkan kolik bilier atau kolik empedu. Beberapa gejala yang muncul adalah nyeri berat di daerah perut bagian kanan atas dan rasa mual yang menyerang penderita. 2) Tanda Tanda-tanda yang muncul pada penderita cholelithiasis juga tidak dapat diidentifikasi secara jelas. Beberapa tanda yang seringkali muncul adalah demam, muntah, hingga penyakit kuning (penyakit ini muncul karena terjadinya sumbatan kronis akibat adanya batu pada saluran empedu). Hal ini juga dapat menyebabkan munculnya tanda kulit dan bagian putih mata berubah menjadi warna kekuning-kuningan. Selain itu, air seni dan tinja berubah menjadi kecoklatan. Selain itu, tanda-tanda lain yang mungkin menjadi indikasi terjadinya cholelithiasis adalah adanya bercak-bercak hitam atau tahi lalat di muka, tangan, dan ada lapisan putih/kuning pada pangkal lidah, dan beberapa tanda-tanda lain.



14



e. Contoh Radiograf dan Video



Source:http://digilib.unhas. ac.id/uploaded_files/tempo rary/DigitalCollection/OT A1NDMwMjVmODY2OT Y4Y2ZjMWM3MWI1MD llNGFiMGQyYWVlMTU 5MQ==.pdf



USG (Dr. dr. Adedoatus Yuda Handaya, SpB-KBD)



f. Tindakan preventif Berdasarkan analisis faktor-faktor penyebab yang dilakukan, gaya hidup memegang peran besar dalam kondisi klinis cholelithiasis. Oleh karena itu, tindakan preventif sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah gaya hidup, termasuk melalui perubahan pola makan dan aktivitas fisik. Mengurangi makanan berlemak, memenuhi kebutuhan cairan harian dengan air putih minimal 2 Liter per hari, mengonsumsi makanan rendah gula, melakukan diet sehat (menurunkan berat badan secara alami sebesar 0,5 sampai 1 kilogram per minggu), dan cara-cara lain. Selain itu, aktivitas fisik juga sangat penting untuk menjaga kadar lemak yang terkandung di dalam tubuh kita agar tidak melampaui batas yang akhirnya dapat meningkatkan resiko terkena penyakit cholelithiasis. 2. Cholecystitis acuta a. Definisi Peradangan pada kandung empedu dapat menjadi akut, kronis, atau akut serta kronis, dan hampir semua kasus cholecystitis bersamaan dengan terjadinya cholelithiasis. Pada cholecystitis akut, kandung empedu umumnya akan tegang 15



dan membesar, dan diasumsikan memiliki bercak berwarna merah cerah atau violet. Hal ini disebabkan oleh adanya perdarahan subserosal yang terjadi akibat peradangan tersebut. Peradangan akut yang terjadi di empedu akibat pengaruh batu disebut dengan cholecystitis acuta dan dipicu oleh obstruksi leher kandung empedu atau saluran kistik (cystic duct). Cholecystitis ini merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada penderita cholecystitis dan merupakan penyebab utama dilakukannya proses cholecystectomy. b. Etiologi Cholecystitis acuta awalnya muncul sebagai akibat dari adanya iritasi secara kimiawi dan peradangat pada dinding kandung empedu yang berfungsi untuk pengaturan obstruksi aliran empedu. Aktivitas phospolipases yang berasal dari mukosa menghidrolisis lesitin bilier menjadi lysolecithin yang beracun bagi mukosa. Glycoprotein yang melindungi lapisan mukosa terganggu, sehingga menyebabkan tidak terlindunginya epitel mukosa dari fungsi detergent atau pembersih daripada garam empedu. Prostaglandin dilepaskan di dalam dinding empedu yang membengkak yang menyebabkan terjadinya peradangan pada mukosa dan mural. Pembengkakan dan peningkatan tekanan intraluminal juga dapat mempengaruhi peredaran darah menuju mukosa. Hal ini terjadi tanpa adanya aktivitas bakteri tetapi dalam perkembangannya tidak menutup kemungkinan akan terjadi kontaminasi bakteri. Dalam beberapa kasus, 5%-12% kantong empedu yang diangkat karena Cholecystitis akut tidak mengandung batu empedu. Hal ini berarti ada kemungkinan bahwa tidak selamanya Cholecystitis disebabkan oleh adanya cholelithiasis melainkan kebanyakan kasus terjadi pada pasien yang sakit parah. Beberapa predisposisi yang paling umum pada penyakit ini adalah: 1) Operasi nonbiliary 2) Trauma parah 3) Luka bakar parah 4) Sepsis 16



Faktor lain yang berkontribusi termasuk dehidrasi, stasis kandung empedu dan lumpur, gangguan pembuluh darah, dan kontaminasi bakteri. c. Proses/Manifestasi Cholecystitis merupakan sebuah peradangan yang terjadi di kandung empedu dan dapat disebabkan banyak faktor. Secara garis besar peradangan ini dapat berupa peradangan mekanis dan peradangan kimiawi. Peradangan mekanis disebabkan oleh adanya tekanan intralumen dan regangan yang menimbulkan iskemia pada mukosa dan dinding kandung empedu. Sedangkan peradangan kimiawi terjadi karena adanya pelepasan lisolesitin akibat adanya aktivitas fosfolipase pada lesitin di dalam empedu serta pengaruh jaringan lokal lainnya. Selain kedua hal tersebut, peradangan bakteri juga diduga sebagai penyebab munculnya cholecystitis. Penderita dengan cholelithiasis memiliki resiko yang besar untuk dapat mengidap cholecystitis karena batu empedu dapat menyumbat saluran empedu sehingga menyebabkan terjadinya aktivitas bakteri yang menimbulkan peradangan akut. Pada tahapan awal, penyakit ini terjadi tanpa adanya gejala atau asimptomatik karena batu empedu yang menyumbat saluran empedu tidak langsung menyebabkan terjadinya peradangan. Namun, setelah terjadinya peradangan, pasien penderita cholecystitis umumnya mengeluhkan rasa nyeri pada bagian perut atas. Kemudian, setelah diamati melalui USG dapat diidentifikasi adanya batu empedu dan penebalan pada dinding kandung empedu. Hal tersebut dapat menjadi indikasi bahwa telah terjadi cholecystitis. Setelah dilakukan pengobatan atau mungkin pembedahan melalui proses kolesistektomi, maka pasien telah dapat dinyatakan sembuh secara sempurna. d. Tanda dan Gejala (Sign and Symptomps) Cholecystitis akut umumnya dikenali dengan adanya nyeri bilier yang berlangsung selama lebih dari 6 jam. Sakit yang dirasakan terletak di perut, bagian atas, dan sering menyebar ke bahu bagian kanan. Selain itu gejala-gejala pada penyakit cholicystitis dapat berupa rasa mual dan lesu yang berlebihan. Adapun tanda-tanda yang muncul pada penyakit ini antara lain, demam dan munculnya leukositosis. Selain itu, penyakit ini dapat terdeteksi lewat prosedur pemeriksaan 17



radiografi konvensional maupun USG. Umumnya, penyakit ini terjadi akibat adanya penyumbatan saluran empedu oleh batu empedu sehingga akhirnya terjadi peradangan. Oleh karena itu, pada citra USG dapat teridentifikasi adanya batu empedu yang menjadi indikasi terjadinya cholelithiasis yang dapat berakibat pada munculnya cholecystitis. Selain itu, dalam gambaran USG maupun radiografi konvensional juga dapat teramati adanya penebalan pada dinding kandung empedu yang menjadi indikasi bahwa telah terjadi peradangan pada saluran empedu. d. Contoh Radiograf+Video



INCLUDEPICTURE "https://www.ajronline.org/na101/home/literatum/publisher/arrs/journals/content/a jr/2011/ajr.2011.196.issue4/ajr.10.4340/production/images/small/04_10_4340_06a.gif" MERGEFORMATINET



\* INCLUDEPICTURE



"https://www.ajronline.org/na101/home/literatum/publisher/arrs/journals/content/a jr/2011/ajr.2011.196.issue4/ajr.10.4340/production/images/small/04_10_4340_06a.gif"



\*



MERGEFORMATINET https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1124163/, 18



INCLUDEPICTURE "https://www.ajronline.org/na101/home/literatum/publisher/arrs/journals/content/a jr/2011/ajr.2011.196.issue4/ajr.10.4340/production/images/small/04_10_4340_07b.gif" \* MERGEFORMATINET INCLUDEPICTURE "https://www.ajronline.org/na101/home/literatum/publisher/arrs/journals/content/a jr/2011/ajr.2011.196.issue4/ajr.10.4340/production/images/small/04_10_4340_07b.gif" \*



MERGEFORMATINET https://www.ajronline.org/doi/1 0.2214/AJR.10.4340 e. Tindakan preventif Berdasarkan analisis yang dilakukan, cholecystitis acuta sangat berkaitan dengan patologi cholelithiasis. Oleh karena itu, tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan cara mencegah terbentuknya batu empedu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengonsumsi makanan rendah lemak, menjaga berat badan ideal, senantiasa melakukan aktivitas fisik, dan melakukan diet secara sehat dengan menurunkan berat badan secara bertahap.



19



3. Cholesistitis Chronic a. Definisi Cholesistitis Chronic /Kolesistitis kronis terjadi akibat serangan berulang dari kolesistitis akut, yang menyebabkan terjadinya penebalan dinding kandung empedu dan penciutan kandung empedu. Pada akhirnya kandung empedu tidak mampu menampung empedu. Sering terjadi pada wanita, dan angka kejadian meningkat pada usia 40 tahun. b. Etiologi penyumbatan pada saluran empedu, pembengkakan dan peradangan pada kantung empedu. c. Proses /Manfestasi Sebagian besar kolesistitis disebabkan oleh penyumbatan pada saluran empedu, sehingga cairan empedu terperangkap di dalam kantong empedu. Penyumbatan tersebut memicu terjadinya iritasi pada kantong empedu, yang kemudian menyebabkan pembengkakan dan peradangan. Pada beberapa kasus, kantung empedu yang membengkak juga dapat terinfeksi oleh bakteri. d. Tanda dan gejala (Sign and Symptomps) 1) Gangguan pencernaan menahun 2) Nyeri perut yang tidak jelas 3) Sendawa e. Tindakan preventif Seseorang yang pernah mengalami serangan Cholesistitis Chronic dan kandung empedunya belum diangkat, sebaiknya mengurangi asupan lemak dan menurunkan berat badannya. f. Contoh radiograf



4. Sirosis Billier Primer a. Definisi



20



Sirosis Billier Primer merupakan peradangan saluran empedu pada hati yang membentuk jaringan parut dan menyebabkan pengobatan. Biasanya menyerang wanita usia 35-60 tahun. b. Etiologi Peradangan saluran empedu dihati c. Proses Peradangan saluran empedu dihati. Peradangan menghalangi pengaliran empedu ke hati. Karena itu empedu tetap berada dalam sel hati atau mengalir ke aliran darah. Sejalan dengan penyebarannya peradangan ke seluruh bagian hati, akan terbentuk jaringan parut yang meliputi selutuh bagian hati d. Tanda dan gejala 1) Diare dsertai tinja berminyak 2) Kolesterol tinggi 3) Pembesaran hati 4) Pembesaran limpa 5) Memiliki endapan kuning kecil di kulitnya / kelopak 6) hipotiroidisme e. Tindakan preventif : 1) Mengonsumsi makanan sehat bergizi seimbang. 2) Rutin berolahraga ringan, misalnya berjalan kaki. 3) Berhenti merokok dan tidak mengonsumsi minuman beralkohol. 4) Mengonsumsi obat yang diresepkan dokter sesuai anjuran pemakaian. f. Contoh radiograf



5. Ischemic Cholangiopathy a. Definisi 21



Ischemic Cholangiopathy atau kolangiopati iskemik adalah iskemia fokal dari pohon empedu dari setiap etiologi dimana pleksus arteri peribiliaris hancur b. Etiologi Penyebab umum kolangiopati iskemik : 1) Cedera vaskular selama transplantasi hati ortotopik atau koleksistektomi laparoskopi 2) Cedera penolakan cangkok 3) Kemoembolisasi 4) Terapi radiasi 5) Trombosis akibat gangguan hiperkoagulabilitas c. Proses /Manifestasi Ischemic Cholangiopathy sering terjadi pada orang yang melakukan transplantasi hati. Penolakan setelah transplantasi hati meningkatkan risiko kolangiopati iskemik dengan durasi iskemia yang lebih lama, yaitu saat organ tidak menerima aliran daarah (pengangkatan sampai pemasangan cangkok) d. Tanda dan gejala (Sign and Symptomps) 1) Kulit dan bagian putih mata menjadi kuning (jaundice) 2) Air kemih menajdi hitam 3) Kotoran menjadi pucat 4) Rasa gatal sering terjadi, biasanya dimulai dari tangan dan kaki 5) Infeksi pembuluh empedu (cholangitis) bisa juga terjadi, menghasilkan sakit perut, menggigil dan demam e. Tindakan preventif Setelah transplantasi hati, pengobatan mencakup terapi imunosupresif dan mungkin pelepasan balon endoskopik dari struktur biliaris atau transplantasi kembali.



f. Contoh radiograf



22



6. Kolestasis a. Definisi Kolestasis adalah penyakit pada hati yang disebabkan aliran empedu dari hati melambat atau tersumbat sehingga empedu dan bilirubin menumpuk di aliran darah. Kondisi ini bisa terjadi pada usia berapapun, bahkan pada kondisi bayi yang baru lahir. Terdapat dua jenis kolestasis yaitu kolestasis intrahepatik (dalam hati) dan kolestasis ekstrahepatik (luar hati) b. Etiologi 1) penyebab yang berasal dari dalam organ hati : a) virus hepatitis b) penyakit hati terkait alkohol c) peradangan saluran empedu d) infeksi bakteri (sepsis) 2) penyebab yang berasal dari luar organ hati : a) pankreatitis b) masalah saluran empedu seperti batu empedu, kista atau tumor c. Proses /Manifestasi Koleostasis



menyebabkan



peningkatan



bilirubin



dalam



darah



atau



hiperbilirubinema karena tersumbatnya aliran empedu dan bilirubin. Manifestasi klinis yang dapat dijumpai pada pasien kolestasis adalah ikterus atau kulit mukosa dan mukosa berwarna ikterus yang berlangsung lebih dari dua minggu, urin berwarna gelap dan tinja berwarna pucat. d. Tanda dan gejala (Sign and Symptomps) 1) Gatal yang berlebihan 2) Kulit dan mata kuning (jaundice) 3) Urine berwarna gelap 23



4) Tinja berwarna terang dan beraroma menyengat 5) Demam, menggigil, nafsu makan menurun e. Tindakan preventif : 1) Berhenti minum alkohol 2) Konsumsi kalsium, vitamin D, atau vitamin K 3) Minum obat untuk menurunkan bilirubin 4) Mengubah pola makan menajadi lebih sehat dan menurunkan kadar kolestrol 5) Mendapatkan vaksin hepatitis A dan B 7. Primary Sclerosing Cholangitis (PSC) a. Definisi Primary Sclerosing Cholangitis (PSC) atau sering disebut juga Kolangitis Sklerotik Primer Merupakan peradangan saluran empedu di dalam dan di luar hati yang mengakibatkan terbentuknya jaringan parut dan menyebabkan penyumbatan. Yang mana penyumbatan ini akan mengakibatkan adanya sirosis. Di dalam penyakit ini pasien sekitar 50% membutuhkan transplantasi hati, b. Etiologi Primary Sclerosing Cholangitis (PSC) baisanya dipengaruhi oleh imunologi, dan non-imunologi seperti infeksi, toksin dan iskemia (keadaan kurangnya aliran darah ke organ tubuh tertentu). Diagnosis PSC dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan ERCP (Endosopic Retrogade Cholangiopancreatography) atau kolangiografi Percutaneus. Pada pemeriksaan ERCP rontgen dilakukan setelah penyuntikan bahan radiopaque ke dalam saluran empedu melalui saluran endoscopy. Jika terjadi peningkatan kembali bilirubin setelah pemasangan stent, biasanya dalam tahap lanjutan akan dilakukan evaluasi ulang Kembali dengan ERCP dan Ketika tidak ditemukan peningkatan Kembali akan dilakukan pemeriksaan MRCP (magnetic resonance cholangiopancreatography). c. Proses /Manifestasi Kolangitis Sklerotik Primer atau sering disebut juga Primary Sclerosing Cholangitis (PSC) ditandai oleh gatal-gatal dan jaundice (penyakit kuning) , lalu 24



terjadi inflamasi (peradangan) dan fibrosis obliterative dari ductus bilier intrahepatik dan ekstrahepatik yang menyebabkan pelebaran segmen yang tidak terkena. beberapa gambaran PSC menunjukkan bahwa immunologi berperan terkait adanya penyakit ini. Perjalanan penyakit PSC pada sebagian besar pasien berkembang lambat, namun tidak dipungkiri juga dapat berkembang cepat pada pasien. d. Tanda dan gejala (Sign and Symptomps) Gejala PSC dapat berupa keluhan yang berkaitan spesifik dengan hepar seperti gatal, dan nyeri perut. Tetapi gejala ini juga dapat nonspesifik seperti fatigue (kelelahan). Biasanya komplikasi seperti infeksi berulang dari saluran empedu, kanker saluran empedu terjadi pada 10-15 % penderita. e. Tindakan preventif Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan cara mencegah terbentuknya batu empedu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menjaga pola diet seimbang, hindari makanan berlemak khususnya yang mengandung kolestrol tinggi, minuman beralkohol dan pola hidup sehat seperti rutin berolahraga. f. Contoh radiograf



GAMBAR a adalah pemeriksaan MRCP. GAMBAR b adalah pemeriksaan ERCP



8. Sirosis Hati a. Definisi 25



sirosis hati adalah penyakit hati kronis yang ditandai oleh adanya peradangan difus pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi sel hati disertai nodul dan merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati. b. Etiologi Etiologi Menurut FKUI (2001), penyebab sirosis hepatis antara lain : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Malnutrisi Alkoholisme Virus hepatitis Kegagalan jantung yang menyebabkan bendungan vena hepatika Penyakit Wilson (penumpukan tembaga yang berlebihan bawaan) Hemokromatosis (kelebihan zat besi) Zat toksik



Ada 3 tipe sirosis atau pembetukan parut dalam hati : 1. Sirosis Laennec (alkoholik, nutrisional), dimana jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis. 2. Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya. 3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati disekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis). c. Proses / Manifestasi Menurut Smeltzer & Bare (2001) manifestasi klinis dari sirosis hepatis antara lain: 1. Pembesaran Hati Pada awal perjalanan sirosis hati, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba berbenjol-benjol (noduler). 2. Obstruksi Portal dan Asites Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena porta dan dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan perlintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan 26



semacam ini cenderung menderita dyspepsia kronis dan konstipasi atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan. Cairan yang kaya protein dan menumpuk dirongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh. 3. Varises Gastrointestinal Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral dalam sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh portal ke dalam pembuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah diseluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises atau hemoroid tergantung pada lokasinya. Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis ringan; sisanya akan mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung dan esofagus. 4. Edema Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium. 5. Defisiensi Vitamin dan Anemia Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yang tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi hati turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari. 6. Kemunduran Mental



27



Manifestasi klinis lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara. d. Gejala dan Tanda 1. Gejala Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain.1 Bila sirosis hati sudah lanjut, gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan deman tak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma. 2. Tanda a. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita sirosis. Timbulnya ikterus (penguningan ) pada seseorang merupakan tanda bahwa ia sedang menderita penyakit hati. Penguningan pada kulit dan mata terjadi ketika liver sakit dan tidak bisa menyerap bilirubin. Ikterus dapat menjadi penunjuk beratnya kerusakan sel hati. Ikterus terjadi sedikitnya pada 60 % penderita selama perjalanan penyakit. b.Timbulnya asites dan edema pada penderita sirosis. Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air menumpuk pada kaki (edema) dan abdomen (ascites). Faktor utama asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus. Edema umumnya timbul setelah timbulnya asites sebagai akibat dari hipoalbuminemia dan resistensi garam dan /air. c. Hati yang membesar Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dan ke bawah. Hati membesar sekitar 2-3 cm, dengan konsistensi lembek dan menimbulkan rasa nyeri bila ditekan. d. Hipertensi portal. Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal yang memetap di atas nilai normal. Penyebab hipertensi portal adalah peningkatan resistensi terhadap aliran darah melalui hati e. Tindakan Preventif  



Melakukan vaksin hepatitis B. Tidak berbagi penggunaan jarum suntik dengan orang lain.







Memilih tempat tato dan tindik yang terpercaya dan menggunakan jarum sekali pakai.







Melakukan hubungan seksual yang aman, yaitu tidak bergonta-ganti pasangan dan menggunakan kondom. 28







Menghindari konsumsi minuman beralkohol.







Menjaga berat badan ideal dengan konsumsi makanan dengan gizi seimbang dan rutin berolahraga.







Mengonsumsi obat sesuai petunjuk dan anjuran dokter.



f. Contoh Radiograf



9.Hemokromatosis Primer a. Definisi Istilah hemokromatosis diperkenalkan oleh von Recklinghausen pada akhir abad ke-19, dihubungkan dengan kelainan klinis sebagai akibat kelebihan jumlah keseluruhan zat besi dalam tubuh dan kegagalan fungsi organ akibat keracunan zat besi. Hemokromatosis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan akumulasi zat besi secara berlebihan di dalam tubuh. Hemokromatosis Herediter adalah kelainan resesif autosomal, yang berarti seseorang memiliki kemungkinan untuk menderita penyakit ini hanya apabila mendapat warisan gen abnormal dari kedua orang tuanya. Hal ini juga bisa disebabkan oleh mutasi, yang mengacu pada perubahan untaian rantai basa suatu sel DNA. Kondisi ini terjadi ketika absorbsi harian zat besi dari usus jumlahnya melebihi jumlah yang diperlukan untuk mengganti zat besi yang hilang. Karena tubuh yang normal tidak dapat meningkatkan ekskresi zat besi, hal ini menyebabkan penumpukan zat besi dalam tubuh. Penderita hemokromatosis herediter mungkin tidak memiliki gejala atau tanda. Namun, apabila kondisinya berat, hal ini dapat menyebabkan penyakit seperti gagal jantung dan diabetes melitus. Hemokromatosis terjadi saat tubuh menyerap terlalu banyak zat besi dari makanan baik makanan alami maupun bahan pangan yang diperkaya dengan zat besi. Hal ini menyebabkan bertambahnya jumlah zat besi di dalam tubuh secara bertahap dan menumpuk di jaringan dan organ tubuh, yang dikenal sebagai kelebihan zat besi.  Jika ini terjadi terjadi terus menerus menerus selama bertahun-tahun bertahun-tahun tanpa mendapatkan perhatian medis dan perawatan yang tepat, maka kelebihan zat besi ini dapat merusak tubuh. Hemokromatosis sebagian besar disebabkan karena faktor genetis, seseorang yang mewarisi gen dengan sifat ini dari kedua orang tuanya dapat menderita hemokromatosis pada suatu saat nanti. Defek ini sebenarnya sudah ada sejak lahir, namun jarang sekali menampakkan tanda dan gejela sebelum menjelang dewasa. Kondisi ini dikenal dengan hemokromatosis herediter 29



b. Etiologi 1. Disregulasi absorpsi besi Banyak jenis mutasi yang dapat meningkatkan absorpsi besi, diantaranya mutasi gen HFE, transferrin receptor-2, ferroportin-1, danhepcidin. Namun, mekanismenya belum jelas. Hanya diketahui bahwapada hemokromatosis terjadi mutasi HFE dan didapati peningkatanhepcidin. 2. Ketidakefektifan eritropoesis Ada hubungan kuat antara tidak efektifnya eritropoeisis denganpeningkatan besi tubuh total. Jumlah besi tubuh meningkat hebatpada pasien yang sering ditransfusi. Mekanisme eritropoesis aktif dandestruksi prekursor sel darah merah pada sumsum tulang yang dapatmerangsang absorbsi besi masih belum jelas. Namun, pada pasienthalasemia, anemia diseritropoesis herediter, dan defisiensi piruvatkinase dijumpai gangguan pada penyimpanan besi. 3. Transfusi atau terapi besi Besi yang berlebihan dapat disebabkan oleh iatrogenik. Satu milimeter eritrosit berisi 1 mg besi sehingga transfusi sebesar 450 mldarah utuh atau 200 ml mldarah utuh atau 200 ml sel darah merah dapat meni sel darah merah dapat meningkatkan 200 ngkatkan 200 mgbesi tubuh total yang tidak dieksresikan. Jadi, pasien yang ditransfusi 2labu per bulan, akumulasi besi per tahun berkisar 4,8 mg. Pada pasienyang eritropoesisnya sudah tidak berperan dengan baik, kebutuhanakan transfusi sangat penting, sehingga kelebihan besi tubuh akan lebih besar lagi. Contoh pada pasien dengan thalasemia, kelebihanbesi tubuh dapat menjadi penyebab penting dari kematian. 4. Lainnya: Talasemia, Anemia sideroblastik, Anemia aplastik, anemia hemolitik kronik, konsumsi zat besi berlebihan, transfusi berulang, hemodialisis. c. Patogenesis Besi yang didapat melalui konsumsi makanan (kurang lebih 2-3 g/L) dibawa oleh ferritin dengan afinitas tinggi supaya tidak menjadi Fe+3 (tidak larut). Kemudian besi dian besi yang berikatan dengan yang berikatan dengan ferritin menempel pada permukaan sel yang disebut dengan TFRs (cell-surface trasferrin receptor). TFR terutama banyak dijumpai pada prekursor eritroid (sekitar 800.000 TFR) untuk membantu pembentukan hemoglobin. Selain itu, juga terdapat padasel tumor dan limfosit yang aktif untuk membantu proliferasi yang cepat.Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa TFR meningkat pada keadaandefisiensi besi ataupun pada eritropoetin yang tidak efektif. Ikatan besi dan ferritin yang telah Ikatan besi dan ferritin yang telah menempel pada T menempel pada TFR akan masuk FR akan masuk ke dalam sitoplasma, kemudian ke vesikel intrasel untuk mengalami endosom awal. Kemudian besi keluar dari ikatan ferritin dan TFR dibantu oleh pompa proton dan mengondisikan pH kurang lebih 5,5. Kemudian besiberpindah dari membran endosomal ke sitoplasma dibantu dengan DMT1. ApoTF dan protein TFR yang mulanya berikatan dengan besi lepas dankembali ke permukaan sel untuk siklus dankembali ke permukaan sel untuk siklus selanjutny selanjutnya. TFR juga dapat membentuk ikatan dengan HFE. HFE adalah protein yang sering terganggu pada sebagian besar hemokromatosis genetik. Namun, kegunaan dari ikatan ini belum diketahui secara pasti tetapi gangguan dari ikatan ini berhubungan erat dengan pathogenesis hemokromatosis. d. Tanda dan Gejala Beberapa tanda dan gejala yang umum dijumpai di hemokromatosis tahap awal, antara lain: kelelahan, nyeri sendi, kelemahan umum, penurunan berat badan, nyeri perut, jantung berdebar (palpitasi). Pada tahap pertengahan, tanda dan gejala 30



dapat berupa: nyeri dan kerusakan sendi (artritis), pembesaran hati, kegagalan organ reproduksi (impoten, penurunan nafsu seksual, infertilitas, berhentinya siklus menstruasi, awal menopause). Pada tahap lanjut dapat berupa penurunan fungsi hati (penimbunan besi dapat memicu terjadinya sirosis, kerusakan hati/hepar atau kanker), peningkatan kadar glukosa darah (intoleransi glukosa atau diabetes), nyeri perut yang kronik (berulang), kelelahan yang berat, penurunan hasilan hormon pituitari dan tiroid, kerusakan kelenjar adrenal, gagal jantung (kerusakan otot jantung) dan perubahan warna kulit (hiperpigmentasi).3,4 Gejala klinis ini di penderita baru muncul setelah ia berusia 48 tahun. Gejala klinis berupa nyeri persendian, cepat lelah, sering gelisah, sedikit rasa tertekan, penurunan konsentrasi dan penurunan nafsu seksual. Gejala yang dialami penderita sesuai dengan hemokromatosis pada tahap awal. e. Pengobatan Hemokromatosis Pengobatan hemokromatosis bertujuan mengembalikan dan menjaga kadar zat besi yang normal di dalam tubuh, serta mencegah kerusakan organ dan komplikasi akibat penumpukan zat besi. Beberapa tindakan yang dilakukan dokter untuk mengatasi hemokromatosis adalah: 1. Membuang darah Proses pembuangan darah atau phlebotomy dilakukan seperti donor darah. Seberapa sering dan berapa banyak jumlah darah yang dibuang, tergantung pada usia penderita dan tingkat keparahan hemokromatosis. Beberapa penderita pada awalnya menjalani proses ini satu atau dua kali dalam seminggu. Setelah kadar zat besi dalam darah kembali normal, buang darah dilakukan tiap dua atau empat bulan sekali. Guna membantu proses penyembuhan, pasien dilarang mengonsumsi makanan atau minuman yang dapat meningkatkan zat besi dalam tubuh, misalnya vitamin C, suplemen zat besi, minuman beralkohol, serta ikan mentah dan kerang. 2. Memberikan obat-obatan Dokter akan memberikan obat-obatan dalam bentuk pil atau suntik, guna membantu mengikat dan membuang kelebihan zat besi dalam tubuh melalui urine atau tinja. Obat ini dinamakan kelasi, contohnya adalah deferiprone. Pemberian obat dilakukan bila pasien memiliki kondisi yang membuatnya tidak bisa menjalani pembuangan darah, misalnya menderita thalasemia atau penyakit jantung. 10. Penyakit kuning / Ikterus a.



Definisi Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum >5mg/dL (Cloherty, 2004). Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin >2mg/dL. Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran kadar bilirubin serum total. 31



b. Etiologi Penyebab ikterus dapat dibagi kepada tiga fase yaitu: i. Ikterus Prahepatik Produksi bilirubin yang meningkat yang terjadi pada hemolisis sel darah merah. Peningkatan pembentukan bilirubin dapat disebabkan oleh: - Kelainan sel darah merah - Infeksi seperti malaria, sepsis. - Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti: obat – obatan, maupun yang berasal dari dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi transfuse dan eritroblastosis fetalis. ii. Ikterus Pascahepatik Bendungan pada saluran empedu akan menyebabkan peninggian bilirubin konjugasi yang larut dalam air. Akibatnya bilirubin mengalami akan mengalami regurgitasi kembali kedalam sel hati dan terus memasuki peredaran darah, masuk ke ginjal dan di eksresikan oleh ginjal sehingga ditemukan bilirubin dalam urin. Sebaliknya karena ada bendungan pengeluaran bilirubin kedalam saluran pencernaan berkurang sehingga tinja akan berwarna dempul karena tidak mengandung sterkobilin. iii. Ikterus Hepatoseluler Kerusakan sel hati menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu sehingga bilirubin direk akan meningkat dan juga menyebabkan bendungan di dalam hati sehingga bilirubin darah akan mengadakan regurgitasi ke dalam sel hati yang kemudian menyebabkan peninggian kadar bilirubin konjugasi di dalam aliran darah. Kerusakan sel hati terjadi pada keadaan: hepatitis, sirosis hepatic, tumor, bahan kimia, dll. c. Proses / Manifestasi 1. Ikterus pre-hepatik Menurut Price dan Wilson (2002), bilirubin yang tidak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air sehingga tidak diekskresikan dalam urin dan tidak terjadi bilirubinuria tetapi terjadi peningkatan urobilinogen. Hal ini menyebabkan warna urin dan feses menjadi gelap. Ikterus yang disebabkan oleh hiperbilirubinemia tak terkonjugasi bersifat ringan dan berwarna kuning pucat. 2. Ikterus hepatik Ikterus jenis ini terjadi di dalam hati karena penurunan pengambilan dan konjugasi oleh hepatosit sehingga gagal membentuk bilirubin terkonjugasi. Kegagalan tersebut disebabkan rusaknya sel-sel hepatosit, hepatitis akut atau kronis dan pemakaian obat yang berpengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel hati. Gangguan konjugasi bilirubin dapat disebabkan karena defisiensi enzim glukoronil transferase sebagai katalisator (Price dan Wilson 2002). Ikterus 3. Ikterus Post-Hepatik Mekanisme terjadinya ikterus post hepatik adalah terjadinya penurunan sekresi bilirubin terkonjugasi sehinga mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi bersifat larut di dalam air, sehingga diekskresikan ke dalam urin (bilirubinuria) melalui ginjal, tetapi urobilinogen menjadi berkurang sehingga warna feses terlihat pucat. Faktor penyebab gangguan sekresi bilirubin dapat berupa 32



faktor fungsional maupun obstruksi duktus choledocus yang disebabkan oleh cholelithiasis, infestasi parasit, tumor hati, dan inflamasi yang mengakibatkan fibrosis. d. 1. 2. 3. 4.



5.



Gejala dan Tanda Tanda : Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5mg/dL atau lebih setiap 24 jam Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi G6PD, atau sepsis) Ikterus yang disertai oleh:  Berat lahir 8 hari (pada NCB) atau >14 hari (pada NKB)



Gejala : Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa. Disamping itu dapat pula disertai dengan gejala-gejala: 1. Dehidrasi, Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntahmuntah) 2. Pucat, Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan golongan darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah ekstravaskular. 3. Trauma lahir, Bruising, sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan tertutup lainnya. 4. Pletorik (penumpukan darah), Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan memotong tali pusat, bayi KMK 5. Letargik dan gejala sepsis lainnya 6. Petekiae (bintik merah di kulit), Sering dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis atau eritroblastosis 7. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal), sering berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati 8. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa) 9. Omfalitis (peradangan umbilikus) 10. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid) 11. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus) 12. Feses dempul disertai urin warna coklat,  Pikirkan ke arah ikterus obstruktif, selanjutnya konsultasikan ke bagian hepatologi. e. Tindakan Preventif 1) Pencegahan Primer - Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12 kali/ hari untuk beberapa hari pertama. 33



- Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi. 2) Pencegahan Sekunder - Wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta penyaringan serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa. - Memastikan bahwa semua bayi secara rutin di monitor terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda 11. Cholangiocarcinoma a. Definisi Kolangiokarsinoma adalah kanker atau keganasan yang berasal dari epitel bilier, bisa muncul dari saluran bilier intrahepatik, percabangan duktus hepatikus kanan dan kiri, serta saluran bilier ekstrahepatik. Kolangiokarsinoma merupakan keganasan yang jarang, dengan prognosis yang buruk (kesintasan sejak terdiagnosis di bawah 24 bulan). Insidennya di negara Barat adalah 1-2 per 100.000 penduduk. Saat ini, terdapat peningkatan insiden kolangiokarsinoma yang sebagian besar disebabkan oleh perkembangan teknologi diagnosis.2,3 Sayangnya, pada tumor dengan posisi (klasifikasi BismuthCorlette) dan ukuran tertentu, pilihan terapinya tidak banyak. Dengan demikian, riset dan upaya pengobatan diarahkan pada identifikasi faktor risiko dan penemuan kasus sedini mungkin agar resektabilitasnya meningkat b. Etiologi Cholangiocarcinoma terjadi karena adanya perubahan atau mutasi gen pada jaringan penyusun saluran empedu. Perubahan gen ini menyebabkan jaringan tersebut tumbuh secara tidak normal. Namun, penyebab utama perubahan gen ini belum diketahui secara pasti. Meski penyebabnya belum diketahui, tetapi ada beberapa kondisi yang meningkatkan risiko seseorang terkena cholangicarcinoma, di antaranya: 1) Kelainan saluran empedu sejak lahir, seperti kista saluran empedu. 2) Menderita penyakit liver, seperti hepatitis B, sirosis, atau infeksi parasit pada hati. 3) Menderita primary sclerosing cholangitis (PSC), yaitu penyakit autoimun yang menyebabkan penyempitan saluran empedu. 4) Berusia 50 tahun ke atas. 5) Kebiasaan merokok. 6) Menderita penyakit kronis, seperti diabetes. 7) Obesitas. Sementara itu, studi ilmiah lain menyatakan bahwa kolangiokarsinoma merupakan keganasan yang muncul dari traktus bilier dengan asal dari sel kolangiosit. Namun demikian, menurut Sekiya S dkk., karena kolangiokarsinoma intrahepatik sering 34



ditemukan bersamaan pada pasien hepatitis virus kronis maka kolangiokarsinoma intrahepatik disebutkan bisa berasal dari sel hepatosit. Dalam berbagai telaah tradisional, kolangiokarsinogenesis dimulai dari proses inflamasi kronis di sel kolangiosit akibat berbagai hal. Secara molekular, pertumbuhan sel ganas ini diawali dengan pertumbuhan tanpa kendali (pertumbuhan otonom), lolos dari kematian sel terprogram (apoptosis) dan penuaan, replikasi yang tidak terbatas atau lepas dari program pertumbuhan sel, serta blokade pada sinyal penghambat. Inflamasi kronis pada epitel bilier menimbulkan beberapa perubahan pada sel. Kondisi ini akan menyebabkan sel mengeluarkan berbagai perantara (mediator) inflamasi seperti kemokin dan sitokin. c. Jenis-Jenis cholangiocarcinoma Berdasarkan lokasi munculnya kanker, cholangiocarcinoma dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: 1) Cholangiocarcinoma intrahepatik, yaitu kanker pada saluran empedu yang berada di dalam organ hati. 2) Cholangiocarcinoma distal, yaitu kanker yang muncul di saluran empedu dekat dengan usus halus. 3) Tumor Klatskin, yaitu kanker yang muncul di saluran empedu yang akan keluar dari organ hati. d. Stadium cholangiocarcinoma Pembagian stadium kanker saluran empedu adalah sebagai berikut: 1) Stadium 1 Pada stadium ini, jaringan kanker masih berukuran kecil dan hanya terdapat di bagian tertentu pada saluran empedu. 2) Stadium 2 Pada stadium ini, jaringan kanker sudah mulai membesar dan dapat menyebar ke jaringan di sekitar saluran empedu. 3) Stadium 3 Pada stadium ini, jaringan kanker sudah menyebar ke kelenjar getah bening di sekitar kanker. 4) Stadium 4 Pada stadium ini, jaringan kanker sudah menyebar ke organ lain (metastasis). e. Tanda dan Gejala



35



Pada stadium awal, kanker saluran empedu cenderung tidak menunjukkan gejala (tidak ada tanda-tanda peringatan). Seiring tumbuhnya kanker, gejala berikut mungkin dialami: 1. Menguningnya mata dan kulit (penyakit kuning) 2. Urin berwarna seperti teh 3. Tinja berwarna pucat 4. Nyeri perut bagian atas atau belakang 5. Hilangnya selera makan 6. Penurunan berat badan 7. Mual dan muntah f. Tindakan Preventif Karena penyebabnya belum diketahui dengan pasti, kanker saluran empedu sulit dicegah. Meski demikian, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko munculnya cholangiocarcinoma, yaitu: 2) Mendapatkan vaksinasi hepatitis B untuk mencegah penyakit hepatitis B. 3) Melakukan kontrol gula darah rutin dengan dokter jika menderita diabetes. 4) Berhenti merokok. g. Contoh Hasil Rontgen Penderita Cholangiocarcinoma



h. Referensi 12. Hepatitis A,B,C,D,E Hepatitis virus akut adalah infeksi sistemik yang dominan menyerang hati. Hampir semua kasus hepatitis virus akut disebabkan oleh salah satu dari lima jenis virus yaitu: virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis D 36



(HDV) dan virus hepatitis E (HEV). Semua jenis hepatitis virus yang menyerang manusia merupakan virus RNA kecuali virus hepatitis B, yang merupakan virus DNA. Walaupun virus-virus tersebut berbeda dalam sifat molecular dan antigen, akan tetapi semua jenis virus tersebut memperlihatkan kesamaan dalam gejala klinis dan perjalanan penyakitnya. Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi mulai dari asimtomatik sampai yang sangat berat yaitu hepatitis fulminan yang dapat menimbulkan kematian. a. Hepatitis A a. Definisi Virus hepatitis A adalah suatu penyakit dengan distribusi global. Prevalensi infeksi yang ditandai dengan tingkatan antibody anti-HAV telah diketahui secara universal dan erat hubungannya dengan standar sanitasi/kesehatan daerah yang bersangkutan. Meskipun virus hepatitis A ditularkan melalui air dan makanan yang tercemar, namun hampir sebagian besar infeksi HAV didapat melalui transmisi endemic atau sporadic yang sifatnya tidak begitu dramatis. b. Etiologi Virus hepatitis A merupakan partikel dengan ukuran diameter 27 nanometer dengan bentuk kubus simetrik tergolong virus hepatitis terkecil, termasuk golongan pikornavirus. Ternyata hanya terdapat satu serotype yang dapat menimbulkan hepatitis pada manusia. Dengan mikroskop electron terlihat virus tidak memiliki mantel, hanya memiliki suatu nukleokapsid yang merupakan ciri khas dari antigen virus hepatitis A. Seuntai molekul RNA terdapat dalam kapsid, satu ujung dari RNA ini disebut viral protein genomik (VPg) yang berfungsi menyerang ribosom sitoplasma sel hati. Virus hepatitis A bisa dibiak dalam kultur jaringan. Replikasi dalam tubuh dapat terjadi dalam sel epitel usus dan epitel hati. Virus hepatitis A yang ditemukan di tinja berasal dari empedu yang dieksresikan dari sel-sel hati setelah replikasinya, melalui sel saluran empedu dan dari sel epitel usus. Virus hepatitis A sangat stabil dan tidak rusak dengan perebusan singkat dan tahan terhadap panas pada suhu 60ºC selama ± 1 jam. Stabil pada suhu udara dan pH yang rendah. Tahan terhadap pH asam dan asam empedu memungkinkan VHA melalui lambung dan dikeluarkan dari tubuh melalui saluran empedu. c.



Proses/ Manifestasi 37



Penelitian pada sukarelawan memperlihatkan masa inkubasi hepatitis A akut bervariasi antara 14 hari sampai 49 hari, dengan rata-rata 30 hari. Penularan hepatitis A yang paling dominan adalah melalui faecal-oral. Umumnya penularan dari orang ke orang. Kemungkinan penularannya didukung oleh faktor higienis pribadi penderita hepatitis.Penularan hepatitis A terjadi secara faecal-oral yaitu melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh virus hepatitis A. Untuk kelompok homoseksual amat mungkin cara penularan adalah fecal-anal-oral. Ditinjau dari kelompok umur, makin bertambah usia making tinggi kemungkinan sudah memiliki antibody secara alamiah terjadi baik setelah terinfeksi dengan bergejala maupun yang asimtomatik. 1)



Pre Patogenesis Masa Tunas adalah Lamanya viremia pada hepatitis A 2-4 Minggu. Fase pra-



ikterik/prodroma yang mana keluhan umumnya tidak spesifik, dapat berlangsung 2-7 hari, gambaran sangat bervariasi secara individual seperti ikterik, urin berwarna gelap, lelah/lemas, hilang nafsu makan, nyeri & rasa tidak enak di perut, tinja berwarna pucat, mual dan muntah, demam kadang-kadang menggigil, sakit kepala, nyeri pada sendi, pegalpegal pada otot, diare dan rasa tidak enak di tenggorokan. Dengan keluhan yang beraneka ragam ini sering menimbulkan kekeliruan pada waktu mendiagnosis, sering diduga sebagai penderita influenza, gastritis maupun arthritis. 2)



Patogenesis Fase Ikterik pada fase ini awalnya disadari oleh penderita, biasanya setelah demam



turun penderita menyadari bahwa urinnya berwarna kuning pekat seperti air teh ataupun tanpa disadari, orang lain yang melihat sclera mata dan kulitnya berwarna kekuningkuningan. Pada fase ini kuningnya akan meningkat, menetap, kemudian menurun secara perlahan-lahan, hal ini bisa berlangsung sekitar 10-14 hari. Pada stadium ini gejala klinis sudah mulai berkurang dan pasien merasa lebih baik. Pada usia lebih tua dapat terjadi gejala kolestasis dengan kuning yang nyata dan bisa berlangsung lama Antigen hepatitis A dapat ditemukan dalam sitoplasma sel hati segera sebelum hepatitis akut timbul. Kemudian, jumlah virus akan menurun setelah timbul manifestasi klinis, baru kemudian muncul IgM anti HAV spesifik. Kerusakan sel-sel hati terutama terjadi karena viremia yang terjadi dalam waktu sangat pendek dan terjadi pada masa inkubasi. Serngan antigen virus hepatitis A dapat ditemukan dalam tinja 1 minggu setelah 38



ikterus timbul. Kerusakan sel hati disebabkan oleh aktifasi sel T limfosit sitolitik terhadap targetnya, yaitu antigen virus hepatitis A. Pada keadaan ini ditemukan HLA-Restricted Virus specific cytotoxic CD8+ T Cell di dalam hati pada hepatitis virus A yang akut. Gambaran histologis dari sel parenkim hati yaitu terdapatnya nekrosis sel hati berkelompok, dimulai dari senter lobules yang diikuti oleh infiltrasi sel limfosit, makrofag, sel plasma, eosinofil, dan neutrofil. Ikterus terjadi sebagai akibat hambatan aliran empedu karena kerusakan sel parenkim hati, terdapat peningkatan bilirubin direct dan indirect dalam serum. Ada 3 kelompok kerusakan yaitu di daerah portal, di dalam lobules, dan di dalam sel hati. Dalam lobules yang mengalami nekrosis terutama yang terletak di bagian sentral. Kadang-kadang hambatan aliran empedu ini mengakibatkan tinja berwarna pucat seperti dempul (faeces acholis) dan juga terjadi peningkatan enzim fosfatase alkali, Nukleotidase dan gama glutamil transferase (GGT). Kerusakan sel hati akan menyebabkan pelepasan enzim transminase ke dalam darah. Peningkatan SGPT memberi petunjuk adanya kerusakan sel parenkim hati lebih spesifik daripada peningkatan SGOT, karena SGOT juga akan meningkat bila terjadi kerusakan pada myocardium dan sel otot rangka. Juga akan terjadi peningkatan enzim laktat dehidrogenase (LDH) pada kerusakan sel hati. Kadang-kadang hambatan aliran empedu (cholestasis) yang lama menetap setelah gejala klinis sembuh. 3)



Pasca Patogenesis Fase penyembuhan. Fase penyembuhan dimulai dengan menghilangkan sisa gejala



tersebut diatas, ikterus mulai menghilang, penderita merasa segar kembali walau mungkin masih terasa cepat capai. Umumnya, masa penyembuhan sempurna secara klinis dan biokimia memerlukan waktu sekitar 6 bulan. Menurut Koff (1992) pada beberapa kasus dapat terjadi penyimpangan : sebanyak 20% penderita memperlihatkan perjalanan yang polifasik, setelah penderita sembuh terjadi lagi peningkatan SGPT. Dilaporkan 50-90 hari setelah timbul keluhan dan hepatitis kolestasis timbul pada sebagian kecil kasus dimana terjadi peningkatan kembali bilirubin serum yang baru menghilang 2-4 bulan kemudian (prolonged cholestasis) hepatitis fulminant, merupakan komplikasi yang sangat jarang kurang dari 1%, kematiannya yang tinggi tergantung dari usia penderita. d. Tanda dan Gejala 39



Berupa urin yang berwarna gelap, Lelah/lemas, hilang nafsu makan, nyeri dan rasa tidak enak di perut, tinja berwarna pucat, mual dan muntah, demam kadang menggigil, mata dan kulit berwarna kekuning kuningan. warna kuning terlihat lebih mudah pada sclera, kulit, selaput lendir langit-langit mulut, pada kasus yang berat (fulminant). Didapatkan mulut yang berbau spesifik (foeter hepaticum). Pada perabaan hati membengkak, 2 sampai 3 jari di bawah arcus costae, konsistensi lunak, tepi tajam dan sedikit nyeri tekan. Perkusi pada abdomen kuadran kanan atas, menimbulkan rasa nyeri dan limpa kadang-kadang membesar, teraba lunak. e.



Tindakan Preventif Tindakan Preventif dalam Virus Hepatitis A terbagi menjadi 2, yaitu umum dan khusus. 



Tindakan Preventif Umum Upaya preventif umum ini mencakup upaya perbaikan sanitasi yang tampak



sederhana, tetapi sering terlupakan. Namun demikian, upaya ini memberikan dampak epidemiologis yang positif karena terbukti sangat efektif dalam memotong rantai penularan hepatitis A. a. Perbaikan hygiene makanan-minuman. Upaya ini mencakup memasak air dan makanan sampai mendidih selama minimal 10 menit, mencuci dan mengupas kulit makanan terutama yang tidak dimasak, serta meminum air dalam kemasan (kaleng / botol) bila kualitas air minum non kemasan tidak meyakinkan. b. Perbaikan hygiene-sanitasi lingkungan-pribadi. Berlandaskan pada peran transmisi fekal-oral HAV. Faktor hygiene-sanitasi lingkungan yang berperan adalah perumahan, kepadatan, kualitas air minum, sistem limbah tinja, dan semua aspek higien lingkungan secara keseluruhan. Mencuci tangan dengan bersih (sesudah defekasi, sebelum makan, sesudah memegang popok-celana), ini semua sangat berperan dalam mencegah transmisi VHA. c. Isolasi pasien. Mengacu pada peran transmisi kontrak antar individu. Pasien diisolasi segera setelah dinyatakan terinfeksi HAV. Anak dilarang datang ke sekolah atau ke tempat penitipan anak, sampai dengan dua minggu sesudah



40



timbul gejala. Namun demikian, upaya ini sering tidak banyak menolong karena virus sudah menyebar jauh sebelum yang bersangkutan jatuh sakit. 



Tindakan Preventif Khusus Pencegahan secara khusus dengan imunisasi. Cara pemberian imunisasi



yaitu secara pasif dan aktif. Imunitas secara pasif diperoleh dengan memberikan imunoglobulin yang spesifik yang berasal dari plasma donor yang sudah sembuh atau baru saja mendapat vaksin. Kekebalan ini tidak akan berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh. Pencegahan ini dapat digunakan segera pada mereka yang telah terpapar kontak atau sebelum kontak (pada wisatawan yang ingin pergi ke daerah endemis). Pemberian dengan menggunakan HB-Ig (Human Normal Imunoglobulin), dosis yang dianjurkan adalah 0,02 mL/kg BB, diberikan dalam kurun waktu tidak lebih dari satu minggu setelah kontak, dan berlaku untuk 2 bulan. United States Public Health Advisory Committee menganjurkan bagi mereka yang melakukan kunjungan singkat kurang dari 2 bulan, dosis HB-Ig 0,02 mL/kg BB, sedangkan bagi mereka yang berpergian lebih lama dari 4 bulan, diberikan dosis 0,08 mL/kg BB Bagi mereka yang sering berpegian ke daerah endemis, dianjurkan untuk memeriksakan total anti-HAV. Jika hasil laboratorium yang didapat positif, tidak perlu lagi pemberian imunoglobulin, dan tentu saja bila hasil laboratorium negatif sebaiknya diberikan imunisasi aktif sehingga kekebalan yang akan didapat tentu akan lebih bertahan lama. Vaksin hepatitis A yang tersedia saat ini adalah vaksin hidup yang dilemahkan (live attenuated). Perkembangan pembuatan vaksin tergantung kepada strain virus yang diisolasi yang harus tumbuh dengan baik dan dapat memberikan antigen yang cukup. Sejak tahun 1993 Report of the committee on Infectious Disease mengizinkan penggunaan beberapa vaksin yaitu Havrix, Avaxim, dan Vaqta. Di Indonesia telah dipasarkan sejak tahun 1993 oleh Smith Kline Beecham, dengan nama dagang HAVRIX, tiap kemasan satu flacon berisi standar dosis satu ml (720 Elisa Unit) dengan pemakaian pada orang dewasa satu flacon dan pada anak kurang dari 10 tahun cukup setengah dosis. Jadwal yang dianjurkan adalah sebanyak 3 kali pemberian yaitu 0,1,6 bulan.



41



f. Gambaran Radiograf



b. Hepatitis B a.



Definisi Infeksi virus hepatitis B (VHB) masih merupakan masalah yang besar di Indonesia



karena prevalensi yang tinggi dan komplikasinya. Di daerah dengan endemic tinggi, infeksi VHB biasanya terjadi melalui infeksi perinatal atau pada awal masa kanak-kanak. VHB sendiri biasanya tidak sitopatik. Infeksi kronik VHB merupakan suatu proses dinamis dengan terjadi interaksi antara virus, hepatosit dan sistem imun manusia. b.



Etiologi Virus hepatitis B adalah virus DNA berselubung ganda berukuran 42 nm memiliki



lapisan permukaan dan bagian inti dengan masa inkubasi sekitar 60 sampai 90 hari. Terdapat 3 jenis partikel virus yaitu : (1) Sferis dengan diameter 17 – 25 nm dan terdiri dari komponen selubung saja dan jumlahnya lebih banyak dari partikel lain. (2) Tubular atau filamen, dengan diameter 22 – 220 nm dan terdiri dari komponen selubung. (3) Partikel virion lengkap atau partikel Dane terdiri dari genom HBV dan berselubung, diameter 42 nm. Protein yang dibuat oleh virus ini bersifat antigenik serta memberi gambaran tentang keadaan penyakit (pertanda serologi khas) adalah : (1) Surface antigen atau HBsAg yang berasal dari selubung, yang positif kira-kira 2 minggu sebelum terjadinya gejala klinis. (2) Core antigen atau HBcAg yang merupakan nukleokapsid virus hepatitis B. (3) E antigen atau HBeAg yang berhubungan erat dengan jumlah partikel virus yang merupakan antigen spesifik untuk hepatitis B. 42



c.



Proses/ Manifestasi Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah,



partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi replikasi virus. Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HBsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. VHB merangsang respon imun tubuh, yaitu respon imun non-spesifik dan respon imun spesifik. VHB merangsang pertama kali respon imun non-spesifik ini (innate immune response) karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Proses eliminasi nonspesifik ini terjadi tanpa restriksi HLA, yaitu dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T. Setelah terinfeksi VHB, penanda virologis pertama yang terdeteksi dalam serum adalah HBsAg. HBsAg dalam sirkulasi mendahului peningkatan aktivitas aminotransferase serum dan gejala-gejala klinis dan tetap terdeteksi selama keseluruhan fase ikterus atau simtomatis dari hepatitis B akut atau sesudahnya. Pada kasus yang khas HBsAg tidak terdeteksi dalam 1 hingga 2 bulan setelah timbulnya ikterus dan jarang menetap lebih dari 6 bulan. Setelah HBsAg hilang, antibodi terhadap HBsAg (Anti-HBs) terdeteksi dalam serum dan tetap terdeteksi sampai waktu yang tidak terbatas sesudahnya. Perbedaan antara infeksi VHB yang sekarang dengan yang terjadi di masa lalu dapat diketahui melalui penentuan kelas imunoglobulin dari anti-HBc. AntiHBC dari kelas IgM (IgM anti-HBc) terdeteksi selama 6 bulan pertama setelah infeksi akut. Oleh karena itu, pasien yang menderita hepatitis B akut yang baru terjadi, termasuk mereka yang terdeteksi anti-HBc dalam periode jendela memilik IgM anti-HBc dalam serumnya. Pada pasien yang menderita VHB kronik, antiHBc terutama dari kelas IgG yang terdapat dalam serum. Umumnya orang yang telah sembuh dari hepatitis B, anti-HBs dan anti-HBc nya menetap untuk waktu yang tidak terbatas. d.



Tanda dan Gejala Gejala hepatitis B amat bervariasi dari tanpa gejala sampai gejala yang berat seperti



muntah darah dan koma. Pada hepatitis akut gejala amat ringan dan apabila ada gejala, maka gejala itu seperti gejala influenza. Gejala itu berupa demam ringan, mual, lemas, hilang nafsu makan, mata jadi kuning, kencing berwarna gelap, diare dan nyeri otot. Pada sebagian kecil gejala dapat menjadi berat dan terjadi fulminan hepatitis yang mengakibatkan kematian. Infeksi hepatitis B yang didapatkan pada masa perinatal dan balita biasanya asimtomatik dan 43



dapat menjadi kronik pada 90% kasus. Sekitar 30% infeksi hepatitis B yang terjadi pada orang dewasa akan menimbulkan ikterus dan pada 0,1-0,5% dapat berkembang menjadi fulminan. Pada orang dewasa 95% kasus akan sembuh dengan sempurna yang ditandai dengan menghilangnya HBsAg dan timbul anti HBs. Infeksi kronik ditandai oleh persistensi HBsAg dan anti HBc dan serum HBV DNA dapat terdeteksi lebih dari 6 bulan dengan menggunakan pemeriksaan non PCR. Pada hepatitis kronik B ada 3 fase yaitu fase imunotoleran, fase replikatif, dan fase integrasi. e.



Tindakan Preventif Dilakukan penyuluhan agar para penyalah guna obat tidak memakai jarum secara



bergantian, perilaku seksual yang aman. Mencegah kontak mikrolesi, menghindari pemakaian alat yang dapat menularkan HVB (sikat gigi, sisir), dan berhati-hati dalam menangani luka terbuka. Melakukan skrining ibu hamil pada awal dan pada trimester ketiga kehamilan, terutama ibu yang berisiko tinggi terinfeksi HVB. Ibu hamil dengan HVB (+) ditangani terpadu. Segera setelah lahir, bayi diimunisasi aktif dan pasif terhada HVB. Melakukan skrining pada populasi risiko tinggi tertular HVB (lahir di daerah hiperendemis, homoseksual, heteroseksual, pasangan seks berganti-ganti, tenaga medis, pasien dialisis, keluarga dari pasien HVB kronis, dan yang berkontak seksual dengan pasien HVB). c. Hepatitis C a.



Definisi Infeksi virus hepatitis C (HCV) adalah suatu masalah kesehatan global. Diperkirakan



sekitar 170 juta orang di dunia telah terinfeksi secara kronik oleh HCV. Prevalensi global infeksi HCV adalah 2,9%. Menurut data WHO angka prevalensi ini amat bervariasi dalam distribusi secara geografi, dengan seroprevalensi terendah di Eropa sekitar 1% hingga tertinggi 5,3% di Afrika. Angka seroprevalensi di Asia Tenggara sektiar 2,2% denagn jumlah penderita sekitar 32,3 juta orang. 3 Di Indonesia prevalensi infeksi virus hepatitis C ditemukan sangat bervariasi, mengingat geografis yang sangat luas. Selain itu terdapat juga variasi hasil beberapa peneliti sehubungan dengan berbedanya kelompok yang diteliti. b.



Etiologi HCV adalah virus hepatitis yang mengandung RNA rantai tunggal berselubung



glikoprotein dengan partikel sferis, inti nukleokapsid 33 nm, yang dapat diproduksi secara 44



langsung untuk memproduksi protein-protein virus (hal ini dikarenakan HCV merupakan virus dengan RNA rantai positif). Hanya ada satu serotipe yang dapat diidentifikasi, terdapat banyak genotipe dengan distribusi yang bervariasi di seluruh dunia, misalnya genotipe 6 banyak ditemukan di Asia Tenggara. c.



Proses/ Manifestasi Studi mengenai mekanisme kerusakan sel-sel hati oleh HCV masih belum jelas karena



terbatasnya kultur sel untuk HCV. Namun beberapa bukti menunjukkan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakan selsel hati. 8 Protein core misalnya, diperkirakan menimbulkan reaksi pelepasan radikal oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini mampu berinteraksi pada mekanisme signaling dalam inti sel terutama berkaitan dengan penekanan regulasi imunologik dan apoptosis. Jika masuk ke dalam darah maka HCV akan segera mencari hepatosit dan mengikat suatu reseptor permukaan yang spesifik (reseptor ini belum diidentifikasi secara jelas). Protein permukaan sel CD81 adalah suatu HCV binding protein yang memainkan peranan masuknya virus. Protein khusus virus yaitu protein E2 nenempel pada receptor site di bagian luar hepatosit. Virus dapat membuat sel hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya sendiri. Selama proses ini virus menutup fungsi normal hepatosit atau membuat lebih banyak lagi hepatosit yang terinfeksi. Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk terjadinya eliminasi menyeluruh pada infeksi akut. Reaksi inflamasi yang dilibatkan meliputi rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya dan menyebabkan aktivitas sel-sel stelata di ruang disse hati. Sel-sel yang khas ini sebelumnya dalam keadaan tenang (quiescent) kemudian berploriferasi menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat menghasilkan matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dab berperan aktif menghasilkan sitokin pro-inflamasi. Proses ini berlangsung terusmenerus sehingga dapat menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosis hati. Sama seperti virus hepatitis lainnya, HCV dapat menyebabkan suatu hepatitis akut yang sulit dibedakan dengan hepatitis virus akut lain. Gejala hanya dilaporkan terjadi pada 15% kasus, sehingga diagnosa harus tergantung pada positifnya hasil pemeriksaan anti-HCV atau pemeriksaan HCV RNA yang biasanya terdeteksi lebih awal sebelum munculnya antibodi anti-HCV (serokonversi). Dari semua individu dengan infeksi hepatitis C akut, 75-80% akan berkembang menjadi infeksi kronik. 45



d.



Tanda dan Gejala Pada kasus-kasus infeksi akut HCV yang ditemukan, gejala-gejala yang dialami



biasanya jaundice, malaise, dan nausea. Selama masa inkubasi , HCV RNA pasien bisa positif dan meningkat hingga munculnya jaundice. Selain itu juga bisa muncul gejala-gejala fatique, tidak napsu makan, mual dan nyeri abdomen kuadran kanan atas. Dari semua individu dengan hepatitis C akut, 75- 80% akan berkembangmenjadi infeksi kronis. e.



Tindakan Preventif Tidak ada vaksin yang dapat melawan infeksi HVC. Usaha-usaha yang harus dilakukan



untuk mencegah terjadinya infeksi yaitu melakukan skrining dan pemeriksaan terhadap darah dan organ donor, mengiaktivasi virus dari plasma dan produk-produk plasma, mengimplementasikan tindakan-tindakan untuk mengontrol infeksi dalam setting pekerja kesehatan, termasuk prosedur sterilisasi yang benar terhada alat medis dan dentis, dan mempromosikan perubahan tingkah laku pada masyarakat umum dan pekerja kesehatan unutk mengurangi penggunaan berlebihan obat-obat suntik dan penggunan cara penyuntikan yang aman, serta konseling untuk menurunkan risiko pada IDU dan praktek seksual. d. Hepatitis D a.



Definisi Virus RNA yang tidak sempurna (detektif) ini dikelilingi oleh envelope HBsAg. Virus



ditransmisikan melalui kontak erat atau melalui produk darah dan menyebabkan penyakit setelah periode inkubasi yang singkat, baik sebagai koinfeksi dengan HBV atau sebagai superinfeksi pada pembawa HBV. Walaupun infeksi asimtomatik (tanpa gejala) dapat terjadi, Virus Hepatitis D (HDV) berhubungan dengan hepatitis berat dan progesi menjadi karsinoma yang dipercepat. NAAT (Nucleic Acid Amplification Technology) merupakan metode yang paling cepat dalam menegakkan diagnosa, tetapi deteksi antigen atau deteksi antibodi IgM dengan EIA juga dapat mengkonfirmasi diagnosis b.



Etiologi Virus Delta bila dilihat dari pandangan virology binatang memang merupakan virus



unik. Virus ini termasuk virus RNA yang sangat kecil. Virion VHD hanya berukuran kira46



kira 36 nm tersusun atas genom RNA single stranded dan kira-kira 60 kopi antigen delta yang merupakan satu-satunya jenis protein di kode oleh VHD. Antigen Delta terdiri dari 2 jenis yakni large (L) dan small (S) Virion VHD mempunyai kapsul terdiri atas protein yang dihasilkan oleh VHB. Dinding luar tersebut terdiri atas lipid dan seluruh komponen HbsAg. c.



Proses/ Manifestasi Mekanisme kerusakan sel-sel hati akibat infeksi VHD belum jelas benar. Masih



diragukan, bahwa VHD mempunyai kemampuan sitopatik langsung terhadap hepatosit. Replikasi genom VHD justru dapat menghalangi pertumuhan sel, karena replikasu VHD memerlukan enzim yang diambil dari sel inang. Diduga kerusakan hepatosit pada hepatitis D akut terjadi akibat jumlah HDAg-S yang berlebihan di dalam hepatosit. VHB juga berperan penting sebagai kofaktor yang dapat menimbulkan kerusakan hepatosit yang lebih lanjut. d.



Tanda dan Gejala Infeksi VHD hanya terjadi bila bersama-sama denagn infeksi VHB. Gambaran klinis



secara umum dapat dibagi menjadi: koinfeksi, superinfeksi dan laten. Disebut koinfeksi bila infeksi VHD terjadi bersama-sama secara simultan dengan VHB, sedangkan superinfeksi bila infeksi VHD terjadi pada pasien infeksi kronik VHB. Koinfeksi akan dapat menimbulkan baik hepatitis akut B maupun hepatitis akut D. Sebagian besar koinfeksi VHB dan VHD akan sembuh spontan. Kemungkinan menjadi hepatitis kronik D kurang dari 5%. Masa inkubasi hepatitis akut D sekitar 3-7 minggu. Keluhan pada masa preikterik biasanya merasa lemah, tak suka makan, mual, keluhan-keluhan seperti flu. Fase ikterus ditandai dengan feses pucat, urine berwarna gelap dan bilirubin serum meningkat. Keluhan kelemahan umum dan mual dapat bertahan lama bahkan pada fase penyembuhan. Superinfeksi VHD pada hepatitis kronik B biasanya akan menimbulkan hepatitis akut berat, dengan masa inkubasi pendek, dan kira-kira 80% pasien akan berlanjut menjadi hepatitis kronik D. Hepatitis kronik D akibat superinfeksi biasanya berat, progresif, dan sering berlanjut menjadi sirosis hati. e.



Tindakan Preventif Tindakan Preventif terhadap HVD hanya efektif terhadap mereka yang masih mungkin



dicegah dari infeksi HVB, artinya yang dapat dicegah hanya koinfeksi HVD dan HVB,



47



sedangkan untuk mencegah superinfeksi hingga saat ini belum ditemukan cara yang efektif. Saat ini masih dilakukan penelitian terhadap vaksinasi dengan HDAg-S. e. Hepatitis E a.



Definisi HEV RNA terdapat dalam serum dan tinja selama fase akut. Hepatitis sporadik sering



terjadi pada anak dan dewasa muda di negara sedang berkembang. Penyakit ini epidemi dengan sumber penularan melalui air. Pernah dilaporkan adanya tranmisi maternal-neonatal dan di negara maju sering berasal dari orang yang kembali pulang setelah melakukan perjalanan, atau imigran baru dari daerah endemik. Viremia yang memanjang atau pengeluaran di tinja merupakan kondisi yang tidak sering dijumpai. Penyebaran virus ini diduga disebarkan juga oleh unggas, babi, binatang buas dan binatang peliharaan yang mengidap virus ini. Kekebalan sepanjang hidup terjadi setelah fase pemulihan. b.



Etiologi HEV merupakan virus RNA dengan diameter 27-34 mm. Pada manusia hanya terdiri



atas satu serotipe dengan empat sampai lima genotipe utama. Genome RNA dengan tiga overlap ORF (open reading frame) mengkode protein struktural dan protein non-struktural yang terlibat pada replikasi HEV. Virus dapat menyebar pada sel embrio diploid paru akan tetapi replikasi hanya terjadi pada hepatosit. c.



Proses/ Manifestasi Pada keadaan biasa, tak satupun virus hepatitis bersifat sitopatik langsung terhadap



hepatosit, tetapi merupakan respon imunologik dari host. Lesi morfologik dari semua tipe hepatitis sama, terdiri dari infiltrasi sel PMN pan lobuler, terjadi nekrosis sel hati, hiperplasia dari sel-sel kupffer dan membentuk derajat kolestasis yang berbeda-beda. Regenerasi sek hati terjadi, dibuktikan dengan adanya gambaran mitotik, sel-sel multinuklear dan pembentukan rosette atau pseudoasinar. Infiltrasi mononuklear terjadi terutama oleh limfosit kecil, walaupun sel plasma dan sel eosinofil juga sering tampak. Kerusakan sel hati terdiri dari degenerasi dan nekrosis sel hati, sel dropout, ballooning dan degenerasi asidofilik dari hepatosit. Masih belum jelas peranan antibodi IgM dan lama waktu antibodi IgG yang terdeteksi dalam kaitannya dengan imunitas. d.



Tanda dan Gejala 48



1. spectrum penyakit mulai dari asimtomatik, infeksi yang tidak nyata sampai kondisi yang fatal sehingga terjadi gagal hati akut. 2. Sindrom klinis mirip pada semua virus penyebab mulai dari gejala prodromal yang tidak spesifik dan gejala gastrointestinal, seperti: malaise, anoreksia, mual dan muntah. Gejala flu, faringitis, batuk, sakit kepala dan myalgia. 3. Gejala awal cenderung muncul mendadak pada HAV dan HEV 4. Demam jarang ditemukan, kecuali pada infeksi HAV. 5. Gejala prodromal menghilang pada saat timbul kuning, tetapi gejala anoreksia, malaise, dan kelemahan dapat menetap. 6. Icterus didahului dengan kemunculan urin berwarna gelap, pruritus (biasanya ringan dan sementara) dapat timbul ketika icterus meningkat. 7. Pemeriksaan fisik menunjukan pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada hati. 8. Splenomegali ringan dan limfadenopati pada 15%-20% pasien. e.



Tindakan Preventif Kemunculan IgG anti HEV pada kontak dengan pasien hepatitis E dapat bersifat



proteksi, akan tetapi efektifitas dari immunoglobulin yang mengandung anti HEV masih belum jelas. Pengembangan immunoglobulin titer tinggi sedang dilakukan. Vaksin HEV sedang dalam penelitian klinis pada daerah endemik.



49



BAB III PENUTUP i. Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas, maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut. Jika sistem Biliary tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik maka akan mengakibatkan adanya Atresia Bilier (biliary atresia) yaitu suatu penghambatan di dalam pipa/ saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke kantung empedu (gallblader). Sehingga dapat menimbulkan berbagai macam Penyakit seperti berikut : 1. Cholelothiasis Cholelithiasis atau Gallstones atau batu empedu adalah sebuah kondisi patologis yang terjadi di saluran empedu karena terganggunya metabolisme kolesterol, bilirubin, dan asam empedu sehinggga menyebabkan terjadinya pengendapan kolesterol atau bilirubin. 2. Cholecystitis Acuta Peradangan akut yang terjadi di empedu akibat pengaruh batu disebut dengan cholecystitis acuta dan dipicu oleh obstruksi leher kandung empedu atau saluran kistik (cystic duct). Cholecystitis ini merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada penderita cholecystitis dan merupakan penyebab utama dilakukannya proses cholecystectomy. 3. Cholesistitis Chronic Cholesistitis Chronic /Kolesistitis kronis terjadi akibat serangan berulang dari kolesistitis akut, yang menyebabkan terjadinya penebalan dinding kandung empedu dan penciutan kandung empedu. Pada akhirnya kandung empedu tidak mampu menampung empedu. Sering terjadi pada wanita, dan angka kejadian meningkat pada usia 40 tahun. 4. Sirosis Bilier Primer Sirosis Billier Primer merupakan peradangan saluran empedu pada hati yang membentuk jaringan parut dan menyebabkan pengobatan. Biasanya menyerang wanita usia 35-60 tahun. 5. Ischemic Cholangiopathy



50



Ischemic Cholangiopathy atau kolangiopati iskemik adalah iskemia fokal dari pohon empedu dari setiap etiologi dimana pleksus arteri peribiliaris hancur 6. Kolestasis Kolestasis adalah penyakit pada hati yang disebabkan aliran empedu dari hati melambat atau tersumbat sehingga empedu dan bilirubin menumpuk di aliran darah. 7. Primary Sclerosing Cholangitis (PSC) Primary Sclerosing Cholangitis (PSC) atau sering disebut juga Kolangitis Sklerotik Primer Merupakan peradangan saluran empedu di dalam dan di luar hati yang mengakibatkan terbentuknya jaringan parut dan menyebabkan penyumbatan. 8. Sirosis Hati sirosis hati adalah penyakit hati kronis yang ditandai oleh adanya peradangan difus pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi sel hati disertai nodul dan merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati. 9. Hemokromatis Istilah hemokromatosis diperkenalkan oleh von Recklinghausen pada akhir abad ke-19, dihubungkan dengan kelainan klinis sebagai akibat kelebihan jumlah keseluruhan zat besi dalam tubuh dan kegagalan fungsi organ akibat keracunan zat besi. Hemokromatosis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan akumulasi zat besi secara berlebihan di dalam tubuh. 10. Ikterus Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum >5mg/dL (Cloherty, 2004). Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin >2mg/dL. Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran kadar bilirubin serum total. 11. Cholangiocarcinoma Kolangiokarsinoma adalah kanker atau keganasan yang berasal dari epitel bilier, bisa muncul dari saluran bilier intrahepatik, percabangan duktus hepatikus kanan dan kiri, serta saluran bilier ekstrahepatik. Kolangiokarsinoma merupakan keganasan yang jarang, dengan prognosis yang buruk (kesintasan sejak terdiagnosis di bawah 24 bulan). Insidennya di negara Barat adalah 1-2 per 100.000 penduduk. Saat ini, terdapat peningkatan insiden kolangiokarsinoma yang sebagian besar disebabkan oleh perkembangan teknologi diagnosis. 12. Hepatitis A,B,C,D,E



51



Hepatitis virus akut adalah infeksi sistemik yang dominan menyerang hati. Hampir semua kasus hepatitis virus akut disebabkan oleh salah satu dari lima jenis virus yaitu: virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis E (HEV). Semua jenis hepatitis virus yang menyerang manusia merupakan virus RNA kecuali virus hepatitis B, yang merupakan virus DNA. Walaupun virus-virus tersebut berbeda dalam sifat molecular dan antigen, akan tetapi semua jenis virus tersebut memperlihatkan kesamaan dalam gejala klinis dan perjalanan penyakitnya. Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi mulai dari asimtomatik sampai yang sangat berat yaitu hepatitis fulminan yang dapat menimbulkan kematian. ii. Saran Dikarenakan penyakit ini tidak dapat dicegah. Maka untuk penderita bisa mengurangi resiko terjadinya penyakit dengan melakukan sejumlah hal seperti, mengonsumsi makanan sehat bergizi seimbang, rutin berolahraga ringan, tidak mengonsumsi minuman beralkohol, serta mengonsumsi obat yang telah diberikan dokter.



52



DAFTAR PUSTAKA



PMC Article. World Journal of Hepatology : Concept of pathogenesis and treatment of cholelithiasis. 2012. J.Kedokt Meditek Volume 23, No.63. Juli-September 27. Muzakki. Jewaqa Brako. Proporsi Penderita Batu Empedu dengan Dislipidemia dan Diabetes Melitus. 2007. Hakim. Abdurrahman. Gambaran Kasus Kolelitiasis Rumah Sakit Umum Palembang Bari. 2019. Albab. Ahmad Ulil. Karakteristik Paien Kolelitiasis RSUP Dr.Wahidin Sudirohusoda Makassar. 2013 Sueta. Made Agus Dwianthara. Faktor Faktor terjadinya Batu Empedu RSUP Dr. Wahidin Sudirohusoda Makassar.2014 https://id.scribd.com/document/392520723/Ischemic-Cholangiopathy Jackson. Whitney E. MERCK MANUAL Professional Version. Ishemic Cholangiopathy. 2020 https://www.google.com/amp/s/www.sehatq.com/penyakit/kolestasis/amp Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. Primary Sclerosing Cholangitis. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016 Robbins 9th edition Kadek Mulyantari, et al. (2012). “Penderita dengan Hemokromatosis Primer” Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory”, 1B(2), 141-144 Doherty, et al. (2017). Update on the Diagnosis and Treatment of Cholangiocarcinoma. Current Gastroenterology Reports, 19(1), pp. 2. Laurentius A. Pranomo, et al. (2017). “Kolangiokarsinoma dan Infeksi Virus Hepatitis” Indonesian Journal of Cancer, 9(1), 37-43



53



Smeltzer, S. C., Bare, B. G., 2001, “Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &Suddarth. Vol. 2. E/8”, EGC, Jakarta. Martin A and Lemon SM, Hepatitis A virus. From discovery to Vaccines. Hepatology: 2006 Vol 45 No.2 Suppl 1, S164-S172. Pyrsopoulos



N,



Hepatitis



B,



[dikutip



7Februari2012],



URL:



http;//www.



emedicine.com/ped/topic982.htm Epidemiology



and prevention



of



viral



hepatitis



A



to



E:anoverview



2001;



http;//www.cdc.gov/ndod/disease/hepatitis/Slideset/index.htm) Foster GR, Goldin RD. Management of Chronic Hepatitis, 2nd ed., Oxfordshire: Taylor&Francis,2005:17-61. Lauer GM, Walker BD. Hepatitis C virus infection. N Engl J Med 2001; 345(1):41-52. Lacey SR, Bernstein DR, Talavera F, et al. Hepatitis D. eMedicine specialties. 2005. Hadi, S. Hepatitis. Gastroenterologi edisi VII. Bandung. PT Alumni; 2002: 487-57



54