Makalah Perang Diponogoro [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH



PERANG DIPONOGORO Diajukan untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia



Di Susun Oleh :



Lia Yulyanti Kelas XI IIS 1



MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 TASIKMALAYA CIPASUNG – SINGAPARNA TASIKMALAYA 2019



KATA PENGANTAR



Bismillahirrahmanirrohiim Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat-nya dan karunianya,saya bisa diberikan kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini dengan PERANG DIPONOGORO dengan tepat waktu dan baik, makalah ini disusun guna memenuhi Tugas mata pelajaran sejarah Indonesia Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada: Semua pihak/rekan-rekan yang telah membantu kelancaran penyusunan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, sudah barang tentu kritik dan saran penulis harapkan dari pembaca guna melengkapi dan menyempurnakan kekurangan daripada penulis. Semoga dengan disusunnya makalah ini penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semuanya, khususnya bagi siswa-siswi MAN 2 Tasikmalaya.



Cipasung, November 2019



Penyusun,



i



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Sampai dengan abad 18 penetrasi kekuasaan Belanda semakin besar dan meluas, bukan hanya dalam bidang ekonomi dan politik saja namun juga meluas ke bidang-bidang lainnya seperti kebudayaan dan agama. Penetrasi dan dominasi yang semakin besar dan meluas terhadap kehidupan bangsa Indonesia menyebabkan terjadinya berbagai peristiwa perlawanan dan perang melawan penindasan dan penjajahan bangsa Eropa. Tindakan sewenang-wenang dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa kolonial Eropa telah menimbulkan kesengsaraan dan kepedihan bangsa Indonesia. Menghadapi tindakan penindasan itu, rakyat Indonesia memberikan perlawanan yang sangat gigih. Perlawanan mula-mula ditujukan kepada kekuasaan Portugis dan VOC. Perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia tersebut di bagi ke dalam dua periode, yaitu perlawanan sebelum tahun 1800 dan perlawanan sesudah tahun 1800. Pembagian waktu tersebut dilakukan untuk memudahkan pemahaman mengenai sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Bangsa-Bangsa Barat tersebut. Perlawanan sebelum tahun 1800, yaitu : Perlawanan Rakyat Mataram, Perlawanan Rakyat Banten, Perlawanan Rakyat Makasar, Pemberontakan Untung Surapati. Sedangkan perlawanan sesudah tahun 1800, yaitu : Perlawanan Sultan Nuku(Tidore), Perlawanan Patimura, Perang Diponegoro,Perang Paderi, Perang Aceh, Perang Bali, Perang Banjarmasin. Proses penjajahan di Indonesia adalah proses perjuangan yang tidak akan cukup tergambarkan dalam satu atau dua buku. Berbagai pristiwa yang pernah dialami maupun berbagai peninggalan yang masih tersisa merupakan saksi yang masih banyak menyimpan rahasiah yang mungkin belum mampu terungkap.



B. Rumusan Masalah 1) Bagaimana Latar Belakang Perang Diponegoro ? 2) Bagaimana Jalannya Perang dan siapa saja Tokoh / Pemimpin Perang Diponegoro ? 3) Bagaimana Akhir dari Perang Diponegoro ?



1



BAB II PEMBAHASAN



A. Latar Belakang Perang Diponegoro Sejak kedatangan Belanda di Jawa Tengah, kerajaan Mataram mengalami kemerosotan. Wilayah kerajaan semakin sempit karena banyak daerah diambil alih oleh Belanda sebagai imbalan atas bantuannya. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Belanda ini menimbulkan rasa benci dari golongan-golongan rakyat banyak atau rakyat jelata. Walaupun keadaan sudah mulai panas namun golongan-golongan itu masih menunggu datangnya seorang Ratu Adil yang dapat memimpin mereka dalam menghadapi Belanda. Tokoh yang diharapkan itu adalah dari kalangan istana yang tampil ke depan untuk memimpin mereka, beliau adalah Pangeran Diponegoro. Latar Belakang Perang Diponegoro Ada beberapa hal yang menyebabkan Pangeran Diponegoro turun tangan dan memimpin perlawanan terhadap Belanda.



a) Sebab-sebab Umum Kekuasaan raja Mataram semakin kecil dan kewibawaannya mulai merosot. Bersamnaan dengan itu terjadi pemecahan wilayah menjadi empat kerajaan kecil, yaitu Surakarta, Ngayoyakarta , Mangkunegara dan Paku Alaman. Kaum bangsawan merasa dikurangi penghasilannya, karena daerah-daerah yang dulu dibagi-bagikan kepada para bangsawan, kini diambil oleh pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda mengeluarkan maklumat yang isinya akan menguasahakan perekonomian sendiri, tanah milik kaum partikelir (swasta) harus dikembalikan kepada pemerintah Belanda. Sudah tentu tindakan ini menimbulkan kegelisahan diantara para bangsawan, karena harus mengembalikan uang persekot yang telah diterima. Rakyat yang mempunyai beban seperti kerja rodi, pajak tanah dan sebagainya merasa tertindas. Begitu pula karena pemungutan beberapa pajak yang di borong oleh orang-orang Tionghoa dengan sifat memeras dan memperberat beban rakyat.



b) Sebab-sebab Khusus Sebab-sebab khusus terjadinya Perang Diponegoro adalah pembuatan jalan yang melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegal Rejo. Patih Danurejo IV (seorang "kaki tangan" Belanda) memerintahkan untuk memasang patok-patok di 2



jalur itu. Pangeran Diponegoro memerintahkan untuk mencabutnya, namun potokpatok itu dipasang kembali atas perintah Patih Danurejo IV. Keadaan seperti ini berlangsung berkali-kali, sehingga akhirnya patok-patok itu diganti dengan tombak. Dengan penggantian patok itu menandakan kesiapan Pangeran Diponegoro untuk berperang melawan Belanda. Peperangan tidak dapat dielakan lagi dan pasti akan terjadi. Tetapi Belanda berusaha menghadapi kemelut antara kedua bangsawan tersebut dan mengharapkan tidak terjadi peperangan. Untuk itu Belanda mengutus Pangeran Mangkubumi (paman dari Pangeran Diponegoro) untuk membujuknya agar mau bertemu dengan residen Belanda di Loji. Pangeran Diponegoro menolak tawaran itu karena tahu arti semua yang dimaksud oleh Belanda. Ketika pembicaraan antara Pangeran Mangkubumi dengan Pangeran Diponegoro berlangsung, Belanda tiba-tiba telah melakukan serangan.



B. Tokoh / Pemimpin Perang Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan. Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro mendapat dukungan dari rakyat, ulama dan juga kaum bangsawan. Dari kaum bangsawan ada Pangeran Mangkubumi, Pangeran Joyokusumo dan lain-lain. Sementara dari kaum ulama ada Kiai Mojo, Haji Mustopo, Haji Badaruddin dan Alibasha Sentot Prawirodirdjo.



C. Jalannya Perang Pertempuran



terbuka



dengan



pengerahan



pasukan-



pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut 3



kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur Iogistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluhpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi. Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulanbulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis



yang



deras



membuat



gerakan



pasukan



mereka



terhambat.



Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda. Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerrilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan (Surpressing). Perang ini bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) di mana kedua



4



belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya. Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Modjo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian



Pangeran Mangkubumi dan



panglima



utamanya Alibasah



Sentot



Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855. Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.



D. Taktik Perang Diponogoro Karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; 5



menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando pangeran Dipanegara. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.



E. Akhir Perang Diponegoro Tahun 1829 merupakan tahun kemunduran bagi Diponegoro. Di tahun itu pula Diponegoro sudah tidak pernah mengadakan ofensif lagi dan justru inisiatif serangan beralih ke tangan Belanda. Pengikut Diponegoro banyak yang menyerah kepada Belanda karena sudah tidak kuat dengan cobaan dan perang gerilya. Sementara itu Pangeran Diponegoro dapat menembus kepungan Belanda di Pengasih dan melarikan diri ke Kedu. Daerah Kedu adalah daerah yang bergununggunung sehingga memudahkan Diponegoro melakukan gerilya dan menyusahkan Belanda dalam bergerak. Tetapi de Kock segera membangun benteng-benteng untuk mengepung daerah Kedu sehingga gerakan Diponegoro dapat dibatasi.Pengepungan atas Kedu ini membuat Diponegoro dan pengikutnya hidup dalam keprihatinan yang luar biasa walaupun masih tetap melanjutkan perang gerilya.Banyak pemimpin perang Diponegoro yang menyerahkan diri pada Belanda. Sementara pada tahun 1829 pula terjadi pergantian kepemimpinan di HidiaBelanda. Komisaris Gubernur Jenderal Du Bus yang menjalankan pemerintahan sejak Van Der Capellen mengundurkan diri pada tahun 1826 digantikan oleh Johaness Van den Bosch. Di tubuh militer sendiri terjadi rotasi pergantian, De Kock diangkat sebagai panglima militer untuk seluruh Hindia-Belanda, dan sebagai panglima tentara Belanda di Jawa daingkat Mayor Jenderal Benjamin Bisschof. Tetapi sebelum menunaikan tugasnya Bisschof meninggal karena sakit. Kemudian kepada gubernur jenderal De Kock meminta agar tetap dipercaya memimpin langsung penumpasan terhadap Diponegoro. Di tahun 1829, Diponegoro kembali pada taktik perang gerilya. Berkat perubahan taktik ini Diponegoro mampu kembali menguasai Bagelen, sebagian sungai progo, sebagian sungai bogowonto, dan Banyumas. Ini semua berkat taktik gerilya Gusti Bei yang brilian.De Kock membalas gerakan Pasukan Diponegoro ini dengan sebuah serangan cepat dan kuat. Segera Bagelen direbut, Sungai Bogowonto diseberangi dari Timur ke Barat. Selanjutnya serangan dilanjutkan ke Ledok dan Karangkobar. 6



Dua daerah itu dipertahankan oleh Imam Musbah. Dalam serangan ini Belanda memakai pasukan pribumi dari Sulawesi Utara, Maluku, Bali dan pasukan Belanda sendiri. Kemudian pasukan Belanda bergerak ke Boyolali-Kanigoro. Mereka lalu bergabung dengan pasukan Kasunanan Surakarta. Kedua pasukan ini segera menyerang pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh Adipati Urawan dan Pangeran Sumonegoro. Pasukan Diponegoro berhasil didesak, sementara itu Adipati Danu memimpin 200 orang pasukan Diponegoro bermaksud membantu pasukan Adipati Urawan dan Pangeran Sumonegoro. Pasukan Bulkiya pimpinan Haji Usman juga ikut serta bergerak untuk memberi bantuan. Tidak ketinggalan pula Gusti Basah (putra Diponegoro) bersama pasukannya turut bergerak memberi bantuan. Di lain pihak, pasukan bantuan Belanda dari Magelang turut bergerak memberi bantuan. Sementara dari Yogyakarta bergerak pasukan Yogyakarta dan Belanda, dari Surakarta juga bergerak Legioen Mangkunegaran. Pasukan Belanda berjumlah 3000 orang sedangkan gabungan pasukan Diponegoro berjumlah 5000 orang bertemu di Desa Genjuran. Meletuslah pertempuran sengit. Walaupun Belanda tidak bisa dikatakan menang tetapi lebih banyak prajurit Diponegoro tewas dalam pertempuran ini, bahkan komandan pasukan Bulkiya yaitu Haji Usman tewas.Pada tanggal 30 April 1829 terjadi pertempuran di RawaGenda. Basah Prawirokusumo terkena pecahan meriam dan lumpuh dalam serangan Belanda itu. Sementara Tumenggung Banyak Wedi menyerah pada pimpinan pasukan Belanda (Kapten Busseheus). Pada tanggal 17 Juli 1829, markas Gusti Bei di Desa Geger diserang. Gudang dan pabrik amunisi pasukan Diponegoro turut diratakan. Gusti Bei yang terluka melarikan diri sementara Raden Joyonegoro meneruskan perlawanan sampai dia mati. Dengan direbutnya Geger maka suply amunisi pasukan Diponegoro sangat terganggu. Pada 30 Juli 1829, Letkol. Sollevipu memimpin pasukan menyerang sebuah desa yang dicurigai sebagai markas pasukan Diponegoro. Dalam sergapan itu berhasil ditangkap Raden Hasa Mahmud dan Pangeran Anom Diponegoro (putra tertua Pangeran Diponegoro). Belanda mengancam akan membunuh Anom Diponegoro jika Diponegoro tidak menyerah. Tetapi ancaman ini tidak digubris. Akhirnya Anom Diponegoro tidak dibunuh. Tanggal 31 Juli, istri Pangeran Mangkubumi, putranya Raden Mas Wiryokusumo, Raden Mas Wiryoatmojo dan Raden Mas Surdi menyerah pada 7



Belanda. Belanda kemudian meminta kepada Pangeran Mangkubumi untuk menyerah dan memberitahukan letak persembunyian keluarga Pangeran Diponegoro dan keluarga para panglima perlawanan yang lain, tetapi tuntutan itu tidak dijawab. Seperti kita ketahui bahwa Pangeran Mangkubumi adalah pimpinan pasukan Jogokaryo yang bertanggung jawab atas keamanan keluarga Pangeran Diponegoro dan keluarga para panglima perang lain. Pada bulan September 1829, Tumenggung Wonorejo, Tumenggung Wiryodirjo dan ratusan pengikutnya menyerah pada Belanda menyusul kemudian Tumenggung Surodeksono, Pangeran Pakuningrat beserta pengikut-pengikutnya. Dan Raden Ayu Anom (istri kedua Pangeran Mangkubumi) juga menyerah beserta 50 orang pengikutnya.Pada tanggal 28 September 1829, Pangeran Mangkubumi akhirnya menyerah setelah keluarga-keluarga panglima perang yang dilindunginya dikembalikan pada Pangeran Diponegoro. Pada tanggal 30 September 1829, pukulan kembali terjadi. Gusti Bei dan kedua putranya Joyokusumo dan Harnokusumo disergap oleh Belanda di Desa Sangir dan mereka semua gugur. Satu-satunya senopati perang Pangeran Diponegoro yang tak terkalahkan hanyalah Sentot. Tetapi walaupun masih ditakuti kondisi pasukan Sentot sendiri mengkhawatirkan karena kekurangan bahan makanan dan terputus jalur logistiknya. Akhirnya dengan perantaraan Bupati Madiun, Belanda melakukan perundingan dengan Sentot. Sentot bersedia menyerah dengan syarat sebagai berikut : a.



Diberi uang sebesar 10.000 Ringgit



b.



Tetap memimpin pasukan Pinilih nya



c.



Diberi 500 pucuk senapan.



d.



Tetap memeluk agama Islam



e.



Sentot dan pasukannya tetap diijinkan memakai surban Belanda memenuhi permintaan Sentot itu. Akhirnya pada tanggal 17



Oktober 1829 Sentot menyerah pada Belanda di Imogiri. Pada tanggal 24 Oktober 1829 Sentot dan pasukannya masuk ke Yogyakarta, ketika melewati jalan-jalan kota Yogyakarta banyak rakyat duduk bersimpuh dan menyembah sebagai tanda penghormatannya. Sentot kemudian menghadap Sultan Hamengkubuwono V di kraton.Oleh Belanda Sentot diberi pangkat Mayoor Cavalerie dengan gaji 100 ringgit per bulan.



8



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari penjabaran di halaman yang telah dijelaskan di depan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Pangeran



Diponegoro



merupakan



putra



pertama



Sri



Sultan



Hamengkubuwono II sehingga tidak lain lagi beliau adalah Sri Sultan Hamengkubuwono III sekaligus pewaris tahta kerajaan di Yogyakarta. Walaupun Pangeran Diponegoro adalah putera seorang raja, beliau tidak senang tinggal di istana, karena adanya pengaruh dari Belanda. Karena Pengaruh dari Belanda membawa dampak yang sangat besar baik di kalangan keraton maupun di kalangan rakyat biasa. Oleh sebab itulah beliau tidak suka tinggal di istana. Adapun pengaruh yang kurang baik diantaranya : a.



Adat istiadat banyak yang dilanggar.



b.



Ajaran agama diabaikan.



c.



Uang dihambur-hamburkan untuk pesta.



Hal tersebut berakibat hidup rakyat menderita, tanah mereka dirampas oleh Belanda dan mereka harus membayar bermacam-macam pajak. Hal itu tentu saja sangat merugikan masyarakat setempat. Oleh karena itu Diponegoro berniat untuk melawan kekuasaan Belanda yang sangat sewenang-wenang terhadap rakyat. Selain itu ada berbagai macam sebab, baik sebab umum ataupun khusus untuk melawan kekuasaan Belanda di tanah jawa. Sebab umum tersebut antara lain, Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok tanah milik Pangeran Diponegoro di Desa Tegalrejo. Pada saat itu memang Pangeran Diponegoro sudah membenci kelakuan Belanda karena Belanda selalu ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan di Yogyakarta. Adapun sebab khususnya adalah sebagai berikut: 1) Belanda akan membuat jalan raya yang melewati makam leluhur Diponegoro tanpa meminta izin terlebih dahulu. 2) Pangeran Diponegoro mencabuti patok-patok yang telah ditancapkan oleh Belanda. Akibatnya Pangeran Diponegoro beserta rakyat bergabung untuk melawan dan mengusir Belanda dari tanah Jawa. Walaupun demikian Pemerintah Belanda tetap bersikeras untuk bertahan di tanah Jawa serta melakukan perlawanan terhadap 9



Pangeran Diponegoro. Namun Pangeran Dipenegoro memiliki taktik untuk bisa mengalahkan Pemerintah Belanda. Taktik perang tersebut adalah taktik perang Gerilya. Taktik gerilya membawa keuntungan dan kemenangan. Walaupun saat itu Belanda telah menggunakan senjata modern. Bahwa perilaku yang luhur Pangeran Diponegoro menimbulkan simpati baik di kalangan bangsawan sampai di kalangan rakyat jelata, yang akhirnya mereka bersatu untuk melawan Belanda. Mereka sangat bersemangat dalam mengusir Belanda bahkan nyawa dipertaruhkan untuk bisa mengusir Belanda. Harga diri dan kehormatan keluarga adalah segala-galanya bagi Pangeran Diponegoro. Namun tipu muslihat dan kelicikan Belanda menyeret Pangeran Diponegoro ke meja perundingan, sekaligus pengasingan beliau, sampai ajal menjemputnya.



10



DAFTAR PUSTAKA



https://fendygoo.blogspot.com/2015/01/makalah-perang-diponegoro.html https://bagiartikel24.blogspot.com/2016/12/makalah-perang-diponegoro.html



11