Makalah PERJANJIAN INTERNASIONAL [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERJANJIAN INTERNASIONAL DISUSUN OLEH : KELOMPOK 10 AHMAD ABDUL KHOIRI (2042019001) MUHAMMAD RISKI (2042019021) KHAIRUL MIZAN (2042019027) DOSEN PENGAMPU : MUHAJIR., S.Ag, L.L.M



PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LANGSA 2022



KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang hingga saat ini masih memberikan kita nikmat iman dan kesehatan, sehingga saya diberi kesempatan yang luar biasa ini yaitu kesempatan untuk menyelesaikan tugas penulisan makalah tentang “Perjanjian Internasional” Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi gung kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling benar yakni Syariah agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam semesta. Selain itu kami juga sadar bahwa pada makalah kami ini dapat ditemukan banyak sekali kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kami benar-benar menanti kritik dan saran untuk kemudian dapat kami revisi dan kami tulis di masa yang selanjutnya, sebab sekali kali lagi kami menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa disertai saran yang konstruktif. Di akhir kami berharap makalah sederhana kami ini dapat dimengerti oleh setiap pihak yang membaca. Kami pun memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam makalah kami terdapat perkataan yang tidak berkenan di hati. Langsa, Juli 2022



Penulis



i



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR....................................................................................i DAFTAR ISI...................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1 A. Latar Belakang.................................................................................1 B. Rumusan Masalah............................................................................2 BAB II PEMBAHASAN.................................................................................3 A. Pengertian Perjanjian Internasional..................................................3 B. Klasifikasi Perjanjian Internasional.................................................7 C. Tahap-Tahap Perjanjian Internasional.............................................9 D. Berakhirnya Perjanjian Internasional...............................................13 BAB III PENUTUP.........................................................................................25 A. Kesimpulan........................................................................................25 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................26



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan kerja sama antarbangsa biasanya diresmikan ke dalam satu atau beberapa perjanjian internasional. Perjanjian internasional merupakan salah satu instrumen paling penting dalam hubungan antarbangsa. Sampai saat ini para ahli masih mempunyai sudut pandang yang berbeda-¬beda terhadap makna perjanjian internasional sehingga makna istilah tersebut masih beraneka ragam.Dari pendapat-pendapat para ahli tersebut kemudian dapat disimpulkan makna perjanjian internasional. Perjanjian internasional adalah kesepakatan antara dua atau lebih subjek hukum internasional (misalnya negara, lembaga internasional) yang menurut hukum internasional menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kesepakatan. Perjanjian yang dilakukan oleh subjek- subjek hukum internasional tersebut mempunyai tujuan untuk melahirkan akibat-akibat hukum tertentu. Selain itu, tujuan perjanjian internasional di antaranya yaitu untuk menyelesaikan sengketa antarbangsa, memelihara perdamaian, ketertiban serta kesejahteraan manusia. Menurut pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional, dinyatakan bahwa perjanjian internasional baik yang bersifat umum maupun khusus, mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negaranegara yang bersangkutan. Berkenaan dengan pasal tersebut, maka setiap negara yang mengadakan suatu perjanjian harus menjunjung tinggi dan menaati ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya. Hal ini disebabkan oleh salah satu asas yang dipakai dalam perjanjian internasional, yaitu asas pacta sunt servanda yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang telah dibuat harus ditaati oleh masing-masing pihak yang bersangkutan. Mengingat pentingnya suatu perjanjian internasional, baik bagi suatu negara maupun sebagai salah satu sumber hukum internasional, proses pembuatan-perjanjian internasional tidaklah semudah seperti perjanjian lainnya. 1



Untuk itu, terdapat beberapa tahap dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap negara yang akan membuat perjanjian internasional. Adapun tahap dan proses yang perlu dan biasa dilakukan antara lain Perundingan (Negoitation), Penandatanganan (Signature), Pengesahan (Ratification), dan Pengumuman (Publication). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. Apa pengertian perjanjian internasional? 2. Bagaimana klasifikasi perjanjian internasional? 3. Bagaimana tahap-tahap perjanjian internasional? 4. Bagaimana berakhirnya perjanjian internasional?



2



BAB II PEMBAHASAN A.



Pengertian Perjanjian Internasional Sampai saat ini para ahli masih mempunyai sudut pandang yang berbeda-



beda terhadap makna perjanjian internasional sehingga makna istilah tersebut masih beranekaragam. Untuk lebih jelasnya, akan dikemukakan beberapa pendapat dari para ahli hukum internasional mengenai istilah perjanjian internasional sebagai berikut.1 1) Mochtar



Kusumaatmadja



internasional



adalah



mengemukakan perjanjian



bahwa



antaranggota



"Perjanjian masyarakat



bangsa¬bangsa yang mengakibatkan berlakunya hukum tertentu." 2) G. Schwarzenberger mengemukakan bahwa "Perjanjian intemasional sebagai suatu persetujuan antara subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat, baik berbentuk bilateral maupun multilateral. Subjek¬subjek hukum dalam hal ini bukan hanya lembaga-lembaga internasional melainkan negaranegara." 3) Michel Virally mengemukakan bahwa “Sebuah perjanjian merupakan perjanjian internasional bila melibatkan dua atau lebih Negara atau subjek internasional dan diatur oleh hukum Internasional.” 4) Oppenheimer-Lauterpacht



mengemukakan



bahwa



"Perjanjian



internasional adalah persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban di antara kedua pihak." 5) Definisi perjanjian internasional dari Konvensi Wina 1969, yaitu "Perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan mengadakan akibat-akibat hukum tertentu. Tegasnya, mengatur perjanjian antamegara selaku subjek hukum internasional,"



1



J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional 2 (edisi kesepuluh), (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm: 504-507



3



6) Menurut Pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional, perjanjian internasional baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersangkutan. 7) Dalam Academy of Sciences of USSR, perjanjian internasional adalah suatu persetujuan yang dinyatakan secara formal antara dua negara atau lebih mengenai pemantapan, perubahan, atau pembatasan dari hak-hak dan kewajiban mereka secara timbal balik. Berdasarkan pengertian tersebut, terlihat jelas adanya perbedaan. Namun, pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama. Pengertian pertama dan kedua perjanjian internasional dilakukan oleh seluruh subjek hukum internasional, baik negara maupun lainnya. Pada pengertian ketiga dan keempat hanya negara yang bisa melakukan perjanjian internasional dengan negara-negara lainnya. Dari beberapa batasan perjanjian internasional diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pihak-pihak yang dapat masuk di dalam perjanjian internasional, yaitu:2 a. Perjanjian antarnegara. b. Perjanjian antara negara dengan organisasi internasional. c. Perjanjian antar-organisasi internasional. Dengan



demikian



dapat



diambil



kesimpulan



bahwa



perjanjian



internasional adalah kesepakatan antara dua atau lebih subjek hukum internasional (lembaga internasional, negara) yang menurut hukum internasional menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kesepakatan. Berkenaan dengan hal itu, setiap bangsa dan negara yang ikut dalam suatu perjanjian harus menjunjung tinggi dan menaati seluruh ketentuan yang ditetapkan. Hal tersebut sudah merupakan kewajiban dan sesuai dengan asas hukum perjanjian yang berbunyi "Janji itu mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik." Asas ini disebut asas pacta sunt servanda.3 2



Damos Dumoli A, Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktek. Bandung:PT Refika Aditama, 2014. Hal.4. 3 Eddy Pratomo,2016,Hukum Perjanjian Internasional,Dinamika dan Tinjauan Kritis Terhadap Politik Hukum Indonesia, Elex Media Komputindo, Jakarta, hlm 58



4



Apabila yang terjadi adalah sebaliknya atau ada sebagian negara atau bangsa yang melanggar atau tidak menaati aturan-aturan yang telah diputuskan sebelumnya, ketidakdamaian atau ketidakharmonisan akan tercipta. Bahkan, akan menimbulkan pertentangan di antara negara-negara yang melakukan perjanjian.4 Dalam mempelajari perjanjian internasional, berikut ini dike mukakan beberapa istilah perjanjian intemasional yang sering dipakai dikalangan internasional. 1) Traktat (Treaty) Artinya, perjanjian yang dilakukan oleh dua negara atau lebih yang sifatnya lebih formal karena mempunyai kekuatan hukum yang lebih mengikat bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan kata lain, para peserta yang membuat perjanjian tidak dapat menarik diri dari kewajiban-kewajibannya tanpa persetujuan dari pihak-pihak yang bersangkutan. 2) Konvensi (Convention) Artinya, jenis perjanjian yang digunakan bagi hal-hal yang lebih khusus dibandingkan dengan traktat, namun bersifat multilat¬eral. Dengan kata lain, konvensi tidak menyangkut kebijaksanaan tingkat tinggi dan harus ditandatangani oleh wakil-wakil yang berkuasa penuh. 3) Pakta (Pact) Artinya, persetujuan yang lebih khusus jika dibandingkan dengan traktat. Jadi, pakta merupakan traktat dalam arti sempit sehingga pakta pun harus mendapat pengesahan (ratifikasi). 4) Perikatan (Arrangement) Artinya, suatu bentuk perjanjian yang tidak seresmi traktat atau konvensi. Oleh karena itu, perikatan merupakan persetujuan yang biasanya hanya digunakan bagi transaksi-transaksi yang bersifat sementara. 4



Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional; Kajian Teori dan PraktekIndonesia, cetakan pertama, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 65.



5



5) Persetujuan (Agreement) Artinya, suatu perjanjian yang bersifat teknis/administratif sehingga persetujuan tidak seresmi traktat/konvensi cukup ditandatangani oleh wakil-wakil departemen dan tidak perlu diratifikasi. 6) Deklarasi (Declaration) Artinya, perjanjian yang digunakan dengan tujuan menunjukkan suatu perjanjian yang menyatakan hukum yang ada, membentuk hukum yang baru, atau untuk menguatkan beberapa prinsip kebijaksanaan umum. 7) Piagam (Statute) Artinya, perjanjian yang menunjukkan himpunan peraturan yang ditetapkan oleh perjanjian internasional untuk mengatur fungsi lembaga internasional atau anggaran dasarnya, seperti piagam mahkamah internasional (statute of the international court of justice). 8) Convenan Artinya,



suatu



istilah



yang



digunakan



oleh



piagam



Liga



Bangsa¬Bangsa (LBB) yang disebut dengan The convenant of the league of nations tahun 1920. 9) Charter Artinya, istilah yang digunakan dalam perjanjian internasional yang diadakan oleh PBB dan mempunyai fungsi administratif. Dengan kata lain, PBB dalam membuat anggaran dasarnya berbentuk charter. Misalnya, Atlantic Charter 1941, dan The char¬r ter of the united nations 1945. 10) Protokol (Protocol) Artinya, perjanjian yang sifatnya kurang resmi dibandingkan dengan traktat atau konvensi. Biasanya protokol digunakan sebagai naskah tambahan dari konvensi. Namun, protokol tidak kalah pentingnya daripada konvensi itu sendiri. Misalnya, protokol tambahan terhadap Konvensi Jenewa 1949.



6



11) Modus Vivendi Artinya, perjanjian internasional yang merupakan dokumen untuk mencatat persetujuan tanpa memerlukan ratifikasi dan bersifat sementara. Maksud sementara adalah sampai diwujudkan hasil perjanjian yang lebih tetap (permanen) dan rind (sistematis). 12) Ketentuan Penutup jangan (Final Act) Artinya, dokumen dalam bentuk catatan ringkasan dari hasil konferensi, seperti catatan mengenai negara peserta, para utusan dari negara-negara yang turut dalam perundingan, dan segala kesimpulan tentang hal-hal yang disetujui konferensi. Ketentuan penutup ini tidak memerlukan ratifikasi. 13) Ketentuan Umum (General Act) Artinya, traktat yang bersifat resmi atau tidak resmi. Liga bangsa¬bangsa pernah' fnenggunakan istilah ini, seperti dalam menye¬lesaikan



permasalahan



secara



damai



dan



pertikaian



internasional (arbitrasi) pada 1928. B.



Klasifikasi Perjanjian Internasional



Beberapa kriteria untuk mengelompokkan perjanjian internasional, antara lain berdasarkan: jumlah pesertanya, strukturnya, objeknya, cara berlakunya, instrumen pembentuk perjanjiannya. Menurut jumlah pesertanya, perjanjian internasional dapat berupa:5 1. Perjanjian bilateral (bila melibatkan dua negara saja) misalnya perjanjian RI dengan RRC mengenai Dwikenegaraan pada tahun 1954 2. Perjanjian multilateral (bila melibatkan lebih dari dua negara) misalnya Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang. 5



Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional; Kajian Teori dan PraktekIndonesia, cetakan pertama, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 74



7



Menurut strukturnya, perjanjian internasional berupa:6 1. Perjanjian Internasional yang bersifat law making artinya mengandung kaidah hukum yang dapat berlaku bagi semua negara di dunia, misalnya Konvensi Hukum Laut tahun 1958, Konvensi Wina tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik, 2. Perjanjian internasional yang bersifat contract, yaitu hanya menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat perjanjian saja. Misalnya: Perjanjian Ekstradisi 1974 antara Indonesia dan Malaysia. Dari segi obyeknya, perjanjian internasional dapat dibagi menjadi: 1. Perjanjian yang berisi soal-soal politik 2. Perjanjian yang berisi masalah-masalah ekonomi, budaya, dan lain-lain. Dari segi cara berlakunya, terdiri atas:7 1. Perjanjian internasional yang bersifat self executing (berlaku dengan sendirinya). Disebut self executing, bila sebuah perjanjian internasional langsung berlaku setelah diratifikasi oleh negara tertentu. 2. Perjanjian Internasional yang bersifat non self-executing. Bila harus dilakukan perubahan UU terlebih dahulu sebelum berlaku, maka perjanjian internasional itu disebut non selfexecuting. Berdasarkan instrumennya, maka perjanjian internasional (PI) ada yang berbentuk tertulis, ada pula yang lisan. PI tertulis dituangkan dalam bentuk formal secara tertulis, antara lain berupa treaty, convention, agreement, arrangement, charter, covenant, statute, constitution, protocol, 6



Eddy Pratomo,2016,Hukum Perjanjian Internasional,Dinamika dan Tinjauan Kritis Terhadap Politik Hukum Indonesia, Elex Media Komputindo, Jakarta, hlm 66 7 Anthony Aust, 2010, Handbook of International Law, Penerbit Cambridge University Press, New York, hlm. 50



8



declaration, dan lain-lain.8 Sedangkan PI lisan diekspresikan melalui instrumen-instrumen tidak tertulis. Ada berbagai macam PI tidak tertulis, misalnya:  Perjanjian Internasional Lisan (international oral agreement) PI lisan disebut juga gentlement agreement, biasanya disepakati secara bilateral, untuk mengatur hal-hal yang tidak terlalu rumit, bersifat tekhnis namun merupakan materi umum. Misalnya: The London Agreement 1946 yang mengatur distribusi keanggotaan Dewan Keamanan (DK) PBB.  Deklarasi Sepihak (Unilateral Declaration) Deklarasi Unilateral adalah pernyataan suatu negara yang disampaikan wakil negara tersebut yang berkompeten (presiden, perdana menteri, menteri luar negeri, menteri-menteri lain) dan ditujukan kepada negara lain. Deklarasi itu dapat menjadi perjanjian apabila memang mengandung maksud untuk berjanji sehingga menimbulkan kewajiban pada negara yang berjanji dan hak yang dapat dituntut oleh negara yang menjadi tujuan deklarasi tsb. Misalnya: pernyataan kemerdekaan oleh rakyat Palestina.  Persetujuan Diam-Diam (Tacit Agreement atau Tacit Consent) atau Persetujuan Tersimpul (Implied Agreement) Perjanjian ini dibuat secara tidak tegas artinya adanya PI tersebut dapat diketahui hanya melalui penyimpulan suatu tingkah laku, baik aktif maupun pasif dari suatu negara atau subyek hukum internasional lainnya.



8



Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional; Kajian Teori dan PraktekIndonesia, cetakan pertama, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 77



9



C.



Tahap-Tahap Perjanjian Internasional



Mengingat pentingnya suatu perjanjian internasional, baik bagi suatu negara maupun sebagai salah satu sumber hukum internasional, proses pembuatan-perjanjian internasional tidaklah semudah seperti perjanjian lainnya. Untuk itu, terdapat beberapa tahap dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap negara yang akan membuat perjanjian internasional. Adapun tahap dan proses yang perlu dan biasa dilakukan adalah sebagai berikut.9 1. Perundingan (Negotiation) Pembuatan



perjanjian



internasional



biasanya



dimulai



dengan



perundingan di antara negara-negara yang akan membuatnya. Hal ini dilakukan dengan dasar kebutuhan atau kepentingan dan kemampuan negara-negara yang bersangkutan agar kelak dapat dihindari adanya masalah. Isi dari perundingan yang dilakukan biasanya menyangkut beberapa masalah pokok, antara lain menyangkut masalah politik, masalah keamanan, masalah pertikaian, masalah perdagangan, masalah pertikaian dalam bidang ekonomi, masalah pertikaian dalam bidang sosial-budaya, masalah pertikaian dalam bidang pertahanan, serta masalah-masalah lainnya yang menyangkut pembentukan dan pelaksanaan perjanjian internasional. Dalam rangka membentuk perjanjian internasional, tidak semua orang dapat melakukan perundingan. Menurut ketentuan hukum internasional tentang kuasa penuh (powers full), seseorang hanya dapat dianggap mewakili suatu negara dengan sah apabila is dapat menunjukkan surat kuasa penuh (full powers atau credential). Kecuali, jika dari semula peserta konferensi sudah menentukan bahwa surat kuasa penuh seperti yang 9



I Wayan Parthiana, 2002, Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hlm. 15



10



dijelaskan tidak diperlukan. Keharusan menunjukan surat kuasa penuh, tidak berlaku bagi kepala negara, kepala pemerintahan (perdana menteri), menteri luar negeri, atau yang karena jabatannya dianggap sudah mewakili negaranya dengan sah dan dapat melakukan segala tindakan untuk mengikat negaranya pada perjanjian yang diadakan, termasuk perwakilan diplomatik. 2. Penandatanganan (Signature) Setelah perundingan selesai, dilanjutkan dengan pengesahan bunyi naskah yang merupakan tindakan formal. Bagi perjanjian multilateral (perjanjian yang dilakukan oleh beberapa negara), penandatangan naskah perjanjian dapat dilakukan apabila disetujui paling sedikit 2/3 (dua per tiga) suara peserta yang hadir. Kecuali, jika ada ketentuan lain yang mengaturnya. Adapun dalam perjanjian bilateral (perjanjian yang dilakukan oleh dua negara), penerimaan secara bulat dan penuh mutlak diperlukan oleh kedua belah pihak yang melakukan perundingan. Persetujuan dalam bentuk penandatanganan merupakan suatu tindakan yang sangat penting dalam rangka mengikatkan diri dalam suatu perjanjian internasional. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak saat ditandatanganinya tanpa harus menunggu adanya ratifikasi (pengesahan). 3. Pengesahan (Ratification) Dalam pelaksanaan suatu perjanjian, adakalanya suatu perjanjian belum mengikat sepenuhnya sehingga diperlukan proses ketiga, yaitu pengesahan. Pengesahan tanda tangan atau ratifikasi dilakukan oleh wakil negara yang turut serta dalam perundingan. Maksudnya, untuk meyakinkan bahwa utusan tersebut benar-benar melakukan tugasnya serta tidak melampaui wewenangnya. Dengan kata lain, ratifikasi sebenarnya memiliki arti sebagai persetujuan secara formal terhadap perjanjian yang melahirkan kewajibankewajiban internasional agar suatu perjanjian berlaku bagi setiap negara peserta. 11



4. Pengumuman(Publication) Hat lain yang biasa ditemukan dalam perjanjian intemasional adalah lembaga persyaratan. Keberadaan lembaga ini sangat'dibutuhkan oleh negara-negara yang ikut serta dalam perjanjian internasional, khususnya perjanjian yang sifatnya multilateral. Lembaga persyaratan dibutuhkan karena biasanya ada saja negara-negara peserta.yang kurang sepenuhnya menerima'isi materi perjanjian atau kurang sesuai dengan kepentingan nasional negaranya. Selain itu, dimungkinkan pula merugikan kepentingan nasional



negaranya



sehingga



untuk



melaksanakannya



dibutuhkan



persyaratan-persyaratan tertentu. Berdasarkan hal tersebut, lembaga persyaratan adalah pemyataan yang diajukan oleh suatu negara untuk dapat terikat pada perjanjian. Artinya, dalam melakukan perjanjian, negara yang mengajukan persyairatan tidak berarti hares mengundurkan diri dari perjanjian, tetapi tetap terikat terhadap apa-apa yang diajukan dan membawa keuntungan bagi negaranya. Oleh karena itu, setiap pihak (negara) yang mengadakan perjanjian atau turut serta dalam suatu perjanjian, berkeinginan agar apa yang dijanjikan dapat terselenggara dengan baik atau dihormati dan ditaati oleh masingmasi.'ng pihak. Namun, dalam kenyataannya semua perjanjian tidak dapat bertahan lama seperti yang dikehendaki oleh para pihak. Hal ini bisa saja terjadi jika salah satu pihak meminta pembatalan perjanjian yang telah mereka setujui. Tmdakan pembatalan pada dasarnya tidak dilarang, bahkan diperkenankan asal pembatalan dilaksanakan dengan itikad baik dan tindakan yang jujur. Konvensi Wina 1969 menetapkan alasan-alasan yang dapat diajukan oleh suatu negara untuk membatalkan persetujuan atau perjanjian yang telah disepakati, di antaranya sebagai berikut.10 10



Anthony Aust, 2010, Handbook of International Law, Penerbit Cambridge University Press, New York, hlm. 53



12



a. Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum nasional salah



satu



peserta



yang



berlcaitan



dengan



kewenangan



(kompetensi) kuasa penuh negara yang bersangkutan. b. Terdapat unsur kesalahan (error) berkenaan dengan suatu fakta atau keadaan pada waktu perjanjian dibuat. c. Terdapat unsur penipuan oleh suatu negara peserta terhadap negara peserta lain pada waktu pembejitukan perjanjian. d. Terdapat kelicikan atau akal bulus, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap mereka yang menjadi kuasa penuh dari negara peserta tertentu. e. Terdapat unsur paksaan dalam arti penggunaan kekerasan dan ancaman kepada seorang kuasa penuh atau negara peserta tertentu. f. Terdapat ketentuan yang bertentangan dengan suatu kaidah dasar atau asas jus cogent. Maksud asas ini adalah kaidah atau nortna yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan yang tidak boleh dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional umum yang baru dan mempunyai sifat sama. Adapun mengenai berakhir atau hapusnya suatu perjanjian internasional secara umum dapat disebabkan oleh hal-hal berikut ini, a. Telah tercapai tujuan perjanjian. b. Habis masa berlakunya. c. Salah satu pihak peserta perjanjian punah (misalnya, Negara tersebut hancur akibat peperangan atau bencana alam). d. Persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian. e. Diadakannya perjanjian baru antarpeserta yang isinya meniadakan perjanjian terdahulu. f. Telah dipenuhinya tentang berakhirn berakhirnya perjanjian sesuai dengan ketentuan-ketentuan sendiri. 13



D.



Berakhirnya Perjanjian Internasional Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang perjanjian Internasinal



dalam Bab VI Pasal 18 mengenai berakhirnya suatu perjanjian internasional. Perjanjian internasional berakhir apabila : a. Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian; b. Tujuan perjanjian tersebut telah tercapai; c. Terdapat



perubahan



mendasar



yang



mempengaruhi



pelaksanaan



perjanjian; d. Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian; e. Dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama; f. Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional; g. Objek perjanjian hilang; h. Terdapat



hal-hal



yang



merugikan



kepentingan



nasional.



Sedangkan menurut Konvensi Wina 1969, alasan – alasan untuk mengakhiri



eksistensi



suatu



perjanjian



internasional



adalah



Berakhirnya perjanjian dibagi atas 3 kelompok:11 1. Berakhirnya perjanjian atas persetujuan negara-negara pihak a. Berakhirnya perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri perjanjian yang berakhir dengan cara ini dijelaskan dalam pasal 54 a Konvensi Wina tentang hukum perjanjian yang berbunyi: berakhirnya suatu perjanjian atau penarikan diri dari suatu Negara dapat terjadi sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri Penyelesaian terbaik adalah bila perjanjian itu sendiri berisi ketentuan-ketentuan mengenai kapan dan bagaimana cara-cara berakhirnya perjanjian tersebut. Bila ketentuan ini dilaksanakan, tidak mungkin lagi terjadi kesalahan menganai interpretasinya. Berakhirnya masa perjanjian biasanya terjadi antara 1-99 tahun. Praktek ini menurut kebiasaan terdapat dalam perjanjian aliansi, 11



I Wayan Parthiana, Op.Cit . hlm. 17



14



arbitrasi wajib, penyewaan bagian-bagian tertentu wilayah Negara, dan lain-lain. Dapat juga disebut bila perjanjian itu telah sampai waktunya dapat diperbaharui secara diam-diam untuk selama waktu yang dipakai untuk perjanjian pertama. b. Klausula Pembubaran Diri Yang dimaksud dengan klausula ini ialah perjanjian dapat berakhir dengan dibuatnya perjanjian lain yang dianggap lebih penting. Misalnya Pakta Warsawa, yang didirikan tahun 1955, sebagai jawaban atas NATO yang lahir 1949, berisikan klausula bahwa Pakta tersebut akan bubar bila telah didirikan suatu sistem keamanan kolektif. Namun tanpa adanya sistem kolektif dimaksud, pakta warsawa kenyataannya membubarkan diri, sedangkan NATO tidak bubar bahkan telah memperluas keanggotan. c. Penarikan Diri. Suatu Negara dapat mengakhiri keikutsertaannya dalam suatu perjanjian melalui penarikan diri ini terutama dipakai dalam perjanjian-perjanjian multilateral. Penarikan diri adalah hasil dari perbuatan sepihak (unilateral) Negara pihak. Penarikan diri ini bukan merupakan pemutusan persetujuan sekehendaknya, tetapi perjanjian tersebut memang memuat syarat-syarat tertentu setelah jangka waktu tertentu. Misalnya sesuai pasal 13 Pakta NATO, penarikan diri hanya mungkin setelah 20 tahun dan dengan memberitahukan setahun sebelumnya. Penarikan diri semacam ini dinamakan penarikan diri diatur. Itu yang terjadi dengan Perancis yang menarik diri dari Organisasi Militer NATO pada tahun 1969 setelah 20 tahun berdirinya organisasi tersebut. d. Pengurangan pihak-pihak dari perjanjian multilateral dibawah jumlah yang ditentukan untuk keberlakuannya.12 Pasal 55 Konvensi Wina



12



Andreas Pramudianto, Op., Cit. hlm. 150-152



15



Kecuali jika perjanjian itu sendiri menyatakan, suatu perjanjian multilateral tidak berakhir dengan alasan hanya dari kenyataan bahwa jumlah pihak berada di bawah jumlah yang diperlukan untuk memberlakukan perjanjian itu. 2. Berakhirnya perjanjian Atas persetujuan kemudian. Inilah yang dinamakan abrogasi perjanjian. Abrogasi ini dapat dilakukan dengan terang-terangan bila Negara pihak membuat perjanjian baru dengan tujuan untuk mengakhiri perjanjian lama. Abrogasi diam-diam dapat juga dilakukan dengan membuat perjanjian baru mengenai hal yang sama tetapi berisi ketentuan yang berbeda dengan yang lama. Berbeda dengan modifikasi, abrogasi menghendaki persetujuan semua Negara pihak. Pasal 59 ayat 1 mengatur tentang pengakhiran suatu perjanjian internasional (lama/duluan) disebabkan karena dibuat perjanjian yang (baru/belakangan). Dalam hal ini, semua negara peserta pada perjanjian yang lama, kemudian membuat perjanjian baru, dan memang para pihak bermaksud untuk menggantikan perjanjian yang lama (meskipun pada perjanjian yang baru tidak secara tegas mengakhiri eksistensi perjanjian yang lama- dan memang hal ini tidak lazim dalam hukum perjanjian internasional) dan juga karena substansi dari kedua perjanjian tersebut sangat berbeda satu sama lain bahkan bertentangan sehingga tidak mungkin untuk menerapkannya secara bersamaan. Maka dari itu salah satu dari perjanjian tersebut, (dalam hal ini perjanjian yang lama) harus diakhiri eksistensinya, dan yang harus diberlakukan adalah perjanjian yang baru. 3. Berakhirnya perjanjian akibat terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu Tentu saja terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu ini sama sekali tidak termasuk dalam perjanjian yang dibuat. Peristiwa-peristiwa tersebut harus yang menjadi sebab berakhirnya suatu perjanjian. Hal ini menjadi



kontroversi antara pengikiut-pengikut dan penentang



16



berakhirnya perjanjian secara demikian. Empat sebab pembatalan berlakunya perjanjian : a. Tidak dilaksanakannya perjanjian Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 60 ayat 1, pelanggaran atas substansi perjanjian oleh salah satu pihak dapat dijadikan alasan untuk



mengakhiri



berlakunya



perjanjian,



baik



untuk



keseluruhannya ataupun untuk sebagian. Atau seperti ditegaskan dalam ayat 2, pelanggaran atas suatu perjanjian internasional oleh salah satu pihak dapat dijadikan alasan bagi pihak lainnya untuk bersepakat secara bulat untuk mengakhiri berlakunya perjanjian tersebut, (i) baik dalam hubungan antara mereka pada satu pihak dengan pihak yang melakukan pelanggaran pada lain pihak, atau (ii) antara semua pihak. Pengakhiran semacam ini bersifat fakultatif, artinya, para pihak diberikan pilihan, apakah sepakat untuk



mengakhiri



perjanjian



ataukah



tetap



melanjutkan



pelaksanaan perjanjian tersebut meskipun terjadi pelanggaran. Keadaan ini terutama berasal dari pelanggaran ketentuan perjanjian oleh suatu Negara pihak. Pelanggaran baru dianggap serius bila pelanggaran tersebut menyinggung hal-hal yang substansial. Hal ini perlu ditegaskan karena sering terjadi negaranegara menjadikan pelanggaran kecil sebagai alasan untuk membatalkan tanggung jawab dan kewajibannya terhadap perjanjian. Presiden Coolidge sebagai juri dalam penyelesaian sengketa antara Peru dan Chili menolak tuduhan Peru terhadap Chili



yang



dianggap



telah



melanggar



disposisi-disposisi



perjanjian. Juri menyatakan: Memang



penyalahgunaan



administratif



dapat



mengakhiri



berlakunya suatu perjanjian, tetapi harus dibuktikan, bahwa penyalahgunaan tersebut betul-betul telah menimbulkan suatu keadaan



yang



benar-benar 17



buruk,



sehingga



menghalangi



pelaksanaan perjanjian dan menurut pendapat kami keadaan yang demikian tidak dapat dibuktikan. Jadi jelaslah bawa pelanggaran tersebut harus bersifat serius dan dibuktikan sebelumnya, sehingga dapat mengakhiri beralkunya suatu persetujuan. Presiden Jurisprudensi tidak banyak dalam hal ini, namun keputusan Presiden Coolidge cukup tegas dan dapat diterima.. berdasarkan pertimbangan-pertimbangan disebut diatas, Pasal 60 Konvensi Wina menetapkan ketentuan sebagai berikut:  dalam



suatu



perjanjian



bilateral,



suatu



negara



dapat



menjadikan suatu pelanggaran substansial yang dilakukan oleh negara lain sebagai motif untuk mengakhiri berlakunya suatu perjanjian baik secara definitif maupun secara sementara. Pelanggaran ini tidak ipso facto mengakhiri suatu perjanjian tetapi hanya baru membuka kesempatan untuk memakai prosedur mengakhiri suatu perjanjian yang diatur oleh pasal 65 Konvensi Wina.  Dalam perjanjian multilateral, bila terjadi suatu pelanggaran oleh suatu pihak, maka berakhirnya perjanjian tersebut hanya dapat terjadi melalui suatu perundingan antara negara-negara pihak dan atas persetujuan semua negara pihak. Jadi perjanjian akan tetap berlaku, sementara prosedur yang demikian belum dilaksanakan. Dengan menerima cara tersebut Konvensi Wina hanya mengikuti praktek.  Demikianlah Peradilan Militer Nurenberg 1946 memutuskan bahwa pelanggaran perjanjian Briand-Kellog oleh jerman tidak mengakhiri berlakunya perjanjian tersebut. Walaupun terjadi pelanggaran terhadap kenetralitasan Belgia oleh Jerman tahun 1941, perjanjian 1839 yang mendirikan kenetralitasan tersebut tetap berlaku sampai 1919 dan baru dalam Perjanjian Versailles



dan



atas



persetujuan



Belgia



pula



maka



kenetralitasan itu berakhir. Disamping itu Konvensi Wina 18



menambahkan bahwa suatu negara yang terkena pelanggaran dapat menjadikannya sebagai alasan untuk menghentikan semnetara pelaksanaan suatu perjanjian dalam hubungannya dengan negara yang melakukan pelanggaran. b. Ketidakmungkinan untuk melaksanakan Pasal 61 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian menyatakan bahwa suatu negara dapat mengakhiri suatu perjanjian bila terjadi keadaan force majure dan menghentikan sementara berlakunya perjanjian tersebut bila force majure itu bersifat sementara pula. Misalnya tenggelamnya suatu pulau, keringnya suatu sungai, pecahnya bendungan, dan lain-lain. Karena terjadinya salah satu hal tersebut di atas maka perjanjian tidak dapat dilaksanakan. Tetapi dalam praktek hal-hal seperti ini jarang terjadi. Hilangnya personalitas internasional suatu negara, juga dapat mengakhiri berlakunya suatu perjanjian. c. Perubahan keadaan secara mendasar Doktrin dan praktek menerima secara bulat, bahwa perubahan fundamental dari keadaan dapat mengakhiri suatu perjanjian. Hanya dasar dari berakhirnya perjanjian tersebut berbeda-beda. Kadang-kadang ada suatu kalusula diam-diam dalam perjnjian yang dapat diartikan bahwa perjanjian hanya akan tetap mengikat bila keadaan tetap seperti biasa. Klausula diam-diam ini dinamakan clause rebus sic stantibus. Mengenai hal ini pasal 62 Konvensi Wina menyatakan: Suatu negara boleh mempergunakan perubahan keadaan sebagai alasan untuk mengakhiri atau menarik diri dari perjanjian bila dapat dibuktikan bahwa keadaan benar-benar sudah berubah dan para negara pihak pada perjanjian sama-sama setuju dan juga perubahan tersebut betul-betul akan merubah secara radikal kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan perjanjian tersebut. Apa yang dimaksud dengan perubahan keadaan yang fundamental (fundamental change of circumstances), sama sekali tidak ada 19



penegasannya dalam Konvensi. Tidak adanya penegasan ini dapat diartikan bahwa penentuannya diserahkan pada praktek negaranegara ataupun pada putusan badan penyelesaian sengketa jika menghadapi kasus yang berkaitan dengan ada atau tidaknya perubahan keadaan yang fundamental. Dengan kata lain, penentuannya



harus



ditentukan



secara



kasus



per



kasus.



Pasal 62 ayat 1 Konvensi membatasi perubahan keadaan yang fundamental ini dengan dua pembatasan yang harus dipenuhi. Pertama,



pembatasan



berdasarkan



waktu



terjadinya,



yaitu



terjadinya haruslah pada waktu proses pembuatan perjanjian, tegasnya pada waktu perundingan untuk memutuskan naskah perjanjian. Jadi buka perubahan keadaan yang terjadi setelah berlaku atau setelah dilaksanakannya perjanjian tersebut. Jika terjadinya setelah berlaku atau setelah dilaksanakannya perjanjian, maka hal itu termasuk ke dalam alasan berakhir eksistensi perjanjian internasional disebabkan ketidakmungkinan untuk melaksanakannya. Pembatasan yang kedua, adalah pembatasan yang bersifat subjektif, yakni perubahan keadaan itu tidak dapat diduga



atau



dipredikasi



sebelumnya



oleh



para



pihak.



Namun, meskipun kedua syarat tersebut telah terpenuhi, sebagaimana ditentukan dalam pasal 61 ayat 1, masih ada beberapa kualifikasi yang lebih spesifik yang harus dipenuhi, yaitu: a) adanya keadaan tersebut merupakan dasar yang esensial bagi para pihak untuk terikat pada perjanjian ; b) akibat atau efek dari perubahan keadaan itu menimbulkan perubahan yang secara radikal terhadap luasnya kewajiban yang harus dilakukan berdasarkan perjanjian tersebut. Yang



dimaksudkan



keadaan



tersebut



(the



existence



of



circumstances) adalah keadaan sebelum terjadinya perubahan keadaan yang fundamental itu sendiri. Adanya keadaan inilah yang 20



merupakan dasar yang esensial bagi para pihak untuk terikat pada perjanjian tersebut. Dengan terjadinya atau berubahnya keadaan itu secara fundamental (keadaan sebelumnya sangat berdeda secara prinsip dengan keadaan yang terjadi sesuudahnya), maka hal ini berarti, bahwa dasar yang esensial bagi negara-negara itu terikat perjanjian sudah mengalami perubahan. Di samping itu, perubahan keadaan sebagaimana ditentukan dalam pasala 61 ayat 1 butir a tersebut, menimbulkan efek atau pengaruh secara radikal terhadap luasnya kewajiban yang harus dilakukan yang bersumber dari perjanjian itu. Selanjutnya dalam pasal 61 ayat 2, ada dua larangan untuk menggunakan perubahan keadaan yang fundamental ini sebagai alasan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional. Pertama, negara peserta tidak boleh menggunakan klausul ini sebagai alasan untuk mengakhiri suatu perjanjian tentang garis batasa wilayah negara. Kedua, klausul ini juga tidak dapat dijadikansebagai



alasan untuk



mengakhiri



suatu perjanjian



internasional, jika perubahan keadaan yang fundamental ini terjadi sebagi akibat dari pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang bersangkutan atas ketentuan perjanjian internasional tersebut. d. Timbulnya norma imperatif hukum internasional Pasal 64 Konvensi Wina menyatakan Bila timbul norma baru imperatif hukum internasional umum, maka perjanjian-perjanjian yang telah ada dan betentangan dengan norma-norma tersebut menjadi batal dan berakhir. e. Perang Konvensi Wina tidak mengatur akibat perang terhadap perjanjian. Dalam kaitan ini, komisi Hukum Internasional meninjau persolan ini sebab konfrensi tentang Hukum Perjanjian akan terpakasa mempelajari pula soal-soal penggunaan kekerasan yang tentunya akan memperluas pula studi mengenai hukum perjanjian. 21



Namun demikian hukum kebiasaan telah menetapkan ketentuan sebagai berikut:  Perjanjian



bilateral



akan berakhir bila



kedua negara



berperang.  Dalam perjanjian multilateral pelaksanaan pejanjian hanya dihentikan diantara negara-negara yang berperang.  Perjanjian bilateral dan multilateral yang khusus dibuat untuk dilaksanakan di waktu perang tentu saja akan berlaku. f. Putusnya



hubungan



diplomatik



atau



konsuler



Pasal 63 Konnvensi Wina Putusnya hubungan diplomatik atau konsuler di antara para pihak perjanjian tidak berpengaruh pada hubungan hukum yang di buat dengan perjanjian di atara mereka, kecuali jika adanya hubungan diplomatik atau konsuler tersebut sangat diperlukan untuk penerapan perjanjian. Prosedur untuk Mengakhiri Eksistensi suatu Perjanjian Internasional Suatu perjanjian internasional yang hendak diakhiri eksistensinya berdasarkan kehendak dari salah satu atau beberapa pihak, menurut pasal 65 ayat 1, pihak yang bersangkutan dapat mengajukan keinginannya itu kepada negaranegara peserta yang lainnya. Pengajuan usulnya itu haruslah dilakukan secara tertulis (pasal 67 ayat 1) disertai dengan alasan-alasannya dan langkah-langkah yang seyogyanya ditempuh untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut. Selanjutnya menurut pasal 65 ayat 2, jika dalam rentang waktu tiga bulan terhitung dari saat diterimanya usulan untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut (kecuali dalam keadaan yang sangat khusus), ternyata tidak ada satu pihakpun yang menyatakan penolakan atau keberatannya, maka pihak yang mengajukan usulan itu dapat mengambil langkah-langkah seperti ditentukan dalam pasal 67 yakni menyampaikan pernyataan bahwa perjanjian itu berakhir eksistensinya kepada negara-negara peserta lainnya. Pemberitahuan atau pernyataan itu harus dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh kepala negara, atau kepala pemerintah, atau menteri luar negerinya. Jika hal itu dilakukan 22



oleh pejabat lain selain dari ketiga itu, maka harus disertai dengan suarat kuasa atau kuasa penuh (full power). Jika tidak, maka keabsahannya dapat dipersoalkan oleh pihak-pihak atau negaara-negara yang lainnya. Sementara jika ada negara-negara peserta yang menolak atau tidak menyetujui usulan untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain terjadi perbedaan pendapat bahkan dapat mengarah pada perselisihan (dispute) diantara negara-negara tersebut.13 Maka dalam hal ini, pasal 65 ayat 3 menyarankan para pihak menyelesaikannya melalui jalan damai sebagaimana diamanatkan oleh pasal 33 Piagam PBB. Jika para pihak bermaksud untuk menyelesaikan perselisihan ini ke hadapan badan penyelesaian sengketa, seperti peradilan, arbitrase atau konsiliasi, setelah gagal menempuh upaya damai, maka pasal 66 Konvensi memberikan petunjuk yang dapat ditempuh oleh para pihak. Dalam tempo 12 bulan setelah keberatan itu diajukan, ternyata belum dicapai penyelesaiannya, salah satu dari pihak yang berselisih atau bersengketa tentang masalah penafsiran atau penerapan atas pasal 53 atau 64 (berkenaan dengan jus cogens), dengan suatu permohonan tertulis dapat menyerahkan perselisihan itu ke hadapan Mahkanah Internasional untuk diputuskan, kecuali para pihak berdasarkan persetujuan bersama sepakat untuk mengajukan perselisihan itu ke hadapan arbitrase (pasal 66 butir a). Sedangkan pasal 66 butir b menegaskan tentang perselisihan yang timbul berkenaan dengan interpretasi ataupun pelaksanaan atas Bagian V Konvensi (berkenaan dengan ketidakabsahan, pengakhiran, dan penundaan berlakunya perjanjian) dapat menempuh prosedur penyelesaian sengketa sebagaimana secara rinci diatur dalam Annex (dari Konvensi dengan cara mengajukan permohonan tentang penyelesaian tersebut kepada Sekretaris Jenderal PBB. Adapun penyelesaian sengketa sebagaimana diatur dalam Annex dari Konvensi ini adalah penyelesaian melalui mekanisme konsiliasi. Meskipun demikian, Konvensi masih memberikan kesempatan kepada para pihak yang berubah pendirian, misalnya di tengah jalan ternyata 13



Sefriani,Pengakhiran Sepihak Perjanjian Perdagangan Internasional ,PADJAJARAN Jurnal Ilmu Hukum Volume 2 Nomor 1,tahun 2015



23



mengurungkan niatnya untuk mengakhiri perjanjian. Dalam hal ini, pasal 68 Konvensi memberikan kesempatan kepada negara atau negara-negara tersebut untuk pada saetiap saat menarik kembali pemberitahuan ataupun instrumentinstrumen yang berkenaan dengan pengakhiran perjanjian seperti ditegaskan dalam pasal 65 dan 67, sepanjang semua itu belum menimbulkan akibat-akibat hukum. Akibat Hukum dari Berakhirnya Eksistensi suatu Perjanjian Internasional Tentang



konsekuensi



hukum



dari



pengakhiran



suatu



perjanjian



internasioan diatur di dalam pasal 70 ayat 1 dan 2 Konvensi. 1. Kecuali jika perjanjian itu menyebutkan atau para pihak menyetujuinya, maka berakhirnya suatu perjanjian yang ada atau menurut konvensi ini: a) melepaskan para pihak dari suatu kewajiban dan selanjutnya untuk melaksanakan perjanjian tersebut. b) tidak berpengaruh pada sesuatu hak, kewajiban, atau situasi hukum dari para pihak yang timbul melalui pelaksanaan perjanjian sebelum berakhir. 2. Jika suatu negara mengadukan atau menarik diri dari perjanjian multilateral, maka ayat (1) tersebut dapat diterapkan dalam hubungan antara negara tersebut dan masing-masing dari para pihak lainnya dari tanggal pada waktu pengaduan atau penarikan diri itu berlaku. Menurut ayat 1, ada tiga kemungkinannya, yakni, perjanjian itu mengatur tersendiri di dalam salah satu pasal atau ketentuannya ; jika pengaturan tidak ada, kemungkinan yang kedua adalah para pihak mencapai kesepakatan tersendiri, dan kemungkinan yang ketiga adalah jika keduanya tidak ada, maka para pihak dapat mengikuti ketentuan seperti ditentukan dalam pasal 70 ayat 1 ini. Mengenai kemungkinan yang pertama, maka para pihak cukup menerapkan ketentuan yang terdapat dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi dalam prakteknya, memang sangat jarang ada- bahkan mungkin tidak ada – perjanjian internasional yang mengatur sampai sejauh ini, bahkan lebih banyak dijumpai perjanjian-perjanjian internasional yang sama sekali tidak mengaturnya. Kemungkinan yang kedua, yaitu para pihak akan mengatur tersendiri (di luar 24



perjanjian), hanya mungkin apabila pengakhiran atas eksistensi perjanjian internasional dilakukan atas dasar kesepakatan (secara damai) antara para pihak. Jika ada kesepakatan semacam ini, maka para pihak tentu saja harus menerapkan kesepakatan ini saja, dan jika semua berlangsung dengan baik dan lancer, maka berakhirlah semua masalahnya. Jika kemungkinan pertama dan kedua itu tidak ada, maka menurut ayat 1, jika pengakhiran atas eksistensi perjanjian internasional itu berdasarkan atas alasan-alasan seperti ditentukan dalam Konvensi, maka pengakhiran perjanjian itu akan : (a) membebaskan para pihak dari kewajiban-kewajiban yang bersumber dari perjanjian tersebut; (b) tidak mengganggu hak, kewajiban ataupun situasi hukum (legal situation) dari para pihak yang lahir dari pelaksanaan perjanjian selama perjanjian itu masih berlaku atau sebelum berakhirnya eksistensi perjanjian tersebut.



25



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Sampai saat ini para ahli masih mempunyai sudut pandang yang berbeda¬beda terhadap makna perjanjian internasional sehingga makna istilah tersebut masih beraneka ragam. Dari pendapat-pendapat para ahli tersebut kemudian dapat disimpulkan makna perjanjian internasional. Perjanjian internasional adalah kesepakatan antara dua atau lebih subjek hukum internasional (misalnya negara, lembaga internasional) yang menurut hukum internasional menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kesepakatan. Dalam mempelajari perjanjian internasional, dike¬mukakan beberapa istilah perjanjian intemasional yang sering dipakai dikalangan internasional seperti Traktat (Treaty), Konvensi (Convention), Pakta (Pact), Perikatan (Arrangement), Persetujuan (Agreement), Deklarasi (Declaration), Piagam (Statute), Convenant, Charter, Protokol (Protocol), Modus Vivendi, Ketentuan Penutup (Final Act), dan Ketentuan Umum (General Act). Beberapa kriteria untuk mengelompokkan perjanjian internasional, antara lain berdasarka jumlah pesertanya, strukturnya, objeknya, cara berlakunya, instrumen pembentuk perjanjiannya. Mengingat pentingnya suatu perjanjian internasional, baik bagi suatu negara maupun sebagai salah satu sumber hukum internasional, proses pembuatan-perjanjian internasional tidaklah semudah seperti perjanjian lainnya. Untuk itu, terdapat beberapa tahap dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap negara yang akan membuat perjanjian internasional. Adapun tahap dan proses yang perlu dan biasa dilakukan adalah antara lain perundingan (negotiation), penandatanganan (signature), pengesahan (ratification), dan pengumuman (publication).



26



DAFTAR PUSTAKA



Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional; Kajian Teori dan PraktekIndonesia, cetakan pertama, Refika Aditama, Bandung, 2010 Eddy Pratomo,2016,Hukum Perjanjian Internasional,Dinamika dan Tinjauan Kritis Terhadap Politik Hukum Indonesia, Elex Media Komputindo, Jakarta I Wayan Parthiana, 2002, Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, Penerbit Mandar Maju, Bandung J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional 2 (edisi kesepuluh), (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) Sefriani,Pengakhiran Sepihak Perjanjian Perdagangan Internasional ,PADJAJARAN Jurnal Ilmu Hukum Volume 2 Nomor 1,tahun 2015



27