Makalah Perjanjian Kredit & Hukum Penjaminan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PERJANJIAN KREDIT DAN HUKUM PENJAMINAN



Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Business Law



Dosen Pengampu : Aldi Wibowo Gumila., SE



Disusun oleh : Acep Irpan



201906028



Aura Aulia Kuswendi



201906033



Mimma Maulida



201906042



Restu Prasetya Mukti



201906043



POLITEKNIK LP3I KAMPUS TASIKMALAYA Jalan Ir. H. Juanda KM. 2 No. 106, Panglayungan, Kec. Cipedes, Tasikmalaya, Jawa Barat 46151. Telp (0265)311766 2021



KATA PENGANTAR



Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, yang telah melimpahkan hidayah-Nya dan memberi kami kesempatan dalam menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Business Law dengan judul Perjanjian Kredit dan Hukum Penjaminan. Dalam makalah ini memaparkan tentang teori-teori yang menyangkut Perjanjian Kredit dan Hukum Penjaminan. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini. Apabila terdapat banyak kesalahan dalam makalah ini kami mohon maaf sebesar-besarnya. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen kami Bapak Aldi Wibowo Gumila yang telah membimbing dalam menyusun makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.



Tasikmalaya, 01 Maret 2021



Penulis



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ............................................................................................ i DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 2 1.3 Tujuan ...................................................................................................... 2 BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3 2.1 Perjanjian ................................................................................................. 3 2.1.1 Pengertian Perjanjian ........................................................................ 3 2.1.2 Syarat Sah Perjanjian ........................................................................ 3 2.2 Perjanjian Kredit ....................................................................................... 5 2.2.1 Pengertian Perjanjian Kredit .............................................................. 5 2.2.2 Unsur-unsur Perjanjian Kredit ............................................................ 5 2.2.3 Dasar-dasar Pemberian Kredit .......................................................... 6 2.2.4 Bentuk Perjanjian Kredit .................................................................... 7 2.2.5 Subjek dan Objek Perjanjian Kredit ................................................... 7 2.3 Hukum Penjaminan .................................................................................. 8 2.3.1 Tinjauan tentang Jaminan Kredit ....................................................... 9 2.3.2 Persyaratan dan Kegunaan Benda Jaminan .................................... 10 2.3.3 Jenis-Jenis Jaminan ........................................................................ 10 2.3.4 Sifat Perjanjian Jaminan .................................................................. 13 BAB III PENUTUP ............................................................................................. 14 3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 14 DAFTAR PUSTAKA



ii



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam suatu perjanjian kredit memerlukan adanya suatu jaminan. Namun bukan berarti didalam suatu perjanjian kredit tersebut tidak ada risikonya. Untuk menghindari wanprestasi yang merugikan kreditor maka oleh karena itu sangat diperlukan objek jaminan untuk menjamin keamanan kreditor sehingga hak kreditor terpenuhi dan debitor melakukan kewajibannya dengan baik. Istilah jaminan merupakan terjemahan dari istilah zekerheid atau cautie, yaitu kemampuan debitor untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditor, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungannya atas pinjaman atau utang yang diterima debitor terhadap kreditornya. Arti Jaminan itu sendiri menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 diberi istilah agunan atau tanggungan sedangkan jaminan menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 diberikan arti yang lain, yaitu keyakinan atas itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi utangnya



atau



mengembalikan



pembiayaan



dimaksud



sesuai



dengan



diperjanjikan. Sesuai dengan tujuannya, barang jaminan baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak tersebut bukan untuk dimiliki secara pribadi oleh kreditor, karena perjanjian kredit bukanlah merupakan suatu perjanjian jual beli yang mengakibatkan perpindahan hak milik atas suatu barang, akan tetapi barang jaminan tersebut dipergunakan untuk melunasi utang dengan cara sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku, yaitu barang dijual secara lelang dimana hasilnya untuk melunasi utang debitur, dan apabila terdapat sisa maka hasilnya akan dikembalikan kepada debitur. Fungsi lain jaminan kredit dalam rangka pemberian kredit berkaitan dengan kesungguhan pihak debitur untuk memenuhi kewajibannya untuk melunasi kredit sesuai yang diperjanjikan dan menggunakan dana yang dimilikinya secara baik dan hati-hati, dimana hal tersebut diharapkan akan mendorong pihak debitur untuk melunasi hutangnya, sehingga dapat mencegah terjadinya pencairan jaminan



1



kredit yang mungkin saja tidak diinginkan karena memiliki nilai (harga) yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan utang debitur kepada bank. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Apa yang dimaksud dengan perjanjian kredit? 2. Bagaimana hukum penjaminan dalam perjanjian kredit? 1.3 Tujuan Tujuan pembahasannya adalah untuk mengetahui : 1. Untuk mengetahui apa itu perjanjian kredit. 2. Untuk mengetahui hukum penjaminan dalam perjanjian kredit.



2



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Perjanjian 2.1.1



Pengertian Perjanjian



Perjanjian adalah suatu hal yang sangat penting karena menyangkut kepentingan para pihak yang membuatnya. Oleh karena itu hendaknya setiap perjanjian dibuat secara tertulis agar diperoleh suatu kekuatan hukum, sehingga tujuan kepastian hukum dapat terwujud. Sehubungan dengan perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata memberikan defenisi sebagai berikut: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. R. Subekti menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa ini timbul suatu hubungan perikatan. Perjanjian merupakan bagian dari perikatan dan perikatan itu mempunyai cakupan yang lebih luas daripada perjanjian. Definisi berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata sebenarnya tidak lengkap, karena hanya mengatur perjanjian sepihak dan juga sangat luas karena istilah perbuatan yang dipakai akan mencakup juga perbuatan melawan hukum. Menurut R.Wirjono Prodjodikoro mengartikan perjanjian sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara kedua belah pihak dalam mana satu pihak berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu. Sedangkan, menurut Abdul Kadir Muhammad merumuskan kembali definisi Pasal 1313 KUHPerdata sebagai berikut, bahwa yang disebut perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikat diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan. 2.1.2



Syarat Sah Perjanjian



Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Syarat sah perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang terdiri dari 4 syarat yaitu: 1. Adanya kata sepakat mereka yang mengikat diri 3



Kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian, harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diamdiam. Dengan demikian, suatu perjanjian itu tidak sah apabila dibuat atau didasarkan kepada paksaan, penipuan atau kekhilafan. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Kecakapan adalah adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Menurut hukum kecapakan termasuk kewenangan untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya. Perbedaan antara kewenangan hukum dan kecakapan berbuat adalah bila kewenangan hukum maka subjek hukum dalam hal pasif, sedangkan dalam hal kecakapan berbuat subjek hukumnya aktif. Yang termasuk cakap disini adalah orang dewasa, sehat akal pikirnya, dan tidak dilarang oleh Undang-Undang. 3. Suatu hal tertentu Bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan adalah mengenai suatu objek tertentu yang telah disepakati. Menurut KUH Perdata objek tertentu adalah : 1) Suatu hal tertentu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian adalah harus suatu hal atau barang yang cukup jelas atau tertentu yakni paling sedikit ditentukan jenisnya (Pasal 1333 KUH Perdata); 2) Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian (Pasal 1332 KUH Perdata). 4. Suatu sebab yang halal Suatu perjanjian adalah sah bila sebab itu tidak dilarang oleh undangundang, kesusilaan atau ketertiban umum. Karena perikatan menganut sistem terbuka, maka dalam pembuatan perjanjian dikenal asas kebebasan berkontrak. Hal ini dapat dijumpai dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Asas ini membebaskan orang untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih undang-undang yang akan dipakainya untuk perjanjian itu.



4



2.2 Perjanjian Kredit 2.2.1



Pengertian Perjanjian Kredit



Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi, yaitu "Credere" yang berarti kepercayaan. Oleh karena itu, dasar kredit ialah kepercayaan. Dengan demikian seseorang yang telah memperoleh kredit pada dasarnya telah memperoleh kepercayaan. Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 angka (11), pengertian kredit adalah: Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Undang-undang Perbankan menunjuk "perjanjian pinjam meminjam" sebagai acuan dari perjanjian kredit. Perjanjian pinjam meminjam itu diatur dalam KUH Perdata Pasal 1754, yang menyatakan bahwa: Perjanjian pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu, barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipal) yang bersifat real. Arti real ialah bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh "penyerahan" uang oleh bank kepada nasabah. Perjanjian kredit bank digolongkan kepada jenis perjanjian pokok. Perjanjian pokok yaitu perjanjian antara kreditur dan debitur yang berdiri sendiri tanpa bergantung kepada adanya perjanjian yang lain.



2.2.2



Unsur-unsur Perjanjian Kredit



Terdapat 4 unsur pokok kredit sebagai berikut : 1) Kepercayaan, adalah suatu keyakinan pemberi kredit bahwa prestasi (uang, jasa atau barang) yang diberikannya



akan benar-benar



diterimanya kembali sesuai dengan jangka waktu yang telah dijanjikan. 2) Waktu, adalah bahwa antara pemberian prestasi dan pengembaliannya dibatasi oleh suatu masa atau waktu tertentu. 3) Risiko, berarti bahwa setiap pelepasan kredit jenis apapun akan



5



terkandung risiko di dalamnya, yaitu risiko yang terkandung dalam jangka waktu antara pelepasan kredit dan pembayaran kembali. 4) Prestasi, adalah yang diberikan yaitu suatu prestasi yang dapat berupa barang, jasa atau uang. Prestasi disini berarti bahwa setiap kesepakatan terjadi antara bank dan debitur mengenai suatu pemberian kredit, maka pada saat itu pula akan terjadi suatu prestasi dan kontra prestasi.



2.2.3



Dasar-dasar Pemberian Kredit



Dalam memberikan kredit, bank wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutang-hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum perjanjian kredit disepakati para pihak bank dapat melakukan pengamatan terhadap debitur, yang dikenal dengan prinsip “5C” yaitu : 1) Character, merupakan suatu dasar pemberian kredit atas dasar kepercayaan, yaitu kepercayaan dari pihak bank bahwa peminjam mempunyai modal, watak ataupun sifat-sifat pribadi yang positif dan mempunyai rasa tanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya. 2) Capacity, merupakan suatu penilaian kepada calon debitur mengenai kemampuan melunasi kewajiban-kewajibannya dari kegiatan usaha yang akan dilakukannya, yang dibiayai dengan kredit dari bank. Sehingga bank merasa yakin bahwa usaha yang akan dibiayai dengan kredit tersebut dikelola oleh orang yang tepat. 3) Capital, merupakan jumlah dana atau modal sendiri yang dimiliki oleh calon debitur. Kemampuan capital ini antara lain dicerminkan dalam bentuk kewajiban untuk menyelenggarakan self financing sampai jumlah tertentu dan sebaliknya harus lebih besar dari kredit yang akan diminta kepada perbankan. 4) Collateral, merupakan barang-barang jaminan yang akan diserahkan oleh peminjam atau debitur sebagai jaminan atas kredit yang diterimanya. Manfaat collateral yaitu sebagai alat pengaman apabila usaha yang dibiayai dengan kredit tersebut gagal atau sebab-sebab lain dimana debitur tidak mampu melunasi kreditnya dari kegiatan usahanya. 5) Condition of Economy, adalah situasi dan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain yang mempengaruhi keadaan perekonomian pada suatu 6



saat maupun untuk kurun waktu tertentu yang kemungkinannya akan dapat



mempengaruhi



kelancaran



usaha



dari



perusahaan



yang



memperoleh kredit.



2.2.4



Bentuk Perjanjian Kredit



Sesuai dengan penjelasan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 8 ayat (2), bahwa pemberian kredit dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis, kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit, tetapi pada prakteknya bentuk perjanjian kredit dibuat secara baku. Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan pada umumnya mempergunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Perjanjian baku adalah perjanjian yang materinya ditentukan terlebih dahulu secara sepihak oleh kreditur (bank) dengan syarat-syarat yang dibakukan dan ditawarkan kepada masyarakat untuk digunakan secara masal atau individual. Jika debitur telah membubuhkan tanda tangannya di atas formulir perjanjian baku, berarti debitur tersebut sudah menyetujui isi perjanjian. Perjanjian baku ini memiliki karakter sebagai berikut : a. Ditentukan sepihak b. Berbentuk formulir c. Mengandung syarat eksonerasi, yaitu syarat dari pihak kreditur untuk mengelakkan



dirinya



dari



tanggung



jawab



yang



seharusnya



menjadi



kewajibannya. d. Dicetak dengan huruf kecil e. Diserahkan kepada konsumen sebagai "take it or leave it contract".



2.2.5



Subjek dan Objek Perjanjian Kredit



Subjek Hukum dalam perjanjian kredit ialah pihak-pihak yang mengikatkan diri dalam hubungan hukum. Didalam perjanjian kredit mencakup dua pihak yaitu pihak kreditor yang merupakan orang atau badan yang memiliki uang, barang, atau jasa yang bersedia untuk meminjamkan kepada pihak lain (pemberi kredit) dan debitor yang merupakan pihak yang membutuhkan atau meminjam uang, barang, atau jasa (pemohon kredit). Pihak kreditor dalam perjanjian kredit bank adalah lembaga bank yang dapat



7



menyalurkan kredit sebagaimana diatur UU Perbankan yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat. Pihak debitor dalam perjanjian kredit bank dapat pribadi atau manusia yang secara tegas menurut Undang-Undang dinyatakan cakap hukum dan badan hukum. Dalam UU Perbankan, obyek kredit berbentuk uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu dan tidak berbentuk barang (Pasal 1 Butir Angka 11 dan 12). Dengan demikian dalam hukum Indonesia dewasa ini kredit perbankan obyeknya selalu dalam bentuk uang atau tagihan dan apabila dalam perjanjian kredit berkaitan dengan pembelian barang (misalnya kredit pemilikan rumah, atau kredit kendaraan bermotor), maka akan merupakan kredit yang bertujuan untuk membeli barang atau benda tersebut.



2.3 Hukum Penjaminan Hukum jaminan merupakan ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jaminan (debitur) dan penerima jaminan (kreditur), sebagai akibat pembebanan suatu utang tertentu dengan suatu jaminan. Bahwa dalam hukum jaminan tidak hanya mengatur perlindungan hukum terhadap kreditur sebagai pihak pemberi hutang saja, melainkan juga mengatur perlindungan hukum terhadap debitur sebagai pihak penerima hutang. Menurut Salim HS, hukum jaminan adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit. Unsur-unsur yang tercantum di dalam definisi ini adalah : 1. Adanya Kaidah Hukum Kaidah hukum dalam bidang jaminan, dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu kaidah hukum jaminan tertulis dan kaidah hukum jaminan tidak tertulis. Kaidah hukum jaminan tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum jaminan tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum jaminan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat. Hal ini terlihat pada gadai tanah dalam masyarakat yang dilakukan secara lisan. 2. Adanya Pemberi dan Penerima Jaminan Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badan hukum yang menyerahkan



8



barang jaminan kepada penerima jaminan. Yang bertindak sebagai pemberi jaminan ini adalah orang atau badan hukum yang membutuhkan fasilitas kredit. Orang ini biasa disebut dengan debitur. Penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang menerima barang jaminan dari pemberi jaminan. Yang bertindak sebagai penerima jaminan ini adalah orang atau badan hukum. Badan hukum adalah lembaga yang memberikan fasilitas kredit, dapat berupa lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan non bank. 3. Adanya Jaminan Pada dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada kreditur adalah jaminan materiil dan imateriil. Jaminan materiil merupakan jaminan yang berupa hak-hak kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan imateriil merupakan jaminan nonkebendaan. 4. Adanya Fasilitas Kredit Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan nonbank. Pemberian kredit merupakan pemberian uang berdasarkan kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga keuangan nonbank percaya bahwa debitur sanggup untuk mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya. Begitu juga debitur percaya bahwa bank atau lembaga keuangan nonbank dapat memberikan kredit kepadanya.



2.3.1



Tinjauan tentang Jaminan Kredit



Istilah jaminan merupakan terjemahan dari istilah zekerheid atau cautie yaitu kemampuan debitur untuk melunasi perutangannya kepada kreditur, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur tehadap krediturnya. Jaminan secara umum diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata yang menetapkan bahwa segala hak kebendaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya. Dengan demikian, segala harta kekayaan debitur secara otomatis menjadi jaminan manakala orang tersebut membuat perjanjian utang meskipun tidak dinyatakan secara tegas sebagai jaminan.



9



2.3.2



Persyaratan dan Kegunaan Benda Jaminan



Pada prinsipnya tidak semua benda jaminan dapat dijaminkan pada lembaga perbankan atau lembaga keuangan non bank, namun benda yang dijaminkan adalah benda-benda yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut Rachmadi Usman, syarat-syarat benda jaminan yang baik adalah : 1) Dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukannya; 2) Tidak melemahkan potensi (kekuatan) debitur untuk melakukan atau meneruskan usahanya; 3) Memberikan kepastian kepada kreditur, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya debitur.



Jaminan pemberian kredit berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan adalah bahwa keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari nasabah debitur. Hal ini menegaskan bahwa jaminan hendaklah mempertimbangkan dua faktor, yaitu : 1. Secured, artinya jaminan kredit mengikat secara yuridis formal sehingga apabila suatu hari nanti nasabah debitur melakukan wanprestasi (cedera janji), maka bank memiliki kekuatan yuridis untuk melakukan tindakan eksekusi. 2. Marketable, artinya bila jaminan tersebut hendak dieksekusi, dapat segera dijual atau diuangkan untuk melunasi seluruh kewajiban debitur.



2.3.3



Jenis-Jenis Jaminan



Jenis jaminan dapat digolongkan menurut hukum yang berlaku di Indonesia dan yang berlaku diluar negeri. Dalam Pasal 24 UU Perbankan ditentukan bahwa “Bank tidak akan memberikan kredit tanpa adanya jaminan”. Jaminan dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu :



10



1. Jaminan Materiil (jaminan kebendaan), adalah jaminan yang objeknya berupa baik benda bergerak maupun tidak bergerak yang khusus diperuntukan untuk menjamin utang debitur kepada kreditur apabila dikemudian hari debitur tidak dapat membayar utangnya kepada kreditur. 2. Jaminan imateriil (jaminan perorangan), adalah perjanjian antara seorang berpiutang atau kreditur dengan seorang ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang atau debitur.



Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengemukakan pengertian jaminan materiil dan jaminan kebendaan, bahwa jaminan materiil adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang mempunyai ciri-ciri hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan. Sedangkan jaminan imateriil adalah jaminan yang langsung menimbulkan hubungan langsung pada orang tertentu. Jaminan materiil (kebendaan) terdiri atas : 1) Gadai (pand), berdasarkan Pasal 1150 KUHPerdata, Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur sebagai jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dan barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu sebagai gadai dan yang harus didahulukan. 2) Hipotek, berdasarkan Pasal 1162 KUHPerdata bahwa, Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan. Dalam hipotek yang menjadi objek adalah kapal dengan isi 20 m3 yang termasuk benda tidak bergerak. Eksekusi terhadap hipotik dapat melihat pada ketentuan Pasal 1178 (2) KUHPerdata: Dalam hal debitur wanprestasi, maka kreditur selaku pemegang hipotik atas kapal berhak untuk melakukan penjualan secara lelang di muka umum atas kapal-kapal yang sudah dibebani dengan hipotik yang mana hasil penjualan kapal tersebut digunakan sebagai pelunasan kewajiban debitor



11



kepada kreditur. 3) Hak Tanggungan, adalah hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Pasal 1 angka 1 UUHT menyebutkan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. 4) Jaminan Fidusia, yaitu hak jaminan atas suatu benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UUHT yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagaimana jaminan bagi pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.



Sedangkan yang termasuk jaminan imateriil (perorangan) yaitu : 1) Penanggungan (Borgtocht) Perjanjian Penaggungan ini diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata. Menurut ketentuan Pasal 1820 KUH Perdata, penanggungan ialah suatu persetujuan dimana pihak ketiga



demi



kepentingan kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya. 2) Tanggung-menanggung atau tanggung renteng Menurut Pasal 1278 KUH Perdata, dalam perikatan tanggung menanggung atau tanggung renteng salah satu pihak atau masing-masing pihak lebih dari satu orang. Dalam perikatan ini dikenal adagium: “Satu untuk seluruhnya atau seluruhnya untuk satu”. Sebagai contoh dapat dikemukakan antara lain, Pasal 1749 KUH Perdata yang berbunyi: Jika beberapa orang bersama-sama meminjam satu barang, maka mereka masing-masing wajib bertanggung jawab atas keseluruhannya kepada pemberi pinjaman. Demikian pula Pasal 1836 KUH Perdata, menyatakan:



jika



beberapa



orang



telah



mengikatkan



diri



sebagai



penanggung untuk seorang debitur yang sama dan untuk utang yang sama,



12



maka masing-masing penanggung terikat untuk seluruh utang itu. 3) Perjanjian garansi Pasal 1316 KUH Perdata mengatur tentang peranjian garansi, dimana pemberi garansi menjamin bahwa seorang pihak ketiga akan berbuat sesuatu yang biasanya (tidak selalu) berupa tindakan “menurut suatu perjanjian tertentu”. Seorang pemberi garansi mengikatkan diri untuk memberi ganti rugi jika pihak ketiga yang menjamin tidak melakukan perbuatan yang digaransinya.



2.3.4



Sifat Perjanjian Jaminan



Pada dasarnya perjanjian kebendaan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok merupakan perjanjian untuk mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga perbankan atau lembaga keuangan non bank. Perjanjian Accesoir adalah perjanjian yang bersifat tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok. Contoh perjanjian accesoir ini adalah perjanjian pembebanan jaminan, seperti perjanjian gadai, tanggungan dan fidusia. Jadi, sifat perjanjian jaminan adalah perjanjian accesoir, yaitu mengikuti perjanjian pokok. Setiap ada perjanjian jaminan pasti ada perjanjian yang mendahuluinya, yaitu perjanjian utang-piutang yang disebut perjanjian pokok karena tidak mungkin ada perjanjian jaminan tanpa ada perjanjian pokoknya. Hal ini disebabkan karena tidak mungkin ada perjanjian jaminan yang dapat berdiri sendiri, melainkan selalu mengikuti perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokoknya telah selesai, maka perjanjian jaminannya juga selesai. Sifat perjanjian seperti ini disebut dengan accessoir. Jadi perjanjian jaminan timbul sebagai adanya akibat perjanjian pokok yang menyebutkan secara khusus adanya penjaminan tersebut. Kedudukan perjanjian jaminan sebagai perjanjian yang bersifat accessoir (tambahan) mempunyai ciri-ciri: 1. Lahir dan hapusnya tergantung kepada perjanjian pokok; 2. Ikut batal dengan batalnya perjanjian pokok; 3. Ikut beralih dengan berlihnya perjanjian pokok.



13



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan



Dalam perjanjian kredit sudah ditentukan bahwa pemberi kredit adalah bank atau lembaga pembiayaan lainnya. Pada Perjanjian Kredit, bank harus mempunyai keyakinan



akan



kemampuan



debitor



akan



pengembalian



kredit



yang



diformulasikan dalam bentuk jaminan baik materiil maupun imateriil. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum perjanjian kredit disepakati para pihak bank dapat melakukan pengamatan terhadap debitur. Upaya tersebut dapat ditempuh dengan melakukan penelitian dan pengamatan terhadap calon debitor dengan cara analisis 5C (Character, Capacity, Capital, Colleteral, Condition of Economi). Perjanjian kredit bank digolongkan kepada jenis perjanjian pokok. Perjanjian pokok yaitu perjanjian antara kreditur dan debitur yang berdiri sendiri tanpa bergantung kepada adanya perjanjian yang lain. Perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan. Dalam pelaksanaan perjanjian kredit yang dilaksanakan oleh bank perlu adanya suatu jaminan. Hal ini dikarenakan kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Pengertian dari hukum jaminan adalah perangkat hukum yang mengatur tentang jaminan dari pihak debitur atau pihak ketiga untuk kepastian pelunasan piutang kreditur atau pelaksanaan suatu prestasi. Maka dapat dikemukakan, bahwa fungsi utama dari jaminan adalah untuk meyakinkan bank atau kreditur bahwa debitur mempunyai kemampuan untuk melunasi kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan perjanjian kredit yang telah disepakati.



14



DAFTAR PUSTAKA



Website :



https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/0d8bfe81dafc835317430c772f67a0 cb.pdf https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/2020/05.2%20bab%202.pdf http://repository.unisba.ac.id/bitstream/handle/123456789/5121/06bab2_reno_10 040011052_skr_2015.pdf https://media.neliti.com/media/publications/281766-fungsi-jaminan-dalamperjanjian-kredit-25088f4f.pdf http://repository.uin-suska.ac.id/7298/4/BAB%20III.pdf https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/4374/05.1%20bab%201.pdf http://eprints.ums.ac.id/57260/3/BAB%20I.pdf