Makalah Prinsip Pemahaman Wacana [PDF]

  • Author / Uploaded
  • astry
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A.  Latar Belakang Wacana bersifat kontekstual, sebuah ujaran yang sama namun memiliki konteks yang berbeda akan menghasilkan dua wacana yang berbeda. Sebagai contoh adalah dua orang yang saling bercakap-cakap dalam status percakapan antar teman atau antar orang yang berstatus sama, setelah beberapa menit kemudian dapat menempatkan mereka dalam status yang berbeda seperti antara dokter dan pasiennya. Ciri berikutnya yaitu wacana didukung oleh subjek, hal ini berarti bahwa wacana selalu berkaitan dengan subjek. Biasanya subjek muncul menentukan siapa yang bertangggung jawab terhadap apa yang di ujarkan (Maingueneau, 1998:40-41) Wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif paling kompleks dan paling lengkap. Satuan pendukung kebahasaannya meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat paragraf, hingga karangan utuh. Tujuannya, tidak lain, untuk membekali pemakai bahasa agar dapat memahami dan memakai bahasa dengan baik dan benar. Kajian wacana berkaitan dengan pemahaman tentang tindakan manusia yang dilakukan dengan bahasa (verbal) dan bukan bahasa (nonverbal). Hal ini menunjukkan, bahwa untuk memahami wacana dengan baik dan tepat, diperlukan bekal bekal pengetahuan kebahasaan, dan bukan kebahasaan (umum). Pernyataan itu mengisyaratkan, betapa luas runag lingkup yang harus ditelusuri dalam kajian wacana (Soenjono Dardjowidjojo, 1986:108). B.  Rumusan Masalah 1. Apa dan bagaimana prinsip-prinsip wacana? 2. Apa dan bagaimana kedudukan analisis wacana? C.  Tujuan 1.



Untuk mengetahui dan menjelaskan prinsip-prinsip wacana.



2.



Untuk mengetahui dan menjelaskan kedudukan analisis wacana.



BAB II PEMBAHASAN A.    Prinsip Pemahaman Wacana Untuk memahami suatu wacana, diperlukan kemampuan dan cara-cara tertentu. Kemampuan berkaitan dengan pengetahuan umum seorang analisis wacana. Sedangkan cara yang dimaksudkan adalah prinsip-prinsip pemahaman terhadap wacana. Beberapa prinsip yang penting antara lain adalah prinsip analogi dan prinsip penafsiran lokal. 1.      Prinsip Analogi Sebagaimana disebutkan di bagian depan, secara keseluruhan wacana merupakan unsur kebahasaan yang sekaligus melibatkan bebagai aspek (baik internal maupun eksternal, verbal maupun nonverbal). Suatu wacana pada dasarnya mengandung sejumlah pengetahuan dan informasi yang tidak begitu saja mudah dipahami oleh pembaca atau pendengar. Oleh karenanya, diperlukan cara tertentu untuk memahami hal yang sebenarnya diinformasikan oleh wacana tersebut. Salah satu prinsip pemahaman wacana yang sangat penting dan bersifat mendasar adalah prinsip analogi. Prinsip ini menganjurkan kepada pembaca, pendengar, atau siapapun yang ingin mengkaji wacana (baik tulis maupun lisan) agar menyiapkan bekal pengetahuan umum, wawasan yang mendalam, atau pengalaman dunia yang luas (knowledge of world) untuk mengenalisis wacana. Anjuran ini sama sekali tidak berlebihan, mengingat wacana sebenarnya adalah kristalisasi dan sekaligus simplifikasi dari berbagai aspek kehidupan manusia yang



menyatu



secara



komprehensif,



utuh,



dan



lengkap.



Untuk



menginterpretasikan dan memahami isi wacana yang seperti itulah dibutuhkan bekal yang mampu mewadahi apapun yang ada dalam sebuah wacana. Prinsip analogi mampu menjelaskan gejala bahasa yang terbukti berserakan di sekitar kita. Ketika analisis gramatika kalimat tidak mampu lagi menjelaskan suatu tuturan berbahasa Jawa ndemok mati!, maka di sinilah dibutuhkan prinsip analogi untuk menjelaskan makna utuh tuturan/kalimat itu. Tuturan semacam itu



biasanya tertulis di gardu listrik bertegangan tinggi. Uniknya yang menulisnya justru masyarakat sendiri, yang biasanya suka corat-coret. Pihak PLN, sebagai badan resmi yang mengelola gardu berbahaya itu, umumnya hanya menulis TEGANGAN TINGGI! Wacana singkat ndemok mati (menyentuh mati) adalah suatu peringatan penting kepada siapapun agar tidak menyentuh gardu listrik tersebut. Jika dilakukan, resikonya bisa mati karena tersengat aliran listrik bertegangan tinggi. Darimana kita mngetahui bahwa gardu listrik itu bertegangan listrik tinggi. Darimana kita mengetahui bahwa gardu listrik itu bertegangan listrik tinggi yang bisa membunuh manusia? Pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman dunia (pengetahuan umum). Sebagai suatu wacana, tulisan semacam itu tentu tidak ditulis di sembarang tempat. Belum pernah ditemukan wacana singkat itu tertulis, misalnya, di sebuah topi. Inilah wacana. Kenyataan bahwa banyak aspek yang melingkupinya memang benar-benar nyata. Kadang-kadang, di mulut gang suatu kampung terpampang tulisan bernada kurang bersahabat kepada para pemulung: PEMULUNG DILARANG MASUK KE WILAYAH INI Wacana itu tidak begitu saja lahir dan muncul di masyarakat tanpa latar belakang dan sebab yang jelas. Sebagai masyarakat yang dikenal santun dan bertoleransi tinggi, mengapa bisa melahirkan wacana penolakan bernada diskriminasi semacam itu? Sekali lagi, bagaimana mungkin analisis gramatikal internal/kalimat mampu memahami kalimat semacam itu? Dari sinilah diperlukan prinsip analisis analogi. Secara sosial, pemulung telah menjadi semacam profesi/pekerjaan tersendiri. Yang dikerjakan adalah memulung, atau memungut barang-barang bekasdan tak terpakai yang dibuang oleh pemiliknya. Dan barangbarang bekas semacam itu memang banyak ditemukan di pemukiman penduduk. Jadi, wajar bila para pemulung mencari barang-barang tersebut di sekitar pemukiman. Namun demkian, banyak masyarakat kampung yang tidak menghendaki wilayah mereka dimasuki pemulung. Mengapa? Di masyarakat telah beredar cerita (yang entah kebenarannya), bahwa sebagian pemulung terkadang



berprofesi ganda, yaitu di samping memulung/mengambil barang bekas, pemulung juga mengambil barang yang masih dipakai penduduk (seperti pakaian yang sedang dijemur, barang lain yang ada di luar rumah, dan sebagainya). Dari pengalaman itulah warga memutuskan untuk menulis ‘wacana penolakan’ masuknya pemulung ke wilayah mereka. Prinsip analogi diperlukan oleh para peneliti wacana sebagai piranti untuk mengenalisis wacana yang mengandung banyak pengetahuan dan pengalaman. Prinsip analogi bisa diibaratkan bak pisau bedah untuk melihat dengan jelas apa yang ada di dalam tubuh manusia. 2.      Prinsip Penafsiran Lokal Prinsip penafsiran lokal atau prinsip interpretasi lokal digunakan sebagai dasar untuk menginterprestasikan wacana dengan cara mencari konteks yang melingkupi wacana itu. Konteks yang dimaksud adalah wilayah, area, lokal, (setting), tempat wacana itu berada. Konteks tersebut sangat bergantung pada jenis wacana yang sedang dianalisis. Apabila wacana tulis, maka konteks atau lokal yang dimaksud adalah konteks di sekitar media yang digunakan sebagai sarana lahirnya wacana itu. Mari kita perhatikan kutipan judul di suatu kolom koran berikut ini. Ada-ada saja Apa maksud judul ini? Mengapa banyak orang yang justru senang membaca kolom itu? Apa yang menarik? Bebagai pertanyaan di seputar judul (wacana singkat) itu akan terjawab dengan sendirinya jika pembaca mampu menyusun interpretasi tentang kalimat singkat itu. Caranya ialah dengan melihat, mencari hal-hal yang mendukung interpretasinya di sekitar wilayah lahirnya wacana itu. Lingkup lokalnya tentu saja di majalah/koran itu sendiri, atau lebih spesifik lagi, pada halaman itu saja. Beberapa aspek akan ditemukan untuk mendukung hal yang dimaksud dengan judul itu. Misalnya, 1.



judul itu sebenarnya adalah suatu rubrik (dilihat dari daftar isinya, majalah ini memuat sejumlah rubrik tetap, salah satunya adalah ‘Ada-ada saja’).



2.



Rubrik tersebut berisi tulisan lucu, unik, atau yang tidka biasa (dasarnya, adanya gambar kartun lucu, atau tulisan yang dimuat adalah cerita atau pengalaman lucu yang dialami seseorang). Kedua pemahaman yang ditemukan di sekitar konteks (lokal) wacana itu



selanjutnya dapat digunakan untuk menginterpretasikan isi wacana sesungguhnya. Contoh yang lain, misalnya, terbaca dengan jelas suatu judul yang ‘Indonesia Tidak Siap Perang’. Tentu muncul pertanyaan, yang dimaksud ‘Indonesia’ itu siapa? ‘Perang’ apa, dengna siapa? Dan seterusnya. Ternyata, yang dimaksud ‘Indonesia’ adalah para atlit sepakbola. Oleh karena itu, ‘Perang’ dalam konteks ini tidak ada yang lain kecuali ‘pertandingan sepakbola’, dan sama sekali bukan perang senjata. Dalam hal ini, jika wacana dilahirkan dari konteks tuturan lisan, maka pendengar/lawan tutur harus melihat konteks yang terdekat dengan lahirnya wacana lisan tersebut (Soeseno melalui Mulyana, 2005: 73). Sebagai missal, apabila seseorang dipersilahkan duduk, maka dia harus mencari kursi terdekat di tempat itu. Demikian juga tatkala seorang itu, misalnya yang menyuruh anaknya menyalakan lampu: 3. Ibu: Ani, lampu kamar tamu dinyalakan! Ani: Ya, Bu. Bila Ani memahami perintah ibunya, ia akan segera menyalakan lampu kamar tamu di rumah mereka, bukan kamar tamu di rumah orang lain. Oleh karena konteks dialog mereka berlangsung di rumah sendiri, maka di konteks lokal itulah yang harus dipahaminya. Dan, jawaban Ani tampaknya mengisyaratkan pemahaman itu. Ada pendapat lain yang secara umum menjelaskan mengenai seperangkat dasar prinsip analisis wacana. Yaitu sebagai berikut: 1.      Analisis wacana bersifat empiris. Data berasal dari suatu masyarakat tutur: data tentang penggunaan bahasa masyarakat,



linguistik



menggunakan bahasa.



tidak



berpikir



tentang



bagaimana



masyarakat



Analisis dapat memperhitungkan data; mereka harus menjelaskan data dalam istilah urutan dan penyebaran. Analisis memperkirakan: mereka menghasilkan hipotesis yang bisa disalahkan atau diperbaiki oleh data lain. 2.      Wacana bukan suatu urutan unit linguistik: koherensinya tidak dapat dipahami jika perhatian terbatas hanya pada bentuk linguistik dan makna. 3.      Sumber koherensi disumbangkan oleh prestasi kerjasama partisipan dan pemahaman apa yang dikatakan, maksud, dan perilaku melalui tuturan setiap hari. Dengan kata lain, bentuk linguistik dan makna merupakan kerjasama dengan makna sosial dan kultural, kerangka penafsiran untuk kreativitas wacana. 4.      Struktur, makna, dan tindak tutur wacana setiap hari adalah prestasi secara interaktif. 5.      Apa yang dikatakan, makna, dan perilaku merupakan situasi yang diurutkan, yaitu tuturan yang dihasilkan dan ditafsirkan dalam konteks lokal dari tuturan lain. 6.      Bagaimana sesuatu disampaikan, makna, dan perilaku – penutur memilih di antara perbedaan piranti linguistik sebagai alternatif cara bertutur – panduan hubungan di antaranya dapat diikuti sbb: a.       Perhatian penutur b.      Strategi konvensional membuat perhatian dapat diakui c.       Makna dan fungsi bentuk-bentuk linguistik dengan konteks yang muncul d.      Urutan konteks dari tuturan lain e.       Piranti wacana yang dibuat, contoh narasi, deskripsi, eksposisi f.       Konteks sosial, contoh identitas partisipan dan hubungan, struktur situasi, latar g.      Suatu kerangka budaya yang hidup dan perilaku. B. Kedudukan Analisis Wacana Wacana merupakan kata, frasa, atau kalimat dengan syarat ada topik dan pelengkap topik meliputi konteks situasi, koheren kohesi, konteks dan bersifat



interaksional dari penulis dengan khayalak ramai. Sedangkan analisis wacana merupakan disiplin ilmu yang berusaha menganalisis kebahasaan dalam pemakaian bahasa dalam bahasa tulis maupun bahasa lisan. Objek kajian atau penelitian analisis wacana adalah unit bahasa di atas kalimat atau ujaran yang memiliki kesatuan dan konteks. Lalu bagaimana kemudian kedudukan analisis wacana dalam berbagai disiplin ilmu, peran/fungsi berbagai disiplin ilmu terhadap kajian wacana, dan ancangan dalam kajian wacana. Berikut ringkasan materi mengenai hal tersebut; Kedudukan Analisis Wacana Dalam Berbagai Disiplin Ilmu Analisis wacana terus berkembang sehingga mampu digunakan untuk menganalisis dalam bidang-bidang ilmu lain, seperti bidang hukum, sejarah, komunikasi massa, politik, sosial, budaya dan bahkan psikologi dan lainlain. Kontribusi yang telah diberikan oleh disiplin ilmu lain telah memperkaya kajian analisis wacana. a.   Analisis wacana dan Fonologi Abdul Chaer (2007:102) menjelaskan bahwa fonologi adalah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa. Dalam mengkaji wacana, teori tentang bunyi-bunyi bahasa sangat diperlukan sebab Fonologi merupakan dasar dari ilmu bahasa lainnya. b.   Analisis wacana dan Linguistik Hubungan antara linguistik dan analisis wacana terletak pada objek kajiannya. Objek kajian dalam wacana adalah bahasa itu sendiri. c.   Analisis wacana dan Morfologi Wijana (2007:1) menjelaskan bahwa morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari seluk-beluk morfem dan penggabungannya untuk membentuk satuan lingual yang disebut kata polimorfemik. Dalam mengkaji wacana, teori tentang pembentukan kata sangat dibutuhkan sebab Wacana yang berbentuk naskah itu terbentuk dari susunan kata demi kata yang memiliki makna.



d.  Analisis Wacana dengan Sintaksis sintaksis adalah cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa. Sintaksis yang mempelajari seluk beluk pembentukan kalimat sangat berhubungan dengan Wacana karena Dalam mengkaji wacana, teori tentang pembentukan kalimat sangat dibutuhkan. Sebuah Wacana dapat dikatakan baik apabila hubungan antara kalimatkalimatnya kohesi dan koheren. e.   Analisis Wacana dengan Sosiolinguistik Hubungan antara sosiolinguistik dengan wacana adalah baik wacana maupun sosiolinguistik sama-sama menitiberatkan bahasa dalam sebuah konteks di dalam masyarakat. f.   Analisis Wacana dengan Semantik Semantik adalah telaah mengenai makna. Hubungannya dengan Wacana adalah baik Semantik maupun Wacana sama-sama mengkaji makna bahasa sebagai objek kajiannya g.  Analisis Wacana dengan Ilmu Budaya Wacana berkembang dalam konteks budaya. Setiap kelompok masyarakat memiliki budaya masing-masing, sehingga kajian wacana harus disesuaikan dengan kebudayaan dari pembuat wacana. h.  Analisis Wacana dengan Politik Wacana dipercayai sebagai piranti-piranti yang digunakan lembaga-lembaga untuk



mempraktekkan



kuasa-kuasa



mereka



melalui



proses-proses



pendefinisian, pengisolasian, pembenaran. i.   Analisis Wacana dengan Pragmatik Pernyataan adalah tindakan penciptaan makna. Analisis wacana dalam perspektif ini berusaha membongkar dan mengungkap maksud-maksud tersembunyi yang ada di balik ujaran-ujaran yang diproduksi. j.   Analisi Wacana dengan Filologi Filologi adalah bahasa, kebudayaan, dan sejarah bangsa yang terekam dalam bahan tertulis seperti peninggalan naskah kuno linguistik, sejarah dan



kebudayaan. Filologi dan wacana sama-sama mengkaji bahasa dalam bentuk teks atau naskah. k.  Analisi Wacana dengan Hukum Wacana mampu membangun ideologi dan persuasi, yang kemudian dapat berkembang menjadi tata aturan yang disepakati dan dijalankan bersamasama.  l.   Analisi Wacana dengan Sejarah Bahasa berkembang sejalan dengan peradaban dan waktu. Oleh sebab itu analisis wacana harus mempertimbangkan faktor historis agar konteks yang diperoleh jelas dan sesuai. m. Analisis Wacana dengan Semiotika Semiotika adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang makna bahasa yang ditimbulkan dari tanda-tanda bahasa. Hubungannya dengan wacana adalah, baik wacana maupun semiotika sama-sama mengkaji tentang makna bahasa. n.  Analisis Wacana dengan Psikolinguistik Hubungannya dengan wacana adalah dalam penyusunan wacana, topik atau tema yang diangkat ataupun ujaran-ujaran yang dihasilkan berdasarkan kondisi psikis manusia. o.  Analisis Wacana dengan Literatur (Kesastraan) Sastra sebagai salah satu bentuk kreasi seni, menggunakan bahasa sebagai pemaparannya. Wacana dalam sastra tak hanya dikaji sebagai sebuah unsur bentuk bahasa, melainkan bahasa yang memiliki nilai estetika.



DAFTAR PUSTAKA Mulyana. 2005. Kajian Wacana Teori, Metode & Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana. Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.