Makalah Professional Due Care [PDF]

  • Author / Uploaded
  • siska
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PROFESSIONAL DUE CARE



MAKALAH Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Seminar Auditing



Disusun Oleh: Rizki Alaika



120620170504



Anggraeni Dwijayanti



120620170505



Siska Liana



120620170514



Elisabet Trifena I. U.



120620170517



M. Defri Akbar



120620170520 Kelas: A



UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS MAGISTER AKUNTANSI BANDUNG 2018



DAFTAR ISI



DAFTAR TABEL ....................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. iv BAB I ........................................................................................................................... 1 1.1.Definisi ...................................................................................................... 1 1.2.Urgensi Due Audit Care Pada Profesi Auditor ......................................... 3 1.3.A Consept of Due Audit Care (Konsep Due Audit Care) ......................... 7 1.4.Due Audit Care and the Review of Internal Control (Due Audit Care dan Tinjauan Pengendalian Internal) ............................................................. 10 1.5.Related Standard ..................................................................................... 12 1.5.1. Standards for the Professional Practice of Internal Auditing ...... 12 1.5.2. International Ethics Standards Board of Accountants' (IESBA) Code of Ethics issued in July 2009 by the International Federation of Accountants (IFAC) ................................................................ 13 1.5.3. Public Company Accounting Oversight Board ........................... 14 BAB II ........................................................................................................................ 20 2.1.20 BAB III ...................................................................................................................... 21 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 1



ii



DAFTAR TABEL



No table of figures entries found. No table of figures entries found.



iii



DAFTAR GAMBAR



No table of figures entries found. No table of figures entries found.



iv



BAB I TEORI



1.1. Definisi Due audit care (kehati- hatian) merupakan salah satu bagian dari klasifikasi the postulat of auditing. Sehingga urgensi dari sorotan khusus pembahasan mengenai hal ini menjadi suatu keharusan untuk dibahas dalam bidang



profesi auditor.



Dikarenakan dalam memberikan opini, konsep kehati- hatian seorang auditor menjadi pertanggungjawaban yang mesti dilakukan dalam melakukan audit terutama terhadap laporan keuangan sebuah organisasi. Dalam kesempatan kali ini, saya akan memaparkan beberapa hal mengenai due audit care yang saya telusuri dari buku utama yaitu buku Mautz dan Sharaf. Namun terdapat beberapa referensi



merujuk dari beberapa literatur. Semoga



beberapa hal yang saya paparkan sebagai sharing of knowledge dapat menambah wawasan kita bersama khususnya dalam bidang auditing. Due audit care merupakan pusat kegiatan profesi yang cukup penting yang harus diterapkan setiap akuntan publik dalam melaksanakan jasa/pekerjaan profesionalnya agar dicapai mutu pekerjaan yang baik. Hal ini cukup tegas dinyatakan dalam standar auditing dalam standar umum ke-3 (SPAP 2002) yang berbunyi: “Dalam pelaksanaan audit dan penyususnan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama”. Standar ini menghendaki akuntan publik melaksanakan tugasnya dengan cermat dan seksama. Kecermatan dan keseksamaan menekankan tanggung jawab setiap petugas audit yang bekerja pada suatu kantor akuntan publik untuk mendalami standar pekerjaan lapangan dan standar pelaoran dengan semestinya. Penerapan kecermatan dan keseksamaan diwujudkan dengan dilakukannya review secara kritis pada setiap tingkat supervisi terhadap pelaksanaan audit dan terhadap pertimbangan yang digunakan oleh mereka yang membantu audit. Selain itu, due audit care cukup tegas pula dinyatakan dalam kode etik akuntan Indonesia maupun dalam prinsip-prinsip etika yang dibuat American



1



Institute of Certified Public Accountants (AICPA). Dalam kode etik akuntan Indonesia, due audit care terangkum di dalam pernyataan etika profesi nomor 2 tentang kecakapan professional. Dalam pernyataan tersebut ditegaskan bahwa setiap akuntan harus meningkatkan kecakapan professional agar mampu memberikan manfaat optimal dalam pelaksanaan tugasnya. Sedangkan dalam prinsip-prinsip etika yang ada dalam Code of Profesional Conduct yang dibuat AICPA, menekankan pada pertanggungjawaban profesi terhadap masyarakat, klien dan kolega-koleganya. Selain itu prinsip-prinsip etika tersebut memberi petunjuk kepada para anggotanya dalam melaksanakan pertanggungjawaban profesionalnya serta menunjukkan prinsip dasar etika dan tingkah laku profesionalnya. Terdapat 6 prinsip etika yang dinyatakan dalam Code of Profesional Conduct tersebut yaitu: responsibilities, the public interest, integrity, obyektivity and independence, due care, dan scope and nature services. Prinsip due care merupakan pusat perhatian profesi yang harus terus menerus dicari untuk meningkatkan mutu kinerja jasa professional. Due care menuntut setiap anggota untuk melaksanakan tanggung jawab profesionalnya secara kompeten dan tekun (Boynton dan Kell, 1996). Kompeten diperoleh dari pendidikan dan pengalaman, sedangkan ketekunan meliputi kemantapan, kesungguhan, dan semangat untuk berusaha menerapkan kinerja jasa professional. Sehingga due care berarti bahwa setiap anggota harus: 1. Cermat, seksama, dan teliti dalam pekerjaannya 2. Mematuhi standar teknis dan etika 3. Menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan tepat. Di antara sumber yang paling penting adalah sebagai berikut: 1. Aturan Perilaku Profesional 2. Standar Audit yang Diterima secara Umum.(Generally Accepted Auditing Standards-GAAS) 3. Kodifikasi Pernyataan Prosedur Auditing.



2



1.2. Urgensi Due Audit Care Pada Profesi Auditor Urgensi konsep kehati- hatian bagi auditor dinyatakan oleh Mautz dan Sharaf (2006) sebagai suatu permasalahan dikalangan profesi. Hal ini berkaitan dengan: 1. The Profession’s Acceptance of Responsibility (Penerimaan Profesi Tanggung Jawab) Dimaksud ialah bahwa bidang profesi sebagai auditor berhak memiliki pengakuan spesifikasi keprofesionalannya melalui jenjang pendidikan yang memiliki pengakuan resmi terkait keprofesionalannya serta memiliki standar resmi dalam menjalankan profesinya. Sehingga profesi auditor dapat diterima publik. 2. Approaches to a Statement of Responsibility (Pendekatan Pernyataan Tanggung Jawab) Dimaksud ialah bahwa opini yang akan diberikan oleh auditor ketika pengauditan telah selesai dilaksanakan bahwa auditor dapat mempertanggung jawabkan hal tersebut. Oleh karena itu untuk mempertanggung jawabkannya, auditor berhatihati dalam melakukan pemeriksaan sehingga mampu mendeteksi adanya penyimpangan maupun fraud. Pertanggung jawaban untuk mendeteksi hal tersebut merupakan pernyataan dari tanggungjawab seorang auditor. 3. Characteristics of Irregularities (Karakteristik Penyimpangan) Dimaksud ialah bahwa dengan konsep kehati- hatian urgensi dalam melakukan audit oleh auditor dapat menemukan dan menelusuri untuk diungkapkan bahwa adanya penyimpangan yang terjadi. Adapun penyimpangan- penyimpangan tersebut meliputi: a. Materiality Materiality selalu menjadi pembahasan yang menarik dalam auditing. Karena pada topik ini terdapat dua variable yang menentukan performa dari seorang auditor untuk melakukan konsep kehati- hatian. Yaitu yang berhubungan dengan biaya dan waktu. Untuk menemukan adanya kerugian material atau tidak, auditor terkadang menggunakan banyak biaya dan juga waktu yang panjang. Selain itu konsep kehati- hatian menjadi berhubungan atas materiality yang nantinya berhasil atau tidak ditemukan oleh auditor sebagai bentuk



3



pertanggungjawaban



dalam



melakukan



audit



untuk



menemukan



penyimpangan- penyimpangan yang bersifat material maupun immaterial. b. Intent (niat) Dimaksud ialah dapat diketahui adanya penyimpangan terkait adanya niat yang bersifat disengaja maupun tidak disengaja. Sehingga apabila diketahui bahwa penyimpangan yang dilakukan secara sengaja akan ada berkaitan dengan hal lain yang disembunyikan dan akhirnya auditor dapat mengungkapkan segala bentuk penyimpangan yang disengaja ataupun tidak. Terkadang penyimpangan yang dilakukan secara tidak sengaja dikarenakan beberapa factor diantaranya adanya kesalahan mekanis dan bias data. Sedangkan untuk kesalahan yang memang



niatnya



disengaja



terkadang



dilakukan



oleh



faktor



untuk



menyembunyikan kekurangan, ketidakmampuan dan menyesatkan pembaca. c. Relationship to internal control (Hubungan dengan Pengendalian Internal) Dimaksud ialah dengan adanya pengendalian internal yang baik, maka akan mengurangi penyimpangan dan bahkan dapat sebagian kecil dapat mengurangi probabilitas. d. Influence on financial statements (Pengaruh Laporan Keuangan) Dalam membahas materialitas, salah satu aspek dari hubungan penyimpangan untuk penyajian laporan keuangan itu menunjukkan, kemungkinan pengaruh pada posisi keuangan dan hasil usaha. Kekurangan dapat mengakibatkan mengurangi suatu aset atau meningkatkan liability, dan jika kekurangan tersebut tidak mengenali dengan masuk dalam rekening, aset akan dilebih-lebihkan atau kewajiban akan understated dalam laporan keuangan. Jika kekurangan tersebut diakui dan beberapa upaya dilakukan untuk menyembunyikan itu dengan pengisian kerugian untuk beberapa beban atau pendapatan akun, neraca mungkin kemudian berlaku dianggap benar. Itu mengungkapkan posisi keuangan seperti itu diterima. Laporan laba rugi dapat dianggap benar satu hal juga: itu akan menunjukkan laba bersih untuk tahun dengan kekurangan diterima sebagai kerugian menyadari. Tapi kecuali kerugian telah dijelaskan untuk apa dalam laporan laba rugi, sebuah kemungkinan tidak mungkin, laporan laba rugi adalah kesalahan



dalam



menggambarkan



4



kerugian



imprperly.



Sehingga



ketidakteraturan mungkin efect baik laporan laba rugi atau neraca atau keduanya. Ada beberapa yang merasa bahwa ini adalah perbedaan yang paling penting. Karena prosedur audit diarahkan terutama pada akun neraca dan karena saldo akun neraca adalah hal hubungan kapal bijih yang ada di sini dan sekarang setidaknya selama bagian dari eaxamination tersebut. Mereka dapat diverifikasi dengan tingkat akurasi yang lebih tinggi dari saldo akun laporan laba rugi dapat yang prihatin dengan peristiwa masa lalu. Kita bisa mendapatkan bukti kuat untuk neraca item yang kami bisa untuk item laporan laba rugi. Hal ini menyebabkan beberapa untuk menyimpulkan auditor taht dapat dan harus mengambil tingkat yang lebih besar dari tanggung jawab untuk penyimpangan tersembunyi di akun neraca bahwa untuk penyimpangan tersembunyi lain di mana. Ketersediaan bukti kuat berlaku terutama jika kesalahan adalah overstatements dari aset atau meremehkan dari berlebihan dari kewajiban. e. Extent of concealment (Kecurangan dan penyimpangan lainnya mungkin terbuka atau tersembunyi) Shortage terbuka adalah salah satu di mana tidak ada upaya yang dilakukan untuk menyembunyikan fakta bahwa catatan tidak sesuai dengan realita dari sebuah situasi. sehingga hitungan kas dapat mengungkapkan bahwa ada situasi yang tidak ditampilkan sesuai dengan catatannya. tumpuan dari buku besar pembantu



rekening



custumers



dapat



mengakibatkan



kurangnya



kesesuaiandengan saldo rekening kontrol. Pemeriksaan persediaan mungkin menunjukkan persediaan yang sebenarnya tidak ada.Shortage tersembunyi adalah salah satu langkah yang telah diambil untuk mengurangi kemungkinan penemuannya: berbagai pertimbangan dari metode yang ada. f. Responsibility (Tanggung jawab) Penyimpangan dapat disebabkan oleh karyawan atau anggota manajemen. Ini bisa jadi hasil dari tindakan independen individu atau mungkin upaya kolusi. tak satu pun dari pemisahan ini memberikan petunjuk penting bagi tanggung jawab auditor. seorang karyawan bisa jadi memiliki banyak akal dalam upayanya



mengubah



sumber



daya



5



perusahaan



untuk



ia



digunakan



sendiri.sejumlah karyawan atau petugas yang bekerja bersama-sama dapat menyusun skema yang rumit dalam penyalahgunaan kepercayaan. 4. Combined Classification of Irregularities (Klasifikasi Gabungan Penyimpangan) Pertimbangan sesaat akan menyarankan kemungkinan menggabungkan hal ini dalam kombinasi klasifikasi yang kompleks. Bisa dikatakan, bahwa pada titik ini, kami telah mencoba beberapa kombinasi tanpa menemukan satu hal yang bisa memberikan dasar yang rasional untuk membatasi tanggung jawab audit. Sebagaimana kegunaannya dalam studi analitis penyimpangan dan sifat mereka, kita dapat menemukan bahwa tidak ada pola yang jelas dalam karakteristik ini yang memungkinkanadanya pembentukan batas tanggung jawab auditor untuk mendeteksi penyimpangan. Satu saran lain yang harus dieksplorasi sebelum kita meneruskan ke pendekatan lain untuk masalah ini. mungkin sarannya yaitu dalam situasi di mana auditor melanjutkan hubungan dengan klien. audit tunggal bukan merupakan dasar yang tepat untuk mengeluarkan pernyataan (memberikan pendapat) dari tanggung jawabnya. kita tahu bahwa banyak program audit rencana jangka panjang di mana banyak tambahan di berbeda akun bisa diakses setiap tahun, pengujian rekening pengeluaran yang berbeda, penjaminan di bulan yang berbeda, dan sejenisnya. mungkin kita harus berusaha untuk menyatakan tanggung jawab auditor pada beberapa hal dasar yang mengakui pergantian prosedur, periode, dan penekanan. mungkin ada penyimpangan bahwa auditor mungkin juga kehilangan kontrol dalam pemeriksaan yang mana itu menjadi



pemeriksaan berturut-turut.jika



direncanakan dengan hati-hati dan dilakukan sesuai jadwal, maka harus diungkapkan. 5. Social Responsibility and Irregularity (Tanggung jawab sosial dan Deteksi Penyimpangan) Dimaksud ialah bahwa apabila auditor menemukan adanya penyimpangan kemudian ia harus memperpanjang masa audit namun terhambat masalah biaya, maka ia tidak dapat memberikan jamian tentang telah terjadinya fraud. Selain itu tidak ditemukannya bukti pencatatan transaksi atas barang- barang yang tidak tercatat. Sehingga dalam hal ini perlu adanya perbaikan dalam pengendalian internal. Sejalan dengan ini telah diatur dalam SA Nomor 30:



6



“tujuan dari objektif auditor independen dari semua fraud. Ia harus memperpanjang masa auditnya. Bahkan kemudian ia tidak bisa menjamin bahwa fraud telah terdeteksi atau tidak ada transaksi atas barang- barang tercatat, pemalsuan dan penipuan kolusi belum tentu akan terungkap. Ini diakui bahwa pengendalian internal yang baik dan ikatan kesetiaan memberikan perlindungan lebih ekonomis efektif”. 6. Responsibility and Professional Prestige (Tanggung jawab dan Profesional Perstige) Dalam hal ini bahwa auditor memiliki kesempatan untuk mendeteksi penipuan dan penyimpangan yang lain. Melalui perjanjian audit klien, surat dan kasih Negara dalam literature professional. 7. Audit Evidence and Irregularities (Profesional Bukti Audit dan Penyimpangan) Standar yang mengatur akan penyimpangan yang terjadi dalam sebuah organisasi serta tidka ditemukannya bukti menjadi bagian dari tanggung jawab audito adalah suatu keberatan yang harus diemban oleh pihak auditor. Sehingga hal ini menuntut keprofesionalan auditor dalam mengungkap penyimpangan yang disertai tidak ditemukannya bukti.



1.3. A Consept of Due Audit Care (Konsep Due Audit Care) Terdapat dua konsep dalam due audit care yaitu: 1. The Prudent Man (Orang Bijaksana) Orang bijaksana. di setiap profesi, memang dalam hampir setiap bidang kegiatan di mana satu datang dalam kontak dengan orang lain, setidaknya ada gambar implisit dari bijaksana, praktisi cukup kompeten tingkat yang keterampilan diambil sebagai standar pengukuran setiap kali kualitas kinerja seorang rekan praktisi dipertanyakan. praktisi bijaksana ini berkaitan dengan "orang yang wajar" yang kegiatannya dan hati-hati bantuan seharusnya menetapkan batas kelalaian dalam setiap jenis kegiatan di mana kegagalan yang tidak disengaja dari satu yang menegaskan menjadi penyebab kerusakan atau cedera lain. Sekarang manusia cukup bijaksana ini tidak mutlak atau sempurna. di foresight, hati-hati, keberanian, penilaian, pengendalian diri, altruisme dan seperti



7



dia mewakili, dan tidak unggul, rata-rata umum masyarakat, ia mampu membuat kesalahan dan kesalahan penilaian, egois, menjadi takut - tapi hanya sebatas bahwa setiap kekurangan seperti mewujudkan standar normal perilaku masyarakat. di sisi lain, praktek umum masyarakat. dalam tertentu, tidak selalu mencerminkan apa yang hati-hati. praktek sendiri mungkin lalai. "Mengabaikan tugas tidak berhenti dengan pengulangan untuk menjadi mengabaikan tugas" sehingga standar tersebut merupakan tingkat umum penilaian moral dari masyarakat. apa rasanya seharusnya biasa untuk dilakukan, dan belum tentu apa yang biasanya dilakukan, meskipun dalam prakteknya kedua akan sangat sering datang ke hal yang sama. Orang bijaksana memiliki atribut tertentu: dan meskipun mereka tidak bisa dibilang dengan tingkat substansial presisi, perhatian singkat akan membantu kami dalam memperoleh pemahaman tentang sifat due care: a. diperlukan untuk melakukan penilaian setara dengan tingkat komunitasnya apakah penghakiman prihatin dengan persepsi dan apresiasi risiko atau pilihan antara kepentingan egois dan altruistik. ia diperkirakan tidak akan omnisclent, juga tidak penilaiannya akan dikritik atas dasar belakang menguntungkan. ia harus melakukan penilaian sebagai suara seperti yang akan lain yang dimiliki dari tingkat yang sama dari informasi yang tersedia baginya pada saat itu. b. diperlukan untuk menggunakan dengan kecerdasan akal pengetahuan yang ia miliki. ia dianggap memiliki banyak pengetahuan tentang fakta-fakta dasar dan hukum-hukum alam, kemampuan dan keterbatasan sendiri, kehidupan di negeri ini, bahaya normal dan sifat berbahaya dari benda, hewan, dan sebagainya seperti yang akan diakuisisi oleh seorang pria yang wajar. jika ia bertindak dalam lingkup tertentu atau datang ke dalam hubungan dengan orang-orang atau hal-hal yang akan memberikan orang cukup intellegent pengetahuan khusus atau pengalaman, ia dianggap memiliki pengetahuan tersebut. lanjut, seiring kemajuan ilmu pengetahuan, lebih banyak pengetahuan menjadi tersedia untuk semua, dan orang bijaksana diharapkan untuk bersaing dengan komunitasnya



baik



secara



umum



dan



pengetahuan



khusus.



dalam



menggunakan pengetahuan dan pengalaman yang dia miliki, orang bijaksana dianggap memiliki kemampuan rata-rata untuk memahami risiko dan



8



konsekuensinya. ia diharapkan untuk menyadari kebodohan sendiri dan untuk memahami risiko melanjutkan atau bertindak dalam keadaan ketidaktahuan tentang potensi. c. diasumsikan memiliki dan latihan keterampilan yang wajar dalam kegiatan biasa dan pekerjaannya. dalam hal ini dia diperlukan untuk latihan tingkat keterampilan yang dimiliki oleh kelas umum orang yang terlibat dalam kegiatan atau bidang pekerjaan. ini memegang apakah ia seorang pemula atau tidak: selama ia bertindak dalam kapasitas tertentu ia diadakan untuk standar mereka yang cukup terampil dan axperienced dalam kapasitas itu. sejauh bahwa pria bijaksana memiliki cacat fisik kelemahan, ia tidak dapat diminta untuk bertindak seolah-olah ia tidak memiliki keterbatasan seperti itu, tapi ia dapat diminta untuk melakukan dirinya seperti yang akan seorang pria yang wajar yang memiliki kelemahan yang sama. yaitu, dia harus mempekerjakan perlindungan yang wajar orang akan mempekerjakan bawah kondisi yang sama. d. diperlukan



untuk



mengenali



dan



memberikan



pertimbangan



karena



pengalamannya. jika, misalnya, seorang pria yang wajar telah menemukan dirinya atau orang lain untuk menjadi "rawan kecelakaan" ia akan mengambil tindakan pencegahan ekstra untuk menghindari cedera kecelakaan. orang bijaksana diharapkan untuk menunjukkan hati-hati sama.



2. The Prudent Auditor Tanggungjawab auditor independen untuk mendeteksi penyimpangan telah menjadi tanggungjawab profesi yang harus diemban oleh auditor. Sehingga auditor mampu menjadi profesi yang bijaksana dalam menangani kasus. Kemampuan yang dimiliki oleh auditor dalam mendeteksi adanya fraud maupun penyimpangan merupakan bagian dari adanya pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Dengan demikian sebagaimana menurut Gary (2001: 182- 183) menyatakan bahwa pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan tugas adalah standar utama kekuasaan personal di dalam organisasi. Selain itu menurut Ma’ruf (2012: 128) dalam Islam, bertanggungjawab didefenisikan sebagai sikap dan tindakan seseorang di dalam menerima sesuatu



9



sebagai amanah dan penuh rasa tanggung jawab dalam bekerja mempersepsikan pekerjaannya sebagai amanah yang harus ditunaikan dengan penuh kesungguhan dan penuh kehati- hatian. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT: “Dan janganlah kamu mengikuti apa- apa yang tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggung jawabannya (QS. Al- Israa: 36).



1.4. Due Audit Care and the Review of Internal Control (Due Audit Care dan Tinjauan Pengendalian Internal) Dikarenakan due audit care merupakan proses yang dilakukan dalam sebuah manajemen, maka kehati- hatian memiliki spesifikasi pembahasan mengenai kehatihatian dan pengendalian internal. Adanya korelasi anara due audit care dan pengendalian internal ialah karena dalam pengendalian internal menurut Tuanakotta (2014: 275- 283) internal control mengalami perkembangan dalam pemikiran dan praktiknya. Oleh karena itu, Davia et al mengingatkan kita untuk menyakinkan apa yang dimaksud dengan pengendalian intern ketika orang menggunakannya dalam percakapan sehari- hari. Sehingga dalam pengendalian intern auditor memahami bahwa terdapat dua golongan dalam pengendalian intern yaitu pengendalian aktif (tanda tangan, tanda tangan kaunter, password dan PIN, pemisahan tugas, pengendalian asset secara fisik, pengendalian persedian real time, pagar dan gembok dan semua bangunan penghalang fisik, pencocokan dokumen, formulir yang sudah dicetak nomornya) dan pengendalian pasif (customized controls, audit Trails, focused audits, surveillance of key activities, dan rotation of key personal) sehingga apabila auditor telah memahami dua golongan dalam pengendalian internal ini sangat membantu untuk menemukan adanya penyimpangan. This relationship is well expressed in our Postulate Number 4: “The existence of a satisfactory system of internal control eliminates the probability of irregularities”. Adapun pemaparannya pengendalian internal selanjutnya sebagai berikut: 1. Purpose of the Review of Internal Control (Tujuan meninjau pengendalian internal)



10



Menurut Haryono (2014: 357-358) Manajemen bertanggungjawab untuk menetapkan dan memelihara pengendalian internal entitas. Auditor yang berkewajiban untuk memahami dan melakukan pengujian pengendalian internal untuk pelaporan keuangan. Mengingat betapa pentingnya pemahaman auditor tentang pengendalian internal, maka hal ini dituangkan dalam butir tersendiri dalam standar auditing. Standar audit (SA 315.12) menyatakan tanggung jawab auditor yang berkaitan dengan pengendalian internal entitas sebagai berikut: “Auditor harus memperoleh suatu pemahaman atas pengendalian internal yang relevan dengan audit. Meskipun sebagian besar pengendalian yang relevan dengan audit keungkinan berhubungab dengan laporan keuangan, namun tidak semua pengendalian yang berhubungan dengan laporan keuangan relevan dengan audit”. Berdasarkan standar audit tersebut, tujuan dari melakukan peninjauan terhadap pengendalian internal perlu dilakukan dikarenakan. Sedangkan menurut Mautz dan Sharaf (2006:170) hanya karena ada kesepakatan umum tentang pentingnya pengendalian intern dalam audit, sehingga ada kesepakatan tentang tujuan review auditor. ulasannya dilakukan untuk memberikan dasar untuk menentukan sejauh mana pemeriksaan dan untuk membuat saran konstruktif tentang perbaikan sistem. Masing-masing tujuan ini dapat dilihat sebagai aplikasi dari due audit care karena. seorang praktisi bijaksana tidak akan merencanakan program audit sampai ia memiliki konsepsi cukup memuaskan dari bahaya dan kesulitan hadir dalam situasion dia hadapi. ia tidak dapat menentukan berapa banyak pekerjaan yang harus dilakukan atau apa jenis pekerjaan yang harus dilakukan untuil ia telah menjadi akrab dengan poin yang kuat dan lemah dari sistem pengendalian internal yang melindungi sumber daya perusahaan dan menyediakan data yang ia diminta untuk mempresentasikan pendapat. sampai ia telah mempelajari dan mengevaluasi sytem pengendalian intern ia tidak dapat menentukan tingkat kerusakan potensi untuk kliennya melekat dalam situasion dan dengan demikian tidak dapat bertindak intelligenntly untuk mengurangi potensi itu. sebagai praktisi bijaksana, karena itu, ia harus terlebih dahulu meninjau pengendalian internal dan kemudian merencanakan sesuai.



11



Sekali setelah meninjau pengendalian internal, auditor akan memperoleh informasi tertentu, kepemilikan yang ia tidak bisa mengabaikan. jika ia belajar dari kekurangan dalam sistem pengendalian internal yang merupakan sumber cedera potensial tohis klien, ia memiliki kewajiban untuk membuat ini diketahui klien. 2. The Nature Of Internal Control (Sifat pengendalian internal) Dalam manajemen, pengendalian terhadap internal sebaiknya antara keuangan dan akuntansi dikendaliakn oleh staff yang berbeda. Hal ini untuk menghindari adanya penyimpangan maupun fraud yang akan dilakukan. 3. Responsibility for Review of Internal Control (Pertanggungjawaban Untuk Meninjau pengendalian Internal) Dalam hal ini auditor memiliki batasan- batasan yang digunakan dalam meninjau pengendalian internal. 4. Responsiveness of Auditor to Internal Control (Tanggapan Auditor Terhadap Pengendalian Internal) Bagian ini merupakan bagian terakhir yang dilakukan oleh auditor pada pengendalian internal. Yang mana merespon yang dimaksud adalah auditor memberikan pernyataan yang sebenar- benarnya terhadap kondisi pengendalian internal kepada pihak manajemen daan disinilah konsep independensi auditor untuk memberikan respon menjadi sangat penting.



1.5. Related Standard 1.5.1. Standards for the Professional Practice of Internal Auditing 1220 Due Professional Care Internal auditors must apply the care and skill expected of a reasonably prudent and competent internal auditor. Due professional care does not imply infallibility. 1220.A1 – Internal auditors must exercise due professional care by considering the: 1. Extent of work needed to achieve the engagement’s objectives. 2. Relative complexity, materiality, or significance of matters to which assurance procedures are applied. 3. Adequacy and effectiveness of governance, risk management, and control processes.



12



4. Probability of significant errors, fraud, or noncompliance. 5. Cost of assurance in relation to potential benefits. 1220.A2 – In exercising due professional care internal auditors must consider the use of technology-based audit and other data analysis techniques. 1220.A3 – Internal auditors must be alert to the significant risks that might affect objectives, operations, or resources. However, assurance procedures alone, even when performed with due professional care, do not guarantee that all significant risks will be identified. 1220.C1 – Internal auditors must exercise due professional care during a consulting engagement by considering the: 1. Needs and expectations of clients, including the nature, timing, and communication of engagement results. 2. Relative complexity and extent of work needed to achieve the engagement’s objectives. 3. Cost of the consulting engagement in relation to potential benefits.



1.5.2. International Ethics Standards Board of Accountants' (IESBA) Code of Ethics issued in July 2009 by the International Federation of Accountants (IFAC) 130 Professional competence and due care 130.1 The principle of professional competence and due care imposes the following obligations on all professional accountants: a. To maintain professional knowledge and skill at the level required to ensure that clients or employers receive competent professional service; and b. To act diligently in accordance with applicable technical and professional standards when providing professional services 130.2 Competent professional service requires the exercise of sound judgment in applying professional knowledge and skill in the performance of such service. Professional competence may be divided into two separate phases: a. Attainment of professional competence; and b. Maintenance of professional competence.



13



130.3 The maintenance of professional competence requires a continuing awareness and an understanding of relevant technical, professional and business developments. Continuing professional development enables a professional accountant to develop and maintain the capabilities to perform competently within the professional environment. Further guidance on continuing professional development is available at www.icaew.com/cpd and in the Regulations relating to learning and professional development which are available at www.icaew.com/regulations. 130.4 Diligence encompasses the responsibility to act in accordance with the requirements of an assignment, carefully, thoroughly and on a timely basis. 130.5 A professional accountant shall take reasonable steps to ensure that those working under the professional accountant's authority in a professional capacity have appropriate training and supervision. 130.6 Where appropriate, a professional accountant shall make clients, employers or other users of the accountant's professional services aware of the limitations inherent in the services.



1.5.3. Public Company Accounting Oversight Board AU Section 230 Due Professional Care in the Performance of Work .01 The third general standard is: Due professional care is to be exercised in the planning and performance of the audit and the preparation of the report. fn 1 [As amended, effective for audits of financial statements for periods ending on or after December 15, 1997, by Statement on Auditing Standards No. 82.] .02 This standard requires the independent auditor to plan and perform his or her work with due professional care. Due professional care imposes a responsibility upon each professional within an independent auditor's organization to observe the standards of field work and reporting. [As amended, effective for audits of financial statements for periods ending on or after December 15, 1997, by Statement on Auditing Standards No. 82.]



14



.03 Cooley on Torts, a legal treatise, describes the obligation for due care as follows: Every man who offers his services to another and is employed assumes the duty to exercise in the employment such skill as he possesses with reasonable care and diligence. In all these employments where peculiar skill is requisite, if one offers his services, he is understood as holding himself out to the public as possessing the degree of skill commonly possessed by others in the same employment, and if his pretentions are unfounded, he commits a species of fraud upon every man who employs him in reliance on his public profession. But no man, whether skilled or unskilled, undertakes that the task he assumes shall be performed successfully, and without fault or error; he undertakes for good faith and integrity, but not for infallibility, and he is liable to his employer for negligence, bad faith, or dishonesty, but not for losses consequent upon pure errors of judgment. fn 2 [As amended, effective for audits of financial statements for periods ending on or after December 15, 1997, by Statement on Auditing Standards No. 82.] .04 The matter of due professional care concerns what the independent auditor does and how well he or she does it. The quotation from Cooley on Torts provides a source from which an auditor's responsibility for conducting an audit with due professional care can be derived. The remainder of the section discusses the auditor's responsibility in the context of an audit. [As amended, April 1982, by Statement on Auditing Standards No. 41. As amended, effective for audits of financial statements for periods ending on or after December 15, 1997, by Statement on Auditing Standards No. 82.] .05 An auditor should possess "the degree of skill commonly possessed" by other auditors and should exercise it with "reasonable care and diligence" (that is, with due professional care). [Paragraph added, effective for audits of financial statements for periods ending on or after December 15, 1997, by Statement on Auditing Standards No. 82.]



15



.06 [The following paragraph is effective for audits of fiscal years beginning on or after December 15, 2010. See PCAOB Release No. 2010-004



. For audits of fiscal years



beginning before December 15, 2010, click here.] Auditors should be assigned to tasks and supervised commensurate with their level of knowledge, skill, and ability so that they can evaluate the audit evidence they are examining. The engagement partner should know, at a minimum, the relevant professional accounting and auditing standards and should be knowledgeable about the client.[fn 3] The engagement partner is responsible for the assignment of tasks to, and supervision of, the members of the engagement team.fn 4



Professional Skepticism .07 Due professional care requires the auditor to exercise professional skepticism. Professional skepticism is an attitude that includes a questioning mind and a critical assessment of audit evidence. The auditor uses the knowledge, skill, and ability called for by the profession of public accounting to diligently perform, in good faith and with integrity, the gathering and objective evaluation of evidence. [Paragraph added, effective for audits of financial statements for periods ending on or after December 15, 1997, by Statement on Auditing Standards No. 82.] .08 Gathering and objectively evaluating audit evidence requires the auditor to consider the competency and sufficiency of the evidence. Since evidence is gathered and evaluated throughout the audit, professional skepticism should be exercised throughout the audit process. [Paragraph added, effective for audits of financial statements for periods ending on or after December 15, 1997, by Statement on Auditing Standards No. 82.] .09 The auditor neither assumes that management is dishonest nor assumes unquestioned honesty. In exercising professional skepticism, the auditor should not be satisfied with less than persuasive evidence because of a belief that management is honest.



16



[Paragraph added, effective for audits of financial statements for periods ending on or after December 15, 1997, by Statement on Auditing Standards No. 82.]



Reasonable Assurance .10 [The following paragraph is effective for audits of fiscal years ending on or after November 15, 2007. See PCAOB Release 2007-005A



. For audits of fiscal years



ending before November 15, 2007, click here.] The exercise of due professional care allows the auditor to obtain reasonable assurance about whether the financial statements are free of material misstatement, whether caused by error or fraud, or whether any material weaknesses exist as of the date of management's assessment. Absolute assurance is not attainable because of the nature of audit evidence and the characteristics of fraud. Although not absolute assurance, reasonable assurance is a high level of assurance. Therefore, an audit conducted in accordance with the standards of the Public Company Accounting Oversight Board (United States) may not detect a material weakness in internal control over financial reporting or a material misstatement to the financial statements. .11 [The following paragraph is effective for audits of fiscal years beginning on or after December 15, 2010. See PCAOB Release No. 2010-004



. For audits of fiscal years



beginning before December 15, 2010, click here.] The independent auditor's objective is to obtain sufficient appropriate evidential matter to provide him or her with a reasonable basis for forming an opinion. The nature of most evidence derives, in part, from the concept of selective testing of the data being audited, which involves judgment regarding both the areas to be tested and the nature, timing, and extent of the tests to be performed. In addition, judgment is required in interpreting the results of audit testing and evaluating audit evidence. Even with good faith and integrity, mistakes and errors in judgment can be made. Furthermore,



accounting



presentations



contain



accounting



estimates,



the



measurement of which is inherently uncertain and depends on the outcome of future events. The auditor exercises professional judgment in evaluating the reasonableness



17



of accounting estimates based on information that could reasonably be expected to be available prior to the completion of field work. fn 5 As a result of these factors, in the great majority of cases, the auditor has to rely on evidence that is persuasive rather than convincing. [fn 6] .12 [The following paragraph is effective for audits of fiscal years beginning on or after December 15, 2010. See PCAOB Release No. 2010-004



. For audits of fiscal years



beginning before December 15, 2010, click here.] Because of the characteristics of fraud, a properly planned and performed audit may not detect a material misstatement. Characteristics of fraud include (a) concealment through collusion among management, employees, or third parties; (b) withheld, misrepresented, or falsified documentation; and (c) the ability of management to override or instruct others to override what otherwise appears to be effective controls. For example, auditing procedures may be ineffective for detecting an intentional misstatement that is concealed through collusion among personnel within the entity and third parties or among management or employees of the entity. Collusion may cause the auditor who has properly performed the audit to conclude that evidence provided is persuasive when it is, in fact, false. In addition, an audit conducted in accordance with generally accepted auditing standards rarely involves authentication of documentation, nor are auditors trained as or expected to be experts in such authentication. (See paragraph 9 of Auditing Standard No. 15, Audit Evidence.) Furthermore, an auditor may not discover the existence of a modification of documentation through a side agreement that management or a third party has not disclosed. Finally, management has the ability to directly or indirectly manipulate accounting records and present fraudulent financial information by overriding controls in unpredictable ways. .13 [The following paragraph is effective for audits of fiscal years ending on or after November 15, 2007. See PCAOB Release 2007-005A



. For audits of fiscal years



ending before November 15, 2007, click here.] Since the auditor's opinion on the financial statements or internal control over financial reporting is based on the concept of obtaining reasonable assurance, the



18



auditor is not an insurer and his or her report does not constitute a guarantee. Therefore, the subsequent discovery that either a material misstatement, whether from error or fraud, exists in the financial statements or a material weakness in internal control over financial reporting exists does not, in and of itself, evidence (a) failure to obtain reasonable assurance, (b) inadequate planning, performance, or judgment, (c) the absence of due professional care, or (d) a failure to comply with the standards of the Public Company Accounting Oversight Board (United States).



19



BAB II KASUS



2.1.



20



BAB III KESIMPULAN



Due audit care merupakan komponen penting yang mampu meningkatkan audit yang berkualitas dengan sikap ke profesionalannya. Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa due professional care menuntut auditor mempunyai sikap skeptisme professional.



Di mana Skeptisme professional itu menuntut



bersikap kritis untuk mencari tau kebenaran sebuah informasi yang diauditnya disertai sikap kehati-hatian dan auditor dituntut bijak dalam



21



DAFTAR PUSTAKA



Jusup, Al. Haryono. (2014). Edisi II. Audit. Yogyakarta: STIE YKPN. Mautz, R.K, dan Hussein A. Sharaf. (2006)1961. The Philosophy Of Auditing. Florida: American Accounting Association. INTERNATIONAL STANDARDS FOR THE PROFESSIONAL PRACTICE OF INTERNAL AUDITING (STANDARDS) http://www.icaew.com/membership/regulations-standards-and-guidance/ethics/codeof-ethics-a