Makalah Prosa Fiksi Dan Drama [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PROSA PASKA KEMERDEKAAN dan PASKA ORDE BARU DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI MATA KULIAH “PROSA, FIKSI, dan DRAMA”



Dosen Pengampu: Moh. Syamsul Ma’arif, M.Pd Kelompok 4: Fitriyani Liswatul Qoyimah (2011231020) Nining Saudiana (2011231023)



FAKULTAS TARBIYAH dan KEGURUAN PRODI TADRIS BAHASA INDONESIA INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM BLOKAGUNG KARANGDORO TEGALSARI BANYUWANGI 2021



KATA PENGANTAR Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita dapat berkumpul dan belajar dalam keadaan sehat wal afiat. Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman terang benderang yakni agama Islam. Penulis merasa bersyukur karena telah menyelesaikan makalah ini sebagai salah satu tugas dari mata kuliah Prosa Fiksi dan Drama. Dalam makalah ini kami akan menjelaskan tentang Prosa setelah Kemerdekaan dan Prosa setelah Orde Baru. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini. Apabila ada kekurangan, kritik dan saran sangat kami butuhkan untuk dapat membenahi makalah ini ataupun tugas makalah yang lain. Banyuwangi, 30 September 2021



Penulis



2



DAFTAR ISI COVER KATA PENGANTAR ............................................................................................2 DAFTAR ISI ...........................................................................................................3 BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................4 A. Latar Belakang .............................................................................................4 B. Rumusan Masalah ........................................................................................4 C. Tujuan ..........................................................................................................4 BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................5 A. Prosa setelah Kemerdekaan ..........................................................................5 B. Prosa setelah Masa Orde Baru .....................................................................6 BAB III PENUTUP ...............................................................................................10 A. Simpulan .....................................................................................................10 B. Saran ............................................................................................................10 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................11



3



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesusastraan adalah bidang yang termasuk ruang lingkup pembelajaran Bahasa Indonesia di samping kebahasaan. Materi yang tercakup dalam kesusastraan adalah puisi, prosa, dan drama. Di dalam perkuliahan, akan menjelaskan tentang pengertian prosa, baik di era setelah kemerdekaan maupun setelah orde baru. Kata prosa diambil dari bahasa Inggris, prose. Kata ini sebenarnya menyaran pada pengertian yang lebih luas, tidak hanya mencakup pada tulisan yang digolongkan sebagai karya sastra, tapi juga karya non fiksi, seperti artikel, esai, dan sebagainya. Prosa yang sejajar dengan istilah fiksi atau arti rekaan yang merupakan karya naratif yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, tidak sungguh-sungguh terjadi di dunia nyata. Tokoh, peristiwa dan latar dalam fiksi bersifat imajinasi penulis atau khayalan. Hal ini berbeda dengan karya nonfiksi. Dalam nonfiksi tokoh, peristiwa, dan latar bersifat faktual atau dapat dibuktikan di dunia nyata. B. Rumusan Masalah a. Apa yang terjadi pada prosa setelah kemerdekaan? b. Bagaimanakah prosa setelah masa orde baru? C. Tujuan a. Mengetahui prosa setelah kemerdekaan b. Mengetahui prosa setelah masa orde baru



4



BAB II PEMBAHASAN A. Prosa setelah Kemerdekaan Prosa setelah kemerdekaan merupakan salah satu prosa yang terjadi pada tahun 1945 atau setelah Indonesia merdeka. Angkatan 45 lahir pada tahun 1940, lebih jelasnya berjalan dari tahun 1943-1953, dan semakin redup pada tahun 1955. Prosa setelah kemerdekaan berbentuk cerita pendek (cerpen) yang meluas. Akibat dari pengaruh peperangan dan penderitaan hidup bangsa Indonesia pada zaman Jepang, membuat terciptanya sebuah prosa pada periode ini. Prosa setelah kemerdekaan cenderung ke masalah-masalah yang terjadi pada masyarakat , tentang kemiskinan, pelanggaran hak asasi manusia, ketidakadilan, dan lain-lain. Maka dari itu prosa periode ini lebih bersifat realistis, sinis, dan ironis diakibatkan dengan keadaan bangsa Indonesia pada saat itu. Karya-karya yang tercipta pada saat itu adalah Dari Aue Maria ke Jalan Lain ke Roma (kumpulan cerpen) karya Idrus, Atheis (novel) karya Achdiat Karta Mihardja, dan Jalan Tak Ada Ujung (novel) karya Mochtar Lubis. Setelah itu, pada tahun 1955 prosa ini semakin melemah dan terbentuklah periode angkatan 50, yang menguat pada tahun 1955-1965. Pada masa ini Indonesia menganut sistem demokrasi parlementer liberal yang menyebabkan banyaknya partai di Indonesia. Setiap partai itu memiliki lembaga kebudayaannya masing-masing dalam upaya mensosialisasikan ideologi tiap partai tersebut. Situasi sosial, politik, ekonomi negara seperti digambarkan di atas berpengaruh kepada sastra karena banyak sastrawan yang masuk dalam lembagalembaga kebudayaan tersebut. Akhirnya karya sastranya pun mengusung dan mensosialisasikan ideologi partai yang dimasukinya tersebut. Di samping itu, banyak juga sastrawan yang “merdeka” dan lebih menganut prinsip menulis untuk kemanusiaan, bukan untuk partai tertentu. Hal ini menyebabkan corak sastra, termasuk juga prosa, beragam. Secara estetik, karya prosa angkatan ini masih meneruskan konvensi Angkatan 45. Selain itu, protes terhadap kebijakan pemerintah Orde Lama pun banyak mewarnai karya-karya angkatan ini. Karya-karya prosa priode ini antara lain Pulang (novel) karya Toha mochtar, Penakluk Ujung Dunia (novel) karya Bokor Hutasuhut, Di Tengah Padang (kumpulan cerpen) karya Bastari Asnin, dan lain-lain. Cerpencerpen yang muncul pada periode ini bisa dilihat pula dalam antologi Angkatan 66 5



susunan H.B. Jassin. Dalam buku ini akan ditemukan pula cerpen-cerpen karya Bur Rasuanto dan Yusah Ananda. Kemudian terbentuk lagi angkatan 70 yang sebenarnya sudah mulai muncul tahun 1960-an namun mulai menguat tahun 70-an, dan melemah sekitar tahun 1980an. Masa transisi dari pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru, dan arus kebudayaan Barat yang menghantam secara kuat, membuat situasi masyarakat tahun-tahun ini, terutama secara moral dan spiritual cukup bergejolak. Hal ini berpengaruh pula pada penciptaan karya sastra. Konvensi karya sastra yang ada selama ini dianggap tidak mampu lagi menyuarakan suara zaman 1970-an yang gemuruh. Oleh karena itu, pada masa ini banyak muncul 17 eksperimentasi dan inovasi termasuk, dalam bidang prosa. Prosa-prosa beraliran surealisme banyak muncul pada masa ini. Selain itu, pengaruh filsafat eksistensialisme yang semakin kuat menyebabkan banyak karya prosa yang bertema absurdisme. Muncul pula karyakarya prosa bertema sufistik. Selain hal-hal di atas, ada kekhasan lain pula pada perkembangan prosa masa ini. Booming media massa cetak saat itu menyebabkan menjamurnya novel-novel dan cerpen-cerpen populer. Karya-karya prosa masa ini antara lain :Merahnya Merah (novel) dan Tegak Lurus dengan Langit (kumpulan cerpen) karya Iwan Simatupang, Adam Makrifat, dan Godlob ( kumpulan cerpen karya Danarto), Orang-Orang Bloomingtoon ( kumpulan cerpen), Olenka (novel) karya Budi Darma, Telegram, Stasiun (novel) karya Putu Wijaya, Kotbah di atas Bukit (novel) karya Kuntowijoyo. Setelah angkatan di atas, prosa Indonesia sebenarnya berkembang semakin pesat. Tahun 1990-an misalnya merebak apa yang disebut dengan genre cerpen koran, juga cerpen-cerpen Islami, lalu awal tahun 2000-an merebak novel-novel karya pengarang perempuan yang mengangkat tema-tema feminisme. Pemetaan lebih rinci tentang perioritas prosa masa itu perlu segera dilakukan. B. Prosa setelah Masa Orde Baru Pada saat Indonesia dipimpin oleh Soeharto (1966-1998) dan disebut juga era orde baru, melalui Kejaksaan Agung pemerintah membuat peraturan bahwa melarang beberapa buku sastra untuk dimiliki, disimpan, diedarkan, dan dibaca. Buku-buku sastra yang dimaksud terutama adalah buku-buku yang ditulis oleh para pengarang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dianggap pemerintah pada waktu itu berafiliasi pada komunis. Salah seorang korban pelarangan buku tersebut adalah 6



Bambang Isti Nugroho, mahasiswa Univesitas Gadjah Mada yang dijatuhi hukuman penjara karena membaca dan mengedarkan buku Bumi Manusia, salah satu buku seri pertama Tetralogi pulau Buru karya Pramudya Ananta Toer. Selain sastra, ada beberapa terbitan yang dilarang oleh penguasa orde baru karena dianggap kritis terhadap pemerintah. Salah satunya publikasi Majalah Independen. Majalah tersebut terbit secara diam-diam melalui gerakan di bawah tanah sebagai bahan bacaan alternatif untuk menyikapi pemerintahan Soeharto pasca di Era kejatuhan Soekarno. Hal-hal yang berbau Soekarno dilarang atau biasa disebut Desoekarnoisme. Beberapa terbitan yang berisi karena menyuarakan kepentingan masyarakat. Surat Ijin Usaha Percetakan dan Penerbitan (SIUPP) Tempo, Detik dan Editor dicabut melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan RI No 123/KEP/MeNPEN/1994 tanggal 21 Jui 1994. (Utami, 1994:107). Mengapa pada masa Soeharto yang diebut juga era Orde Baru begitu represif terhadap karya sastra dan karya jurnalistik? Menurut Heryanto (1996) Barangkali regim menganggap bahwa karya sastra sebagai isme punya tradisi panjang untuk merayakan keterbukaan makna , ketidakterpaduan, kemajemukan, ketidakpastian atau ambigiusitas. Tentu saja sastra yang dimaksud adalah sastra yang tidak terkungkung oleh romantisme dan humanisme, namun sastra yang postmodernisme, satu diantaranya adalah otokritik terhdadap kecongkakan ilmu dan kekuasaan Barat di dunia dalam pembangunan di Indonesia. Tulisan ini akan mendeskrisikan kategori karya sastra yang dianggap membahayakan pemimpin pada masa orde baru dan hubungan bahasa sastra dan ideologi. JIka pada orde Soeharto mampu menciptakan kata-kata yang dapat menekan, menyudutkan, mengerem, dan menyeragamkan kata, puisi-puisi Wiji Tukul pun, mampu memberikan kekuatan moral rakyat yang anti Soeharto untuk melakukan perubahan. Akibat dari kuasa pemimpin waktu itu, Wiji Tukul sampai saat ini dihilangkan dan tak tak tahu dimana berada. Dengan kata lain, pemimpin akan bertindak menghilangkan warga yang mengkritik melalui konstruksi bahasa yang diciptakan mengembangkan dan memperluas kekuasaannya dan pengkritik pemimpin menggunakan bahasa untuk mematahkan pengaruhnya. Menurut Budidarma (2007:183) sastra langsung atau tidak langsung ditentukan oleh politik. Oleh karena sastra merupakan kias zamannya, maka sastra 7



tidak dapat dilepaskan dari politik. Beberapa novel Indonesia yang menjadi pembicaraan hangat hubungannya dengan kekuasaan adalah Novel “tuhan ijinkan aku menjadi pelacur” (Melibas,2003) karya Muhidin M Dahlan karena berkisah tentang tokoh agama tertentu dan praktik beragama dalam sebuah lembaga dan organisasi umat. Tampak sebagian pembaca tertentu kurang berterima narasi yang dikisahkan dalam novel tersebut. Novel “Sang penghadang” karya Taufik Tan (Manhaj, 2008) berkisah tentang misiologi yang dilakukan agama tertentu terhadap kepercayaan lain dengan pola misiologinya. Novel-novel terkenal Indonesia karya Pramudya Ananta Toer, Eka Kurniawan, Andrea Hirata yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa pada pameran buku di Frankfurt Jerman misalnya, tidak lepas dari politik. Mengapa orang-orang Barat menyukai kisah tetralogi pulau Buru dalam novel Bumi Manusia, kisah sekolah reyot di Bangka Belitung dalam novel Laskar Pelangi?. Selain berkaitan dengan kuasa bahasa, ada faktor lain yang menyebabkan buku terebut berkategori kelas dunia. Selain faktor sejarah, kemanusiaan, dan pengorbanan, ada faktor politik yang menyebabkan bukubuku tersebut diperhitungkan di dunia internasional. Buku best seller “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata misalnya, karya tersebut belum berkategori sastra serius menurut para kritikus sastra, namun menjadi terkenal karena penulisnya pernah tinggal di Prancis dan memiliki jaringan internasional. Dengan demikian, selain faktor bahasa ada faktor lain yang menjadikan karya sastra terkenal atau tidak. Selain faktor kritikus sastra, faktor media massa dan media sosial berperan dalam “menduniakan “ karya sastra Indonesia. Oleh karena itu, berbagai pihak dapat bekerja ekstra menerjemahkan karya-karya sastra Indonesia ke dalam bnerbagai bahasa dunia untuk berpeluang mendapatkan penghargaan nobel sastra. Bagi penguasa memberangus karya sastra tidaklah mudah. Protes melalui karya seni dapat dilakukan memlalui lirik bermediakan bahasa. Lirik puisi yang dinyayikan oleh Iwan Fals seperti : Bento dan Bongkar, dan Presiden , misalnya jelas mengkritik pribadi-pribadi seperti penguasa serakah atau presiden yang tak mampu mengatasi penggangguran. Penguasa tidak bisa memenjarakan penulis dan pelantun lagu, namun hanya mencekal Iwan Fals tour musik di 100 kota.



8



Kini zaman sudah berubah, novel-novel dan karya sastra penulis Lekra yang pernah dilarang oleh pemerintah sudah tercetak dan dijual bebas di toko buku dan dengan mudah pembaca memilikinya. Masihkan penguasa melihat bahwa karya sastra dianggap sebaga “produk membahayakan”? Paradigma ini harus ditinggalkan ketika persoalan keberaksaraan nasional kita masih dalam titik nadir. Perlu publikasi karya sastra besar-besaran. Perlu penerjemah profesional yang menduniakan karya sastrawan Indonesia, perlu regulasi yang memudahkan penulis dan penerbit agar pembaca bisa memperoleh bacaan yang murah dan mudah. Bangsa Indonesia menjadi melek aksara dengan memperoleh berita dan cerita melalui karya sastra anak bangsa. Melalui politik pendidikan kesastraan diharapkan bangsa Indonesia mampu memahami kebudayaan dan pikiran bangsanya, mampu berkepribadian Indonesia dan menghargai karya-karya kemanusiaan bangsa lain melalui penerjemahan karya sastra. Sastra akan mempu memberikan pencerahan manakala pembaca mendapatkan kemanfaatan dengan memahami ekspresi para tokoh latar yang digambarkan, jalan cerita, dan tema yang ditulis pengarangnya.



9



BAB III PENUTUP A. Simpulan Prosa setelah kemerdekaan berbentuk cerita pendek (cerpen) yang meluas. Akibat dari pengaruh peperangan dan penderitaan hidup bangsa Indonesia pada zaman Jepang, membuat terciptanya sebuah prosa pada periode ini. Prosa setelah kemerdekaan cenderung ke masalah-masalah yang terjadi pada masyarakat , tentang kemiskinan, pelanggaran hak asasi manusia, ketidakadilan, dan lain-lain. Maka dari itu prosa periode ini lebih bersifat realistis, sinis, dan ironis diakibatkan dengan keadaan bangsa Indonesia pada saat itu. Pada saat Indonesia dipimpin oleh Soeharto (1966-1998) dan disebut juga era orde baru, melalui Kejaksaan Agung pemerintah membuat peraturan bahwa melarang beberapa buku sastra untuk dimiliki, disimpan, diedarkan, dan dibaca. Buku-buku sastra yang dimaksud terutama adalah buku-buku yang ditulis oleh para pengarang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dianggap pemerintah pada waktu itu berafiliasi pada komunis. Salah seorang korban pelarangan buku tersebut adalah Bambang Isti Nugroho, mahasiswa Univesitas Gadjah Mada yang dijatuhi hukuman penjara karena membaca dan mengedarkan buku Bumi Manusia, salah satu buku seri pertama Tetralogi pulau Buru karya Pramudya Ananta Toer. B. Saran Karya sastra di indonesia memiliki tingkatannya masing-masing dan memiliki banyak sejarah. Sebagai mahasiswa alangkah lebih baiknya mengetahui atau membaca beberapa karya sastra ditahun setelah kemerdekaan atau setelah orde baru agar mengetahui bagaimana proses prosa di Indonesia hingga saat ini.



10



DAFTAR PUSTAKA Budidarma. 2007. Bahasa, Sastra, dan Budidarma. Surabaya: JP Books (online) diakses pada tanggal 29 September 2021. Dahlan, Muhidin M. 2003. Tuhan ijinkan aku menjadi pelacur. Jakarta: Melibas (online) diakses pada tanggal 30 September 2021. Heryanto. 1996.



“Bahasa dan Kuasa: Tatapan Postmodernisme” dalam



Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan (online) diakses pada tanggal 30 September 2021. Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press (online) diakses pada tanggal 29 September 2021. Suroso. 2008. Kritik Sastra. Yogyakarta:Pustaka. (online) diakses pada tanggal 30 September 2021. Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1995. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia (online) diakses pada tanggal 29 September 2021. Taufik Tan. 2008. Sang Penghadang. Depok: Manhaj. Tempo. (2013) “ Biji yang Tumbuh dari Kor Kapel” .TEMPO Edisi Khusus “Teka-Teki Wiji Thukul”. Edisi 13-19 Mei 2013 (online) diakses pada tanggal 29 September 2021



11