Makalah Qawaid Ushuliyyah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Al-Qawaid al- Ushuliyyah al-Tasyri’iyyah Makalah ini disusun guna memenuhi Tugas dari Mata Kuliah: Islamic Law



Oleh :



Fian Khamil Arifin : 21191200000016



Team Teaching :Prof. Dr. Masykuri Abdillah Prof. Dr. Hasanuddin AF, MA Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH Dr. JM. Muslimin, MA Dr. Mahir Munjid, MA



MAGISTER PENGKAJIAN ISLAM SEKOLAH PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 M / 1440 H



AL-QAWAID AL-USHULIYYAH AL-TASYRI’IYYAH Oleh : Fian Khamil Arifin (21191200000016)



I.



Pendahuluan



Zaman dimana Nabi Muhammad SAW masih hidup, segala permasalahan yang berkaitan dengan hukum fiqh bisa langsung dijawab dengan perantara wahyu Allah SWT. Para sahabat selalu bertanya kepada Rasulullah SAW apabila ada sesuatu yang tak dipahami. Dan Setelah rasul wafat, perkembangan masalah hukum fiqh semakin kompleks sehingga menyebabkan para sahabat banyak yang berijtihad untuk memecahkan setiap permasalahan yang timbul. Sebagaimana telah kita ketahui sejak dahulu para fuqaha' telah sependapat bahwa setiap tingkah laku manusia, baik yang menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhannya (habluminallah) maupun hubungan manusia dengan sesamanya (habluminannas) senantiasa diatur oleh hukum syariat. Hukum syariat ini sebagian telah diterangkan dengan jelas oleh al-Quran dan al-Hadis sebagai rujukan primer hukum Islam dan sebagian lagi tidak diterangkan dengan jelas. Kemudian, Seiring dengan perkembangan zaman, realitas menunjukkan bahwa tidak seluruh permasalahan hukum tercover oleh nash, baik al-Qur'an maupun hadis. Terlebih dengan munculnya berbagai permasalahan hukum baru sebagai konsekuensi logis atas perubahan kondisi sosial masyarakat yang terus terjadi. Namun bukan berarti bahwa hukum yang dirumuskan kemudian terlepas dari nash, karena meski nash tidak menyebutkan secara spesifik hukum atas sebuah permasalahan, ia telah memberikan petunjuk dan tanda-tanda yang dapat digali dan dirumuskan menjadi sebuah produk hukum yang dikenal dengan fiqh. Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah perangkat apa yang dipergunakan oleh para mujtahid guna menggali dan merumuskan hukum tersebut. Untuk melakukan istinbath hukum Islam, terdapat empat ilmu penting yang saling berkaitan. Dua yang pertama adalah "ilmu pokok", yakni ilmu fiqh dan ushul fiqh. Ushul al-fiqh menempati pada posisi sentral dalam studi keislaman dengan produknya adalah fiqih. Adapun dua lainnya yang merupakan "ilmu bantu" adalah qawaid ushuliyyah dan qawa’id fiqhiyyah. Berdasarkan dari apa yang telah saya paparkan di atas, makalah ini secara khusus meyajikan sekilas tentang jenis ilmu bantu dalam istinbath hukum Islam, yakni qawa'id 2



ushuliyyah. Di dalamnya akan dipaparkan tentang pengertian atau definisi, obyek kajian, fungsi qawa’id fiqhiyyah, dan hal-hal yang berkaitan dengannya.



II.



Pembahasan A. Definisi al-Qawaid al-Ushuliyyah al-Tasyri’iyyah



Sebagaimana studi ilmu-ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu qawa'id ushuliyyah diawali dengan definisi, yakni pengertian tentang apa yang dimaksud dengan al-qawaid al-ushuliyyah al-tasri'iyyah. al-qawaid al-ushuliyyah al-tasri'iyyah terbagi kepada tiga kata, yaitu al-qawaid adalah bentuk jama' dari al-qa'idah yang berarti kaidah, akar, pondasi.1 Ahmad Warson Munawwir menjelaskan bahwa qa'idah adalah al-asas (dasar, asas atau fondasi), al-mabda' (prinsip) dan al-nasaq (metode atau cara).2 Secara etimologis, kaidah berarti aturan, patokan, alas bangunan atau undang-undang.3 Sementara secara terminologis, kaidah adalah aturan yang bersifat universal (kulliy) yang diikuti oleh aturan-aturan juz'i untuk mengetahui hukum-hukumnya. 4 Kemudian kata Al-Ushuliyyah adalah bentuk jama' dari al-ashl yang berarti pangkal, asal, sumber, pokok, pusat, asas, dasar, sebab.5 Sedangkan kata altasyri'iyyah seakar dengan kata syariat. Ia adalah masdar dari fi’il tsulasi mazid satu huruf setimbang taf’il dengan arti membuat atau menetapkan syariat. Bila syariat itu dikatakan hukum atau tata aturan yang ditetapkan Allah yang menyangkut tindak tanduk manusia, maka tasyri' adalah penetapan hukum dan tata aturan tersebut.6 Dapat diartikan bahwa al-qawaid al-ushuliyyah al- tasri'iyyah adalah “kaidah dasar atau metode atau pendekatan teori untuk menetapkan suatu hukum syariat yang telah Allah turunkan terhadap manusia demi kemaslahatan”. Dengan kata lain, kaidah ushuliyah merupakan instrumen penting untuk memelihara keadilan dan kemaslahatan masyarakat setiap masa.



1



Qutb Mushtafa Sanu, Mu’jam Musthalahat Ushul Al-Fiqh, (Damaskus, Dar AI-Fikr, 2000),



hlm. 327. 2



Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pesantren alMunawwir, 1984), hlm. 1224. 3 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta, Mahmud Yunus wa Dzaurriyyah, 2007), hlm. 351. 4 Qutb Mushtafa Sanu, Mu’jam Musthalahat Ushul Al-Fiqh, hlm 327. 5 Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, hlm. 28. 6 Ismail Muhammad Syah, dkk, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Bumi Aksara,1992), hlm. 13.



3



B. Obyek al-Qawaid al-Ushuliyyah al-Tasyri’iyyah



Fiqh dan ushul fiqh merupakan dua ilmu yang mempunyai hubungan sangat erat. Keterkaitan tersebut terutama bila ditinjau dari kedudukannya satu sama lain. Ushul fiqh merupakan al-asl (pokok), sedangkan fiqh berposisi sebagai far'u (cabang). Oleh karena itu, ulama ushul tentulah orang yang faqih, dan demikian pula sebaliknya. Jika tidak demikian, mustahil rasanya seorang mujtahid mampu menggali hukum dari suatu dalil bila ia tidak menguasai fiqh.7 Di sisi lain, fiqh dan ushul fiqh merupakan dua ilmu yang berbeda dan independen. Masing-masing berdiri sendiri dan memiliki objek kajian, dasar pijakan, dan tujuan mempelajarinya. Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang logis bila qawa'id kedua ilmu tersebut berbeda. Objek ushul fiqh adalah dalil-dalil fiqh yang bersifat global, hukum-hukum (fiqh), dan yang berkaitan langsung dengannya. Dengan demikian, kaidah ushuliyyah dipergunakan sebagai jalan untuk memperoleh dalil hukum dan hasil hukumnya. Sedangkan objek ilmu fiqh adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf dan setiap perbuatan yang berkaitan dengan hukum syara' praktis. Berdasarkan hal tersebut, qawa'id ushuliyyah (kaidah-kaidah ushul fiqh) berbeda dengan qawa'id fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh).8



C. Fungsi, Sifat dan Sumber Al-Qawâid al-Ushuliyyah Adapun fungsi utama dari kaidah ushuliyah adalah sebagai sandaran, fondasi dasar dalam istinbath dan penetapan hukum syara’ yang bersifat praktis dari sumbersumber asli.9 Selain itu, kaidah ushuliyah memiliki sifat yang dinamis sesuai dengan kebutuhan dan pemahaman pada setiap zaman dengan tidak mendobrak syarat dan ketentuan yang berlaku atau yang disepakati oleh ulama, bersifat deduktif dan dalam praktiknya diciptakan terlebih dahulu baru diterapkan atau diaplikasikan serta secara struktur kalimatnya ringkas.10



7 Muhammad Sidqi Ibn Ahmad ibn Muhammad al-Burnu, al-Wajiz fi Idah Qawaid al-Fiqh alKuliyyat (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983), hlm. 19 8 Muhammad Sidqi Ibn Ahmad ibn Muhammad al-Burnu, al-Wajiz…….., hlm. 19 9 Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh: Sebuah Pengenalan Awal (Banda Aceh: Nasa, 2013), h.294 dan 371 10 Maksud deduktif di sini adalah bahwa aplikasi dari kaidah ushul didasarkan dari dalildalil umum yang kemudian menghasilkan pedoman atau hukum yang khusus. Sementara itu, yang dimaksud ringkas adalah bahwa kaidah ushul biasanya hanya terdiri atas kalimat dari beberapa kata saja. Kurdi, Ushul Fiqh: Sebuah Pengenalan Awal, h. 294-297



4



Perumusan kaidah-kaidah ushuliyah, setidaknya bersumber pada empat hal, yaitu nushûs al-Quran, nushûs al-Sunnah/al-Hadis, bahasa dan ilmu bahasa Arab serta akal/rasio.11 Kombinasi wahyu dan akal dalam perumusan kaidah ushuliyah, menunjukkan bahwa kaidah ushuliyah yang bermuara pada ilmu ushul fiqh merupakan falsafah Islam aktual yang berfungsi mengawasi aktivitas manusia dan sebuah epistemologi hukum sangat penting yang dihasilkan peradaban Islam.12



D. Konsep al-Qawâ'id al-Ushuliyyah al-Tasyri'iyyah Kaidah ushuliyah dapat terbagi dua, yaitu al-qawa'id al-ushûliyyah allughawiyyah dan al-qawa’id al-ushûliyyah al-tasyri'iyyah. Pembagian pertama melihat sumber ajaran Islam dari aspek-aspek kebahasaan seperti, thuruq dilalah al- nash dan uslûb al-lughah al-'arabiyyah,13 sedangkan yang kedua melihat dari tujuan-tujuan pensyariatan (al-maqashid al-syari'ah). Akan tetapi, dalam tulisan ini tidak akan membahas mengenai pembagian pertama, namun langsung menuju pembagian kedua terkait al-qawa’id al-ushûliyyah al-tasyri'iyyah. Al-qawa’id al-ushûliyyah al-tasyri'iyyah berguna sebagai sandaran dan fondasi dalam istinbath dan penetapan hukum dari sumber primer ajaran Islam, maka diharuskan memelihara prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh para ulama ushul dalam proses istinbath hukum agar pembentukan hukum tidak keluar daritujuan yang dimaksud, yaitu mengantarkan manusia kepada kemaslahatan dan keadilan.14 menurut Abdul Khalaf di dalam bukunya, Prinsip-prinsip dalam istinbath hukum terbagi pada lima kaidah atau prinsip, yakni: 1. al-Maqshud al-Am min al-Tasyri' (Tujuan Umum Pensyariatan Hukum) Tujuan umum syari' dalam pembentukan hukum adalah merealisasikan kemashlahatan manusia dengan memberikan manfaat kepada mereka dan menolak kemudharatan melalui cara menjamin aspek-aspek primer (dharuriyat), sekunder 11



Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Al-Wadih Fi Ushul al-Fiqh (Amman: Dar al- Salam, tt),



hlm. 11 12 A. Yasid, "Epistemologi Ushul Fiqh: Antara Pembaharuan dan Pemberdayaan Mekanisme Istibath al-Ahkam", dalam Jurnal Asy-Syir'ah, Vol. 45, No. I, 2011, h. 1027-1028. 13 Menurut Abdul Wahab Khalaf dan Wahbah al-Zuhaili, melalui pendekatan aspek kebahasaan pada akhirnya akan mengetahui dalil yang dm dan khas, muthlaq dan muqoyyad, mujmal dan mubayyan, muhkam dan mufassar, amr dan nahy dan sebagainya. Lebih lanjut rujuk Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh (Kairo: al-Haramain, 2004) dan Wahbah al- Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul Fiqh (Beirut: Dar alFikr, 1999). 14 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 196.



5



(hajiyat) dan tersier (tahsiniyat),15 baik yang termasuk hukum taklifi maupun hukum wadh'i. Dari sini dapat dipahami bahwa setiap hukum pasti disyariatkan hanya untuk kemaslahatan manusia. Berdasarkan kaidah pertama ini, tujuan syari' dalam pensyariatan hukum terwujud pada beberapa kaidah yang berkaitan dengan menolak madarat dan menghapus kesempitan yang semuanya bermuara pada dua kaidah utama, yaitu: - ‫( الضرر وال ضرار‬Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain) dan - ‫( المشقة تجلب التيسير‬kesulitan akan menimbulkan kemudahan). Adapun kaidah-kaidah cabang dari kedua kaidah utama ini adalah sebagai berikut:16 1. ‫الضرر يدفع قدر اإلمكان‬ Yaitu kewajiban mencegah datangnya bahaya sebelum hal itu terjadi dengan berbagai cara yang dapat dilakukan, seperti mencegah kerusakan, terjadinya kesewenangan-wenangan musuh dengan disyariatkan jihad, menjaga keamanan nasional, membuat peraturan tentang pelanggaran kejahatan. 2. ‫الضرر يزال‬ Bahaya itu harus dihilangkan. Maksud kaidah ini seperti memotong dahan pohon yang menggantung ke pekarangan rumah tetangga, kewajiban berobat saat sakit, ketetapan hak khiyar bagi pembeli untuk mengembalikan benda yang dibeli jika terdapat cacat. 3. ‫الشرر اليزال بمثله أي بالضرر‬ Bahaya itu tidak boleh dilenyapkan dengan bahaya. Sebagai misal adalah tidak boleh memelihara hartanya dengan merusak harta orang lain, tidak boleh seseorang dalam keadaaan terpaksa memakan makanan orang lain yang dalam keadaan terpaksa juga. 4. ‫الضرر األشد يزال بالضرر األخف‬ Bahaya yang besar bisa dilenyapkan dengan bahaya yang lebih kecil, seperti boleh membelah perut perempuan hamil yang telah mati untuk mengeluarkan janin jika masih bisa diharapkan hidupnya sang janin, boleh tidak bersaksi jika dengan bersaksi menyebabkan terjadinya sesuatu yang lebih berbahaya. 15 16



Wahbah al-Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul Fiqh, h. 217. Wahbah al-Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul Fiqh, h. 228-231.



6



5. ‫يحتمل الضرر الخاص لدفع ضرر عام‬ Sebagai contoh dari maksud kaidah ini, tangan pencuri boleh dipotong demi mengamankan harta manusia, pembunuh boleh dibunuh demi mengamankan jiwa manusia, barang orang yang berhutang boleh dijual secara paksa jika dia menolak membayar hutangnya. 6. ‫درء المفاسد أولى من جلب المنافع‬ Misalnya, tidak boleh jual beli khamr dan sejenisnya meskipun dengan menjualnya dapat banyak keuntungan, tidak boleh menggunakan sesuatu meskipun milik sendiri jika membahayakan tetangga. 7. ‫الضرورات تبيح المحطورات‬ Contoh kaidah ini, orang kelaparan boleh memakan bangkai jika dalam keadaan terdesak, boleh mengambil uang dari harta orang yang berhutang tanpa seizinnya jika dia menolak membayar, dokter boleh membuka aurat pasien jika di bagian tersebut letak yang harus diobatildioperasi. 8. ‫الضرر تقدر بقدرها‬ Maksud kaidah ini seperti, orang dalam keadaan terdesak sekalipun tidak boleh memperoleh sesuatu yang haram kecuali sekedar bisa mengeluarkannya dari keadaan terdesak, najis tidak ditolerir kecuali batas di mana dia sulit untuk menghindari dari najis, dokter boleh membuka aurat pasien sekedar yang dibutuhkan untuk pengobatan saja. 9. ‫الجرح مرفوع شرعا‬ Sebagai contoh kaidah ini, menentukan arah kiblat cukup dengan perkiraan jika dalam keadaan sulit menentukan arah kiblat. 10. ‫ عامة كانت أو خاصة‬،‫الحاجة تنزل منزلة الضرورة‬ Kebutuhan primer lebih mendesak untuk dipenuhi dari pada kebutuhan sekunder. Karena primer adalah sesuatu yang jika tidak dipenuhi akan membahayakan atau membawa kehancuran pada diri, sedangkan sekunder adalah sesuatu yang jika tidak dipenuhi tidak akan mendatangkan kesulitan dan kesusahan. Akan tetapi kebutuhan sekunder yang telah merata maka hukumnya seperti primer, baik kebutuhan umum (mencakup kebutuhan seluruh umat) atau khusus (sekelompok ahl al-balad). Contoh, diperbolehkan melihat wanita yang bukan muhrim bagi laki-laki dalam muamalah, mengajar, dan semisalnya.



7



2. fi ma huwa haqq Allah wa ma huwa haqq al-mukallaf (Hak Allah dan Hak Mukallaf) Hubungan antara kaidah pertama dengan kaidah yang kedua ini adalah kaidah pertama mengandung pemahaman bahwa kemaslahatan manusia merupakan tujuan dari hukum-hukum syara, sedangkan kaidah kedua mengandung pemahaman bahwa maslahat yang menjadi tujuan pensyari'atan hukum, kadang berupa kemaslahatan bagi kelompok secara umum, kadang berupa kemaslahatan secara khusus bagi individu, dan kadang berupa kemaslahatan bagi keduanya sekaligus.17 Adapun maksud hak Allah yaitu hak masyarakat yang aturannya disyari'atkan bagi kepentingan umum, bukan kepentingan individu secara khusus. Karena hak itu termasuk tatanan yang umum maka hak tersebut dinisbatkan kepada Tuhan. Hak mukallaf ialah hak individu yang aturannya disyari'atkan untuk kepentingannya secara khusus. Perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan aturan syara' ada yang murni hak Allah, ada yang murni hak mukallaf, ada yang berupa perpaduan dua hak. Berkaitan dengan hak Allah dan hak mukallaf dapat dibagi dua secara garis besar, yaitu : (1) setiap batasan syariat adalah hak Allah, yakni bagi masyarakat umum yang dalam praktiknya langsung berhubungan dengan Allah seperti ibadah mahdlah dan yang mengiringinya. (2) setiap aturan syariat yang manfaatnya lebih besar diperuntukkan hanya untuk hubungan antar manusia saja. Hal ini dapat berupa hukum wadh'i dan jinayah.18



3. fi ma yasugh al-ijtihad fih ( Kelayakan dalam Berijtihad) Ijtihad menurut istilah ulama ushul ialah mencurahkan daya kemampuan untuk menghasilan hukum syara' dari dalil-dalil syara' secara terperinci. Hal ini dituntut dan disyariatkan untuk dilaksanakan pada setiap waktu dan hukumnya bisa fardhu 'ain dan bisa Juga fardhu kifayah, tergantung ada atau tidaknya orang yang berijtihad. Akan tetapi, perlu diperhatikan pula bahwa tidak setiap persoalan dapat diijtihadi, hanya persoalan-persoalan yang tidak termasuk ibadah mahdlah atau yang tidak terdapat nash jelas dengan dilalah pasti yang dapat diijtihadi.19



17



Wahbah al-Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul Fiqh, h 231 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 215 19 Wahbah al-Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul Fiqh, h 221-222 1818



8



Adapun syarat bagi seseorang dalam berijtihad adalah : -



memahami ilmu bahasa Arab dengan seluk beluknya memahami ilmu ushul fiqh memahami ayat-ayat ahkam dalam al-Quran memahami hadis ahkam baik secara bahasa maupun syara’ Ditekankan pula untuk mengetahui perihal nasikh dan mansukh.



Dengan kelima skill yang dimiliki, pada akhirnya mujtahid dapat sampai pada tingkatan bahwa suatu nash itu bisa atau tidak bisa diterapkan dalam suatu peristiwa tertentu.20



4. fi naskh al-hukm (Nasakh Hukum) Nasakh dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah pembatalan pemberkuan hukum syar'i dengan dalilyang dating belakangan dari hukum yang sebelumnya, baik pembatalannya secara terang-terangan atau secara kandungannya saja. Macam-macam naskh setidaknya ada empat, yaitu naskh sharikh, naskh dhamn, naskh kulliy dan naskh juz'i. a.



Naskh sharikh, adalah di mana pembuat hukum (syari') telah mengeluarkan nash syariat baru untuk membatalkan nash syariat terdahulu. Naskh kulliy, adalah kondisi di mana syari' membatalkan suatu hukum yang telah disyariatkan sebelumnya secara universal dengan menisbahkannya pada setiap individu mukallaf. Naskh juz'i, adalah ketika suatu hukum disyariatkan secara umum dan mencakup setiap individu mukallaf, kemudian hukum ini dibatalkan dengan melibatkan sebagian individu (mukallaf) atau disyariatkan secara mutlak, kemudian hukum mutlak ini dibatalkan dengan melibatkan sebagian keadaan.



b.



c.



5. fi al-ta'arudl wa al-tarjih Ta'arudh adalah salah satu dari dua dalil yang menunjukkan pada hukum suatu peristiwa tertentu, sedangkan dalil lain menunjukkan hukum yang berbeda dari dengan itu. Tarjih adalah pada prinsipnya memilih dan mengamalkan dalil atau alasan yang 20



Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 218-219



9



terkuat (‫ )راجح‬diantara dalil-dalil yang tampak adanya perlawanan satu sama lainnya. Apabila kita dapati dua nash yang lahirnya berlawanan, wajiblah kita berusaha mengkompromikan nash-nash itu dari lahirnya, sehingga tidak terjadi pertentangan satu sama lain di dalam syari’at. Jika mungkin kita menghilangkan pertentangan lahir itu diantara dua nash, dengan jalan jama' dan taufiq, hendaklah kita jama'kan dan kita amalkan kedua- duanya. E. Urgensi al-Qawaid al-Ushuliyyah al-Tasyri’iyyah Tujuan mempelajari qawa'id Ushuliyyah pada dasarnya sama dengan tujuan mempelajari ushul fiqh. Tujuan tersebut adalah membuka jalan untuk dapat mengetahui hukum-hukum syariat dan mengetahui cara-cara istinbath dan istidlal hukum. Dengan demikian, kaidah ushuliyyah membahas tentang kaidah-kaidah ketika melaksanakan istimbath, menggariskan jalan yang harus ditempuh dalam menggali hukum dan menerangkan tingkatan-tingkatan dalil serta keadaan yang menyertai sebuah dalil. Kaidah ushuliyyah merupakan gambaran umum yang lazimnya mencakup metode istinbath dari sudut pemaknaannya, baik dari tinjauan bahasa, susunan maupun gaya bahasanya. Oleh karena itu, seluruh metode istinbath harus berpegang pada prinsip-prinsip yang telah tertuang dalam kaidah yang telah ditetapkan dan disepakati bersama.



III.



Kesimpulan



Kaidah-kaidah ushuliyah disebut juga kaidah istinbathiyah atau kaidah lughawiyah. Disebut kaidah istimbathiyah karena kaidah-kaidah tersebut dipergunakan dalam rangka mengistinbathkan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalilnya yang terinci. Disebut kaidah lughawiyah karena kaidah ini merupakan kaidah yang dipakai ulama berdasarkan makna, susunan, gaya bahasa, dan tujuan ungkapan-ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ahli bahasa Arab, setelah diadakan penelitian-penelitian yang bersumber dan kesusastraan Arab. Kaidah-kaidah ushuliyah digunakan untuk memahami nash-nash syari’ah dan hukum-hukum yang terkandung dalam nash-nash tersebut. Dengan kaidah ushuliyah dapat difahami hukum-hukum yang telah diistinbathkan oleh para imam mujtahidin, serta dapat pula dipertimbangkan antara mazhab mereka yang berbeda mengenai hukum suatu kejadian. Karena memahami hukum menurut seginya atau mempertimbangkan antara dua hukum yang berbeda tidak bisa terjadi kecuali dengan memakai ilmu ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya. 10



DAFTAR PUSTAKA



al-Zuhaili, Wahbah. Al-Wajiz fi Us.u-l al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr al-Mua-s.ir. 1995. Khalaf, Abd al-Wahab. Ilmu Us.u-l al-Fiqh. Kairo: Dar al-Qolam. 1978. Kurdi, Muliadi. Ushul Fiqh: Sebuah Pengenalan Awal. Banda Aceh: Nasa. 2013. Munawir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif, 2007. Sanu, Qutb Mushtafa. Mu'jam Musthalahat Ushul Al-Fiqh Damaskus: Dar Al-Fikr,2000 Sidqi, Muhammad Ibn Ahmad ibn Muhammad al-Burnu. al-Wajiz fi Idah Qawaid alFiqh al-Kuliyyat. Beirut: Muassasah al-Risa-lah.1983 Syah, Ismail Muhammad. Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992. Usman, Muhlish. Kaidah- Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1997. Wahab, Abd Ibrahim Abu Sulaiman. al-Fikrah al-Us.uli. Mekkah: Dar al-Shuruq. 198: Yasid, "Epistemologi Ushul Fiqh: Antara Pembaharuan dan Pemberdayaan Mekanisme Istibath al-Ahkam", dalam -urnal Asy-Syir'ah, Vol. 45, No. I, 2011.



Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Mahmud Yunus wa Dzaurriyyah, 2007.



11