Makalah Qawaid Kelompok 2 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH Sejarah Munculnya Qowaid fikhiyah: Faktor internal dan eksternal Dosen Pengampu : Drs. H. Saefullah, M.A



Kelompok 2 Di susun Oleh : Riska Yuliyani



201130093



Muhammad Abudi Zulfianto



201130089



Arif Nurdani



201130086



Yazid Fadila Zaidan



201130124



Fakultas Syariah Hukum Ekonomi Syariah UIN Sultan Maulana Hassanuddin Banten



A. Pendahuluan Qawaid fiqhiyyah adalah suatu kebutuhan bagi kita semua. Namun banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu qawaid fiqhiyyah. Dewasa ini ilmu qawaid fiqhiyyah yang kian berkembang. Sehingga study tentang ini amat menarik diperbincangkan terutama kalangan yang ingin memahami ilmu tentang qawaid ini, bukan saja para mahasiswa tetapi masyarakat yang luas juga mempelajarinya, oleh karena itu, kami selaku penulis akan mencoba untuk menerangkan tentang faktor-faktor yang mendorong penyusunan kaidah fiqhiyyah. Diantara kaidah fiqih penting adalah : “Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak”(Keyakinan tidaklah bisa dihilangkan dengan keraguan). Para fuqaha memasukkan berbagai amalan ibadah, mu’amalah, dan hak-hak sesama ke dalam kaidah ini. Maka barangsiapa yang ragu akan sesuatu, maka dikembalikan lagi ke asalnya, yakni yang yakin.



B. Rumusan Masalah



1. Apa faktor-faktor yang mendorong penyusunan qawaid fiqhiyyah? 2. Bagaimana proses pembentukan dan perkembangan qawaid fiqhiyyah? 3.



C.



Bagaimanakah penyelesaian masalah yang bertautan dengan qaidah kedua?



Tujuan Makalah



Agar kita sebagai mahasiswa/I dapat mencari tahu dan mencari jalan keluar dari masalah yang ada dan dapat dipecahkan bersama dan dapat dipahami isi dari makalah ini dengan baik dan bijak



Daftar isi Pendahuluan .............................................................................................................. Rumusan masalah ..................................................................................................... Tujuan makalah ......................................................................................................... Bab I .......................................................................................................................... Sejarah qawaid fiqiyah .............................................................................................. Fase pertumbuhan dan pembantukan ........................................................................ zaman nabi Muhammad saw ............................................................................... zaman sahabat .................................................................................................... zaman tabi’in ...................................................................................................... fase perkembangan dan kodifikasi ............................................................................. fase penyempurnaan dan kemenangan ...................................................................... bab II .......................................................................................................................... faktor faktor qawaid fiqoyyah ........................................................................... bab III ......................................................................................................................... Penutup ............................................................................................................ Daftar pustaka ..................................................................................................



Bab 1 Sejarah Perkembangan Qawaid fiqhiyah Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perkembangan qawaid fiqhiyah dapat dibagi kedalam tiga fase berikut: 1.



Fase Pertumbuhan dan Pembentukan



Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih. Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi fase sejarah hukum islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman. A.



Zaman Nabi Muhammad saw



Berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah. Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk dan ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknanya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu : • •



Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak mengandung al-Mustasnayat. Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.



Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu : 1. ‫( الخرج بالضمان‬hak menerima hasil karena harus menanggung kerugian) 2. ‫ ( العجماء جرحها جبار‬kerusakan yang dibuat oleh kehendak binatang sendiri tidak dikenakan ganti rugi), dll. Ibnu Taimiyah (w. 728 H), setelah menyampaikan hadits riwayat Ahli Sunan menyatakan , dengan hadits jawami’ al-kalim (singkat padat) Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dapat menghilangkan dan mengacaukan akal (adalah) haram. Nabi tidak membeda-bedakan jenisnya, apakah benda tersebut berjenis makanan atau minuman. Ini adalah ketetapan Nabi Muhammad SAW, yaitu hokum meminum minuman yang memabukkan adalah haram.



B.



Zaman Sahabat



Sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka. Atsar (pernyataan) sahabat yang dapat dikatagorikan jawami’ al-kalim dan qawaid fiqhiyyah diantaranya adalah sebagai berikut: •







Pernyataan Umar bin Khatab ra (w.23 H) yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (w. 256 H) dalam kitabnya Shahih al-Bukhari: ‫( مقاطع الحقوق عند الشروط‬penerimaan hak berdasarkan kepada syarat-syarat). pernyataan Ali bin Abi Thalib ra (w. 40 H) yang diriwayatkan oleh Abd al-Razaq (w.211 H) :‫( من قاسم الزبح فال ضمان عليه‬orang yang membagi keuntungan tidak harus menanggung kerugian).



Atsar Umar bin Khatab ra di atas menjadi kaidah dalam masalah syarat. Atsar Ali bin Abi Thalib menjadi kaidah yang subur dalam bidang persoalan harta benda, seperti mudharabah dan syirkah. C.



Zaman Tabi’in dan Tabi’ tabi’in selama 250 tahun.



Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in: •



Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182)



Karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah : ”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal” Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris. Ulama berikutnya yang mengembangkan fikih Imam Asy-Syafi’i, pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu ”Sesuatu yang dibolehkan dalam keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa” Pernyataan Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Umm, diantaranya ‫األعظم اذا سقط عن الناس سقط ما هو‬ ‫( أصغر منه‬apabila yang besar gugur, yang kecilpun gugur).[1] Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), Diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal yang abu Daud dalam kitabnya al-Masail, yaitu :



‫كل ما جاز فيه البيع تجوز فيه الهبة والصدقة والرهن‬ ”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan” ·



Ulama berikutnya ialah Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w.189 H),



Ia mengemukakan apabila seseorang mempunyai wudhu, kemudian timbul keraguan dalam hatinya, apakah ia sudah hadats (batal) atau belum, dan keraguan ini lebih besar dalam pikirannya; lebih baik ia mengulangi waudhunya. Apabila ia tidak mengulangi wudhu dan sholat beserta keraguaannya itu, menurut kami boleh, karena ia masih mempunyai wudhu sehingga ia yakin bahwa ia telah hadats (batal). Apabila seorang muslim terpercaya atau muslimah yang terpercaya, merdeka maupun tidak, memberi tahu bahwa ia telah hadats (batal), tidur terlentang, atau pingsang;ia tidak boleh melaksanakan shalat (sebelum mangulangi wudhu). Pernyataan al-Syaibani tersebut di atas seperti kaidah: ‫اليقين ال يزول بالشك‬ (keyakinan tidak dapat menghilangkan keraguan) . 2.



Fase Perkembangan dan Kodifikasi



Awal mula qawaid fiqhiyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada abad ke 4 H dan terus berlanjut pada masa setelahnya. Hal ini terjadi ketika kecenderungan taqlid mulai tampak dan semangat ijtihad telah melemah karena saat itu fiqh mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal ini berimbas terhadap terkotak-kotaknya fiqh dalam madzhab. Dan ulama pada saat itu merasa puas dengan perkembangan yang telah dicapai oleh fiqh pada saat itu. Pembukuan fiqh dengan mencantumkan dalil beserta perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi diantara madzhab sepertinya telah memuaskan mereka, sehingga tidak ada pilihan lain bagi generasi setelahnya kecuali merujuk pada pendapat-pendapat madzhab itu dalam memutuskan dan menjawab persoalan-persoalan baru. Ketika hukum furu’ dan fatwa para ulama semakin berkembang seiring dengan semakin banyaknya persoalan, para ulama mempunyai inisiatif untuk membuat kaidah dan dhabit yang dapat memelihara hukum furu’ dan fatwa para ulama tersebut dari kesemerawutan. Hal inilah yang dilakukan oleh Abu Hasan al-Karkhi (w.340 H) dalam risalahnya (ushul alKarkhi). Dan Abu Zaid al-Dabbusi (w.430 H) dalam kitabnya Ta’sis al-Nadhar dengan memakai istilah ushul. Apabila ushul tersebut mencakup berbagai masalah fiqh, maka disebut kaidah, sedangkan kalau hanya mencakup satu masalah fiqh , disebut dhabit. Menurut DR. An Nadwi bahwa golongan Hanafiah merupakan yang pertama kali mempelajari kaidah fiqhiyah. Beberapa informasi yang menyatakan hal tersebut termaktub dalam beberapa literatur diantaranya, Alaby (761 H), As Suyuthi (911 H) dan Ibnu Najm (970 H) dalam al qawaid menyatakan bahwa Imam Ad Dibas pada abad 4 Hijriyah telah mengumpulkan beberapa kaidah-kaidah Mazhab Hanafi sebanyak 17 kaidah. Imam Ad Dibas membaca kaidah-kaidah tersebut berulang kali setiap malam di masjid yang kemudian Abu Said al Harawi Al Syafii menukil dari Ad Dibas beberapa kaidah-kaidah tersebut.[2] Imam al Karkhi (340 H) menyusun sebuah catatan yang berisi 37 kaidah, kemudian dari golongan Hanafiyah muncul Imam al Khusyni (361 H) dengan karyanya ushul al fataya. Dan



setelah itu muncul Abi Laits Al Samarqandi (373 H) dengan karyanya ta’sis al nadhri yang identik dengan karya Abi Zaid Ad Dibasi (430 H) dengan sedikit perbedaan. Bisa dikatakan bahwa abad 4 H merupakan fase kedua dari kemunculan kaidah fiqhiyah[3] dengan asumsi pada abad inilah ditemukannya kaidah fiqhiyah sebagai sebuah disiplin ilmu. Pada abad ke-7 H qawaid fiqhiyah mengalami perkembangan yang sangat signifikan walaupun terlalu dini untuk dikatakan matang. Di antara ulama yang menulis kitab qawaid pada abad ini adalah al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahin al-Jurjani al Sahlaki (w.613 H). Ia menulis kitab dengan judul “al-Qawaid fi Furu’I al- Syafi’iyah”. Kemudian al-Imam Izzudin Abd al-Salam (w. 660 H) menulis kitab “Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam” yang sempat menjadi kitab terkenal. Dari kalangan madzhab Maliki Muhammad bin Abdullah bi Rasyid al-bakri al-Qafshi (685 H) menulis “al-Mudzhb fi Qawaid al-Madzhab” dan masih banyak lagi. Karya-karya ini menunjukan bahwa qawaid fiqhiyah mengalami perkembangan yang pesat pada abad ke-7 H. Qawaid fiqhiyah pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi sedikit mulai meluas. Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid fiqhiyah mengalami masa keemasan, ditandai dengan banyak bermunculannya kitab-kitab Qawaid fiqhiyah.[4] Perkembangan ini terbatas hanya pada penyempurnaan hasil karya para ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama Syafi’iyah. Hal ini dapat dilihat misalnya pada kitab Ibnu al-Mulaqqin dan Taqiyuddin alHishni. Dalam hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif. Diantara karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah: 1.



Al-Asyabah wa an-Nadhair karya Ibnu al-Wakil al-Syafi’I (w.716 H)



2.



Kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H)



3.



Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabt al-Madzhab karya al-‘Alai al-Syafi’I (w.761 H)



4.



Dll



Karya-karya besar yang mengkaji qawaid fiqhiyah yang disusun pada abad IX H banyak mengikuti metode karya-karya abad sebelumnya. Di antara karya-karya tersebut adalah: 1. Kitab al-Qawa’id karya Ibnu al-Mulaqqin (w. 840 H) 2. Asnal Maqashid fi Tahrir al-Qawa’id karya Muhammad bin Muhammad al-Zubairi (w. 808 H) 3. Kitab al-Qawa’id karya Taqiyuddin al-Hishni (w. 829 H) Dll Dengan demikian, ilmu qawaid fiqhiyah berkembang secara berangsur-angsur. Pada abad X H, pengkodifikasian qawaid fiqhiyah semakin berkembang. Imam al-Suyuti (w. 911 H) telah berusaha mengumpulkan qaidah fiqhiyah yang paling penting dari karya al‘Alai, al-subaki dan al-zarkasyi. Ia mengumpulkan kaidah-kaidah tersebut dalam kitabnya al-



Asybah wa al-Nadhai. Kitab-kitab karya ketiga tokoh ulama tersebut masih mencakup qawaid ushuliyah dan qawaid fiqhiyah, kecuali kitab karya al-Zarkasyi. Pada abad XI dan XII H, ilmu qawaid fiqhiyyah terus berkembang. Dengan demikian, fase kedua dari ilmu qawaid fiqhiyah adalah fase perkembangan dan pembukuan. Fase ini ditandai dengan munculnya al-Karkhi dan al-Dabbusi. Para ulama yang hidup dalam rentang waktu ini (abad IV-XII) hampir dapat menyempurnakan ilmu qawaid fiqhiyah. 3.



Fase Kematangan dan Penyempurnaan



Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah “seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya” Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah : “seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin. Pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah mencapai puncaknya ketika disusun Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah oleh komite (lajnah) Fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Azis Khan alUtsmani (1861-1876 M) pada akhir abad XIII H. Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ini menjadi rujukan lembaga-lembaga peradilan pada masa itu. Kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah, yang ditulis dan dibukukan setelah diadakan pengumpulan dan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, adalah suatu prestasi yang gemilnag dan merupakan indikasi pada kebangkitan fiqh pada waktu itu. Para tim penyusun kitab itu sebelumnya telah mengadakan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, lalu mengkonstruknya dalam bahasa undang-undang yang lebih bagus dari sebelumya. Kitab Majalllat al-Ahkam al-‘Adliyyah inilah yang menyebabkan qaidah fiqh semakin tersebar luas dan menduduki posisi yang sangat penting dalam proses penalaran hokum fiqh.



Bab II A. Faktor-faktor yang mendorong penyusunan qawaid fiqhiyyah Antara faktor yang membawa kepada terbentuknya kaedah fiqhiyyah ini ialah peranan para ulama’ dan mujtahid. Golongan ini memainkan peranan mereka menggunakan akal fikiran berdasarkan ilmu daripada sumber perundangan, selaras dengan konsep syariat yang sesuai dilaksanakan tanpa mengira masa dan tempat. Justeru itulah para mujtahid berusaha dengan berijtihad untuk memahami nas-nas dan mempraktikkan kaedah-kaedah yang umum terhadap masalah furu’ yang baru dan sentiasa muncul. Sebagai contoh, melalui konsep alQiyas, Istihsan, ‘Uruf serta berbagai sumber lain lagi. Dalam konteks lain, para ulama’ dan mujtahid mengkaji dan mendalami semua ruang serta sumber perundangan Islam yang luas dan berijtihad dengan ilmu yang mereka ada untuk memahami nas-nas dalam mengkaji prinsip-prinsip syariat yang sesuai dengan keadaan masa dan tempat. Justeru itu, mereka mempraktikkkan kaedah yang berbentuk umum terhadap masalah khusus atau furu’ yang baru serta sentiasa wujud dalam masyarakat. Antara faktor lain yang membawa kepada terbentuknya kaedah fiqhiyyah ini sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama’ dan fakta sejarah ialah kerana terdapat nas-nas yang dapat ditafsirkan dengan berbagai-bagai. Yaitu ada nas yang berbentuk umum yang merangkumi pelbagai masalah, dan ada nas yang mutlaq yang mana melahirkan pendapat-pendapat untuk mengikatnya atau untuk memuqayyadkannya. Selain itu, kaedah fiqhiyyah ini juga muncul akibat terdapat kaedah-kaedah umum yang berasaskan adat kebiasaan yang muncul dalam perkembangan hidup manusia dari satu generasi ke satu generasi lain untuk disesuaikan dengan masalah-masalah hukum furu’. Oleh yang demikian, ia memerlukan sumber-sumber akal fikiran dan amalan-amalan yang berterusan sebagai adat atau ‘uruf untuk mengeluarkan hukum yang fleksibel di samping untuk menangani persoalan semasa yang sentiasa wujud dan berterusan sehinggan kini Berdasarkan pernyataan diatas, dapat dikumukakan beberapa faktor pendorong penyusunan qawa’id fiqhiyyah sebagai berikut: 1. Makin bertambah banyaknya hukum fiqh, sehingga menyebabkan semakin sulitnya menghafal hukum-hukum fiqh tersebut. Maka untuk mempermudah menghafal da



mengidentifikasi hukum fiqh yang sangat banyak tersebut, disusunlah qawaid fiqhiyyah. 2. Para ulama dalam menyusun qawaid fiqhiyyah terinspirasi oleh sebagian teks alquran dan hadist yang bersifat jawami’ al-kalim 3. Secara praktis, pembentukan qawaid fiqhiyyah didorong oleh pengalaman para ulama dilapangan. Para ulama kadang-kadang dituntut untuk memberikan jawaban yang cepat dan tepat terhadap pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Dengan kecepatan dan ketajaman pemikiran, mereka memberikan jawaban yang singkat dan padat.



BAB III PENUTUP



A. Kesimpulan



Qa’idah ini merupakan pondasi syar’i yang kokoh. Didalamnya termuat banyak persoalan hukum fiqh, yang bermuara pada penghilangan kesulitan dan keberatan. Dimana qa’idah ini dengan tegas memposisikan keyakinan sebagai hukum asal, terlebih dalam masalh bersuci, dan shalat. Agar bisa memahami qa’idah ini secara detail dan mengetahui seberapa jauh jangkauannya dalam menghadapi persoalan persoalan fiqh islam, terlebih dahulu harus mengetahui bahwa tingkat daya hati dalam menangkap sesuatu selalu berbeda-beda. Al-Yakin secara bahasa adalah mengetahui, menyingkirkan keraguan, dan membuktikan kebenaran masalah. Al-Yakin merupakan kebalikan dari al-Syak. Sedangkan Ghalabah alDzan adalah dugaan tetap yaitu mendominasinya salah satu diantara dua perkara atas lainnya dengan dominasi mutlak, dan lainnya dikesampingkan karena terlalu lemah. Al-Dzan yaitu perkara yang dihasilkan dari tanda-tanda. Apabila tanda-tandanya kuat, maka akan menghasilkan pengetahuan. Dan apabila lemah sekali maka disebut salah duga. Al –Syak adalah sepadan antara dua sisi perkara, yaitu berhenti (tidak bisa menentukan) diantara dua perkara, dan hati tidak condong pada salah satunya



DAFTAR PUSTAKA Abdul Mudjib, Kaidah Kaidah Ilmu Fiqh (Jakarta: Kalam Mulia, 2001) Abu Bakar bin Muhammad bin Ahmad al-Sharakhsiy, Ushul al-Sarakhsiy, (Beirut: Dar alMa’rifah, 1973), Juz II Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawiy, Syarh al-Nawawiy ‘ala Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabiy, t. th.), Cet II, Juz IV Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015) http://abufathirabbani.blogspot.com



http://abufathirabbani.blogspot.com Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), hlm 280-281 [1]



[2]



[3]



Abdul Mudjib, Kaidah Kaidah Ilmu Fiqh (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), hlm 20-25 [4]



[5]



Mardani, op.cit., hlm 282-283



Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawiy, Syarh al-Nawawiy ‘ala Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabiy, t. th.), Cet II, Juz IV, h. 49 [6]



Abu Bakar bin Muhammad bin Ahmad al-Sharakhsiy, Ushul alSarakhsiy, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1973), Juz II, h. 116