Makalah Sejarah Pendidikan Inklusif [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

A.   Latar Belakang Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1. Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat. Selama ini anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak-anak difabel dengan anak-anak non-difabel. Akibat sistem pendidikan tersebut dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Untuk mengatasi masalah tersebut pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama ini.



1



B. Pembahasan 1.   Pengertian Pendidikan Inklusif Istilah Inklusi berasal dari bahasa Inggris “inclusion” yang berarti sebagai penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial   dan  konsep   diri   atau   visi   misi   sekolah.1 Inklusif juga dapat diartikan sebagai cara berfikirdan bertindak yang memungkinkan setiap individu merasakan diterima dan dihargai. Lebihjauh lagi inklusif berarti bahwa semua anak dapat diterima meskipun konsep “semua anak” harus cukup jelas, dan masih sulit bagi banyak  orang  untuk  memahaminya.2 Para ahli pendidikan mengemukakan konsep pendidikan inklusif secara beragam, namun pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama. Ada beberapa ahli pendidikan mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai berikut: a.



Menurut Stainback bahwa sekolah inklusif adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama.



b.



Staub dan Peck mengemukakan pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas. Hal ini menunjukkan kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anakanak berkelainan, apapun kelainan jenisnya.3 



c.



Sirinam Khalsa pendidikan inklusif adalah suatu cara untuk menghilangkan model segregasi atau pemisahan anak-anak berkelainan yang belajar dengan cara yang berbeda.4



d.



Sapon-Shevin yang dikutip Geniofam mendefinisikan pendidikan inklusif adalah sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas reguler bersamasama teman seusianya.5



e.



Depdiknas menegaskan bahwa pendidikan inklusif didefinisikan sebagai Sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan



45 



1 David Smith, Sekolah Inklusif Konsep dan Penerapan Pembelajaran, (Bandung: Nuansa, 2012), h.



2 Mara Sapon-Shevin, Widening the Circle the Power of Inclusive Classrooms, (Boston: Bacon Press, 2007), h. 10 3 Tarmansyah, Perspektif Pendidikan Inklusif Pendidikan Untuk Semua, (Padang:UNP Press, 2009), h. 76 4 Sirinam Khalsa, Inclusive Classroom A Practical Guide for Education, (Laverett: Permission Publisher, 2004), h. 2 5 Geniofam, Mengasuh dan Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Gerai Ilmu, 2010), h. 61



2



tempat tinggalnya.6 Dengan demikian penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah untuk melakukanpenyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik (siswa). f.



Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 tahun 2009, menyebutkan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik umumnya.7 Pendidikan inklusif berarti sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa



memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik atau kondisi lainnya. Ini harus mencakup anak-anak penyandang cacat dan berbakat. Anak-anak jalanan dan pekerja, anak berasal dari populasi terpencil atau yang berpindahpindah. Anak dari kelompok etnis minoritas, linguistik  atau budaya dan anak-anak dari area atau kelompok yang kurang beruntung atau termajinalisasi. Inti pendidikan inklusif adalah hak azazi manusia atas pendidikan. Seperti yang diinformasikan pada Deklarasi Hak Azazi Manusia pada tahun 1994, yang sama pentingnya adalah hak agar tidak didiskriminasikan. Suatu konsekuensi logis dari hak ini adalah bahwa semua anak mempunyai hak untuk menerima pendidikan. Tidak didiskriminasikan dengan dasar kecacatan, etnis, agama, bahasa, jenis kelamin, kemampuan dan lain-lain. Jadi dapat disimpulkan pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menempatkan anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak normal dalam satu kelas di sekolah umum yang dekat dengan tempat tinggalnya.



2.   Prinsip Dasar Pendidikan Inklusif 6 Direktorat Pembinaan SLB, Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, (Jakarta: Depdiknas, 2007), h. 4 7 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, Pasal 1



3



Prinsip pendidikan inklusif  berkaitan langsung dengan jaminan akses dan peluang bagi semua anak Indonesia untuk memperoleh pendidikan tanpa memandang latar belakang kehidupan mereka. Ada beberapa prinsip dasar pendidikan inklusif diantaranya:8 a.    Pendidikan inklusif membuka kesempatan kepada semua jenis siswa. Pendidikan inklusif merepresentasikan pihak yang termarginalkan dan terbelakang dari lingkungannya. Representasi pendidikan inklusif bukan saja menolak diskriminasi dan ketidakadilan, melainkan pula memperjuangkan hak azazi manusia yang terbelenggu oleh hegemoni penguasa. Pendidikan inklusif tidak saja menjadi konsep pendidikan yang menekankan pada kesetaraan, tetapi juga memberikan perhatian penuh pada semua kalangan anak yang mengalami keterbatasan fisik maupun mental. Pendidikan inklusif mengusung tema besar tentang pentingnya menghargai perbedaan dalam keberagaman. b.    Pendidikan inklusif menghindari semua aspek negatif labeling. Prinsip dasar yang menjadi karakter pendidikan inklusif adalah menghindari segala sesuatu yang berkaitan dengan pelabelan atau labeling. Ketika kita memberikan pelabelan kepada anak berkebutuhan khusus, disitulah akan muncul stigma negatif yang menyudutkan anak dengan keterbatasan dan kekurangannya. Pelabelan bukan saja sangat berbahaya dan bisa menimbulkan kecurigaan yang berlebihan, melainkan pula bisa menciptakan ketidakadilan dalam menghargai perbedaan antara sesama. Salah satu dampak buruk dari labeling adalah munculnya inferioritas bagi pihak yang diberi label negatif. c.    Pendidikan inklusif selalu melakukan Check dan Balances. Salah satu keuntungan dari kehadiran pendidikan inklusif adalah selalu melakukan checkdan balances. Kehadiran pendidikan inklusif bukan sekedar sebagai konsep percobaan yang hanya muncul dalam wacana belaka, melainkan bisa menjadi konsep ideal yang berperan penting dalam penyelenggaraan pendidikan berbasis check dan balances.Sangat antusias menyambut kehadiran pendidikan inklusif karena disamping menciptakan alternatif baru juga menghadirkan satu gagasan praktis yang dapat dilaksanakan tanpa harus mengalami kesulitan berarti dalam konteks pelaksanaannya.



8 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusif: Konsep dan aplikasi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h. 51-52



4



Menurut Indianto, prinsip pembelajaran yang harus menjadi perhatian guru dalan sekolah inklusi  sebagai berikut:9 a.



Prinsip motivasi Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar.



b.



Prinsip latar/konteks Guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi anak.



c.



Prinsip keterarahan Setiap anak melakukan kegiatan pembelajaran, guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menyiapkan bahan dan alat yang sesuai serta mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat.



d.



Prinsip hubungan sosial Dalam kegiatan belajar mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, seakan interaksi banyak arah.



e.



Prinsip belajar sambil bekerja Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan praktek atau percobaan, menemukan sesuatu melalui pengamatan, penelitian dan sebagainya.



f.



Prinsip individualisasi Guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam, baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.



21-22



9 R. Indianto, Materi Implementasi Pendidikan Inklusi, (Surabaya: Universitas Sebelas Maret, 2013), h.



5



g.



Prinsip menemukan Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memancing anak untuk terlibat secara aktif baik fisik maupun mental, sosial dan emosional.



h.



Prinsip pemecahan masalah Guru hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan/problem yang ada di lingkungan sekitar dan anak dilatih untuk merumuskan, mencari data, menganalisis, dan memecahkannya sesuai dengan kemampuannya.



3.   Tujuan Pendidikan Inklusif Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 pasal 2  ayat 1 dan 2 menjelaskan pendidikan inklusi bertujuan untuk: a.



Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan ataubakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.



b.



Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. Buku Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Direktorat PSL



Bdiuraikan bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusi di Indonesia adalah:10 a.



Untuk memberikan kesempatan yang



seluas-luasnya kepada



semua



anak



mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. b.



Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar.



c.



Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah.



d.



Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran.



e.



Memenuhi amanat konstitusi. Tujuan pendidikan inklusi di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan



pendidikan inklusi adalah untuk menjamin hak setiap warga sekolah mendapatkan pendidikan, menghilangkan diskriminasi terhadap anak berkebutuhan khusus dan membantu meningkatkan mutu pendidikan. 10 Direktorat Pembinaan SLB, op.cit., h. 3-4



6



Tujuan praktis yang ingin dicapai dalam pendidikan inklusif meliputi tujuan yang dapat dirasakan langsung oleh anak, guru, orang tua dan masyarakat. Secara lebih rinci, Tarmansyah menjelaskan tujuan pendidikan inklusif.11 Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh anak dalam mengikuti kegiatan belajar dalam seting inklusif antara lain: a.



Berkembangnya kepercayaan pada diri anak, merasa bangga pada diri sendiri atas prestasi yang diperolehnya.



b.



Anak dapat belajar secara mandiri, dengan mencoba memahami dan menerapkan pelajaran yang diperoleh di sekolah ke dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya.



c.



Anak mampu berinteraksi secara aktif bersama teman-temannya, bersama guruguru yang berada di lingkungan sekolah dan masyarakat.



d.



Anak dapat belajar untuk menerima adanya perbedaan, dan mampu beradaptasi dalam mengatasi perbedaan tersebut sehingga secara keseluruhan anak menjadi kreatif dalam pembelajaran. Tujuan yang dapat dicapai oleh guru-guru dalam pelaksanaan pendidikan



inklusif adalah: a.



Guru akan memperoleh kesempatan belajar dari cara mengajar dalam seting inklusif.



b.



Terampil dalam melakukan pembelajaran kepada peserta didik yang memiliki latar belakang beragam.



c.



Mampu mengatasi berbagai tantangan dalam memberikan layanan kepada semua anak.



d.



Bersikap positif terhadap orang tua, masyarakat dan anak dalam situasi yang beragam.



e.



Mempunyai



peluang



untuk



menggali



dan



mengembangkan



serta



mengaplikasikan berbagai gagasan baru melalui komunikasi dengan anak di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat secara pro aktif, kreatif dan kritis. Dalam pendidikan inklusif, guru akan memperoleh kepuasan kerja dan pencapaian prestasi yang lebih tinggi ketika semua peserta didik mencapai keberhasilan. Dalam sekolah inklusif akan tercipta nuansa yang ramah terhadap 11 Tarmansyah, op.cit., h. 105-107



7



pembelajaran dan terbuka kesempatan bagi para relawan untuk membantu pelaksanaan pembelajaran di kelas bekerjasama dengan guru-guru. Tujuan yang akan dicapai bagi orang tua antara lain adalah: a.



Para orang tua dapat belajar lebih banyak tentang bagaimana cara-cara mendidik anaknya, cara membimbing anaknya lebih baik di rumah dengan menggunakan teknik yang digunakan guru di sekolah.



b.



Mereka secara pribadi terlibat dan akan merasakan keberadaannya menjadi lebih penting dalam membantu anak untuk belajar.



c.



Orang tua akan merasa dihargai, mereka merasa dirinya sebagai mitra sejajar dalam memberikan kesempatan belajar yang berkualitas kepada anaknya. Dengan pelaksanaan pendidikan inklusif orang tua akan dapat berinteraksi dengan orang lain, serta memahami dan membantu memecahkan masalah yang terjadi di lingkungan masyarakat.



d.



Orang tua mengetahui bahwa anaknya dan semua anak yang ada di sekolah, menerima pendidikan yang berkualitas sesuai dengan kemampuan masingmasin individu anak. Tujuan yang diharapkan dapat dicapai oleh masyarakat dalam pelaksanaan



pendidikan inklusif antara lain: a.



Masyarakat akan merasakan suatu kebanggaan karena lebih banyak anak mengikuti pendidikan di sekolah yang ada dilingkungannya. Masyarakat dapat melihat bahwa masalah yang menyebabkan penyimpangan sosial yang menjadi penyakit masyarakat akan dikurangi dengan adanya layanan pendidikan inklusif untuk semua.



b.



Semua anak yang ada di masyarakat akan terangkat dan menjadi sumber daya yang potensial. Lebih penting adalah masyarakat akan lebih terlibat di sekolah dalam rangka menciptakan hubungan yang lebih baik antara sekolah dan masyarakat.



4.



Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusif Perkembangan pendidikan inklusif di dunia awalnya diprakarsai oleh negaranegara Scandinavia (Denmark, Norwegia, dan Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun 1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif 8



dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif. Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi “education for all”. Implikasi dari statement ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanan pendidikan secara memadai. Sebagai tidak lanjut Deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan “the Salamanca statement on inclusive education”. Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif. Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium Internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak. Berdasarkan pengembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang dan baru mulai tahun 2000 dimnculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusif. Konsep Dasar Anak Berkebutuhan Khusus Secara historis, istilah yang digunakan untuk menyebut anak berkebutuhan khusus (ABK) mengalami perubahan beberapa kali sesuai dengan paradigma yang diyakini pada saat itu. Perubahan istilah yang dimaksud mulai dari anak cacat, anak tuna, anak berkekurangan , anak luar biasa, atau anak berkelainan sampai menjadi istilah anak berkebutuhan khusus. Di Indonesia, penggunaan istilah-istilah tersebut baru diundangkan secara khusus pada tahun 1950 melalui Undang-undang Nomor 4 , kemudian disusul dengan Undang9



undang Nomor 12 tahun 1954 dengan istilah anak cacat atau anak tuna, atau anak berkekurangan. Indonesia Menuju Pendidikan inklusi Secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat berhak memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat). Disamping pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan badan-badan swasta menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk melayani beberapa jenis kecacatan. Tidak seperti sekolah reguler yang tersebar luas baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. SLB dan SDLB sebagian besar berlokasi di perkotaan dan sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Penyandang cacat anak untuk menjangkau SLB atau SDLB relatif sangat jauh hingga memakan biaya cukup tinggi yang tidak terjangkau penyandang cacat anak dari pedesaan. Ini pula masalah yang dapat diselesaikan oleh pendidikan atau sekolah inklusi, di samping memecahkan masalah golongan penyandang cacat yang merata karena diskriminasi sosial, karena dari sejak dini tidak bersama, berorientasi dengan yang lain. Akhir abad ke 20 muncul gerakan “Normalisasi ” bukan berarti membuat anak luar biasa menjadi normal, tetapi penyediaan pola dan kondisi kehidupan sehari-hari bagi anak luar biasa sedekat mungkin dengan pola dan kondisi  kehidupan masyarakat pada umumnya Perhatian dari pemerintah pun tampak dari layanan pendidikan khusus yang disediakan bagi mereka, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Dirjen Manajemen Dikdasmen, 2006). Adapun istilah yang digunakan di Indonesia adalah anak berkebutuhan khusus sebagai terjemahan dari istilah “Children with Special needs “. Istilah ini muncul sebagai akibat adanya perubahan cara pandang masyarakat terhadap anak luar biasa (Exceptional Children). Pandangan baru ini meyakini bahwa semua anak luar biasa mempunyai hak yang sama dengan manusia pada umumnya. Oleh karena itu semua anak luar biasa baik yang berat maupun yang 10



ringan (tanpa kecuali) harus dididik bersama-sama dengan anak-anak pada umumnya di tempat yang sama. Dengan perkataan lain anak-anak luar biasa tidak boleh ditolak untuk belajar di sekolah umum yang mereka inginkan. Sistem pendidikan seperti inilah yang disebut dengan pendidikan inklusif. 5.



Implementasi Pendidikan Inlusif Di Indonesia Indonesia Menuju Pendidikan inklusi Secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat berhak memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat). Disamping pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan badan-badan swasta menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk melayani beberapa jenis kecacatan. Tidak seperti sekolah reguler yang tersebar luas baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. SLB dan SDLB sebagian besar berlokasi di perkotaan dan sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Penyandang cacat anak untuk menjangkau SLB atau SDLB relatif sangat jauh hingga memakan biaya cukup tinggi yang tidak terjangkau penyandang cacat anak dari pedesaan. Ini pula masalah yang dapat diselesaikan oleh pendidikan atau sekolah inklusi, di samping memecahkan masalah golongan penyandang cacat yang merata karena diskriminasi sosial, karena dari sejak dini tidak bersama, berorientasi dengan yang lain. Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba perintisan sekolah inklusi seperti di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12 sekolah didaerah Gunung Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota Jogyakarta dengan 35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler yang dijadikan perintis itu memang diuntukkan anakanak lambat belajar dan anak-anak sulit belajar sehingga perlu mendapat pelayanan khusus. Karena masih dalam tahap rintisan sampai sekarang belum ada informasi yang berarti dari sekolah-sekolah tersebut. Menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi (Universitas Negeri Jakarta) mengisahkan sekolah Inklusi (SD. Muhamadiyah di Gunung Kidul) sekolah ini 11



punya murid 120 anak, 2 anak laki-laki diantaranya adalah Tuna Grahita, dua anak ini dimasukan oleh kedua ibunya ke kelas I karena mau masuk SLBC lokasinya jauh dari tempat tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga ini tergolong keluarga miskin oleh sebab itu mereka memasukkan anak-anaknya ke SD. Muhamadiyah. Perasaan mereka sangat bahagia dan bangga bahwa kenyataannya anak mereka diterima sekolah. Satu anak tampak berdiam diri dan cuek, sedang satu lagi tampak ceria dan gembira, bahkan ia menyukai tari dan suka musik, juga ia ramah dan bermain dengan teman sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai mereka, mengajar dan mendidik mereka dengan mengunakan modifikasi kurikulum untuk matematika dan mata pelajaran lainnya, evaluasi disesuaikan dengan kemampuan mereka. Hal yang sangat penting disini yang berkaitan dengan guru adalah anak Tuna Grahita dapat menyesuaikan diri dengan baik, bahagia dan senang di sekolah. Ini merupakan potret anak Tuna Grahita di tengah-tengah teman sekelas yang sedang belajar. Di Indonesia telah dilakukan Uji coba dibeberapa daerah sejak tahun 2001, secara formal pendidikan inklusi dideklarasikan di Bandung tahun 2004 dengan beberapa sekolah reguler yang mempersiapkan diri untuk implementasi pendidikan inklusi. Awal tahun 2006 ini tidak ada tanda-tanda untuk itu, informasi tentang pendidikan inklusi tidak muncul kepada publik, isu ini tenggelam ketika isu menarik lainnya seperti biaya operasional sekolah, sistem SKS SMA dan lain-lain. a.



Lingkup Pengembangan Kurikulum Kurikulum pendidikan inklusi menggunakan kurikulum sekolah reguler (kurikulum nasional) yang dimodofikasi (diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan



anak



berkebutuhan



khusus,



dengan



mempertimbangkan



karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya. Modifikasi kurikulum dilakukan terhadap: 1) Alokasi waktu, 2) Isi/materi kurikulum, 3) Proses belajar-mengajar, 4) Sarana prasarana, 5) lingkungan belajar, dan 6) Pengelolaan kelas. b.



Pengembang Kurikulum Modifikasi/pengembangan



kurikulum



pendidikan



inklusi



dapat



dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang terdiri atas guru-guru yang 12



mengajar di kelas inklusi bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait, terutama guru pembimbing khusus (guru Pendidikan Luar Biasa) yang sudah berpengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar Inklusi (Kepala SD Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh Dinas Pendidikan. c.



Pelaksanaan Pengembangan Kurikulum Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan: 1) Modifikasi alokasi waktu a)



Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada kecepatan belajar siswa. Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler (Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam.



b) Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal (anak berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam. c)



Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal dapat dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam;



d) Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau lebih; dan untuk anak tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya. 2) Modifikasi isi/materi a)



Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal, materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan diperdalam) dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada di dalam kurikulum sekolah reguler, tetapi materi tersebut dianggap penting untuk anak berbakat.



b) Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat kesulitannya diturunkan sedikit. c)



Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan dihilangkan bagian tertentu.



13



3) Modifikasi proses belajar-mengajar a)



Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi, yang meliputi analisis, sintesis, evaluasi, dan problem solving, untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal;



b) Menggunakan pendekatan student centerred, yang menenkankan perbedaan individual setiap anak; c)



Lebih terbuka (divergent);



d) Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di dalam kelas heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak kesana-kemari, dari satu kelompok ke kelompok lain. e)



Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kompetitif anak dirangsang untuk berprestasi setinggi mungkin dengan cara berkompetisi secara fair. Melalui kompetisi, anak akan berusaha seoptimal mungkin untuk berprestasi yang terbaik, “aku-lah sang juara”. Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak



negatifnya, yakni mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik. Anak dapat menjadi egois.Untukmenghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran kompetitif ini perlu diimbangi dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak dikembangkan jiwa kerjasama dan kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam kelompok, secara bersama mengerjakan tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah kerjasama dalam kelompok, dan kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai. Dengan cara ini sosialisasi anak dan jiwa kerjasama serta saling tolong menolong akan berkembang dengan baik. Disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang bertipe visual; ada yang bertipe auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis). Tipe visual, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera penglihatan. Tipe auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera pendengaran.Tipe kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera perabaan/gerakan. Guru hendaknya tidak monoton dalam mengajar sehingga hanya akan menguntungkan anak yang memiliki tipe belajar tertentu saja. 14



DAFTAR PUSTAKA Smith, David. 2012. Sekolah Inklusif Konsep dan Penerapan Pembelajaran. Bandung: Nuansa. Sapon-Shevin, Mara. 2007. Widening the Circle the Power of Inclusive Classrooms. Boston: Bacon Press. Tarmansyah. 2009. Perspektif Pendidikan Inklusif Pendidikan Untuk Semua. Padang:UNP Press. Khalsa, Sirinam. 2004. Inclusive Classroom A Practical Guide for Education. Laverett: Permission Publisher. Geniofam. 2010. Mengasuh dan Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Gerai Ilmu. Direktorat Pembinaan SLB. 2007. Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Jakarta: Depdiknas. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, Pasal 1 Takdir Ilahi, Mohammad. 2013. Pendidikan Inklusif: Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: ArRuzz Media. R. Indianto. 2013. Materi Implementasi Pendidikan Inklusi. Surabaya: Universitas Sebelas Maret.



15



MAKALAH PENDIDIKAN INKLUSI Tentang



PENGERTIAN DAN SEJARAH PENDIDIKAN INKLUSIF



Disusun Oleh : KELOMPOK 1 1. Nurul Pratiwi



: 18.011



2. Muaro Nasution



: 18.039



3. Mia Asvarina



: 18.043



4. Akhyar



:



Dosen Pembimbing : Dra. Nurfarida Deliani, M.Pd.Kons



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM YAYASAN TARBIYAH ISLAMIYAH PADANG 2019 16