Makalah Sejarah Pengelolaan Dan Regulasi Zakat Di Indonesia [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Syifa
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH SEJARAH PENGELOLAAN DAN REGULASI ZAKAT DI INDONESIA (Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Manajemen Lembaga Zakat Dan Wakaf) Dosen : Siti Zayyini Hurun’in ME., Sy



Disusun Oleh : Afifah Nurul Khotimah Fitria Bilqisthi Humaira



PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSATUAN ISLAM BANDUNG 2022



Kata Pengantar Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya. Kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Sejarah Pengelolaan dan Regulasi Zakat di Indonesia” dengan tepat waktu. Dan juga kami berterima kasih kepada Ibu Siti Zayyini Hurun’in ME., Sy selaku dosen mata kuliah Manajeman Zakat dan Wakaf di STAI PERSIS BANDUNG yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai interaksi ekonomi. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat.



Bandung, 24 September 2022



Penyusun



ii



Daftar Isi



Kata Pengantar.....................................................................................................................ii Daftar Isi...............................................................................................................................iii BAB I......................................................................................................................................4 PENDAHULUAN..................................................................................................................4 A. Latar Belakang Masalah...............................................................................................4 B. Rumusan Masalah........................................................................................................4 C. Tujuan..........................................................................................................................4 BAB II....................................................................................................................................5 PEMBAHASAN....................................................................................................................5 A. Sejarah Pengelolaan Zakat dari Masa Rasulullah dan Para Sahabat............................5 B. Sejarah Regulasi Zakat di Indonesia..........................................................................15 C. Pengelolaan Zakat Nasional dan Internasional..........................................................21 D. Sistem Pengelolaan Zakat di Berbagai Negara..........................................................24 BAB III.................................................................................................................................31 PENUTUP............................................................................................................................31 A. Kesimpulan................................................................................................................31 DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................33



iii



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah Zakat merupakan salah satu ajaran Islam yang terpenting, di dalam Alquran ajaran zakat berulangkali disandingkan dengan ajaran salat. Sebagai sebuah ajaran, Zakat dimaksudkan untuk mendorong umat Islam agar memiliki kepedulian sosial. Bahwa harta yang dimiliki bukan miliknya secara Keseluruhan, ada hak orang lain, yakni mustahik di dalam harta tersebut. selain itu, ajaran Zakat merupakan sarana distribusi kekayaan, agar harta kekayaan tidak menumpuk pada kelompok sosial tertentu, orang yang memiliki harta harus memiliki kepedulian terhadap sesama. Ada dua jenis Zakat, yakni Zakat fitrah dan Zakat mal. Zakat fitrah merupakan kewajiban diri setiap muslim. Ditunaikan saat menjelang hari raya Idul Fitri. Kedua, adalah Zakat harta (mal), Zakat jenis ini ditunaikan orang muslim yang memiliki harta yang telah mencapai Syarat tertentu, nisab dan haul.



B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana sejarah pengelolaan zakat dari masa Rasulullah dan para sahabat? 2. Bagaimana sejarah regulasi zakat di Indonesia ? 3. Bagaimana pengelolaan zakat Nasional dan Internasional ? 4. Bagaimana pengelolaan zakat diluar negeri ?



C. Tujuan 1. Untuk mengetahui sejarah pengelolaan zakat dari masa Rasulullah dan para sahabat. 2. Untuk mengetahui sejarah regulasi zakat di Indonesia. 3. Untuk mengetahui pengelolaan zakat Nasional dan Internasional. 4. Untuk mengetahui pengelolaan zakat diluar negeri.



4



BAB II PEMBAHASAN



A. Sejarah Pengelolaan Zakat dari Masa Rasulullah dan Para Sahabat Sejarah pengelolaan zakat di zaman Rasulullah dan para sahabat Terdapat perbedaan di kalangan para sejarah islam tentang waktu pengsyari’atan zakat. Ada yang mengatakan pada tahun ke-dua hijrah yang berarti satu tahun sebelum pengsyari’atan puasa tetapi ada juga yang berpendapat bahwa zakat disyari’atkan pada tahum ke-tiga hijrah yakni tahun setelah pengsyari’atan yang disyari’atkan satu tahun setelah hijrah. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut yang jelas Nabi Muhammmad SAW menerima perintah zakat setelah beliau hijrah ke Madinah. Pembayaran zakat dalam Islam mulai efektif dilaksanan setelah hijrah dan terbentuknya pemeritahan di Madinah. Orang-orang yang beriman dianjurkan untuk membayar sejumblah tertentu dari hartanya, dalam bentuk zakat. Pembayaran zakat ini merupakan kewajiban agama dan merupakan salah satu rukun Islam. Zakat dikenankan atas harta kekayaan berupa emas, perak, barang dagangan, bianatang ternak tertentu, barang tambang, harta karun, dan hasil panen. Zakat mempunyaiperanan penting dalam sistem perekonomian Islam. Zakat berfungsi sebagai sumber dana dalam menciptakan pemerataan kehidupan ekonomi dan pembangunan masyarakat. Disamping sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, zakat juga berfungsi membersihkan diridan harta dari kotoran- kotoran akhlaq penyelewengan aqidah dan sebagai tumpuan kaum fakirmiskin sekaligus menjadi penunjang pelestarian dan pengembangan ajaran Islam. Zakat juga berfungsi sebagai sarana yang menghubungkan tali silaturahim antara kelompok muzaki dan kelompok mustahik.



5



1. Pada Masa Rasulullah SAW Nabi Muhammad SAW diutus Allah ke dunia ini dengan tujuan antara lain memperbaiki akhlaq manusia yang ketika itu sudah mencapai ambang batas kerusakan yang sangat membahayakan bagi masyarakat. Kerusakan tersebut terutama disebabkan oleh sikap prilaku golongan penguasa dan pemilik modal yang umumnya bersikap zakim dan sewenangwenang. Orang kaya mengekploitasi golongan lemah dengan berbagai cara, seperti sistem riba, berbagai bentuk penipuan, dan kejahatan ekonomi lainya. Pengsyari’atan zakat tampak seiring dengan upaya pembinaan tatanan sosial yang baru dibangun oleh nabi Muhammad SAW setelah beliau berada di Madinah. Sedangkan selama berada di Mekkah bangunan keislaman hanya terfokus pada bidang aqidah, qashas dan akhlaq. Baru pada periode Madinah, Nabi melakukan pembangunan dalam segala bidang, tidak saja bidang aqidah dan akhlaq, akan tetapi juga memperlihatkan bangunan mua’amalat dengan konteksnya yang sangat luas dan menyeluruh. Termasuk bangunan ekonomi sebagai salah satu tulang punggug bagi pembangunan ummat Islam bahkan ummat manusia secara keseluruhan. Nabi Muhammad



SAW tercatat membentuk baitul maal yang



melakukan pengumpulan dan pendistribusian zakat dengan amil sebagai pegawainya dengan lembaga ini, pengumpulan zakat dilakukan secara wajib bagi orang yang sudah mencapai batas minimal. Pengelolaan zakat di zaman Rasulullah SAW, banyak ayat AlQur’an yang menjelaskan bahwa allah SWT secara tegas memberi perintah kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengambil zakat. Al-Qur’an juga menegaskan bahwa zakat harus diambil oleh para petugas untuk melakukan



6



hal tersebut. Ayat-ayat yang turun di Madinah menegaskan zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang tegas dan instruksi pelaksanaan



yang jelas.



Juga terdapat berbagai bentuk pertanyaan dan ungkapan



yang



menegaskan wajibnya zakat. Hal ini yang diterapkan periode awal Islam, dimana pengumpulan dan pengelolaan zakat dilakuakan secara terpusat dan ditangani sepenuhnya oleh Negara lewat baitul maal. Pengumpulan langsung dipim :pin oleh Muhammad seperti halnya hadits berikut yang artinya : ‘’Telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Ibrahim Ad Dimasyqi dan Zubair bin Bakkar keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Nafi' berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Shalih At Tammar dari Az Zuhri dari Sa'id bin Al Musayyab dari 'Attab bin Usaid berkata; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengutus seseorang untuk menghitung takaran buah atau anggur yang ada di pohon milik orang-orang’’. Nabi Muhammad sebagai pemimpin negara menunjuk beberapa sahabatnya untuk mengumpulkan zakat dari masyarakat muslim yang telah teridentifikasi layak memberikan zakat serta menentukan bagian zakat yang terkumpul sebagai pendapatan dari ‘amil. Ulama berpendapat bahwa adanya porsi zakat yang diperuntukan bagi ‘amil merupakan suatu indikasi bahwa zakat sewajarnya dikelola oleh lembaga khusus zakat atau yang disebut dengan ‘amil bukan oleh individu muzakki sendiri. Rasullah SAW pernah mempekerjakan seorang pemuda suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah, untuk mengurus zakat bani Sulaim. Pernah pula mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi amil zakat, menurut Yusuf AlQardawi, Nabi Muhammad SAW telah mengutus lebih dari 25 amil ke



7



seluruh plosok Negara dengan memberi peritah dengan pengumpulan sekaligus mendistribusikan zakat sampai habis sebelum kembali ke Madinah. Pembukuan zakat juga dipisahkan dari pendapat Negara lainya, pencatatan zakat juga dibedakan atara pemasukan dan pengeluaran, di mana keduanya harus terperinci dengan jelas, meskipun tanggal penerimaan dan pengeluaran harus sama. Selain itu, Nabi SAW berpesan pada para ‘amil agar berlaku adil dan ramah, sehingga tidak mengambil lebih dari pada yang sudah ditetapkan dan tidak berlaku kasar baik pada muzakki maupun mustahiq. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa pada zaman Nabi SAW pengelolaan zakat bersifat terpusat dan ditangani secara terpusat, namun demikian pengelolaan zakat pada saat itu secara institusional dianggap sederhana dan masih terbatas dengan sifatnya yang teralokasi dan sementara, dimana jumlah zakat terdistribusi akan tergantung pada jumlah zakat yang terkumpul pada daerah atau kawasan tertentu, dan uang zakat yang terkumpul langsung didistribusikan kepada para mustahiq tanpa sisa. 2. Pada Masa Abu Bakar Ash – Shidiq Setelah Rasullah SAW wafat, banyak kabilah-kabilah yang menolak untuk membayar zakat dengan alasan merupakan perjanjian antara mereka dan Nabi SAW, sehingga setelah beliau wafat maka kewajiban terebut menjadi gugur. Pemahaman yang salah inihanya terbatas dikalangan suku-suku Arab Baduwi. Suku-suku Arab Baduwi ini menganggap bahwa pembayaran zakat sebagai hukuman atau beban yang merugikan. Abu Bakar yang menjadi khalifah pertama penerus Nabi SAW memutuskan untuk memerangi mereka yang menolak membayar zakat dan menganggap mereka sebagai murtad. Perang ini tercatat sebagai perang



8



pertama di dunia yang dilakukan sebuah negara demi membela hak kaum miskin atas orang kaya dan perang ini dinamakan Harbu Riddah. 3. Pada Masa Umar Bin Khattab Ia menetapakan suatu hukum berdasarkan realita sosial. diantara ketetapan Umar RA adalah mengahapus zakat bagi golongan mu’allaf , enggan memungut sebagian ‘usyr (zakat tanaman) karena merupakan ibadah pasti, mewajibkan kharaj (sewa tanah), dan menentapkan zakat kuda yang pada zaman Nabi tak pernah terjadi. Tindakan Umar RA menghapus kewajiban kepada mu’allaf bukan berarti mengubah hukum agama dsn mengenyampingkan ayat-ayat Al-Qur’an, Ia hanya mengubah fatwa sesuai dengan perubahan zaman yang jelas berbeda dari zaman Rasulullah SAW. Setelah wafanya Abu Bakar dan dengan perluasan wilayah Negara Islam yang mencakup dua kerajaan Romawi (Syria, Palestina, dan Mesir) dan seluruh kerajaan Persia termasuk Irak, ditambah dengan melimpahnya kekayaan Negara pada masa khilafah, telah memicu adanya perubahan sistem pengelolaan zakat. Kedua faktor tersebut mengharuskan adanya intitusionalisasi yang lebih tinggi dari pengelolaan zakat. Perubahan ini tercermin secara jelas pada masa khalifah Umar bin Khattab, Umar mencontoh sistem administrasi yang diterapakan di Persia, dimana sistem administrasi pemerintahan dibagi menjadi delapan provinsi, yaitu Mekkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Umar kemudian mendirikan apa yang disebut Al-Dawawin yang sama fungsinya dengan baitul



maal pada zaman Nabi Muhammmad SAW dimana ia



merupakan sebuah badan audit Negara yang bertanggung jawab atas pembukuan pemasukan dan pengeluaran Negara. Al-Dawawin juga



9



diperkirakan mencatat zakat yang didistribusikan kepada para mustahiq sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Pengembangan yang dilakukan Umar terhadap Baitul Maal merupakan kontribusi Umar kepada dunia Islam. Pada masa Umar pula sistem pemungutan zakat secara langsung oleh negara, yang dimulai dengan pemerintahan Abdullah bin Mas’ud di Kuffah dimana porsi zakat dipotong dari pembayaran Negara. Meskipun hal ini pernah diterapkan Khalifah Abu Bakar, namun pada masa Umar proses pengurangan tersebut menjadi lebih tersistematis. 4. Pada Masa Utsman Bin Affan Meskipun kekayaan Negara Islam mulai melimpah dan umlah zakat juga lebih dari mencukupi kebutuhan para mustahiq, namun administrasi zakat justru mengalami kemunduran. Hal ini justru dikarenakan kelimpahan tersebut, dimana Utsman memberi kebebasan kepada ‘amil dan Individu untuk mendistribusikan zakat kepada siapun yang mereka nilai layak menerimanya. Zakat tersebut adalah yang tidak kentara seperti zakat perdagangan, zakat emas, zakat perak, dan perhiasan lainya. Keputusan



Utsman



ini



juga



dilatar



belakangi



oleh



keinginan



meminimalkan biaya pengelolaan zakat dimana beliau menilai bahwa biaya yang dibutuhkan untuk mengumpulkan dana zakat tersebut akan tinggi dikarenakan sifatnya yang tidak mudah diketahui oleh aparat Negara. 5. Pada Masa Ali ibn Abi Thalib Situasi politik pada masa kepimimpinan Khalifah Ali ibn Abi Thalib berjalan tidak stabil, penuh peperangan dan pertumpahan darah. Akan tetapi Ali ibn Abi Thalib tetap mencurahkan perhatianya yang sangat serius dalam mengelola zakat. Ia melihat bahwa zakat adalah urat nadi kehidupan bagi pemerintahan dan agama. Ketika Ali ibn Abi



10



Thalib bertemu dengan orang-orang fakir miskin dan para pengemis buta yang beragama non muslim (Nasrani), ia menyatakan biaya hidup mereka harus ditanggung oleh baitul maal khalifah Ali ibn Abi Thalib juga ikut terjun dalam mendistribusikan zakat kepada para mustahiq (delapan golongan yang berhak menerima zakat). Harta kekayaan yang wajib zakat pada waktu itu berupa dirham, dinar, emas dan jenis kekayaan apapun tetap dikenai kewajiban zakat. Oleh karena itu mekanisme yang diterapkan oleh khalifah Utsman ibn Affan tadi ternyata memicu beberapa permasalahan mengenai transparansi distribusi zakat, dimana para ‘amil justru membagikan zakat tersebut kepada keluarga dan orang-orang terdekat mereka. Seiring dengan penurunan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan berbagai konflik politik lainya yang memecahkan kesatuan Negara Islam dengan wafatnya utsman dan naiknya Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya, maka semakin marak pula praktek pengelolaan zakat secara individual. Hal ini ditandai dengan fatwa Sa’id bin Jubair dimana pada saat beliau berceramah di masjid ada yang bertanya pada beliau, apakah pebanyaran zakat sebaiknya diberikan kepada pemerintah ? Sai’id bin Jubair mengiyakan pertanyaan tersebut. Namun pada saat pertanyaan tersebut ditanyakan secara personal kepada beliau, ia justru menganjurkan penanya untuk membayar zakat secara langsung kepada ashnafnya. Jawaban yang bertentangan ini mnenunjukan bahwa kondisi pemerintah pada sat itu tidak stabil atau tidak dapat dipercaya, sehingga kepercayaan masyarakat kepada pemerintah pun mulai menurun. Ringkas pembahasan sistem zakat yang diterapkan dari masa ke masa mengalami sebuah perbedaan yang mana perubhan tersebut untuk menghadapi zaman yang semakin maju, hal ini menunjukan bahwa



11



pintu ijtihad terbuka lebar, dan ijtihad seperti yang dicontohkan oleh para sahabat semata-mata hanya untuk kemashlahatan ummatnya. 6. Pada Masa Tabi’in Setelah era Khulafa’ Al-Rasyidin, dimulailah era dinasti kerajaan Islam, yang ditandai dengan berdirinya dinasti Umayyah. Di era ini, walau sistem pengelolaan zakat semakin baik seiring kemajuanya negara dan peradaban, namun kinerjanya mengalami kemunduran kecuali pada masa Umar bin Abdul Aziz. Pengelolaan zakat pada masa Tabi’in terekam dalam catatan sejarah Daulah Bani Umayyah, yang berlangsung selama hamper 90 tahun (41-127 H). Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz adalah toko yang patut dikenang, khususnya dalam hal menagani zakat. Pada masanya, sistem dan manajemen zakat ditangani dengan amat professional. Jenis harta kekayaan yang dikenai wajib zakat semakin beragam. Umar bin Abdul Aziz adalah seorang pertama yang meajibkan zakat dari harta kekayaan yang diperoleh atau bisa disebut dengan penghasilanusaha, termasuk gaji yang tinggi, honorium, penghasilan



berbagai



profesi



dan



lain



sebagainya.



Dengan



melimpahnya pemasukan zakat pada masa itu, dana zakat tersimpan melimpah ruah dalam baitul maal. Hal ini menimbulkan damapak positif terhadap perekonomian dan masyarakatnya yang membutuhkan, bahkan petugan amil zakat kesulitan mencari golongan fakir iskin yang membutuhkan harta zakat. Perlu kita ketahui ada beberapa faktor yang melatar belakangi suksesnya kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz ada empat. Pertama, adanya kesadaran kolektif dan pemberdayaan baitul maal dengan optimal, pastinya membangun sebuah kesadaran ini juga tidak mudah, kedua komitmen tinggi seorang pemimpin dan di dukung oleh kesadaran umat secara umum untuk menciptakan sebua



12



kesejahteraan, solidaritas, dan pemberdayaan umat. Ketiga,kesadaran dalam kalangan muzakki yang relative mapan secara ekonomis dan memilikiloyalitas tinggi demi kepentinganumat. Ke empat,adanya sebuah kepercayaan dalam birokrasi atau pengelola zakat yang bertugas mengumpulkan dan mendistribusikan. Keadaan masyarakat Islam dibawah pimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz benar-benar sejahtera dan makmur berkat optimalisasi zakat. sedemikian



sejahtera



masyarakatnya,



Pada masa ini



sampai-sampai



Khalifah



mentasarufkan zakat yang ada ke luar Negeri, diluar kekuasaan Khalifah.



Penunaian



zakat



tidak



hanya



untuk



kesejahteraan



masyarakat, akan tetapi untuk Negara. Pada dinasti Abbasiyah, masyarakat mulai tidak membayar zakat akibat beban pajak kharj dan ushr yang terlalu tinggi. Pada dinasti Andalusia pengelolaan zakat, menjadi rebutan antara kepala suku, sehingga zakat didistribusikan tidak memenuhi kecukupan fakir miskin. Keadaan tersebut berubah pada masa dinasti Fatimiyah, dimana khalifah meminta setiap kepala wilayah untuk mengumpulkan zakat yang kemudian disetor kepadanya tanpa ada pencatatan pengeluaran atau penerimaan. Pelajaran terpenting di era ini adalah bahwa determinan utama dari kinerja zakat adalah kepercayaan publik dan kepatuhan membayar zakat. Rendahnya kinerja sangat terlihat jelas berkorelasi dengan kepercayaan publik dan kepatuhan membayar zakat.Administrasi pemerintahan Abbasiyah memiliki birokrasi yang modern



dan



rasional,



menggatikan



administrasi



pemerintahan



Umayyah yang berkarakter keluarga. Urusan pemerintahan menjadi urusan rutin



dan terdapat tiga jenis pelayanan atau biro. Pertama



Diwan Al-Rasa’il kantor korespodensi dan arsip umum. Kedua, biro



13



pengumpulan pajak seperti Diwan Al-Kharaj ketiga, biro untuk membayar gaji pegawai negeri, dan yang terpenting adalah, Diwan AlJaysy, biro tentara. Untuk mempertahankan rentang kendali terhadap birokrasi, dibentuk mekanisme pengawasan internal. Urusan keuangan diawasi oleh Diwan Al-Azimma, yang awalnya bagian dari setiap Diwan namun kemudian menjadi biro anggaran yang independen. Korespondensi harus melalui badan pembuat naskah, Diwan Al-Tawqi' untuk pertimbangan pengesahan, dan khatam, penjaga stempel. Khalifah



mendapat



nasihat



dan



pertimbangan



dari



Mazalim,



pengadilan administrasi khusus. Barid, kurir resmi dan pelayanan informasi, mengawasi bagian pemerintahan lainnya. Kantor Wazir dibangun untuk koordinasi, pengawasan dan evaluasi dari operasional birokrasi. Namun terlepas dari system administrasi pemerintahan yang sangat baik ini, kinerja zakat justru menurun. Pemasukan Negara bersumber dari zakat dan Jays' yang terdiri dari kharaj, pajak dari bangsa lain, uang tebusan, jizyah, dan bea masuk barang impor dari Negara non -muslim (Ushr). Pemasukan Negara saat itu yang sangat besar memperlihatkan tingkat kemakmuran perekonomian, dan memungkinkan kelompok elit untuk hidup mewah. Namun seiring korupsi dan gaya hidup mewah pegawai pemerintah, pendapatan Negara Abbasiyah ini memperlihatkan tren penurunan dari waktu ke waktu. Kecenderungan ini secara jelas mencerminkan penurunan tingkat kepatuhan rnembayar pajak seiring jatuhnya kepercayaan publik dan kondisi perekonomian dari masa kejayaan hingga keruntuhan Dinasti Abbasiyah. Dengan melemahnya keadaan Negara Islam setelah masa khilafah, kepercayaan masyarakat juga semakin rnelemah terhadap



14



pemerintah. Zakat menjadi termarjinalkan dari ranah publik. Namun perlu dicatat bahwa hingga runtuhnya kekuasaan Kerajaan Islam Usmani, sentralisasi system pengelolaan zakat masih terus dilakukan. Pemerintah menyiapkan rekening khusus untuk pencatatan penerimaan dan pengeluaran zakat.1



1



http://repo.iain-tulungagung.ac.id/11669/5/BAB%20II.pdf//diunduh tanggal/ 24 september 2022



15



B. Sejarah Regulasi Zakat di Indonesia Zakat telah manjadi salah satu sumber dana yang penting bagi perkembangan agama Islam sejak masuknya Islam di Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, Pemerintah Kolonial mengeluarkan Bijblad Nomor 1892 tanggal 4 Agustus 1893 yang berisi tentang kebijakan Pemerintah Kolonial mengenai zakat. Tujuan dari dikeluarkannya peraturan ini adalah untuk mencegah terjadinya penyelewengan keuangan zakat oleh para naib. Para naib tersebut bekerja untuk melaksanakan administrasi kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda tanpa memperoleh gaji untuk membiayai kehidupan kereka. Kemudian pada tanggal 6 Februari 1905 dikeluarkan Bijblad Nomor 6200 yang berisi tentang pelarangan bagi seorang pegawai dan priyayi pribumi untuk membantu pelaksanaan zakat. Hal ini bertujuan untuk semakin melemahkan kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat tersebut. Setelah kemerdekaan Indonesia, perkembangan zakat menjadi lebih maju. Meskipun Negara Republik Indonesia tidak berdasarkan pada salah satu falsafah tertentu, namun falsafah negara kita dan pasal-pasal Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memberikan kemungkinan bagi pejabat-pejabat negara untuk membantu pelaksanaan pengelolaan zakat. Pada masa di berlakukannya UUDS 1950 perkembangan zakat tidak surut. Menteri Keuangan Republik Indonesia saat itu, yaitu M. Jusuf Wibisono menulis sebuah makalah yang dimuat pada majalah Hikmah Jakarta (1950) yang mengemukakan gagasannya untuk memasukkan zakat sebagai salah satu komponen sistem perekonomian Indonesia. Selain itu di kalangan anggota parlemen terdapat suara-suara yang menginginkan agar masalah zakat diatur dengan peraturan perundang-undangan dan diurus langsung oleh pemerintah atau Negara. Demikian pula menurut Prof. Hazairin dalam ceramahnya di Salatiga pada tanggal 16 Desember 1950 menyatakan bahwa dalam penyusunan ekonomi Indonesia, selain komponen-komponen yang telah ada dalam sistem adat kita yaitu gotong royong dan tolong menolong, zakat juga sangat besar manfaatnya.



16



Sedangkan untuk tata cara pelaksanaanya perlu untuk disesuaikan dengan kehidupan di Indonesia, misalnya apabila diadakan Bank Zakat, yang akan menampung dana zakat jika tidak ada lagi golongan yang menerima dari 8 golongan mustahiq, maka akan sangat bermanfaat. Dari Bank Zakat tersebut dapat disalurkan pinjaman jangka panjang bagi rakyat miskin guna membangun lapangan



hidupnya



yang



produktif.



Zakat



yang



diselenggarakan



dan



diorganisasikan dengan baik, akan sangat bermanfaat tidak hanya bagi umat Islam tetapi juga bagi masyarakat non muslim. Perhatian pemerintah terhadap lembaga zakat semakin meningkat pada tahun 1968.



Yaitu dengan



dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama Nomor 4 dan Nomor 5 Tahun 1968, masing-masing tentang pembentukan Badan Amil Zakat dan Baitul Mal (Balai Harta Kekayaan) di tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota. Setahun sebelumnya yaitu pada tahun 1967, pemerintah



telah



menyiapkan RUU Zakat yang akan diajukan kepada DPR untuk disahkan menjadi undang-undang. RUU tersebut disiapkan oleh Menteri Agama dengan harapan akan mendapat dukungan dari Menteri Sosial dan Menteri keuangan. Karena masalah ini erat kaitannya dengan pelaksanaannya pasal 34 UUD 1945 dan masalah pajak. Namun gagasan tersebut ditolak oleh Menteri Keuangan yang menyatakan bahwa peraturan mengenai zakat tidak perlu dituangkan dalam undang-undang, tetapi cukup dengan Peraturan Menteri Agama saja. Dengan pernyataan Menteri Keuangan tersebut, Menteri Agama mengeluarkan keputusan yang berisi tentang penundaan pelaksanaan Peraturan Menteri Agama Nomor 5/1968. Presiden Indonesia saat itu, Presiden Suharto, pada malam peringatan Isra’ Mi’raj di Istana negara tanggal 22 Oktober 1968, mengelurkan anjuran untuk menghimpun zakat secara sistematis dan terorganisasi. Bahkan secara pribadi beliau menyatakan diri bersedia menjadi ‘amil zakat tingkat nasional8. Kemudian dengan dipelopori oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, yang pada waktu itu dipimpin oleh Gubernur Ali Sadikin, berdirilah Badan Amil Infaq dan Shadaqah (BASIS). Hal ini diikuti oleh berbagai propinsi



17



di Indonesia, yaitu dengan terbentuknya Badan Amil Zakat yang bersifat semi pemerintah melalui surat keputusan Gubernur. Badan tersebut tampil dengan nama yang berbeda-beda disetiap daerah, namun pada umumnya mengambil nama BAZIS seperti di Aceh (1975), Sumatra Barat (1977), Lampung (1975), Jawa Barat (1974), Kalimantan Selatan (1977), Kalimantan Timur (1972), Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan (1985), dan Nusa Tenggara Barat. Untuk meningkatkan pembinaan terhadap BAZIS, pada tahun 1991 Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Bersama No. 29 dan 47 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq, Shadaqah, yang diikuti dengan instruksi



Menteri Dalam Negeri No.7 tahun 1991 tentang Pelaksanaan



Keputusan Bersama tersebut. Kemudian pada tanggal 7 Januari 1999 dilaksanakan Musyawarah Kerja Nasional I Lembaga Pengelola ZIS dan Forum Zakat yang dibuka oleh Presiden Habibie. Salah satu hasil dari musyawarah tersebut adalah perlunya dipersiapkan UU tentang Pengelolaan Zakat. Hasil musyawarah tersebut ditindak lanjuti dengan Surat Menteri Agama No. MA/18/111/1999 mengenai permohonan persetujuan prakarsa penyusun RUU tentang Pengelolaan Zakat. Permohonan tersebut disetujui melalui surat Menteri Sekretaris Negara RI No. B. 283/4/1999 tanggal 30 April 1999. Pembahasan mengenai RUU tentang Pengelolaan Zakat dimulai tanggal 26 Juli 1999 yaitu dengan penjelasan pemerintah yang di awali oleh Menteri Agama. Mulai tanggal 26 Agustus sampai dengan tanggal 14 September 1999 diadakan pembasan substansi RUU tentang Pengelolan Zakat dan telah di setujui oleh DPR RI dengan keputusan DPR RI Nomor 10/DPR-RI/1999. Dan melalui surat Ketua DPR RI Nomor RU.01/03529/DPR-RI/1999 tanggal 14 September 1999 disampaikan kepada Presiden untuk ditandatangani dan disahkan menjadi undang-undang. Pada tanggal 23 September 1999 diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat ini berisi 10 Bab dan 25 pasal. Rincian dari UndangUndang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat adalah sebagai



18



berikut: a) Bab I Ketentuan Umum ( Pasal 1,2,3 ) b) Bab II Asas dan Tujuan (Pasal 4, 5 ) c) Bab III Organisasi Pengelolaan Zakat ( Pasal 6,7,8,9,10 ) d) Bab IV Pengumpulan Zakat ( Pasal 11,12,13,14,15 ) e) Bab V Pendayagunaan Zakat ( Pasal 16,17 ) f) Bab VI Pengawasan ( Pasal 18,19,20 ) g) Bab VII Sanksi ( Pasal 21 ) h) Bab VIII Ketentuan-Ketentuan Lain ( Pasal 22,23 ) i) Bab IX Ketentuan Peralihan ( Pasal 24 ) j) Bab X Ketentuan Penutup ( Pasal 25 ) Setelah



diberlakukannya



undang-undang



tersebut



pemerintah



mengeluarkan peraturan pelaksanaan melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999. Kamudian diikuti dengan dikeluarkannya Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman teknis Pengelolaan Zakat. Dapat dikatakan bahwa, sejarah tentang regulasi zakat di Indonesia diwarnai dengan pergulatan yang sangat panjang, serta tarik ulur antara kepentingan Islamis politik dan kepentingan Islamis kultural dan bahkan kepentingan kolonial penjajah dalam upaya mengatur undang-undang zakat. Hal itu dimulai dari zaman kolonial penjajah, dengan adanya Bijblad Nomor 1892 tanggal 4 Agustus 1893 yang berisi tentang kebijakan Pemerintah Kolonial mengenai zakat, sebuah aturan yang terkesan berupaya mengatur tentang sistem administrasi zakat, akuntabilitas laporanya. Kemudian dikeluarkan Bijblad Nomor 6200 yang berisi tentang pelarangan bagi seorang pegawai dan priyayi pribumi untuk membantu pelaksanaan zakat. Selanjutnya adalah era pasca-penjajahan, dalam hal ini perhatian pemerintah terhadap lembaga zakat semakin meningkat pada tahun 1968. Yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama Nomor 4 dan Nomor 5



19



Tahun 1968, masing-masing tentang pembentukan Badan Amil Zakat dan Baitul Mal (Balai Harta Kekayaan) di tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota, namun demikian keputusan ini diikuti oleh keputusan Menteri Agama baru yang berisi tentang penundaan pelaksanaan Peraturan Menteri Agama Nomor 5/1968. Masih pada tahun yang sama, Presiden Suharto, pada malam peringatan Isra’ Mi’raj di Istana negara tanggal 22 Oktober 1968, mengelurkan anjuran untuk menghimpun zakat secara sistematis dan terorganisasi. Anjuran ini kemudian ditindaklanjuti oleh oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, yang pada waktu itu dipimpin oleh Gubernur Ali Sadikin, untuk mengelola zakat secara professional, maka berdirilah Badan Amil Infaq dan Shadaqah (BASIS). Hal ini diikuti oleh berbagai propinsi di Indonesia, yaitu dengan terbentuknya Badan Amil Zakat yang bersifat semi pemerintah melalui surat



keputusan Gubernur. Badan



tersebut tampil dengan nama yang berbeda-beda disetiap daerah, namun pada umumnya mengambil nama BAZIS seperti di Aceh (1975), Sumatra Barat (1977), Lampung (1975), Jawa Barat (1974), Kalimantan Selatan (1977), Kalimantan Timur (1972), Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan (1985), dan Nusa Tenggara Barat. Sampai akhirnya munculnya UU Nomer 38 Tahun 1999 dan UU Nomer 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Dapat dikatakan bahwa, sejarah tentang regulasi zakat di Indonesia diwarnai dengan pergulatan yang sangat panjang, serta tarik ulur antara kepentingan Islamis politik dan kepentingan Islamis kultural dan bahkan kepentingan kolonial penjajah dalam upaya mengatur undang-undang zakat. Hal itu dimulai dari zaman kolonial penjajah, dengan adanya Bijblad Nomor 1892 tanggal 4 Agustus 1893 yang berisi tentang kebijakan Pemerintah Kolonial mengenai zakat, sebuah aturan yang terkesan berupaya mengatur tentang sistem administrasi zakat, akuntabilitas laporanya. Kemudian dikeluarkan Bijblad Nomor 6200 yang berisi tentang pelarangan bagi seorang pegawai dan priyayi pribumi untuk membantu pelaksanaan zakat. Selanjutnya adalah era pasca-penjajahan, dalam hal ini perhatian pemerintah terhadap lembaga zakat semakin meningkat



20



pada tahun 1968. Yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama Nomor 4 dan Nomor 5 Tahun 1968, masing-masing tentang pembentukan Badan Amil Zakat dan Baitul Mal (Balai Harta Kekayaan) di tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota, namun demikian keputusan ini diikuti oleh keputusan Menteri Agama baru yang berisi tentang penundaan pelaksanaan Peraturan Menteri Agama Nomor 5/1968. Masih pada tahun yang sama, Presiden Suharto, pada malam peringatan Isra’ Mi’raj di Istana negara tanggal 22 Oktober 1968, mengelurkan anjuran untuk menghimpun zakat secara sistematis dan terorganisasi. Anjuran ini kemudian ditindaklanjuti oleh oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, yang pada waktu itu dipimpin oleh Gubernur Ali Sadikin, untuk mengelola zakat secara professional, maka berdirilah Badan Amil Infaq dan Shadaqah (BASIS). Hal ini diikuti oleh berbagai propinsi di Indonesia, yaitu dengan terbentuknya Badan Amil Zakat yang bersifat semi pemerintah melalui surat keputusan Gubernur. Badan tersebut tampil dengan nama yang berbeda-beda disetiap daerah, namun pada umumnya mengambil nama BAZIS seperti di Aceh (1975), Sumatra Barat (1977), Lampung (1975), Jawa Barat (1974), Kalimantan Selatan (1977), Kalimantan Timur (1972), Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan (1985), dan Nusa Tenggara Barat. Sampai akhirnya munculnya UU Nomer 38 Tahun 1999 dan UU Nomer 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat.Regulasi zakat ini perlu diatur oleh Negara, dalam rangka untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Efektifitas dan efesiensi pengelolaan zakat di Indonesia yang majemuk ini, membutuhkan adanya kepastian hukum dan kejelasan regulasi yang mengaturnya. Selain itu, regulasi zakat ini dimunculkan dalam upaya penertiban pengelola zakat (amil) yang berasaskan pada prinsip-prinsip; syariah, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas. Jika hal demikian itu tercipta, maka kesadaran masyarakat dalam berzakat akan tinggi dan zakat dapat digunakan sebagai alternative



21



mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.2



C. Pengelolaan Zakat Nasional dan Internasional 1. Pengelolaan Zakat Nasional ( Indonesia ) Sistem pengelolaan zakat di Indonesia dapat dikategorikan pada sistem yang dilakukan secara sukarela (voluntary system), artinya wewenang pengelolaan zakat berada di tangan pemerintah ataupun masyarakat sipil dan tidak terdapat sanksi hukum bagi yang tidak menunaikan kewajiban zakat. Berdasarkan UU No. 23 tahun 2011 di Indonesia terdapat dua jenis Organisasi Pengelolaan Zakat (OPZ), yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAZ) yang pengelolaan diurus oleh pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang pengelolaannya diurus oleh masyarakat sipil, yang terintegrasi dan bersinergi dalam proses perhimpunan, pengelolaan dan pendistribusian zakat. Model pengelolaan zakat melalui dua OPZ, yaitu BAZNAZ dan LAZ ini merupakan bentuk ideal pengelolaan zakat yang memiliki latar belakang yang kuat secara sosio-historis keindonesiaan, serta dikuatkan dengan dasar ideologis negara dan pandangan normatif MUI terkait Amil Zakat. UU No. 23 tahun 2011 memunculkan polemik di kalangan para pegiat zakat nasional, terkait konsep sentralisasi dan desentralisasi dalam pengelolaan zakat di Indonesia. Secara historis, baik sistem sentralisasi atau pun desentralisasi dalam pengelolaan zakat pernah diimplementasikan dalam sejarah Islam. Beredar perspektif yang lebih komprehensif, UU zakat pada aspek tertentu memperlihatkan sistem yang tersentralisasi, sedang pada aspek yang lain menunjukkan desentralisasi. Akan tetapi yang lebih tepat, pemerintah melalui UU tersebut merekonstruksi OPZ dengan cara melakukan integrasi 2



https://core.ac.uk/download/pdf/268132613.pdf //diunduh tanggal/24 september 2022



22



dan sinergi BAZNAZ dan LAZ, sebagai suatu upaya membentuk bangunan pengelolaan zakat nasional, dengan cara menciptakan koordinasi yang baik antara operator pengelola zakat, menciptakan regulasi operasional dan pengawasan yang efektif dalam proses pengumpulan dan penyaluran ZIS, serta meningkatkan peran OPZ untuk ikut serta mengentaskan kemiskinan.3 2. Pengelolaan Zakat Internasional Di akhir tahun 2012 ini terdapat dua pertemuan internasional yang sangat penting terkait dengan perkembangan dunia perzakatan global ke depan, meskipun keduanya tidak memiliki keterkaitan langsung. Agenda yang pertama adalah Muktamar Zakat Internasional IX yang berlangsung di Amman, Yordania pada tanggal 26- 28 November 2012, sedangkan agenda yang kedua adalah Expert Group Meeting yang diselenggarakan oleh IRTI (Islamic Research and Training Institute) IDB pada tanggal 11 Desember 2012. Forum yang pertama adalah forum rutin dua tahunan yang melibatkan badan-badan zakat resmi negara-negara anggota OKI. Pada mulanya, forum yang pertama kali dilaksanakan di Kuwait tahun 1984 tersebut hanya dikhususkan untuk negara-negara Timur Tengah. Namun pada perkembangannya, muktamar tersebut diperluas ke belahan dunia lainnya, sehingga mencakup seluruh negara OKI. Indonesia sendiri baru bergabung pada tahun 2010 lalu di Beirut, Lebanon, saat berlangsungnya muktamar kedelapan, sehingga praktis keikutsertaan pada pertemuan Amman merupakan kali kedua. Sedangkan forum yang kedua diselenggarakan oleh IRTI IDB dengan maksud untuk mengembangkan program IFSAP (Islamic Financial Sector Assessment Program),



yang



sesungguhnya



merupakan



bentuk



adopsi



dan



penyesuaian dari FSAP (financial Sector Assessment Program) yang telah dikembangkan oleh Bank Dunia dan IMF sebelumnya, dengan 3



https://berkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_individu/buku-individu-public-38.pdf//diunduh tanggal/25 september 2022



23



fokus pada industri keuangan konvensional. IFSAP merupakan tools untuk mengukur dan menilai kinerja sektor keuangan syariah secara komprehensif, sekaligus melakukan evaluasi terhadap stabilitas sektor ini. Dengan assessment yang tepat, maka kemungkinan terjadinya krisis keuangan dapat dideteksi secara dini. Dalam usulan template IFSAP yang akan dikembangkan, sektor keuangan syariah ini tidak hanya mencakup perbankan syariah saja, melainkan diperluas kepada seluruh lembaga keuangan syariah non bank, seperti asuransi syariah dan pasar modal syariah, hingga lembaga keuangan mikro syariah, zakat dan wakaf. Dimasukkannya zakat dan wakaf dengan pertimbangan bahwa kedua sektor ini merupakan pilar utama Islamic social finance yang memiliki potensi yang sangat besar. Apalagi secara filosofis, zakat merupakan instrumen yang disebut secara eksplisit dalam Alquran sebagai antitesa dari sistim riba. Secara ekonomi, potensi dana zakat menurut studi Monzer Kahf mencapai angka 1,8 – 4,34 persen dari PDB masing-masing negara. Belum lagi ditambah dengan potensi wakaf, baik wakaf aset tetap maupun wakaf uang. Dari kedua pertemuan tersebut, penulis melihat ada benang merah yang bisa ditarik. Yaitu, adanya upaya menuju standarisasi pengelolaan zakat secara global. Telah muncul kesadaran secara internasional untuk membangun standarisasi ini secara lebih sistematis. Tujuh aspek Dari kedua pertemuan yang juga penulis hadiri itu, ada tujuh aspek yang menjadi fokus standarisasi ini, yang juga telah masuk menjadi bagian dari template IFSAP ke depan. Ketujuh hal tersebut adalah : 1. Standarisasi regulasi dan aturan perundang-undangan. 2. Standarisasi pihak yang menjadi otoritas zakat. 3. Standarisasi penghimpunan zakat 4. Standarisasi penyaluran zakat.



24



5. Standarisasi good amil governance 6. Standarisasi pelaporan dan pertanggungjawaban. 7. Cross-sector activities atau aktivitas lintas sektoral. Pada aspek yang pertama, ada tiga model regulasi yang berkembang saat ini, jika ditinjau dari ada tidaknya UU Zakat serta wajib tidaknya zakat dari sudut pandang hukum positif (wajib siyasi). Jadi bukan hanya menjadi kewajiban agama (wajib syar’i). Ketiga model tersebut adalah model komprehensif, model parsial, dan model sekuler (lihat Gambar 1). Dalam model komprehensif, negara telah memiliki UU Zakat secara khusus, yang mengatur seluruh aspek perzakatan secara detil, serta telah mewajibkan rakyatnya yang termasuk kelompok muzakki untuk me nunaikan kewajiban zakatnya. Jika tidak, maka ada ancaman sanksi, baik yang sifatnya pidana dan atau sanksi administratif. Sedangkan pada model parsial, negara telah memiliki UU Zakat, namun belum mewajibkan rakyatnya untuk membayar zakat secara hukum positif. Biasanya pada model ini, UU Zakat lebih menitikberatkan pada aturan mengenai pengelola zakat atau institusi amil. Adapun pada model sekuler, tidak ada UU Zakat yang berlaku,



dan



pengelolaan



zakat



diserahkan



sepenuhnya



pada



masyarakat.4 D. Sistem Pengelolaan Zakat di Berbagai Negara 1. Pengelolaan Zakat di Malaysia Pengumpulan dana zakat di Malaysia dilakukan oleh sebuah lembaga bernama Pusat Pungutan Zakat (PPZ). Lembaga ini dibentuk oleh Majelis Agama Islam Wilayah Persekutuan (MAIWP) yang dikepalai oleh seorang 4



https://fem.ipb.ac.id/d/iqtishodia/2012/Iqtishodia%202012%2012.pdf//diunduh pada tanggal/25 september 2022



25



Menteri. Tugas PPZ yakni meningkatkan pungutan zakat, memudahkan pembayaran zakat, mendidik masyarakat Islam tentang tanggung jawab zakat, dan memperkenalkan teknologi sistem pungutan zakat. Sedangkan penyaluran zakat bukanlah tugas dari PPZ melainkan Baitul Maal yang tersebar di berbagai wilayah. Malaysia memiliki satu pusat dalam pengumpulan dana zakat yaitu PPZ, barulah Baitul Maal yang menyalurkannya. Malaysia yang memiliki penduduk mayoritas muslim memiliki kesadaran tinggi dalam berzakat. Sosialisasi tentang kewajiban berzakat sudah berjalan dengan baik. Ketaatan para muzakki sudah baik sehingga zakat di Malaysia berkembang pesat. Pengelolaan Zakat di Wilayah Persekutuan Pengurusan harta zakat di Wilayah Persekutuan adalah salah satu tugas penting yang harus dilaksanakan oleh Jabatan Agama Islam Wilayah Persekutuan JAWI). Dalam pengumpulan zakat JAWI membahagi kepada dua bentuk, yaitu, zakat fitrah dan zakat harta (mal). Pengumpulan zakat fitrah diurus oleh pegawai JAWI, sedangkan pengumpulan zakat harta adalah melalui sebuah anak perusahaan yang didirikan oleh Majlis yaitu Harta Suci Sdn. Bhd. yang lebih dikenal dengan Pusat Pungutan Zakat (PPZ) (Jaffar, 2005:141). Semua hasil pengumpulan zakat akan dikumpulkan di tabungan Baitulmaal yang diurus oleh bahagian Baitulmal untuk program-program distribusi. Jadi di wilyah persekutuan dalam pengelolaan pengumpulan dan distribusi zakat dilaksanakan oleh institusi yang berbeda, pengumpulan zakat diurus oleh Pusat Pungutan Zakat (PPZ) dan distribusi zakat diurus oleh Baitulmal secara langsung. Pengelolaan zakat di Malaysia sangat tergantung kepada undang-undang masingmasing negeri. Di Malaysia belum ada undangundang zakat pada peringkat kabangsaan yang boleh menyatukan sistem pengelolaan zakat. Di samping itu, pengelolaan zakat juga masih berdasarkan kepada kebijakan wilayah persekutuan dan negeri-negeri masing-masing. Pengelolaan zakat di



26



Malaysia mesti menentukan arah dan memiliki memiliki yang jelas dalam pengurusan harta zakat yang dikumpul dari muzakki. Tujuan dalam pengelolaan zakat selalu diarah untuk, Pertama, meningkatkan pungutan zakat dan pembayar. Kedua, memudahkan kaidah pembayaran zakat. Ketiga, mendidik umat Islam tentang kewajiban berzakat. Keempat, memperkenalkan pengurusan korporat dalam pungutan zakat dengan menggunkan tegnologi maklumat dan komunikasi (ICT).5 2. Pengelolaan Zakat di Brunei Darussalam Zakat di Negara Brunei Darussalam adalah dibawah kuasa Majlis Ulama Islam Brunei ( MUIB ), didalam akta Majlis Ulama Islam Brunei dan mahkamah-mahkamah Kadi No. 77 dalam Undang-undang Negara Brunei Darussalam terdapat peruntukkan mengenai zakat fitrah pada halaman 114121. Brunei Darussalam berjalan dengan teratur dan sempurna sejak undang-undang zakat fitrah di sahkan pada tanggal 11 Syawal 1389 H, bertepatan dengan 1 januari 1969 M. Dimana dengan ini Majlis Ulam Islam berkuasa memungut semua zakat fitrah serta membagi bagikannya kepada yang berhak diseluruh negara Brunei Darussalam. Ada beberapa cara pemungutan zakat di Brunei Darussalam yaitu sebagai berikut : a. Pemungutan zakat fitrah dilakukan oleh amim-amil yang dilantik oleh Majlis Ulama Islam Brunei sesuai kawasan masing – masing diseluruh Negara. b. Kadar zakat fitrah yang dibayar adalah berdasarkan harga 2 jenis beras yang bisa dimakan di Negara ini dengan kadar sukutan sebanyak 2kg 268 gram sebagai berikut : 1. Beras Wangi $ 2.84 sen 2. Beras Siam $ 1.93 sen 3. Zakat maal, pembayaran zakat maal boleh dilakukan dengan cara muzakki datang sendiri ke unit pemungutan dan penyaluran zakat Majlis Ulama Islam disemua daerah di Brunei 5



https://core.ac.uk/download/pdf/229197669.pdf// diunduh pada tanggal/25 september 2022



27



Darussalam, muzakki boleh menyerahkan zakatnya melalui amil-amil yang sudah di lantik oleh Majlis Ulama Islam disetiap daerah sesuai kampung dan kawasan masing-masing, bagi pendeposit yang menyimpan di Bank Islam Brunei Berhard (IBB), TAIB, dan Bank Pembangunan Islam, boleh membuat arahan kepada bank bank tersebut untuk dikeluarkan zakat dari simpanan-simpanan (akun) mereka pada setiap tahun. Adapun jenis-jenis zakat yang terkena kewajiban pemungutan dan penyaluran zakat adalah zakat simpanan, zakat perniagaan, dan zakat emas dan perak.6 3. Pengelolaan Zakat di Singapura Pengelolaan zakat, infak, dan sedekah di Singapura tak satupun dikelola perorangan. Semua dikelola secara korporat. Selain zakat, dihimpun juga sedekah untuk pendidikan madrasah dan pembangunan masjid. Pembayaran dilakukan melalui transfer bank dan bisa juga lewat 28 masjid di seluruh Singapura. Menurut sumber, total penghimpunan zakat , infak, dan sedekah (zis) di Tahun 2003 berjumlah S$13 juta. Dari jumlah tersebut disalurkan untuk semua mustahik sekitar S$ 12.3 juta. Tahun 2004 meningkat jadi S$ 14.5 juta. Dari laporan Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS), hak amil tahun 2004 tercatat S$ 1.5 juta atau Rp. 8,9 M. Dari awal hingga pengelolaan itu sukses, pemerintah Singapura tak tergoda ikut campur. Banyak pekerjaan yang harus dikerjakan oleh pemerintah daripada ikut-ikutan mengurusi ZIS yang terbukti telah mampu dikelola warganya. Melihat kondisi seperti ini, terlihat bahwa pemerintah Singapura telah memperlihatkan kualitas dan keprefosionalnya serta tidak menganggap masyarakat sipill sebagai pesaing dalam mengelola ZIS. Penduduk Muslim di Singapura sangat menginspirasi. Padahal penduduk 6



https://kaffahku.com/perkembangan-pengelolaan-ziswak-di-negara-muslim//diunduh pada tanggal/25 september 2022



28



muslim disana termasuk minoritas. Total penduduk muslim hanya sekitar 500 ribu jiwa atau sekitar 15% dari total penduduk. 4. Pengelolaan Zakat di Arab Saudi Penerapan zakat di Saudi Arabia yang didasarkan pada perundangundangan negara dimulai sejak tahun 1951 M. Sebelum itu, penunaian zakat di Saudi Arabia tidak diatur oleh perundang-undangan. Penerapan pengelolaan zakat oleh pemerintah Saudi berdasarkan pada keputusan Raja (Royal Court) No. 17/2/28/8634 tertanggal 29/6/1370 H/7/4/1951., yang berbunyi: “zakat syar‘iy yang sesuai dengan ketentuan syariah Islamiyah diwajibkan



kepada



individu



dan



perusahaan



yang



memiliki



kewarganegaraan Saudi.” Sebelumnya, terbit keputusan Raja terkait pengenaan pajak pendapatan bagi warga non Saudi. Dengan terbitnya keputusan tersebut, warga non Saudi tidak lagi diwajibkan mengeluarkan zakat, melainkan hanya diwajibkan membayar pajak pendapatan. Sementara warga Saudi hanya dikenai kewajiban membayar zakat tanpa pajak. Guna menangani urusan tersebut, dibentuklah bagian khusus yang bernama. Kewenangan menghimpun zakat di Saudi Arabia mulai kebijakan sampai urusan teknis berada di bawah kendali Departemen Keuangan yang kemudian membentuk bagian khusus yang diberinama Maslahah az-Zakah wa ad-Dakhl (Kantor Pelayanan Zakat dan Pajak Pendapatan). Sedangkan kewenangan penyaluran zakat berada dalam kendali Departemen Sosial dan Pekerjaan di bawah Dirjen Jaminan Sosial (Daman ‘Ijtima‘i). Penghimpunan zakat di Saudi Arabia diterapkan pada semua jenis kekayaan. Zakat ternak dikelola oleh komisi bersama antara Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri yang disebut al-‘Awamil yaitu komisi khusus yang bertugas melakukan pemungutan zakat ternak ke pelosok-pelosok daerah, kemudian mendrop semua hasilnya ke Departemen Keuangan. Komisi khusus Al-‘Awamil ini juga mengumpulkan zakat pertanian, zakat perdagangan, zakat simpanan uang, dan zakat pendapatan. Yang termasuk kategori zakat pendapatan seperti pendapatan dokter,



29



kontraktor, pengacara, accounting, dan para pegawai, termasuk juga seniman, penghasilan hotel, biro travel. Zakat pendapatan dari masingmasing profesi tersebut akan dipotong dari tabungan mereka setelah mencapai nisab. Cara penghitungannya berdasarkan pada laporan keuangan masing-masing 5. Sudan Peraturan pengelolaan zakat di Sudan dinyatakan resmi setelah diterbitkannya Undang-undang Diwan Zakat pada bulan April 1984 dan mulai efektif sejak September 1984. Penghimpunan harta zakat di negera Sudan berada dalam “satu atap” dengan penghimpunan pajak. Sehingga ada semacam tugas dan pekerjaan baru bagi para pegawai pajak, yaitu menyalurkan



harta



zakat



kepada



mustahiq.



mendelegasikan pendistribusian zakat kepada



Diwan



Departemen



zakat



ini



Keuangan



dan Perencanaan Ekonomi Nasional. Pendistribusian zakat sebelumnya hanya diberikan kepada lima asnaf mustahiq (fakir, miskin, amil zakat, Ibnu Sabil, dan gharim). Sedangkan tiga asnaf lainnya tidak dimasukkan. Namun Majlis Fatwa kemudian mengeluarkan fatwa bahwa semua asnaf mustahiq Yang berjumlah delapan golongan seperti diterangkan dalam AlQuran menjadi target pendistribusian zakat di Sudan.7



7



https://media.neliti.com/media/publications/58323-ID-sejarah-pengelolaan-zakat-di-dunia-musli.pdf// diunduh pada tanggal/25 september 2022



30



31



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Zakat adalah bagian tertentu dari harta yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim apabila telah mencapai syarat yang ditetapkan. Sebagai salah satu rukun Islam, Zakat ditunaikan untuk diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (asnaf). Dalam Al-Quran disebutkan, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka” (QS. at-Taubah [9]: 103). Dalil ini diperkuat dengan riwayat bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Allah Swt. mewajibkan zakat pada harta orang-orang kaya dari kaum muslimin sejumlah yang dapat memberikan jaminan kepada orangorang miskin di kalangan mereka. Fakir miskin tidak akan menderita kelaparan dan kesulitan sandang pangan melainkan disebabkan perbuatan golongan orang kaya. Ingatlah bahwa Allah akan mengadili mereka secara tegas dan menyiksa mereka dengan azab yang pedih akibat perbuatannya itu.” (H.R. Thabrani). Menurut istilah dalam kitab al-Hâwî, al-Mawardi mendefinisikan zakat dengan nama pengambilan tertentu dari harta tertentu, menurut sifat-sifat tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu. Orang yang menunaikan zakat disebut Muzaki. Sedangkan orang yang menerima zakat disebut Mustahik. Sementara menurut Peraturan Menteri Agama No 52 Tahun 2014, Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha yang dimiliki oleh orang Islam untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. Zakat dikeluarkan dari harta yang dimiliki. Akan tetapi, tidak semua harta terkena kewajiban zakat. Syarat dikenakannya zakat atas harta di antaranya: 1) harta tersebut merupakan barang halal dan diperoleh dengan cara yang halal; 2) harta tersebut dimiliki penuh oleh pemiliknya 3) harta tersebut merupakan harta yang dapat berkembang;



32



4) harta tersebut mencapai nishab sesuai jenis hartanya; 5) harta tersebut melewati haul; dan 6) pemilik harta tidak memiliki hutang jangka pendek yang harus dilunasi.



33



DAFTAR PUSTAKA 1. http://repo.iain-tulungagung.ac.id/11669/5/BAB%20II.pdf//diunduh tanggal/ 24 september 2022



2. https://core.ac.uk/download/pdf/268132613.pdf



//diunduh



tanggal/24



september 2022



3. https://berkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_individu/buku-individu-public38.pdf//diunduh tanggal/25 september 2022



4. https://fem.ipb.ac.id/d/iqtishodia/2012/Iqtishodia%202012%2012.pdf// diunduh pada tanggal/25 september 2022 5. https://core.ac.uk/download/pdf/229197669.pdf//



diunduh



pada



tanggal/25 september 2022



6. https://kaffahku.com/perkembangan-pengelolaan-ziswak-di-negaramuslim//diunduh pada tanggal/25 september 2022



7. https://media.neliti.com/media/publications/58323-ID-sejarah-pengelolaanzakat-di-dunia-musli.pdf//diunduh pada tanggal/25 september 2022



34