Makalah Stase Bedah Onkologi - Skrining Kanker Pada Populasi Dewasa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH STASE BEDAH ONKOLOGI SKRINING KANKER PADA POPULASI DEWASA



Pembimbing : dr. Gede Haryanto, Sp.B (K) Onk.



Disusun oleh: Andika Satya Putra 13/346257/KU/15710



KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU BEDAH RSPAU DR. S. HARDJOLUKITO FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT, DAN KEPERAWATAN



UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA



2018



BAB I PENDAHULUAN Kanker merupakan salah satu penyakit utama penyebab kematian di dunia. Pada 2012 diperkirakan terdapat 14 juta kasus baru kanker dan 8,2 juta kematian akibat kanker di dunia. Health Organization (WHO) melaporkan lima besar jenis kanker yang ditemukan pada lakilaki di dunia pada 2012, yaitu kanker paru, prostat, kolorektum, kanker perut (stomach cancer), dan kanker hati. Sedangkan pada perempuan yang terbanyak adalah kanker payudara, kolorektum, paru-paru, serviks, serta kanker perut (stomach cancer). Sepertiga kematian akibat kanker berhubungan dengan 5 kebiasaan gaya hidup dan pola makan. Kelima faktor tersebut yaitu obesitas, diet rendah sayur dan buah, kurang aktivitas fisik, penggunaan tembakau, dan penggunaan alkohol. Penggunaan tembakau merupakan faktor risiko penyebab kematian pada kanker secara umum (20%). Sedangkan untuk kanker paru, tembakau merupakan faktor risiko penyebab kematian pada kanker paru yang paling dominan (70%). Diperkirakan akan terjadi peningkatan kasus baru kanker sebesar 70% dalam 20 tahun mendatang. Seiring dengan bertambahnya waktu, telah terjadi pergeseran pola kejadian kanker di dunia, di mana kejadian kanker telah bergeser ke negara dengan penghasilan menegah ke bawah. Saat ini, kejadian kasus baru kanker di dunia mencapai 57% dan 65% kematian akibat kanker terjadi di negara dengan penghasilan menengah ke bawah. Angka kematian akibat kanker lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju. Perbedaan ini mencerminkan perbedaan faktor risiko dan keberhasilan penanganan deteksi, serta ketersediaan pengobatan. Saat ini deteksi dini atau skrining kanker terutama untuk populasi dewasa di Indonesia mengalami situasi yang kurang baik. Deteksi dini yang banyak dijalankan saat ini hanya terbatas pada beberapa jenis kanker saja seperti kanker serviks dengan pemeriksaan PAP smear ataupun dengan IVA. Kemudian jenis kanker yang lainnya yang sudah banyak dilakukan skrining adalah kanker payudara dengan perkembangan metode skriningnya, yang diawali dari periksa payudara sendiri (Sadari) hingga menggunakan modalitas berupa USG payudara maupun dengan Mammography. Namun insidensi kanker tidak banyak berkurang karena masih kurangnya kesadaran masyarakat dalam memahami pentingnya mengenali kesehatan diri terutama resiko-resiko penyakit kanker yang dapat diderita, terutama pada kaum laki-laki.



1



BAB II PEMBAHASAN Berdasarkan rekomendasi dari American Cancer Society (2017) terkait dengan skrining kanker pada populasi dewasa terutama yang tidak memiliki gejala, terdapat 6 jenis kanker yang menjadi perhatian yakni kanker payudara, serviks, dan kolorektal bagi kaum perempuan dewasa. Sedangkan bagi laki-laki dewasa adalah kanker paru, prostat, dan kolorektal. Hal-hal yang menjadi poin utama dalam skrining kanker adalah anamnesis terutama faktor resiko karena kanker adalah penyakit multifaktorial, tanda dan gejala, serta pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan acuan yakni memiliki nilai diagnostik (spesifisitas) maupun eksklusi (sensitifitas) yang tinggi.



A. SKRINING KANKER PAYUDARA Kanker payudara merupakan kanker yang berasal dari sel-sel yang terdapat di payudara, bisa dari sel-sel saluran air susu atau sel-sel kelenjar penghasil air susu atau jaringan lain. Kanker ini terjadi hampir seluruhnya pada wanita, tetapi dapat juga terjadi pada pria. Di Indonesia, diperkirakan 51.136 wanita didiagnosis kanker payudara pada tahun 2015. Penyakit ini juga menjadi penyebab kematian utama karena kanker di Indonesia pada tahun 2012. Skrining kanker payudara dapat dilakukan dengan berdasarkan kepada data yakni anamnesis gejala, faktor resiko, dan pemeriksaan fisik serta penunjang. 1. Anamnesis 



Gejala Kanker payudara umumnya tidak menimbulkan gejala jika ukurannya masih kecil. Jika



kanker payudara sampai teraba, pasien sering hanya mengeluhkan benjolan tidak nyeri. Kanker payudara juga dapat menyebar ke kelenjar getah bening ketiak dan menimbulkan benjolan, bahkan sebelum ukuran tumor payudara primer cukup besar untuk diraba. Gejala lain kanker payudara yang mungkin dijumpai, yaitu pembengkakan di seluruh atau sebagian payudara, iritasi kulit (dimpling), nyeri payudara atau puting, retraksi puting, kulit payudara atau puting memerah, mengelupas, atau menebal, keluarnya sekret dari payudara (selain air susu). 



Faktor Resiko Faktor-faktor risiko kanker payudara yang tidak dapat diubah antara lain:



2



 Jenis kelamin: Wanita sekitar 100 kali lebih sering mengalami kanker payudara dibandingkan pria. Hal ini mungkin karena pria kurang memiliki jaringan payudara dan hormon estrogen dan progesteron yang dapat memicu pertumbuhan sel kanker payudara.  Usia: Risiko meningkat seusai usia. Sekitar 1 dari 8 kanker payudara invasif dijumpai pada wanita usia 40 tahun.



6



Mammografi tidak dianjurkan untuk skrining pada usia muda dikarenakan pada usia muda, jaringan fibroglandular masih tinggi sehingga hasilnya akan bias. Akan tetapi mammografi dapat digunakan untuk mendiagnosis ca mammae pada usia muda sekalipun. Indikasi: 1. Kecurigaan klinis keganasan 2. Tindak lanjut pasca mastektomi 3. Pasca breast conserving therapy 4. Adanya adenokarsinoma metastatik yang tumor primernya belum diketahui 5. Sebagai program skrining  Rekomendasi terkini dari American Cancer Society (2017) Rekomendasi terkini menyebutkan bahwa mammografi dapat dijadikan sebagai pemeriksaan skrining bagi wanita usia 40 hingga 44 tahun (sudah dapat menunjukkan hasil), dan dianjurkan secara regular setiap tahunnya bagi wanita dengan usia 45-54 tahun melakukan pemeriksaan mammografi sekali dalam satu tahun. Sedangkan bagi wanita dengan usia ≥ 55 tahun disarankan untuk melakukan pemeriksaan mammografi 2 kali dalam satu tahun atau setidaknya mendapatkan kesempatan 1 kali pemeriksaan dalam satu tahun. Pemeriksaan terus dilakukan setiap tahunnya selama kondisi kesehatan masih baik dan usia harapan hidup masih diatas 10 tahun ke depan.



-



USG (Ultrasonografi) Pemeriksaan payudara dengan mamografi lebih superior dalam mendeteksi kanker



payudara dibandingkan dengan USG. USG terutama berperan pada payudara padat yang biasanya ditemui pada wanita muda, jenis payudara ini kadang – kadang sulit dinilai dengan mamografi. USG juga sangat bermanfaat untuk membedakan apakah massa padat atau kistik, yang hampir sama pada gambaran mamografi, tetapi kalsifikasi halus (mikrokalsifikasi) tidak dapat dideteksi dengan USG.



7



Pembesaran kelenjar aksiler yang dapat mengubah pengobatan dan prognosis penderita juga dapat dikenali dengan pemeriksaan USG, terutama kelenjar aksiler yang sulit teraba secara klinis. Jika mamografi dan USG dipakai bersama-sama dalam prosedur diagnostik, akan diperoleh sensitivitas sebesar 97%. Orang dengan usia lebih muda lebih sensitif terhadap pajanan radiasi, oleh karena itu biasanya USG dipilih sebagai pemeriksaan awal. Apabila pada hasil pemeriksaan ditemukan kista, tidak perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan. Bila massa ditemukan padat setidaknya dilakukan pemeriksaan mamografi untuk mendeteksi kalsifikasi halus (mikrokalsifikasi).  MRI (Magnetic Resonance Imaging) Wanita dengan risiko tinggi kanker payudara harus melakukan pemeriksaan MRI dan mammografi setiap tahun.Wanita tersebut adalah wanita dengan: 



Risiko kanker payudara sekitar ≥20-25%. Penilaian risiko dapat menggunakan Gail model yang berdasarkan pada faktor seperti usia menarche, riwayat biopsi payudara, dan riwayat kanker payudara dalam keluarga



Gail Model Risk Tool 8







Terdeteksi mengalami mutasi gen BRCA1 atau BRCA2







Riwayat terdeteksi terjadinya mutasi gen BRCA1 atau BRCA2 pada keturunan pertama







Pernah mendapat terapi radiasi di dada saat usia antara 10-30 tahun







Sindrom Li-Fraumeni, sindrom Cowden, atau sindrom Bannayan-Riley-Ruvalcaba, atau riwayat salah satu sindrom tersebut pada keturunan pertama



Pada wanita dengan risiko tinggi, skrining dengan MRI dan mammografi dimulai pada usia 30 tahun dan dilanjutkan selama dalam keadaan sehat. Namun, karena terbatasnya bukti klinis mengenai usia saat memulai skrining, keputusan sebaiknya didasarkan pada kesepakatan antara pasien dan dokter terkait preferensi dan keadaan pasien. Pemeriksaan MRI, khususnya di negara berkembang, masih mengalami kendala, seperti: terbatasnya ketersediaan alat/fasilitas MRI khusus payudara di rumah sakit/klinik dan biaya yang mahal.



B. SKRINING KANKER SERVIKS Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks. Serviks merupakan sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk silindris, menonjol dan berhubungan dengan vagina melalui ostium uteri eksternum. Berdasarkan GLOBOCAN 2012 kanker serviks menduduki urutan ke 7 secara global dalam segi angka kejadian (urutan ke urutan ke6 di negara kurang berkembang) dan urutan ke8 sebagai penyebab kematian (menyumbangkan 3,2% mortalitas, sama dengan angka mortalitas akibat leukemia). Kanker serviks menduduki urutan tertinggi di negara berkembang, dan urutan ke 10 pada negara maju atau urutan ke 5 secara global. Di Indonesia kanker serviks menduduki urutan kedua dari 10 kanker terbanyak berdasar data dari Patologi Anatomi tahun 2010 dengan insidens sebesar 12,7%. Menurut perkiraan Departemen Kesehatan RI saat ini, jumlah wanita penderita baru kanker serviks berkisar 90-100 kasus per 100.000 penduduk dan setiap tahun terjadi 40 ribu kasus kanker serviks. 1. Anamnesis -



Gejala Pada fase prakanker, sering tidak ada gejala atau tanda-tanda yang khas. Namun,



kadang bisa ditemukan gejala-gejala sebagai berikut :



9







Keputihan atau keluar cairan encer dari vagina. Getah yang keluar dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan







Perdarahan setelah sanggama (post coital bleeding) yang kemudian berlanjut menjadi perdarahan yang abnormal.







Timbulnya perdarahan setelah masa menopause.







Pada fase invasif dapat keluar cairan berwarna kekuning-kuningan, berbau dan dapat bercampur dengan darah.







Timbul gejala-gejala anemia bila terjadi perdarahan kronis.







Timbul nyeri panggul (pelvis) atau di perut bagian bawah bila ada radang panggul. Bila nyeri terjadi di daerah pinggang ke bawah, kemungkinan terjadi hidronefrosis. Selain itu, bisa juga timbul nyeri di tempat-tempat lainnya.







Pada stadium lanjut, badan menjadi kurus kering karena kurang gizi, edema kaki, timbul iritasi kandung kencing dan poros usus besar bagian bawah (rectum), terbentuknya fistel vesikovaginal atau rektovaginal, atau timbul gejala-gejala akibat metastasis jauh.



-



Faktor Resiko Penyebab kanker serviks diketahui adalah virus HPV (Human Papilloma Virus) sub



tipe onkogenik, terutama sub tipe 16 dan 18. Adapun faktor risiko terjadinya kanker serviks antara lain: aktivitas seksual pada usia muda, berhubungan seksual dengan multipartner, merokok, mempunyai anak banyak, sosial ekonomi rendah, pemakaian pil KB (dengan HPV negatif atau positif), penyakit menular seksual, dan gangguan imunitas.



2. Pemeriksaan Fisik Pada saat melakukan pemeriksaan fisik pada umumnya hanya memastikan kembali gejala yang dirasakan oleh pasien, yakni: 



Keputihan merupakan gejala yang paling sering ditemukan, berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan.







Pendarahan kontak merupakan 75-80% gejala karsinoma serviks. Perdarahantimbul akibat terbukanya pembuluh darah, yang makin lama makin seringterjadi diluar senggama.







Rasa nyeri, terjadi akibat infiltrasi sel tumor ke serabut saraf.







Gejala lainnya adalah gejala-gejala yang timbul akibat metastase jauh.







Pemeriksaan tanda vital seperti tensi, nadi, respirasi, suhu badan. 10







Status pasien : o Ada atau tidaknya tanda dan gejala anemia. o Tanda-tanda metastase di paru seperti: sesak napas, batuk darah. o Status lokalis abdomen: umumnya tak khas, jarang menimbulkan kelainan berupa benjolan, kecuali bila sudah ada penyebaran ke rektum menimbulkan obstipasi ileusobstruktif. o Palpasi hepar, supraklavikula, dan diantara kedua paha untuk melihat ada tidaknya benjolan untuk meyakinkan ada tidaknya metastase.



3. Pemeriksaan Penunjang -



IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat) Pemeriksaan dengan menggunakan metode IVA merupakan pemeriksaan untuk



mencegah kanker serviks yang cukup efisien dan efektif karena dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan seperti perawat, bidan dan dokter umum serta biaya lebih murah. Cara melakukan pemeriksaan serviks dengan menggunakan metode IVA sangat mudah dan murah, sehingga setiap tenaga kesehatan di lini pertama seperti bidan delima dan puskesmas dapat menyediakan fasilitas pemeriksaan ini. Saat ini cakupan “screening” deteksi dini kanker serviks di Indonesia melalui pap smear dan IVA masih sangat rendah (sekitar 5 %), padahal cakupan “screening” yang efektif dalam menurunkan angka kesakitan dan angka kematian karena kanker serviks adalah 85 %. Semua wanita dianjurkan untuk melakukan tes IVA. Skrining kanker leher rahim dilakukan pada semua wanita yang memiliki faktor resiko, yaitu : 



Wanita usia muda yang pernah melakukan hubungan seksual usia < 20 tahun.







Memiliki banyak pasangan seksual







Riwayat pernah mengalami IMS (infeksi menular seksual)







Ibu atau saudara yang memiliki kanker serviks







Hasil pap smear sebelumnya yang tidak normal







Wanita perokok Pemeriksaan IVA tidak direkomendasikan pada wanita pascamenopause, karena daerah



zona transisional seringkali terletak kanalis servikalis dan tidak tampak dengan pemeriksaan inspekulo Syarat untuk mengikuti pemeriksaan IVA adalah sebagai berikut: 



Sudah pernah melakukan hubungan seksual







Tidak sedang datang bulan/haid 11







Tidak sedang hamil







24 jam sebelumnya tidak melakukan hubungan seksual Peralatan yang harus disiapkan adalah ruangan tertutup dan meja periksa ginekologis,



sumber cahaya yang cukup untuk melihat serviks, spekulum vagina Asam asetat (3-5%), swab lidi kapas dan sarung tangan.



Alat-alat untuk memeriksa serviks dengan metode IVA (speculum disposable, mangkok, asam asetat 3-5%, lidi kapas) Cara pemeriksaan teknik IVA menggunakan spekulum untuk melihat serviks yang telah dipulas dengan asam asetat 3-5%. Hasil positif pada lesi prakanker terlihat warna bercak putih disebut Aceto white epithelium. Tindak lanjut IVA (+) Biopsi Kategori pemeriksaan IVA ada beberapa kategori yang dapat dipergunakan, salah satu kategori yang dapat dipergunakan adalah IVA negatif bila serviks normal, IVA radang yaitu serviks dengan radang (servisitis), atau kelainan jinak lainnya (polip serviks), IVA positif yaitu ditemukan bercak putih (aceto white epithelium). Kelompok ini yang menjadi sasaran temuan skrining kanker serviks dengan metode IVA karena temuan ini mengarah pada diagnosis Serviks-pra kanker (dispalsia ringansedang-berat atau kanker serviks in situ). Dan IVA- Kanker serviks Pada tahap ini pun, untuk upaya penurunan temuan stadium kanker serviks, masih akan bermanfaat bagi penurunan kematian akibat kanker serviks bila ditemukan masih pada stadium invasif dini.



12



Berikut algoritma yang disarankan oleh Komite Penanggulangan Kanker Nasional



-



Papaniculau Smear (Pap Smear) Metode skrining Pap smear merupakan metode skrining yang sudah dikenal luas.



Sensitivitas pap smear mencapai 67,3% dengan spesifitas 76,9%. Jumlah sel pada thinprep dianggap cukup (memuaskan) bila terdapat 5.000 sel pada sediaan, sedangkan pada preparat pap smear konvensional dianggap baik bila terdapat sejumlah 8.000-12.000 sel. Perbedaan ini karena kualitas pap smear konvensional lebih rendah dibandingkan thinprep, serta adanya kesulitan pemilihan random pada preparat pap smear konvensional. Pap smear dianggap tidak adekuat (tidak memuaskan) bila preparat tidak disertai label, preparat yang pecah sehingga sulit diproses ataupun dibaca.



13



Adapun keuntungan Pap smear adalah kemampuan Pap smear mendeteksi kelainan sel displastik, sementara kekurangan pap smear adalah kemampuan mendeteksi HPV tetapi tidak mampu mendifferensiasikan infeksi HPV tersebut sebagai infeksi HPV risiko rendah ataupun risiko tinggi. Ditemukan adanya keterbatasan pap smear sebagai metode skrining, baik keterbatasan sensitivitas maupun spesifitas. Dilaporkan bahwa negatif palsu pemeriksaan Pap smear berkisar 15-45%, sehingga harus dilakukan upaya untuk menurunkan negatif palsu tersebut. Selain itu, Pap smear dianggap tidak adekuat bila selulariti dari preparat yang terganggu karena adanya darah, reaksi, atau faktor inflamasi, maupun faktor lainnya. Kejadian preparat yang tidak memuaskan dilaporkan berkisar 0,5-1,5%. Pap smear yang tidak memuaskan sebaiknya dilakukan pap smear ulang pada 2-4 bulan, sedangkan Pap smear yang tidak adekuat pada kehamilan diulang setelah persalinan. Wanita yang dianjurkan untuk melakukan tes pap smear biasanya mereka yang tinggi aktifitas seksualnya. Namun tidak menjadi kemungkinan juga wanita yang tidak mengalami aktivitas seksualnya memeriksakan diri, berikut ini adalah wanita-wanita sasaran tes Pap smear yaitu: i. Setiap 6-12 bulan untuk wanita yang berusia muda sudah menikah atau belum menikah namun aktivitas seksualnya sangat tinggi. ii. Setiap 6-12 bulan untuk wanita yang berganti ganti pasangan seksual atau pernah menderita infeksi HIV atau kutil kelamin. iii. Setiap tahun untuk wanita yang berusia diatas 35 tahun. iv. Setiap tahun untuk wanita yang memakai pil KB. v. Pap tes setahun sekali bagi wanita antara umur 40-60 tahun. vi. Sesudah 2 kali pap tes (-) dengan interval 3 tahun dengan catatan bahwa wanita resiko tinggi harus lebih sering menjalankan pap smear. vii. Sesering mungkin jika hasil pap smear menunjukkan abnormal sesering mungkin setelah penilaian dan pengobatan prakanker maupun kanker serviks. Hal-hal yang penting yang harus diperhatikan saat melakukan Pap smear yaitu: i. Pengambilan dimulai minimal dua minggu setelah dan sebelum menstruasi sebelumnya. ii. Pasien harus memberikan sejujur-jujurnya kepada petugas mengenai aktivitas seksualnya. iii. Tidak boleh melakukan hubungan seksual selama 1 hari sebelum pengambilan bahan pemeriksaan. iv. Pembilasan vagina dengan bahan kimia tidak boleh dilakukan dalam 24 jam sebelumnya v. Hindarilah pemakaian obat-obatan yang tidak menunjang pemeriksaan Pap smear



14



Terdapat banyak sistem dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan Pap Smear, diantaranya adalah sistem Papanicolaou, sistem Cervical Intraepithelial Neoplasma (CIN), dan sistem Bethesda. • Klasifikasi Papanicolaou membagi hasil pemeriksaan menjadi 5 kelas, yaitu: 



Kelas I : Tidak ada sel abnormal.







Kelas II : Terdapat gambaran sitologi atipik, namun tidak ada indikasi adanya keganasan.







Kelas III : Gambaran sitologi yang dicurigai keganasan, displasia ringan sampai sedang.







Kelas IV : Gambaran sitologi dijumpai displasia berat.







Kelas V : Keganasan.



• Sistem CIN pertama kali dipublikasikan oleh Richart RM tahun 1973 di Amerika Serikat (Tierner & Whooley, 2002). Pada sistem ini, pengelompokan hasil uji Pap Smear terdiri dari (Feig, 2001): i. CIN I merupakan displasia ringan dimana ditemukan sel neoplasma pada kurang dari sepertiga lapisan epitelium. ii. CIN II merupakan displasia sedang dimana melibatkan dua pertiga epitelium. iii. CIN III merupakan displasia berat atau karsinoma in situ yang dimana telah melibatkan sampai ke basement membrane dari epithelium. Berikut algoritma yang disarankan oleh Komite Penanggulangan Kanker Nasional



15



-



HPV DNA Test Human Papillomavirus sebagai penyebab kanker serviks telah dibuktikan. Pada



penelitian ditemukan Human Papilloma Virus Deoksiribo Nukleic Acid (HPV DNA) pada 99.7% pada semua karsinoma serviks1 dan tipe yang paling sering ditemukan adalah tipe 16, 18, 31 dan 45. Ini telah dibuktikan bawah infeksi oleh Human Papilloma Virus (HPV) resiko tinggi sangat penting dalam perkembangan kanker serviks dan menjadi alasan WHO untuk menetapkan bahwa HPV 16 dan HPV 18 menjadi agen karsinogen pada manusia. Pada perkembangan kanker serviks perlu dipikirkan banyak faktor dimana HPV merupakan faktor penting. Penyakit hanya dapat berkembang bila adanya infeksi HPV yang persistent pada epitel cerviks. Setiap lesi yang abnormal atau displasia dari serviks menjadi potensial maligna dan akan berkembang menjadi kanker serviks. Epitel serviks yang abnormal dapat dideteksi dengan Pap Smear. Telah diketahui bahwa peran infeksi HPV pada perkembangkan kanker serviks menginduksi respon humoral terhadap berbagai antigen virus, khususnya terhadap protein kapsid mayor L1. Pemeriksaan HPV menggunakan penanda untuk mendeteksi adanya virus pada lesi di serviks meskipun ini tidak mengindikasi suatu infeksi yang produktif, uji tersebut masih sangat penting dalam pemeriksaan kanker serviks untuk mendeteksi tipe HPV. Lesi klinik dan perubahan sitologi menjadi teknik yang paling sering digunakan untuk mengidentifikasi lesi prakanker, dan beberapa dihubungkan dengan adanya infeksi HPV. Karena alasan tersebut, teknik molekuler dan Pap Smear sebaiknya dilakukan pada wanita dengan resiko terinfeksi HPV dengan tujuan untuk mencegah atau mengontrol perkembangan kanker serviks. Ada beberapa teknik molekular yang digunakan untuk deteksi HPV DNA, yaitu: 1. Metode hibridisasi asam nukleat secara langsung (contoh: Southern Blot hybridization)



Southern Blot merupakan metode untuk menguji keberadaan dari suatu sekuens DNA dalam suatu sampel DNA. Southern Blot mempunyai sensitivitas yang rendah untuk mendeteksi HPV pada spesimen klinik maupun mengidentifikasi tipe HPV.Metode Southern Blot membutuhkan waktu yang lama, memerlukan DNA dalam jumlah banyak, dan membutuhkan tenaga teknisi yang terlatih. Metode southern blot tidak dapat dilakukan pada jaringan yang difiksasi dengan formalin dikarenakan DNA akan terdegradasi.



16



2. Hybrid capture II assay (HC II)



Hybrid Capture System (HC-II) adalah metode pemeriksaan hibridisasi dengan teknologi terbaru di bidang biologi molekuler. Teknik HC-II digunakan pada kondisi lebih awal yaitu kemungkinan seseorang terinfeksi HPV sebelum virus tersebut membuat perubahan pada serviks yang akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya kanker serviks. HC-II telah diakui dunia serta disahkan oleh FDA (Food and Drug Administration) Amerika Serikat. HC-II memiliki keakuratan yang tinggi dalam mendeteksi infeksi HPV karena mampu mendeteksi keberadaan DNA HPV dalam jumlah sangat kecil. Secara umum HC-II adalah teknik berbasis DNA-RNA yang dapat mendeteksi secara akurat dan cepat dengan sensitivitas 98% dan spesifisitas 98%. Metode HC II ini mempunyai akurasi sebesar 92 – 94% terhadap teknik pemeriksaan sitologi/histologi, memerlukan waktu pemeriksaan yang lebih singkat, tidak terdapat atau hanya sedikit kontaminasi dan dapat memperkirakan kuantitatif jumlah virus tanpa mengetahui genotipe HPV. 3. Metode amplifikasi target (Polimerase Chain Reaction/PCR)



Amplifikasi target merupakan teknik analisis DNA yang paling fleksibel dan sensitif dibandingkan dengan teknik southern blot dan HC II. Teknik ini dapat digunakan untuk mendeteksi, menghitung viral load, DNA sekuensing, dan analisis mutasi. Metode PCR dapat diterapkan dengan sampel dan komponen dalam jumlah sedikit, PCR merupakan metode yang sensitif dan dapat mendeteksi tipe HPV khususnya HPV resiko tinggi. Metode genotyping PCR memerlukan waktu yang lama, mahal, dan memerlukan teknik laboratorium yang tinggi. 4. PCR - Reverse Line Hybridization (contoh: Linear Array HPV Genotyping test)



PCR – Reverse Line Blot (RLB) merupakan metode modifikasi PCR, yaitu hasil amplifikasi PCR dideteksi menggunakan cara hibridisasi dengan oligonukleotida spesifik yang diimobilisasi pada membran nitroselulosa. Teknik ini sangat sensitif dan dapat mendeteksi DNA sekitar 100 ag. Teknik ini dapat digunakanuntuk mendeteksi genotipe HPV pada infeksi campuran.  Rekomendasi terkini dari American Cancer Society (2017) Pada wanita usia 21-29 tahun direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan kanker serviks konvensional seperti Pap smear setiap 3 tahun sekali. Kemudian pada wanita usia 3065 tahun direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan kanker serviks dengan pemeriksaan HPV DNA test dan pemeriksaan konvensional seperti Pap smear, atau apabila hanya tersedia pemeriksaan Pap smear maka pemeriksaan dilakukan setiap 3 tahun.



17



Untuk wanita usia 66 tahun ke atas, yang pada 10 tahun terakhir telah mendapatkan ≥ 3 kali hasil negatif berturut-turut pada pemeriksaan Pap smear atau ≥ 2 kali hasil negatif berturut-turut pada pemeriksaan HPV, dengan catatan test terakhir dilakukan paling lama 5 tahun sebelumnya, dapat menghentikan skrining kanker serviks. Pada kondisi khusus yakni wanita yang telah menjalankan histerektomi total maka tidak perlu melakukan skrining kanker serviks.



C. SKRINING KANKER KOLOREKTAL (KKR) Kanker kolorektal adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus besar, terdiri dari kolon (bagian terpanjang dari usus besar) dan atau rektum (bagian kecil terakhir dari usus besar sebelum anus). Kanker kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak di dunia dan penyebab kematian kedua terbanyak (terlepas dari gender) di Amerika Serikat. Dari data Globocan 2012, insiden kanker kolorektal di Indonesia adalah 12,8 per 100.000 penduduk usia dewasa, dengan mortalitas 9,5% dari seluruh kasus kanker. Di Indonesia, kanker kolorektal sekarang menempati urutan nomor 3 (GLOBOCAN 2012), kenaikan tajam yang diakibatkan oleh perubahan pada diet orang Indonesia, baik sebagai konsekuensi peningkatan kemakmuran serta pergeseran ke arah cara makan orang barat (westernisasi) yang lebih tinggi lemak serta rendah serat. Meskipun perkembangan pengobatan adjuvan akhir-akhir ini berkembang secara cepat dan sangat maju, akan tetapi hanya sedikit saja meningkatkan harapan hidup pasien kanker kolorektal bila sudah ditemukan dalam stadium lanjut. 1. Anamnesis -



Gejala Kasus KKR banyak dijumpai di usia lebih dari 50 tahun dan sering tidak bergejala. Bila



sudah ada gejala yang dirasakan, biasanya kanker sudah stadium lanjut dan prognosisnya buruk. Beberapa literatur menyebutkan bahwa keluhan dapat dirasakan baru setelah lima tahun perkembangan kanker. 18



Keluhan yang paling sering dirasakan adalah perubahan pola buang air besar, perdarahan dari anus (hematoschezia atau melena), nyeri perut, perut membesar. Gejala non spesifik dapat dijumpai seperti penurunan berat badan, lemah, pucat dan demam. Pasien juga sering datang setelah mengalami komplikasi berat seperti perdarahan masif saluran cerna, ileus obstruktif bahkan perforasi usus. -



Faktor Resiko Terdapat banyak faktor yang dapat meningkatkan atau menurunkan risiko terjadinya



KKR; faktor risiko dibagi menjadi dua yaitu faktor yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Termasuk di dalam faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah riwayat KKR atau polip adenoma individu dan keluarga, dan riwayat individu penyakit inflamasi kronis pada usus. 



Faktor genetik Sekitar 20% kasus KKR memiliki riwayat keluarga. Anggota keluarga tingkat pertama (first-degree) pasien yang baru didiagnosis adenoma kolorektal atau kanker kolorektal invasif memiliki peningkatan risiko kanker kolorektal. Kerentanan genetik terhadap KKR meliputi sindrom Lynch (atau hereditary nonpolpyposis colorectal cancer [HNPCC]) dan familial adenomatous polyposis. Oleh karena itu, riwayat keluarga perlu ditanyakan pada semua pasien KKR. Yang termasuk di dalam faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah inaktivitas,



obesitas, konsumsi tinggi daging merah, merokok dan konsumsi alkohol sedang-sering. 



Keterbatasan aktivitas dan obesitas Aktivitas fisik yang tidak aktif atau “physical inactivity” merupakan sebuah faktor yang paling sering dilaporkan sebagai faktor yang berhubungan dengan KKR. Aktivitas fisik yang reguler mempunyai efek protektif dan dapat menurunkan risiko KKR sampai 50%. American Cancer Society menyarankan setidaknya aktivitas fisik sedang (e.g. jalan cepat) selama 30 menit atau lebih selama 5 hari atau lebih setiap minggu. Selain itu, kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan kelebihan berat badan yang juga merupakan sebuah faktor yang meningkatkan risiko KKR.







Diet Beberapa studi, termasuk studi yang dilakukan oleh American Cancer Society menemukan bahwa konsumsi tinggi daging merah dan/atau daging yang telah diproses meningkatkan risiko kanker kolon dan rektum.



19



Risiko tinggi KKR ditemukan pada individu yang mengkonsumsi daging merah yang dimasak pada temperatur tinggi dengan waktu masak yang lama. Selain itu, individu yang mengkonsumsi sedikit buah dan sayur juga mempunyai faktor risiko KKR yang lebih tinggi. 



Merokok dan alkohol Banyak studi telah membuktikan bahwa merokok tobako dapat menyebabkan KKR. Hubungan antara merokok dan kanker lebih kuat pada kanker rektum dibandingkan dengan kanker kolon. Konsumsi alkohol secara sedang dapat meningkatkan risiko KKR. Individu dengan rata-rata 2- 4 porsi alkohol per hari selama hidupnya, mempunyai 23% risiko lebih tinggi KKR dibandingkan dengan individu yang mengkonsumsi kurang dari satu porsi alkohol per hari.







Obat-obatan dan hormon Aspirin, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) serta hormon pasca menopause dikatakan dapat mencegah KKR. Bukti-bukti penelitian kohort mulai mendukung pernyataan bahwa penggunaan aspirin dan NSAID secara teratur dan jangka panjang dapat menurunkan risiko KKR. Namun saat ini American Cancer Society belum merekomendasikan penggunaan obat- obat ini sebagai pencegahan kanker karena potensi efek samping perdarahan saluran cerna. Terdapat bukti ilmiah yang cukup kuat mengenai wanita yang menggunakan hormon pasca menopause mempunyai angka KKR yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak menggunakan. Penurunan risiko terbukti terutama pada wanita yang menggunakan hormon dalam jangka panjang, walaupun risiko kembali meningkat seperti wanita yang tidak menggunakan terapi hormon; setelah tiga tahun penghentian terapi. Penggunaan terapi hormon pasca menopause tidak dianjurkan untuk mencegah KKR karena dapat meningkatkan risiko kanker payudara dan penyakit kardiovaskular. Saat ini American Cancer Society tidak merekomendasikan obat-obat atau suplemen apapun untuk mencegah KKR karena efektivitas, dosis yang tepat dan potensi toksik yang belum diketahui secara pasti.



20



2. Pemeriksaan Fisik Indikasi pemeriksaan dini atau skrining kanker kolorektal adalah individu dengan risiko sedang dan risiko tinggi. Yang termasuk risiko sedang adalah: 1) Individu berusia 50 tahun atau lebih; 2) Individu yang tidak mempunyai riwayat kanker kolorektal atau inflammatory bowel disease; 3) Individu tanpa riwayat keluarga kanker kolorektal; 4) Individu yang terdiagnosis adenoma atau kanker kolorektal setelah berusia 60 tahun. Yang termasuk risiko meningkat atau risiko tinggi adalah: 1) Individu dengan riwayat polip adenomatosa; 2) Individu dengan riwayat reseksi kuratif kanker kolorektal; 3) Individu dengan riwayat keluarga tingkat pertama kanker kolorektal atau adenoma kolorektal (rekomendasi berbeda berdasarkan umur keluarga saat didiagnosis); 4) Individu dengan riwayat inflammatory bowel disease yang lama; 5) Individu dengan diagnosis atau kecurigaan sindrom hereditary non- polyposis olorectal cancer (HNPCC) atau sindrom Lynchatau familial adenomatous polyposis (FAP). Individu dengan risiko meningkat atau risiko tinggi KKR perlu menjalani pemeriksaan lebih sering, yang dimulai pada umur lebih muda. Metode skrining dengan pemeriksaan fisik untuk kanker kolorektal adalah dengan pemeriksaan colok dubur. Pemeriksaan dapat dilakukan sekali pada usia lebih dari 50 tahun. Pemeriksaan ulang dilakukan jika sudah muncul gejala klinis. Pemeriksaan ini bermanfaat terutama pada tumor rektum distal. Untuk akurasi penentuan stadium dari pemeriksaan colok dubur sangat tergantung kepada pengalaman dokter pemeriksa. Pemeriksaan colok dubur lebih akurat dalam penetapan stadium lokal lanjut daripada stadium tumor dini, sehingga nilainya untuk kriteria pemilihan pasien yang akan mendapat terapi lokal adalah terbatas. 3. Pemeriksaan Penunjang a. Kolonoskopi Skrining kanker kolon dengan menggunakan kolonoskopi dapat menurunkan 80 persen insiden kanker kolon dengan sensitivitas dan spesifisitas 95 persen, sedangkan skrining dengan pemeriksaan FOBT tiap tahun dapat menurunkan insiden KKR sampai 20 persen. Penelitian kohort yang mengikuti pasien yang telah di polipektomi menunjukkan insiden KKR turun 7590 persen pada kelompok ini dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kolonoskopi juga dapat menurunkan mortalitas akibat KKR sampai 50 persen.



21



Menurut American College of Gastroenterology (ACG), beberapa keuntungan dari kolonoskopi adalah saat ini alat sudah banyak tersedia, dapat memeriksa seluruh kolon, dan dapat berfungsi untuk diagnosis dan pengobatan, kenyamanan dapat dipertahankan dengan menggunakan sedasi, dan untuk tujuan skrining dapat dikerjakan tiap sepuluh tahun. Kelebihan kolonoskopi dibandingkan dengan sigmoidoskopi adalah kemampuan kolonoskopi mendeteksi lesi-lesi di proksimal kolon, meskipun sebenarnya dengan sigmoidoskopi saja, lesi kolon yang lebih jauh dari rektosigmoid dapat dijumpai 60-70 persen. Komplikasi skrining dengan kolonoskopi antara lain adalah perforasi usus. kebanyakan perforasi terjadi akibat tindakan polipektomi. Kolonoskopi untuk CPT dianjurkan diulang tiap 10 tahun pada individu tanpa risiko tinggi dan pemeriksaan kolonoskopi awal hasilnya normal. Pemeriksaan yang dilakukan tiap 5 tahun kurang efektif karena berdasarkan penelitian, pemeriksaan tiap lima tahun hampir tidak ada menemukan lesi baru yang berarti. Analisis biaya terhadap kolonoskopi sebagai alat skrining KKR juga menunjukkan tindakan ini lebih hemat biaya apabila dilakukan tiap 10 tahun. Kolonoskopi yang dilakukan secara menyeluruh berbanding terbalik dengan insiden kematian akibat KKR. Untuk setiap peningkatan 1 % tindakan kolonoskopi yang menyeluruh, maka risiko kematian turun sebesar 3 %. US Multi-society Task Force on Colorectal Cancer telah menyatakan bahwa kolonoskopi adalah baku emas pemeriksaan untuk mendeteksi dan mereseksi adenoma. b. Sigmoidokopi Fleksibel Sigmoidoskopi fleksibel (SF) prinsipnya sama dengan kolonoskopi hanya lebih sedikit bagian kolon yang diperiksa (hanya sampai kolon sigmoid saja) pemeriksaan ini juga tidak membutuhkan tindakan BP dan pasien tidak perlu disedasi. Tindakan FS bisa dianjurkan tiap 5 sampai 10 tahun sekali. Sigmoidoskopi dapat menurunkan mortalitas akibat KKR sebesar 50-70 %, dan komplikasi mayor akibat tindakan ini dapat terjadi 1 dari 10 000 tindakan. c. Barium Enema Barium enema kontras dobel (BEKD) saat ini tidak lagi direkomendasikan untuk pemeriksaan pencegahan karena tidak efektif untuk mendeteksi polip dibandingkan pemeriksaan CT Kolonografi, keunggulan BEKD hanya biaya yang lebih murah. Namun ditempat-tempat yang tidak memiliki fasilitas diagnostik lain tindakan ini masih dapat dikerjakan, sensitivitasnya 48 persen untuk mendeteksi polip yang besar.



22



d. CT Kolonografi Pemeriksaan Kolonografi dianjurkan tiap 5 tahun sebagai alternatif kolonoskopi tiap 10 tahun. Pemeriksaan ini mampu mendeteksi polip dengan diameter 1 cm atau lebih dengan sensitivitas 90 %. Meskipun tidak invasif, pemeriksaan ini memiliki kekurangan karena tidak dapat mendeteksi polip dengan diameter 5mm, yang merupakan 80 % dari neoplasma kolorektal, dan keharusan memeriksa tiap 5 tahun membuat biaya kesehatan meningkat. Pemeriksaan ini tetap membutuhkan BP dan pasien akan diminta untuk meminum zat kontras. Zat kontras ini dapat menempel di debris-debris dalam kolon, dan secara komputerisasi dapat dihilangkan saat pembacaan hasil kolonografi. e. Pemeriksaan Darah Samar Feses Pemeriksaan darah samar feses metode guaiac merupakan pemeriksaan yang paling sering dikerjakan untuk mendeteksi keberadaan darah dalam tinja. Tes guaiac bereaksi terhadap aktivitas enzim peroksidase dalam feses, namun enzim ini juga terdapat dalam buahbuahan, sayuran dan daging merah, sehingga retriksi diet perlu dikerjakan agar hasilnya tidak positif palsu. Kelemahan pemeriksaan ini adalah sensitivitas pemeriksaan yang rendah bila dikerjakan satu kali yaitu 50-60%. Apabila pemeriksaan dilakukan berulang, maka sensitivitas akan meningkat sampai 90 %. Selain itu akibat adanya positif palsu akan mengarahkan pasien ke pemeriksaan lanjutan yang sebenarnya tidak perlu seperti kolonoskopi. Saat ini pemeriksaan Fecal Immunochemical Test (FIT) lebih dianjurkan dibandingkan dengan guaiac karena terbukti lebih baik. Kepatuhan pasien untuk melakukan pemeriksaan FIT juga lebih tinggi 10-12 % dibandingan pemeriksaan FIT plus guaiac. Secara keseluruhan, pemeriksaan dengan FIT mampu mendeteksi KKR dua kali lebih sensitif dibandingkan dengan guaiac. Pemeriksaan alternatif bila FIT tidak bisa dilakukan adalah pemeriksaan DNA feses dan hemoccult sensa, namun pemeriksaan ini lebih mahal dibandingkan dengan FIT. Hemoccult Sensa adalah pemeriksaan guaiac yang di modifikasi. Sensitivitas hemoccult sensa lebih tinggi dibandingkan dengan pemeriksaan guaiac yang biasa, namun masih lebih rendah dari pemeriksaan FIT.



23



 Rekomendasi terkini dari American Cancer Society (2017) Untuk seluruh pria dan wanita yang berusia ≥50 tahun perlu dilakukan uji: -



Guaiac-based fecal occult blood test (gFOBT) dengan sedikitnya alat uji memiliki sensitifitas 50%, atau dengan Fecal Immunochemical Test (FIT) dengan sedikitnya alat uji memiliki sensitifitas 50%. Kedua tes tersebut dilakukan setahun sekali dengan catatan: o Sampel feses yang digunakan berasal dari pergerakan usus yang reguler dengan kepatuhan pada metode masing-masing pabrik alat uji dalam teknik dan jumlah sampel yang dibutuhkan. o Penggunaan sampel feses yang berasal dari pemeriksaan colok dubur tidak direkomendasikan untuk sampel pemeriksaan gFOBT. o Penampungan feses pada pispot untuk sampel gFOBT tidak direkomendasikan. o FIT lebih direkomendasikan dibandingkan dengan gFOBT karena sebagian besar memiliki spesifisitas dan sensitivitas lebih tinggi. o Tidak diperlukan justifikasi atau pemeriksaan ulang gFOBT jika telah ditemukan hasil positif inisial. o Pasien direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan kolonoskopi.



-



Multitarget stool DNA test dapat dilakukan setiap 3 tahun (bergantung pada rekomendasi pabrik alat uji).



-



Flexible Sigmoidoscopy (FSIG) dapat dilakukan setiap 5 tahun sekali, atau dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan gFOBT atau FIT yang tetap dilaksanakan 1 tahun sekali.



-



Barium enema dobel kontras dapat dilakukan setiap 5 tahun sekali.



-



Kolonoskopi dapat dilakukan setiap 10 tahun sekali



-



CT kolonografi dapat dilakukan setiap 5 tahun sekali



24



D. SKRINING KANKER PARU Kanker paru adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri (primer). Dalam pengertian klinik yang dimaksud dengan kanker paru primer adalah tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus (karsinoma bronkus/bronchogenic carcinoma). Kanker paru merupakan penyebab utama keganasan di dunia, mencapai hingga 13 persen dari semua diagnosis kanker. Selain itu, kanker paru juga menyebabkan 1/3 dari seluruh kematian akibat kanker pada laki-laki. Hasil penelitian berbasis rumah sakit dari 100 RS di Jakarta menunjukkan bahwa kanker paru merupakan kasus terbanyak pada laki-laki dan nomor 4 terbanyak pada perempuan, dan merupakan penyebab kematian utama pada laki-laki dan perempuan. Berdasarkan data hasil pemeriksaan di laboratorium Patologi Anatomik RSUP Persahabatan, lebih dari 50 persen kasus dari semua jenis kanker yang didiagnosa adalah kasus kanker paru. Data registrasi kanker Rumah Sakit Dharmais tahun 2003-2007 menunjukkan bahwa kanker trakea, bronkus dan paru merupakan keganasan terbanyak kedua pada pria (13,4%) setelah kanker nasofaring (13,63%) dan merupakan penyebab kematian akibat kanker terbanyak pada pria (28,94%). 1. Anamnesis -



Gejala Kanker paru tidak memiliki gejala klinis yang khas, tetapi batuk, sesak napas, atau nyeri



dada (gejala respirasi) yang muncul lama atau tidak kunjung sembuh dengan pengobatan biasa pada pasien “kelompok risiko” harus ditindaklanjuti untuk prosedur diagnosis kanker paru. Gejala yang berkaitan dengan pertumbuhan tumor langsung misalnya batuk, hemoptisis, nyeri dada dan sesak napas/stridor. Batuk merupakan gejala tersering (60-70%) pada kanker paru. Gejala lain berkaitan dengan pertumbuhan regional, seperti efusi pleura, efusi perikard, sindrom vena kava superior, disfagia, sindrom Pancoast, dan paralisis diafragma. Sindrom Pancoast merupakan kumpulan gejala dari kanker paru yang tumbuh di sulkus superior, yang menyebabkan invasi pleksus brakhial sehingga menimbulkan nyeri pada lengan dan munculnya sindrom Horner (ptosis, miosis, hemifacial anhidrosis). Keluhan suara serak menandakan telah terjadinya kelumpuhan saraf atau gangguan pada pita suara. Gejala klinis sistemik yang juga kadang menyertai yaitu penurunan berat badan dalam waktu yang singkat, nafsu makan menurun, dan demam hilang timbul. Gejala yang berkaitan dengan gangguan neurologis (sakit kepala, lemah/parese) sering terjadi jika terdapat penyebaran ke otak atau tulang belakang. Nyeri tulang sering menjadi gejala awal pada kanker yang telah menyebar ke tulang. 25



-



Faktor Resiko



a. Jenis Kelamin Jenis kelamin diduga berkaitan dengan kejadian kanker paru. Hal ini dapat dilihat dari data epidemiologi bahwa pasien kanker paru pria lebih banyak dari wanita begitu juga dengan jumlah kematiannya. Laki-laki memiliki tingkat metilasi pada gen Ras Association domain Family 1A (RASSF1A) yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, dimana gen RASSF1A merupakan salah satu tumor supresor yang mengkode protein menyerupai RAS efektor protein, sehingga apabila terjadi metilasi yang menginduksi inaktivasi dari ekspresi gen tersebut maka akan menimbulkan hilangnya inhibisi pada Cyclin D1 sehingga cell cycle arrest tidak terjadi. Hal ini tentunya menyebabkan sel membelah secara tidak terkendali dan menjadi kanker. Tingginya kejadian kanker paru pada laki-laki juga dapat dikaitkan dengan kebiasaan merokok laki-laki yang lebih besar dibandingkan perempuan. b. Umur Menurut data epidemiologi, kebanyakan penderita kanker paru merupakan orang yang sudah berumur. Kecenderungan data memperlihatkan bahwa semakin tuanya umur maka akan semakin tinggi risikonya untuk terkena kanker. Secara umum dan dari hasil berbagai penelitian, golongan umur diatas 45 tahun memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita kanker paru dibandingkan populasi yang berumur dibawah 45 tahun. c. Riwayat Merokok Merokok memiliki kaitan yang erat dengan kejadian kanker paru. Rokok memiliki 73 jenis zat pemicu kanker dan 16 diantaranya diakui sebagai karsinogen. Karsinogen yang erat kaitannya dengan kanker paru adalah NKK, NNN dan PAH. Pengaruh merokok terhadap kejadian kanker paru juga dapat dibuktikan melalui efek dari berhenti merokok. Orang yang berhenti merokok terbukti mengalami perubahan hasil skrining dari tahun sebelumnya disaat ia masih merokok. Orang yang sebelumnya terskrining positif berisiko besar terhadap kanker paru akan menjadi negative atau setidaknya risikonya berkurang saat ia berhenti merokok setidaknya satu tahun. d. Berat Badan Berat badan memiliki kaitan dengan berbagai jenis kanker. Indeks Masa Tubuh (IMT) yang tinggi merupakan salah satu predisposisi dari berbagai jenis kanker, akan tetapi kanker paru memiliki kecenderungan yang berbeda dengan kanker lainnya. Kenaikan IMT justru memberikan efek negative terhadap risiko kanker paru. IMT yang rendah pada pasien kanker paru diduga juga terkait dengan kecenderungan orang dengan IMT rendah untuk merokok.



26



Perokok pria cenderung memiliki IMT lebih rendah dibandingkan dengan mantan perokok maupun bukan perokok sedangkan pada wanita tidak terdapat perbedaan yang begitu signifikan antara IMT mantan perokok dibandingkan dengan bukan perokok, akan tetapi perokok wanita memiliki kecenderungan memiliki IMT lebih rendah (26,8 kg/m2). e. Riwayat Penyakit Paru Lainnya Salah satu penyakit paru yang dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker paru adalah PPOK yang merupakan penyakit fatal dan progressive pada paru ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible. Hambatan aliran ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel beracun. PPOK juga diyakini sebagai faktor independent yang menyebabkan terjadinya kanker paru. RNOS yang merupakan pencetus kanker akibat inflamasi kadarnya sangat meningkat pada PPOK, selain itu fungsi mitokondria pada pasien PPOK sangat menurun sehingga sel endotel paru tidak mampu untuk berapoptosis. f. Riwayat Penyakit Ekstrapulmonal Komorbiditas pada pasien kanker paru memiliki efek positif terhadap perkembangan kanker dan efek negative terhadap kemampuan survival pasien. Komorbiditas juga dapat menutupi gejala kanker paru sehingga menyebabkan diagnosis kanker yang tertunda. Komorbiditas juga mempengaruhi proses penyembuhan kanker paru dikarenakan kebanyakan komorbiditas menjadi salah satu kontra indikasi dari tindakan operasi. Beberapa penyakit ekstrapulmonal yang dapat memicu terjadinya kanker paru sekaligus memperparah perjalan kanker paru adalah kondisi-kondisi yang menurunkan sistem imunitas seperti infeksi HIV, penggunaan obat imunosupresan pada pasien autoimun maupun pasien dengan riwayat transplantasi organ. Adapun penyakit metabolik seperti diabetes juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker paru. Komorbiditas terbanyak selain PPOK adalah metastasis tumor solid 24,8%, diabetes tanpa komplikasi 10,3% dan penyakit vascular perifer 8,7%. g. Pekerjaan Berbagai pekerjaan memiliki risikonya masing-masing. Beberapa pekerjaan memiliki asosiasi dengan meningkatkan risiko seseorang untuk menderita kanker paru dikarenakan lingkungan yang dapat mengganggu fungsi paru. Eksposur dalam pekerjaan yang paling sering adalah eksposur dari debu serbuk kayu. Pekerjaan yang terpapar dengan debu serbuk kayu ini diantaranya tukang gergaji, tukang kayu, pengrajin kayu dan pekerja furnitur.



27



Paparan dari debu kayu diyakini sebagai salah satu faktor risiko kanker paru terbukti dalam penelitian pasien kanker paru yang bukan perokok memiliki kecenderungan bekerja dengan paparan dari debu kayu. Pekerjaan lain yang dianggap berisiko terhadap kejadian kanker paru adalah penambang batu bara, penambang bijih besi dan pemecah batu. Penambang yang bekerja di bawah tanah memiliki tingkat eksposur yang tinggi terhadap bahan karsinogenik bagi paru seperti arsenik, asbestos, kromium, nikel, PAH, silika dan buangan mesin diesel sedangkan pemecah batu paling sering berkontak dengan silika. Kelompok pekerja ini memiliki risiko yang tinggi terhadap kanker paru apabila sudah terpapar zat karsinogenik selama lebih dari 10 tahun. Pekerja manual (pekerja yang bekerja dengan tangan tanpa bantuan mesin) diduga memiliki risiko tinggi terhadap kontak dengan bahan karsinogenik. Pekerjaan yang termasuk di dalam pekerja manual adalah pekerja terampil seperti petani, tukang las dan tukang ledeng, lalu pekerja pemrosesan dan operator mesin seperti pemecah batu dan perakit, serta pekerja dasar seperti tukang bersih-bersih. Risiko kanker paru lebih tinggi pada pekerja manual dibandingkan dengan manager atau pekerjaan professional lainnya. h. Riwayat Keluarga Keluarga diduga memiliki peranan penting dalam kejadian kanker paru. Keluarga diduga memiliki peran penting dalam menurunkan polimorfisme pada gen seseorang. Keluarga juga diduga berperan dalam menurunkan kebiasaan merokok pada seseorang. Beberapa gen yang diwariskan keluarga diduga mempengaruhi meningkatnya risiko kanker paru. Gen pada kromosom 5p15.33 yang memiliki pengaruh besar pada wanita yang tidak pernah merokok, diduga menaikan risiko melalui mediasi peningkatan TERT yang mengakibatkan overekspresi mRNA yang menyebabkan kanker paru. Gen pada kromosom 6p21-6p22 juga memiliki keterkaitan dengan meningkatnya risiko kanker paru dengan mengakibatkan adanya DNA mismatch repair pada gen M5H5. Gen pada kromosom 9p21.3 yang merupakan pengkode tumor suppressor gene yang dapat menghambat CDK dan apoptosis terinduksi stressor pada sel paru yang dapat meningkatkan risiko kanker paru serta gen pada kromosom 12p13.33 yang juga dapat mempengaruhi DNA repair mechanism pada sel kanker paru.



28



2. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik, tanda yang dapat ditemukan pada kanker paru dapat bervariasi tergantung pada letak, besar tumor, dan penyebarannya. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) supraklavikula, leher dan aksila menandakan telah terjadi penyebaran ke KGB atau tumor di dinding dada, kepala atau lokasi lain juga menjadi petanda penyebaran. Sesak napas dengan temuan suara napas yang abnormal pada pemeriksaan fisik didapat jika terdapat massa yang besar, efusi pleura atau atelektasis. Venektasi (pelebaran vena) di dinding dada dengan pembengkakan (edema) wajah, leher dan lengan berkaitan dengan bendungan pada vena kava superior (SVKS). Sindrom Horner sering terjadi pada tumor yang terletak di apeks (Pancoast tumor). Thrombus pada vena ekstremitas, yang ditandai dengan edema disertai nyeri pada anggota gerak dan gangguan sistem hemostatis (peningkatan kadar D-dimer), menjadi gejala telah terjadinya bendungan vena dalam (DVT). Tanda-tanda patah tulang patologik dapat terjadi pada kanker yang bermetastasis ke tulang. Tanda-tanda gangguan neurologis akan didapat jika kanker sudah menyebar ke otak atau tulang belakang. 3. Pemeriksaan Penunjang Hingga saat ini belum ada metode skrining yang sesuai bagi kanker paru secara umum. Metode skrining yang telah direkomendasikan untuk deteksi dini kanker paru terbatas pada kelompok pasien risiko tinggi. Kelompok pasien dengan risiko tinggi mencakup pasien usia > 40 tahun dengan riwayat merokok ≥30 tahun dan berhenti merokok dalam kurun waktu 15 tahun sebelum pemeriksaan, atau pasien ≥50 tahun dengan riwayat merokok ≥20 tahun dan adanya minimal satu faktor risiko lainnya. Faktor risiko kanker paru lainnya adalah pajanan radiasi, paparan okupasi terhadap bahan kimia karsinogenik, riwayat kanker pada pasien atau keluarga pasien, dan riwayat penyakit paru seperti PPOK atau fibrosis paru. Pada pasien berisiko tinggi, dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mendukung kecurigaan adanya keganasan pada paru-paru, dapat dilakukan pemeriksaan low-dose CT Scan untuk skrining kanker paru setiap tahun selama 3 tahun. Pemeriksaan ini tidak dilakukan pada pasien dengan komorbiditas berat lainnya dan dapat mengurangi mortalitas akibat kanker paru hingga 20%. Pemeriksaan low-dose CT Scan tidak direkomendasikan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria “kelompok risiko tinggi”. Rekomendasi Skrining Pemeriksaan low-dose CT-Scan dilakukan pada pasien risiko tinggi yaitu pasien berusia > 40 tahun dengan riwayat merokok ≥30 tahun dan berhenti merokok dalam kurun waktu 15 tahun sebelum pemeriksaan [rekomendasi A], atau pasien berusia ≥50 tahun dengan riwayat merokok ≥20 tahun dan adanya minimal satu faktor risiko lainnya [rekomendasi B]. 29



 Rekomendasi terkini dari American Cancer Society (2017) Bagi para perokok yang berusia 55-74 tahun dengan kondisi kesehatan cukup baik dan memiliki riwayat merokok paling sedikit 30 pak-tahun disarankan melakukan pemeriksaan low-dose helical CT Scan. Pemeriksaan ini dapat dilakukan oleh klinisi yang didukung pusat pelayanan yang memadai dan telah dilakukan inform consent sebelumnya terkait dengan potensi keuntungan, keterbatasan, dan bahaya yang dapat ditimbulkan. Konseling pengendalian merokok menjadi prioritas utama bagi klinisi, dan skrining tidak boleh dijadikan alternatif jika konseling pengendalian merokok gagal.



E. SKRINING KANKER PROSTAT Kanker prostat merupakan suatu penyakit kanker yang menyerang kelenjar prostat dengan sel-sel prostat, tumbuh secara abnormal dan tidak terkendali, sehingga mendesak dan merusak jaringan sekitarnya yang merupakan keganasan terbanyak diantara sistem urogenitalia pada pria. Kanker ini sering menyerang pria yang berumur di atas 50 tahun, diantaranya 30% menyerang pria berusia 70- 80 tahun dan 75% pada usia lebih dari 80 tahun. Kanker ini jarang menyerang pria berusia di bawah 45 tahun. Bentuk keganasan prostat yang tersering adalah Adenokarsinoma prostat, bentuk lain yang jarang adalah: sarkoma (0,1-0,2%), karsinoma urotelial (1-4%), limfoma dan leukemia. Oleh karena itu, terminologi Kanker prostat mengacu pada Adenokarsinoma prostat. Di Indonesia, jumlah penderita kanker prostat di tiga RS pusat pendidikan (Jakarta, Surabaya dan Bandung) selama 8 tahun terakhir adalah 1.102 pasien dengan rerata usia 67,18 tahun. Stadium penyakit tersering saat datang berobat adalah stadium lanjut sebesar 59,3% kasus, dan terapi primer yang terbanyak dipilih adalah orkhiektomi sebesar 31,1 %, obat hormonal 182 (18%), prostatektomi radikal 89 (9%), radioterapi 63 (6%), sisanya adalah pemantauan aktif, kemoterapi dan kombinasi. Modalitas diagnostik yang digunakan terutama biopsi 57.9%.



30



1. Anamnesis -



Gejala Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS)



terdiri atas gejala obstruksi dan gejala iritasi. a. Gejala obstruksi Gejala obstruksi disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh sel kanker prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejalanya ialah : 1) Menunggu pada permulaan miksi (hesitancy) 2) Pancaran miksi lemah (weak stream) 3) Miksi terputus (intermittency) 4) Rasa belum puas sehabis miksi (sensation of incomplete blander emptying) 5) Menetes setelah miksi (terminal dribbling) b. Gejala iritatif Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran sel kanker prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh., Gejalanya ialah : 1) Bertambahnya frekuensi miksi (frekuensi) 2) Nokturia 3) Miksi sulit ditahan (urgency) 4) Nyeri pada saat miksi (dysuria) atau saat ejakulasi 5) Keluarnya darah pada saat miksi atau saat ejakulasi Sedangkan keluhan akibat kanker prostat pada saluran kemih bagian atas dapat berupa nyeri atau kekakuan pada punggung bawah, pinggul atau paha atas dan tidak nyaman di daerah panggul akibat penyebaran di kelenjar getah bening yang terletak di panggul. -



Faktor Resiko Para peneliti telah mengidentifikasi beberapa faktor yang tampaknya meningkatkan



resiko terkena karsinoma prostat, termasuk: 1. Usia Jarang terjadi pada usia di bawah 40 tahun, namun insidensi meningkat dengan cepat pada usia di atasnya.



31



2. Ras Kanker jenis ini lebih sering mempengaruhi orang-orang di Afrika Amerika di Amerika dan laki-laki Karibia . Di Amerika Serikat, ras Afrika memiliki risiko lebih tinggi dari jenis kanker, dibandingkan orang Asia maupun Hispanik. 3. Diet dan gaya hidup Diet tinggi lemak jenuh, daging merah, sedikit buah dan sedikit sayuran, rendah tomat, rendah ikan dan atau rendah kedelai meningkatkan resiko terkena kanker prostat. Diet tinggi kalsium juga berhubungan dengan peningkatan resiko kanker prostat. Hubungan kanker prostat dengan obesitas masih kontroversial, namun obesitas berhubungan dengan tingginya grading kanker prostat. 4. Riwayat keluarga Memiliki anggota keluarga dengan karsinoma prostat meningkatkan risiko penyakit. Seorang laki-laki yang memiliki ayah atau saudara laki laki yang terdiagnosa kanker pada usia 50 tahun memiliki resiko 2 kali lipat lebih tinggi terkena karsinoma prostat. Resiko meningkat menjadi tujuh sampai delapan kali lipat lebih tinggi pada laki laki yang memiliki dua atau lebih keluarga yang menderita kanker prostat. 5. Mutasi Genetik Berhubungan dengan mutasi BRCA115 atau BRCA215 dan sindrom Lynch.



2. Pemeriksaan Fisik -



Pemeriksaan colok dubur Kebanyakan Kanker prostat terletak di zona perifer prostat dan dapat dideteksi dengan



colok dubur jika volumenya sudah > 0.2 ml. Jika terdapat kecurigaan dari colok dubur berupa: nodul keras, asimetrik, berbenjol-benjol, maka kecurigaan tersebut dapat menjadi indikasi biopsi prostat. Delapan belas persen dari seluruh penderita Kanker prostat terdeteksi hanya dari colok dubur saja, dibandingkan dengan kadar PSA. Penderita dengan kecurigaan pada colok dubur dengan disertai kadar PSA > 2ng/ml mempunyai nilai prediksi 5-30%.



32



3. Pemeriksaan Penunjang -



Prostate-specific antigen (PSA) Pemeriksaan kadar PSA telah mengubah kriteria diagnosis dari Kanker prostat. PSA



adalah serine-kalikrein protease yang hampir seluruhnya diproduksi oleh sel epitel prostat. Pada prakteknya PSA adalah organ spesifik namun bukan kanker spesifik. Maka itu peningkatan kadar PSA juga dijumpai pada BPH, prostatitis, dan keadaan non-maligna lainnya. Kadar PSA secara tunggal adalah variabel yang paling bermakna dibandingkan colok dubur atau TRUS. Sampai saat ini belum ada persetujuan mengenai nilai standar secara internasional. Kadar PSA adalah parameter berkelanjutan semakin tinggi kadarnya, semakin tinggi pula kecurigaan adanya Kanker prostat. Nilai baku PSA di Indonesia saat ini yang dipakai adalah 4ng/ml.  Rekomendasi terkini dari American Cancer Society (2017) Pada pria usia ≥50 tahun dapat dilakukan pemeriksaan prostate-spesific antigen (PSA) dengan atau tanpa pemeriksaan colok dubur. Pemeriksaan tersebut harus disampaikan inform consent yang terkait seperti potensi keuntungan, resiko, dan ketidakpasitan yang berhubungan dengan pemeriksaan. Pemeriksaan tidak akan dilakukan tanpa proses pengambilan keputusan yang telah diinformasikan oleh tenaga medis profesional.



-



Transrectal ultrasonography (TRUS) dan Biopsi Prostat Gambaran klasik hipoekhoik adanya zona peripheral prostat tidak akan selalu terlihat.



Gray-scale dari TRUS tidak dapat mendeteksi area Kanker prostat secara adekuat. Maka itu biopsi sistematis tidak perlu digantikan dengan biopsi area yang dicurigai. Namun biopsi daerah yang dicurigai sebagai tambahan dapat menjadi informasi yang berguna. 1. Indikasi biopsi Tindakan biopsi prostat sebaiknya ditentukan berdasarkan kadar PSA, kecurigaan pada pemeriksaan colok dubur atau temuan metastasis yang diduga dari kanker prostat. Sangat dianjurkan bila biopsi prostat dengan guided TRUS, bila tidak mempunyai TRUS dapat dilakukan biopsi transrektal menggunakan jarum trucut dengan bimbingan jari. Untuk melakukan biopsi, lokasi untuk mengambil sampel harus diarahkan ke lateral.



33



Jumlah Core yang diambil dianjurkan sebanyak 10-12 buah. Core tambahan dapat diambil dari daerah yang dicurigai pada colok dubur atau TRUS. Tingkat komplikasi biopsi prostat rendah. Komplikasi minor termasuk makrohematuria dan hematospermia. Infeksi berat setelah prosedur dilaporkan < 1% kasus. 2. Biopsi Ulang Indikasi Biopsi Ulang : 



PSA yang meningkat dan atau menetap pada pemeriksaan ulang setelah 6 bulan







Kecurigaan dari colok dubur







Proliferasi sel asinar kecil yang atipik (ASAP)







High Grade Prostatic intraepithelial (PIN) lebih dari satu core







Penentuan waktu yang optimal untuk biopsi ulang adalah 3-6 bulan



34



BAB III KESIMPULAN Saat ini, kejadian kasus baru kanker di dunia mencapai 57% dan 65% kematian akibat kanker terjadi di negara dengan penghasilan menengah ke bawah. Angka kematian akibat kanker lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh keberhasilan penanganan deteksi atau skrining kanker pada negara tersebut. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki prevalensi kanker yang cukup besar di dunia pada populasi dewasa. Oleh karena hal tersebut, perlu penggiatan skrining kanker yang efektif dan efisien bagi masyarakat. Skrining kanker bagi populasi dewasa perempuan yang saat ini dapat dilakukan sesuai dengan rekomendasi dari American Cancer Society antara lain: 



Pada skrining kanker payudara dapat dilakukan mammografi bagi wanita usia 40 hingga 44 tahun (sudah dapat menunjukkan hasil), dan dianjurkan secara regular setiap tahunnya bagi wanita dengan usia 45-54 tahun melakukan pemeriksaan mammografi sekali dalam satu tahun. Sedangkan bagi wanita dengan usia ≥ 55 tahun disarankan untuk melakukan pemeriksaan mammografi 2 kali dalam satu tahun atau setidaknya mendapatkan kesempatan 1 kali pemeriksaan dalam satu tahun.







Pada skrining kanker serviks wanita usia 21-29 tahun direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan kanker serviks konvensional seperti Pap smear setiap 3 tahun sekali. Kemudian pada wanita usia 30-65 tahun direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan kanker serviks dengan pemeriksaan HPV DNA test dan pemeriksaan konvensional seperti Pap smear, atau apabila hanya tersedia pemeriksaan Pap smear maka pemeriksaan dilakukan setiap 3 tahun. Kemudian untuk wanita usia 66 tahun ke atas, yang pada 10 tahun terakhir telah mendapatkan ≥ 3 kali hasil negatif berturut-turut pada pemeriksaan Pap smear atau ≥ 2 kali hasil negatif berturut-turut pada pemeriksaan HPV, dengan catatan test terakhir dilakukan paling lama 5 tahun sebelumnya, dapat menghentikan skrining kanker serviks. Sedangkan skrining kanker bagi populasi dewasa laki-laki yang saat ini dapat dilakukan



sesuai dengan rekomendasi dari American Cancer Society antara lain: 



Pada skrining kanker prostat pria usia ≥50 tahun dapat dilakukan pemeriksaan prostatespesific antigen (PSA) dengan atau tanpa pemeriksaan colok dubur.



35







Pada skrining kanker prostat paru bagi para perokok yang berusia 55-74 tahun dengan kondisi kesehatan cukup baik dan memiliki riwayat merokok paling sedikit 30 pak-tahun disarankan melakukan pemeriksaan low-dose helical CT Scan.







Pada skrining kanker kolorektal untuk seluruh pria dan wanita yang berusia ≥50 tahun perlu dilakukan uji: -



Guaiac-based fecal occult blood test (gFOBT) dengan sedikitnya alat uji memiliki sensitifitas 50%, atau dengan Fecal Immunochemical Test (FIT) dengan sedikitnya alat uji memiliki sensitifitas 50%. Kedua tes tersebut dilakukan setahun sekali.



-



Multitarget stool DNA test dapat dilakukan setiap 3 tahun.



-



Flexible Sigmoidoscopy (FSIG) dapat dilakukan setiap 5 tahun sekali, atau dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan gFOBT atau FIT yang tetap dilaksanakan 1 tahun sekali.



-



Barium enema dobel kontras dapat dilakukan setiap 5 tahun sekali.



-



Kolonoskopi dapat dilakukan setiap 10 tahun sekali.



-



CT kolonografi dapat dilakukan setiap 5 tahun sekali.



36



DAFTAR PUSTAKA American Cancer Society. Breast cancer. 2016 [tersitasi tanggal 5 Agustus 2018]. Tersedia dalam: http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003090-pdf.pdf



Andrews J, Guyatt G, Oxman AD, et al. GRADE guidelines: Going from evidence to recommendations: the significance and presentation of recommendations. J Clin Epidemiol. 2013;66:719-725.



Brawley O, Byers T, Chen A, et al. New American Cancer Society processfor creating trustworthy cancer screening guidelines. JAMA. 2011;306:2495-2499.



Howlander N, Noone AM, Krapcho M, et al. SEER Cancer Statistics Review, 1975–2013. Bethesda, MD: National Cancer Institute; 2016.



Nuswantara S. Seminar Deteksi dini dan Penangan Terkini Kanker Leher Rahim: Deteksi Human Papiloma Virus Dalam Pencegahan Dini Kanker Leher Rahim. Bandung. Santosa Bandung International Hospital. 2008.



Saleh HS. Can visual inspection with acetic acid be used as an alternative to Pap smear in screening cervical cancer? Middle East Fertility Society Journal. 2014;19:187-91.



Smith RA, Manassaram-Baptiste D, BrooksD, et al. Cancer screening in the United States, 2015: a review of current American Cancer Society guidelines and current issues in cancer screening. CA Cancer J Clin. 2015;65:30-54. Snijders PJ, Steenbergen RD, Heideman DA, Meijer CJ. HPV-mediated cervical carcinogenesis: concepts and clinical implications. J Pathol. 2006;208:152-64.



Stopeck AT, Downey L, Lang J, Thompson PA, Harris J, Gohel MS, et al. Breast cancer. 2012 [terbaharui pada 13 Juni 2012; tersitasi pada 5 Agustus 2018]; Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/1947145-overview .



37